- Beranda
- Stories from the Heart
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
...
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:

Cover:

NB: Sorry Bad Editing
Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter
Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita
Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.
Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.
Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.
Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.
Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.
Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.
Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.
Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.
Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.
Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.
Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.
Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.
***
Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.
“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.
“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.
“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.
Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.
Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.
Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.
Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.
“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.
“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.
“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.
“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.
“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”
Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.
“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.
Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.
“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.
Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.
Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.
***
Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.
Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,
“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.
“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.
Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.
“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.
Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.
Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.
“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.
“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.
“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.
“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.
“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.
Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.
Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.
Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.
Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.
“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.
“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.
‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.
Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.
Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
sandriaflow
#1
Chapter 1.2 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita
Pukul 08.00 WIB, seluruh siswa berkumpul di aula sekolah. Acara sosialisasi perguruan-perguruan tinggi dari para alumni sekolahku hendak dimulai.
Aku duduk didekat Eru dan Abi yang merupakan wakil ketua kelasku.
“Eh Megg, lo pengen kuliah dimana?” Abi bertanya kepadaku. Mukanya yang cukup maskulin, dipenuhi rasa penasaran.
“Entahlah, gue bingung. Lo sendiri gimana?” Sambil menggaruk-garuk kepalaku, aku bertanya kembali kepada Abi.
“Sama Megg, gue bingung juga.” Ekspresinya kurang lebih sama sepertiku, ekspresi orang yang belum memiliki tujuan. Tak tentu arah.
Disela-sela perbincangan kami, acara sosialisasi ini dibuka oleh salah satu guru bimbingan dan konseling disekolahku. Dilanjutkan oleh penyampaian-penyampaian sosialisasi oleh kakak kelas dari berbagai almamater perguruan tinggi di Indonesia, mayoritas didominasi oleh universitas yang berada di pulau Jawa. Berhubung jarang sekali, alumni yang melanjutkan studi diluar pulau Jawa.
Tayangan slide demi slide dilayar proyektor ditampilkan bergantian. Kulihat lamat-lamat, meski tak jarang mataku sedikit kabur karena kurang jelas. Kadang diselingi video dokumenter tentang universitas mereka agar lebih jelas potret dan keadaan lingkungan di universitas mereka.
Pada awalnya semua siswa menyimak secara tenang dan serius. Namun mendekati siang hari, fokus mereka semua hilang. Kebanyakan mereka bercanda dan bergurau. Malah ada yang sibuk memainkan gadgetnya sendiri-sendiri. Kakak-kakak alumni masih terus menyampaikan materi meski tak digubris.
Eru didekatku sudah tertidur pulas. Aku hanya menggeleng-geleng kepala. Hanya Abi yang masih tetap fokus mendengarkan. Aku terlalu bosan berlama-lama di aula, ingin segera keluar meninggalkan aula yang pengap ini.
Menurutku, cara penyampaian kakak-kakak alumni kurang menarik, monoton. Konsepnya kurang lebih itu-itu saja, lebih baik aku mencari informasi dari internet saja terkait universitas-universitas di Indonesia. Toh itu sama saja.
Ditengah-tengah kebosananku, salah seorang pembicara dari salah satu universitas ternama di Indonesia memasuki aula. Ia kemudian menyampaikan sekilas tentang almamaternya. Dia bukanlah salah satu alumni dari sekolahku. Namun diundang oleh ketua panitia. Entah ada angin apa, aku tertarik mendengarkan presentasi darinya. Kata-katanya seperti menghipnotis, memicu setiap angan-angan yang tercerai berai menyatu menjadi satu.
Tak kurang dari lima menit ia berbicara didepan aula. Sebelum ia menutup presentasinya, ia memberikan sepatah kalimat yang menurutku itu sangat memotivasi.
“Temen-temen, berhubung belum ada satupun kakak-kakak alumni dari kalian yang mampu menaklukkan universitas ini. Maka kalianlah yang harus menaklukkannya nanti, kalianlah yang harus mengisi salah satu kursi di universitas ini dari sekian banyak pesaing dari sekolah lain dari Sabang sampai Merauke. Kalianlah yang nanti akan jadi jalan pembuka bagi adik-adik kelas kalian. Sekian, terimakasih.” Itu adalah kalimat penutup darinya sekaligus sebagai motivasi untukku.
