- Beranda
- Stories from the Heart
LA CHANDELIER (HORROR STORY)
...
TS
dianmaya2002
LA CHANDELIER (HORROR STORY)
Cuma mau berbagi cerita buatan ane yang absurd bin ngarang
butuh saran dan kritiknya...
Cerita yang ini udah rada mendingan lah daripada cerita Biro Detektif Supranatural PSYCH: PIECES #case1 yang kemaren..
Cerita ini genre-nya one shot story, jadi satu chapter selesai. Paling kalo bersambung jadinya maks dua chapter gakan lebih.
Lebih ringan daripada cerita BDS lah
Kayak biasa! Komen + Rate Wajib yakkk
butuh saran dan kritiknya...
Cerita yang ini udah rada mendingan lah daripada cerita Biro Detektif Supranatural PSYCH: PIECES #case1 yang kemaren..
Cerita ini genre-nya one shot story, jadi satu chapter selesai. Paling kalo bersambung jadinya maks dua chapter gakan lebih.
Lebih ringan daripada cerita BDS lah
Kayak biasa! Komen + Rate Wajib yakkk
Quote:
Darren Pradipta remaja berusia 19 tahun yang patah hati karena perceraian kedua orang tuanya. Ia memutuskan untuk pergi ke Paris menjauhi orang - orang yang menatapnya dengan tatapan iba. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya ia bekerja sebagai seorang pengawas CCTV di sebuah hotel megah berbintang lima bernama La Chandelier.
Pekerjaannya sebagai pengawas CCTV membawanya kedalam tragedi dan sejarah kelam yang pernah terjadi di hotel itu. Akankah Darren sanggup menghadapi kemistisan hotel ini??
-Cerita ini mengandung konten dewasa dengan bahasa kasar, sexual harrasement dan segala hal yang memang harus disingkapi dengan pemikiran yang dewasa-
Spoiler for Prolog:
PROLOG
Sorot matanya menatap tajam hamparan gedung – gedung pencakar langit yang dilengkapi dengan cahaya gemerlapan dari atas sebuah rooftop gedung tertinggi di Metropolis. Sejenak ia menutup kedua matanya mencoba menikmati hembusan angin malam berhawa panas. Tidak ada kesejukan di kota ini kecuali penemuan brilian yang dinamakan Air Conditioning (AC). Sumpek satu kata yang melintas dibenaknya.
Rambutnya telah memanjang, terakhir ia memangkasnya adalah sehari sebelum kelulusan SMA-nya. Masa – masanya sebagai remaja bengal langganan guru BP telah berakhir. Sekarang ia bingung dengan masa depan dihadapannya.
‘Apa yang harus aku lakukan?’
Pertanyaan itu seakan – akan selalu saja menganggunya. Memaksa untuk dijawab seolah – olah tidak akan ada hari esok. Realita seakan mengejarnya seperti seorang polisi mengejar penjahat. Dunia cukup kejam, huh?!
Seharusnya saat ini ia sedang duduk disofa rumahnya sambil meminum segelas susu cokelat hangat ditemani sosok ayah dan ibu. Membagi keluh kesahnya akan masa depan. Masa dimana ia harus berdiri dibawah kakinya sendiri. Masa dimana ia harus mulai menyadari tanggung jawabnya sebagai pria dewasa. Tapi semua itu hanya menjadi impian fana seorang Darren Pradipta yang takkan pernah terwujud. Orang tuanya bercerai dua hari setelah hari kelulusan dan setelah itu mereka sibuk dengan diri mereka sendiri.
Apa kau baik – baik saja?
Orang – orang disekitarnya tak berhenti menanyakan hal itu hingga Darren sampai pada limit dimana dirinya sudah tak mampu lagi menerima pertanyaan simple itu. Ingin sekali ia berteriak dengan kencang tepat didepan wajah orang – orang sok peduli itu.
I’m not fucking okay! I’m broken…
Tentu saja hal itu urung dilakukan. Buat apa ia harus buang energi untuk menceritakan isi hatinya pada orang – orang tak jelas seperti itu. Jadi disinilah ia! Rooftop sebuah gedung pencakar langit. Mencoba menjauh dari semua orang yang menatapnya dengan pandangan kasihan dan menghakiminya sebagai sosok broken home. Tak terlintas sedikit pun dipikirannya untuk menjadi anak emo yang akan menyayat pergelangan tangannya dengan silet tajam untuk mencari perhatian. Atau seorang junkies yang dengan tololnya menjatuhkan diri di kubangan obat – obatan terlarang hingga mati. Atau menggantung dirinya di langit – langit kamar hingga tewas dan akhirnya menjadi headline di koran kriminal.
I’m in pain but I’m not that stupid!
I just wanna be alone FOR A WHILE!
I just wanna be alone FOR A WHILE!
Ditengah – tengah renungannya, Darren dikejutkan dengan suara yang memang sudah familiar ditelinganya.
“Ternyata kau ada disini.”
Suara familiar itu milik sahabatnya Erick Alcander, anak si pemilik gedung pencakar langit. Seulas senyuman tercetak jelas diwajahnya. Darren pun berbalik dan melihatnya berdiri tak jauh di belakangnya.
“Rokok?”
Tanpa aba – aba ia melempar sebungkus rokok menthol kearahnya. Tangan kanannya menangkap sebungkus rokok menthol yang isinya sudah berkurang satu itu. Ia mengambil sesebatang rokok lalu menyelipkannya disela – sela sebelum menyalakannya dengan pemantik berwarna silver berlogo kuda yang selalu dibawanya disaku jeans-nya. Pemantik itu pemberian Donny Geraldine, anak angkat seorang mafia Italia yang juga sahabat baiknya.
“Waktu berlalu sangat cepat.” Ujar Erick setelah menghembuskan gumpalan asap putih dari mulutnya. “Aku masih merasa jika kemarin baru saja di MOS.”
Darren masih saja diam tak menanggapi perkataan Erick yang menurutnya terlalu sentimental. Ia menyibukkan dirinya dengan menghisap rokok putih itu hingga asap memenuhi paru – parunya lalu menghembuskannya dengan ekspresi nikmat tiada tara. Rokok memang membuatnya melupakan kesuraman hidupnya walau untuk sejenak.
“Apa rencanamu setelah ini?”
Ia mengedikkan bahunya karena tidak tahu harus menjawab apa. Mungkin didunia ini cuma dirinya saja yang tidak punya rencana masa depan.
“Keichiro dan Donny telah memilih pilihan hidup mereka. Sekarang giliranmu Darren.”
Kali ini perkataan Erick benar – benar menohok ulu hatinya. Keichiro, pria keturunan Jepang yang penakut itu telah kembali ke Jepang untuk mengambil alih posisinya sebagai ketua Yakuza dari Klan Yamaguchi. Sedangkan Donny ditugaskan ayahnya, Don Geraldine, dalam misi penaklukan Golden Triangle dimana ia harus membangun kerajaan bisnis narkotiknya di perbatasan Thailand, Filipina dan Myanmar. Ia benar – benar merasa jika dirinya adalah seorang pecundang sejati yang tak punya masa depan.
“Ikutlah denganku ke Paris.”
Darren tersenyum kecut. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia terdiam cukup lama, berusaha untuk fokus mencari jawaban yang pas untuk menanggapi perkataan Erick.
“Dengan satu syarat.” Jawabnya dengan suara bariton yang selalu membuat lawan jenis terpesona. “Aku akan mencari pekerjaan. Tinggal di flat kecil dan menikmati waktuku sendiri. Intinya aku butuh waktu untukku sendiri Erick.”
“Baiklah kalau begitu!”