Awalnya aku tak tertarik sama sekali untuk kuliah disana. Dikarenakan faktor jauh dari tempat tinggalku yang membuat aku enggan kesana.
Disatu sisi, perjuangan menembus universitas itu sangat sulit. Jujur, tak ada satupun alasan kuat untuk kuliah disana.
Namun spontan, obsesi bodoh untuk bisa kuliah disana terlintas sejenak dipikiranku. Ah, buru-buru aku melupakan itu. Aku masih bingung dengan opsi-opsi lainnya yang harus kupertimbangkan.
“Eh Megg, udah selesai ya acaranya?” Eru tiba-tiba terbangun dari tidurnya.
“Udah, lo tidur aja lagi. Paling-paling sebentar lagi usai.” Aku menyeringai, sedikit tertawa menatap wajah masamnya. Jerawatnya sepertinya beranak pinak, lebih banyak dari beberapa hari yang lalu.
“Ini udah urutan ke berapa?” Ekspresi wajahnya bertanya penasaran.
“Entahlah, gue nggak ngitung tadi.” Aku menjawab sekenanya.
Ditengah heningnya suasana aula karena semua sudah mulai lelah mendengarkan, salah satu alumni bukannya menyampaikan sosialisasi tentang almamaternya malah berorasi dari menit awal hingga akhir. Teriak-teriak memenuhi seluruh aula, suara berat dan serak itu terdengar meledak-ledak. Cumiikkan semangat-semangat baru menjadi mahasiswa. Membahas tentang perubahan, pembangunan negeri, keberanian melawan penindasan, atau apalah. Perlahan suaranya memecah keheningan aula yang beberapa detik lalu senyap.
Beberapa siswa menutup telinga masing-masing karena tak kuat menahan teriakannya tadi. Sisanya, tak mempermasalahkan hal itu.
“Njirr, keren bro. Mahasiswa tukang demo tuh, hahaha.” Eru tertawa gelagapan. Matanya masih tampak sedikit kemerah-merahan.
Aku mengangguk sambil tertawa kecil.
Beberapa saat kemudian, acara itu usai. Dilanjutkan dengan acara bazar kampus dihalaman sekolah. Para siswa yang ingin bertanya atau berkonsultasi, mereka langsung menuju stand-stand universitas yang mereka impikan. Semua siswa memenuhi halaman sekolah. Aku sengaja ikut-ikutan, barangkali ada inspirasi dan solusi atas kebimbanganku.
Ada beberapa stand yang ramai dikerumuni siswa, ada juga yang begitu sepi karena tak ada yang mampir. Melihat kerumunan-kerumunan itu, bukannya mendapat solusi malah aku tambah bingung, diam tak tahu harus berbuat apa. Saat itu, aku hanya meminta selembaran pamflet dari kakak kelas dari berbagai almamater. Kemudian aku pulang, memikirkan langkahku selanjutnya dirumah dengan matang. Dengan cepat aku meninggalkan bazar tersebut.
***
Malam hari, aku mencoba bertanya kepada ibuku. Meminta pendapat. Seperti biasa beliau sedang duduk khidmat menikmati sinema Uttaran disalah satu televisi swasta. Ketika ibuku sudah seperti itu, mengganti channel adalah hal yang mustahil kulakukan. Takut menjadi anak durhaka, aku rela berlapang dada melihat TV satu-satunya dikuasai ibuku.
“Buk, bisa bicara sebentar?” Aku membuka suara, volume televisi diturunkan. Icha dan Tapasya masih sibuk bertengkar, sepertinya adegannya lagi memanas.
“Iya, ada apa nak?” Ibuku bertanya lembut. Sesekali masih melirik pertengkaran mereka di TV.
“Aku setelah ini enaknya kuliah dimana?” Aku meminta pendapat dari ibuku.
“Ya terserah kamu nak, di Malang saja dekat. Nanti bisa berkunjung kerumah beberapa minggu sekali.” Jawab ibuku pelan, menenangkan.
“Kalau semisal, aku ingin kuliah di Depok gimana buk?” Setengah takut aku menanyakan hal itu, walaupun aku sudah menduga bahwa ibuku akan keberatan. Berhubung aku adalah anak tunggal.
“Kok jauh sekali nak, disana kan nggak ada temen, ibu nggak rela kamu kuliah disana. Takut kalau misalkan ada apa-apa.” Gurat wajahnya berubah serius, dia sungguh keberatan dengan pernyataanku barusan.
“Tapi disana kan ada mas Kurnia bu, jadi kalau apa-apa bisa minta bantuanya.” Aku mencoba membujuk.
Ibuku diam saja, beliau belum berani merestui. Ibuku mencoba menelpon bapakku, meminta pendapatnya. Bapakku bekerja diluar negeri, hanya sebagai seorang TKI di Brunei Darussalam. Hampir sepuluh tahun beliau bekerja disana, kemudian berhenti sejenak. Kurang lebih hampir empat tahun menghabiskan waktu dirumah, mencari nafkah di negeri sendiri, meski hasilnya tak seberapa.
Bapakku kembali lagi ke Brunei untuk mencari biaya kuliah. Beliau merasa jika bekerja dirumah tentu tidak cukup nantinya. Sebenarnya aku sedikit sungkan memberatkan orangtuaku, namun orangtuaku memberitahuku bahwa itu sudah kewajiban sebagai orangtua untuk mendukung anaknya sepenuhnya. Mereka ingin melihatku sukses, melihatku berpendidikan tinggi. Mereka ingin anaknya bekerja tanpa menggunakan tenaga kasar.
Inilah salah satu alasanku yang kuat untuk kuliah. Sukses adalah misi wajib dalam hidupku. Aku ingin membuktikan konsep mobilitas sosial yang pernah diajarkan pak Udin. Bahwa jika bapakku hanyalah seorang buruh di negeri tetangga, maka aku harus menaikkan derajat keluargaku setelah lulus kuliah nanti. Entah jadi seorang guru ataupun sosok yang lain. Itulah tujuanku, aku tak ingin menyia-nyiakan perjuangan orangtuaku. Aku bahagia memiliki orangtua seperti mereka, meski sederhana bagiku itu sudah cukup.
Mendengar percakapan mereka ditelepon. bapakku sepertinya sependapat dengan ibuku. Jarak antara Tulungagung dan Depok terlalu jauh, takut nanti terjadi apa-apa denganku. Disana kehidupan keras tak seperti di Tulungagung. Pergaulan bebas, kriminalitas cukup tinggi. Maklum kota metropolitan.
Aku masih tetap keras kepala, mencoba membujuk dengan berbagai cara. Setelah beberapa waktu, akhirnya orangtuaku menyetujuinya. Ibuku luluh sesaat. Hatiku sedikit lega. Aku tak pernah menyangka ada niat untuk kuliah disana, padahal tujuan awalku hanyalah kota Malang. Entahlah, ini adalah mimpi spontanitas yang muncul gara-gara sepatah kalimat di aula sekolah. Aku tak peduli ini akan menjadi nyata atau tidak, yang jelas aku akan berusaha semampuku. Demi mimpi gila itu.
Keesokan harinya dibangku depan kelas, aku memberitahukan hal ini kepada Eru.
“Wih gue dukung lo sob, gue kemarin juga baru berdiskusi sama abang gue.” Eru terlihat sumringah mendengar penjelasanku tentang mimpi gilaku itu.
“Emang diskusi tentang apa Er?” Aku bertanya penasaran.
“Abang gue mendukung kalau gue kuliah di Jogja. Tapi dia berharap banget gue bisa diterima di Universitas Gajah Mada. Mau nggak mau gue terpaksa mengangguk, yah semoga aja nanti jalannya dipermudah.” Eru menjelaskan, matanya berkaca-kaca. Aku mengangguk-angguk, mengucapkan kata-kata penuh dukungan kepada dia.
Ternyata, bukan hanya aku yang memiliki mimpi gila dan obsesi bodoh. Ada dia, yang memiliki mimpi gila setara denganku. Sesekali kita tertawa, terkadang meragukan diri kami sendiri. Melihat keadaan kami yang sekarang, rasa-rasanya tak ada kelayakan sama sekali untuk menyandang almamater universitas ternama itu. Masih ada langit diatas langit, tapi kami akan berusaha semaksimal dengan cara kami masing-masing.
Pukul 08.00 WIB, seluruh siswa berkumpul di aula sekolah. Acara sosialisasi perguruan-perguruan tinggi dari para alumni sekolahku hendak dimulai.
Aku duduk didekat Eru dan Abi yang merupakan wakil ketua kelasku.
“Eh Megg, lo pengen kuliah dimana?” Abi bertanya kepadaku. Mukanya yang cukup maskulin, dipenuhi rasa penasaran.
“Entahlah, gue bingung. Lo sendiri gimana?” Sambil menggaruk-garuk kepalaku, aku bertanya kembali kepada Abi.
“Sama Megg, gue bingung juga.” Ekspresinya kurang lebih sama sepertiku, ekspresi orang yang belum memiliki tujuan. Tak tentu arah.
Disela-sela perbincangan kami, acara sosialisasi ini dibuka oleh salah satu guru bimbingan dan konseling disekolahku. Dilanjutkan oleh penyampaian-penyampaian sosialisasi oleh kakak kelas dari berbagai almamater perguruan tinggi di Indonesia, mayoritas didominasi oleh universitas yang berada di pulau Jawa. Berhubung jarang sekali, alumni yang melanjutkan studi diluar pulau Jawa.
Tayangan slide demi slide dilayar proyektor ditampilkan bergantian. Kulihat lamat-lamat, meski tak jarang mataku sedikit kabur karena kurang jelas. Kadang diselingi video dokumenter tentang universitas mereka agar lebih jelas potret dan keadaan lingkungan di universitas mereka.
Pada awalnya semua siswa menyimak secara tenang dan serius. Namun mendekati siang hari, fokus mereka semua hilang. Kebanyakan mereka bercanda dan bergurau. Malah ada yang sibuk memainkan gadgetnya sendiri-sendiri. Kakak-kakak alumni masih terus menyampaikan materi meski tak digubris.
Eru didekatku sudah tertidur pulas. Aku hanya menggeleng-geleng kepala. Hanya Abi yang masih tetap fokus mendengarkan. Aku terlalu bosan berlama-lama di aula, ingin segera keluar meninggalkan aula yang pengap ini.
Menurutku, cara penyampaian kakak-kakak alumni kurang menarik, monoton. Konsepnya kurang lebih itu-itu saja, lebih baik aku mencari informasi dari internet saja terkait universitas-universitas di Indonesia. Toh itu sama saja.
Ditengah-tengah kebosananku, salah seorang pembicara dari salah satu universitas ternama di Indonesia memasuki aula. Ia kemudian menyampaikan sekilas tentang almamaternya. Dia bukanlah salah satu alumni dari sekolahku. Namun diundang oleh ketua panitia. Entah ada angin apa, aku tertarik mendengarkan presentasi darinya. Kata-katanya seperti menghipnotis, memicu setiap angan-angan yang tercerai berai menyatu menjadi satu.
Tak kurang dari lima menit ia berbicara didepan aula. Sebelum ia menutup presentasinya, ia memberikan sepatah kalimat yang menurutku itu sangat memotivasi.
“Temen-temen, berhubung belum ada satupun kakak-kakak alumni dari kalian yang mampu menaklukkan universitas ini. Maka kalianlah yang harus menaklukkannya nanti, kalianlah yang harus mengisi salah satu kursi di universitas ini dari sekian banyak pesaing dari sekolah lain dari Sabang sampai Merauke. Kalianlah yang nanti akan jadi jalan pembuka bagi adik-adik kelas kalian. Sekian, terimakasih.” Itu adalah kalimat penutup darinya sekaligus sebagai motivasi untukku.
Quote:
Awalnya aku tak tertarik sama sekali untuk kuliah disana. Dikarenakan faktor jauh dari tempat tinggalku yang membuat aku enggan kesana.
Disatu sisi, perjuangan menembus universitas itu sangat sulit. Jujur, tak ada satupun alasan kuat untuk kuliah disana.
Namun spontan, obsesi bodoh untuk bisa kuliah disana terlintas sejenak dipikiranku. Ah, buru-buru aku melupakan itu. Aku masih bingung dengan opsi-opsi lainnya yang harus kupertimbangkan.
“Eh Megg, udah selesai ya acaranya?” Eru tiba-tiba terbangun dari tidurnya.
“Udah, lo tidur aja lagi. Paling-paling sebentar lagi usai.” Aku menyeringai, sedikit tertawa menatap wajah masamnya. Jerawatnya sepertinya beranak pinak, lebih banyak dari beberapa hari yang lalu.
“Ini udah urutan ke berapa?” Ekspresi wajahnya bertanya penasaran.
“Entahlah, gue nggak ngitung tadi.” Aku menjawab sekenanya.
Ditengah heningnya suasana aula karena semua sudah mulai lelah mendengarkan, salah satu alumni bukannya menyampaikan sosialisasi tentang almamaternya malah berorasi dari menit awal hingga akhir. Teriak-teriak memenuhi seluruh aula, suara berat dan serak itu terdengar meledak-ledak. Cumiikkan semangat-semangat baru menjadi mahasiswa. Membahas tentang perubahan, pembangunan negeri, keberanian melawan penindasan, atau apalah. Perlahan suaranya memecah keheningan aula yang beberapa detik lalu senyap.
Beberapa siswa menutup telinga masing-masing karena tak kuat menahan teriakannya tadi. Sisanya, tak mempermasalahkan hal itu.
“Njirr, keren bro. Mahasiswa tukang demo tuh, hahaha.” Eru tertawa gelagapan. Matanya masih tampak sedikit kemerah-merahan.
Aku mengangguk sambil tertawa kecil.
Beberapa saat kemudian, acara itu usai. Dilanjutkan dengan acara bazar kampus dihalaman sekolah. Para siswa yang ingin bertanya atau berkonsultasi, mereka langsung menuju stand-stand universitas yang mereka impikan. Semua siswa memenuhi halaman sekolah. Aku sengaja ikut-ikutan, barangkali ada inspirasi dan solusi atas kebimbanganku.
Ada beberapa stand yang ramai dikerumuni siswa, ada juga yang begitu sepi karena tak ada yang mampir. Melihat kerumunan-kerumunan itu, bukannya mendapat solusi malah aku tambah bingung, diam tak tahu harus berbuat apa. Saat itu, aku hanya meminta selembaran pamflet dari kakak kelas dari berbagai almamater. Kemudian aku pulang, memikirkan langkahku selanjutnya dirumah dengan matang. Dengan cepat aku meninggalkan bazar tersebut.
***
Malam hari, aku mencoba bertanya kepada ibuku. Meminta pendapat. Seperti biasa beliau sedang duduk khidmat menikmati sinema Uttaran disalah satu televisi swasta. Ketika ibuku sudah seperti itu, mengganti channel adalah hal yang mustahil kulakukan. Takut menjadi anak durhaka, aku rela berlapang dada melihat TV satu-satunya dikuasai ibuku.
“Buk, bisa bicara sebentar?” Aku membuka suara, volume televisi diturunkan. Icha dan Tapasya masih sibuk bertengkar, sepertinya adegannya lagi memanas.
“Iya, ada apa nak?” Ibuku bertanya lembut. Sesekali masih melirik pertengkaran mereka di TV.
“Aku setelah ini enaknya kuliah dimana?” Aku meminta pendapat dari ibuku.
“Ya terserah kamu nak, di Malang saja dekat. Nanti bisa berkunjung kerumah beberapa minggu sekali.” Jawab ibuku pelan, menenangkan.
“Kalau semisal, aku ingin kuliah di Depok gimana buk?” Setengah takut aku menanyakan hal itu, walaupun aku sudah menduga bahwa ibuku akan keberatan. Berhubung aku adalah anak tunggal.
“Kok jauh sekali nak, disana kan nggak ada temen, ibu nggak rela kamu kuliah disana. Takut kalau misalkan ada apa-apa.” Gurat wajahnya berubah serius, dia sungguh keberatan dengan pernyataanku barusan.
“Tapi disana kan ada mas Kurnia bu, jadi kalau apa-apa bisa minta bantuanya.” Aku mencoba membujuk.
Ibuku diam saja, beliau belum berani merestui. Ibuku mencoba menelpon bapakku, meminta pendapatnya. Bapakku bekerja diluar negeri, hanya sebagai seorang TKI di Brunei Darussalam. Hampir sepuluh tahun beliau bekerja disana, kemudian berhenti sejenak. Kurang lebih hampir empat tahun menghabiskan waktu dirumah, mencari nafkah di negeri sendiri, meski hasilnya tak seberapa.
Bapakku kembali lagi ke Brunei untuk mencari biaya kuliah. Beliau merasa jika bekerja dirumah tentu tidak cukup nantinya. Sebenarnya aku sedikit sungkan memberatkan orangtuaku, namun orangtuaku memberitahuku bahwa itu sudah kewajiban sebagai orangtua untuk mendukung anaknya sepenuhnya. Mereka ingin melihatku sukses, melihatku berpendidikan tinggi. Mereka ingin anaknya bekerja tanpa menggunakan tenaga kasar.
Inilah salah satu alasanku yang kuat untuk kuliah. Sukses adalah misi wajib dalam hidupku. Aku ingin membuktikan konsep mobilitas sosial yang pernah diajarkan pak Udin. Bahwa jika bapakku hanyalah seorang buruh di negeri tetangga, maka aku harus menaikkan derajat keluargaku setelah lulus kuliah nanti. Entah jadi seorang guru ataupun sosok yang lain. Itulah tujuanku, aku tak ingin menyia-nyiakan perjuangan orangtuaku. Aku bahagia memiliki orangtua seperti mereka, meski sederhana bagiku itu sudah cukup.
Mendengar percakapan mereka ditelepon. bapakku sepertinya sependapat dengan ibuku. Jarak antara Tulungagung dan Depok terlalu jauh, takut nanti terjadi apa-apa denganku. Disana kehidupan keras tak seperti di Tulungagung. Pergaulan bebas, kriminalitas cukup tinggi. Maklum kota metropolitan.
Aku masih tetap keras kepala, mencoba membujuk dengan berbagai cara. Setelah beberapa waktu, akhirnya orangtuaku menyetujuinya. Ibuku luluh sesaat. Hatiku sedikit lega. Aku tak pernah menyangka ada niat untuk kuliah disana, padahal tujuan awalku hanyalah kota Malang. Entahlah, ini adalah mimpi spontanitas yang muncul gara-gara sepatah kalimat di aula sekolah. Aku tak peduli ini akan menjadi nyata atau tidak, yang jelas aku akan berusaha semampuku. Demi mimpi gila itu.
Keesokan harinya dibangku depan kelas, aku memberitahukan hal ini kepada Eru.
“Wih gue dukung lo sob, gue kemarin juga baru berdiskusi sama abang gue.” Eru terlihat sumringah mendengar penjelasanku tentang mimpi gilaku itu.
“Emang diskusi tentang apa Er?” Aku bertanya penasaran.
“Abang gue mendukung kalau gue kuliah di Jogja. Tapi dia berharap banget gue bisa diterima di Universitas Gajah Mada. Mau nggak mau gue terpaksa mengangguk, yah semoga aja nanti jalannya dipermudah.” Eru menjelaskan, matanya berkaca-kaca. Aku mengangguk-angguk, mengucapkan kata-kata penuh dukungan kepada dia.
Ternyata, bukan hanya aku yang memiliki mimpi gila dan obsesi bodoh. Ada dia, yang memiliki mimpi gila setara denganku. Sesekali kita tertawa, terkadang meragukan diri kami sendiri. Melihat keadaan kami yang sekarang, rasa-rasanya tak ada kelayakan sama sekali untuk menyandang almamater universitas ternama itu. Masih ada langit diatas langit, tapi kami akan berusaha semaksimal dengan cara kami masing-masing.
Quote:
Diubah oleh sandriaflow 20-05-2017 19:54
fransjabrik dan 3 lainnya memberi reputasi
4