Dua hari kemudian, Darren berangkat ke Paris bersama Erick dan keluarga besar Alcander. Sementara itu Rafael Pradipta sang ayah mendengar kabar keberangkatan putra sulungnya dari Anthony Alcander, sahabat baik yang juga ayah dari Erick.
***
INDEX
NEW
Komen +Ratting + Cendol
Diubah oleh dianmaya2002 11-11-2016 21:01
aripinastiko612 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
34.4K
Kutip
197
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.5KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dianmaya2002
#171
Ada yang kangen sama Darren, Miccah, Paquito, Kisa?
sorry ya buat hiatus dadakan XD
ini balik lagi mau posting cerita...
mudah - mudahan pada suka...
sorry ya buat hiatus dadakan XD
ini balik lagi mau posting cerita...
mudah - mudahan pada suka...
(14) Kak... Main Yuk! #1
Spoiler for read:
Seperti biasanya, Darren dan Miccah melewatkan malam harinya dengan shift malam sebagai pengawas cctv. Tapi hari ini ada yang berbeda, mereka berdua ditugasi oleh Mr. Lumiere untuk memasang kamera cctv di kantor manajemen Hotel La Chandelier yang baru saja selesai direnovasi. Jadi sekarang Chen dan Evra yang harus duduk dikursi panas hingga pagi menjelang. Mengawasi setiap sudut hotel dari monitor yang tersambung kamera cctv yang tersebar diseluruh penjuru hotel.
"Aku lebih suka duduk berjam – jam didepan monitor daripada harus kerja lapangan seperti ini." keluh Miccah pada Darren yang tepat berada disebelahnya.
Darren hanya diam tanpa ada niat untuk menjawab pernyataan Miccah. Hingga akhirnya pintu lift terbuka. Mereka pun langsung memasukinya. Saat pintu lift hampir menutup, dari arah luar seorang wanita ber-sweater biru tua berteriak.
"Tunggu!"
Darren pun menekan tombol lift agar pintunya tidak tertutup. Wanita itu pun bergegas masuk ke dalam lift.
"Terimakasih banyak." Ujarnya pada Darren.
Wanita itu memperkenalkan dirinya dengan nama Sicilia De La Conchetta. Seorang karyawati yang menjabat sebagai admin human resource di hotel La Chandelier. Kebetulan tujuan mereka sama yaitu kantor manajemen.
"Jadi untuk apa kau ke kantor malam – malam begini?" tanya Miccah sambil memandangi wajah Sicilia yang manis.
"Ada pekerjaan yang harus ku selesaikan malam ini juga."
"Sepertinya kita berjodoh. Kami berdua juga akan pergi kesana untuk memasang kamera cctv."
Sicilia tersenyum singkat kearah Miccah sedangkan Darren hanya mendengus geli saat mendengar rayuan murahan yang keluar dari mulut Miccah. Bagi dirinya rayuan Miccah adalah aib bagi para lelaki. Harusnya Miccah bisa melontarkan rayuan yang lebih baik dari itu. Pantas saja partner kerjanya itu tetap single hingga detik ini. Wait! Sepertinya Darren tidak sadar bahwa dirinya pun sedang single.
Tidak beberapa lama mereka pun sampai di lantai dua dimana kantor manajemen berada. Mereka disambut dengan tulisan La Chandelier dengan ukuran besar berwarna keemasan yang menempel didinding berwarna putih. Disetiap sudut langit – langit terdapat lampu – lampu kecil bercahaya temaram yang menerangi koridor. Ruang karyawan ada di lorong sebelah kanan sedangkan lorong sebelah kiri mengarah ke sebuah pantry kecil, toilet dan ruang rapat direksi.
"Nona De la Conchetta apa kau tidak keberatan jika kami memasang kamera cctv di ruang karyawan dulu?" Ujar Darren padanya. "Kami tidak enak jika mengganggumu bekerja."
"Panggil aku Sissy. Tidak masalah Darren! Aku malah senang jika kalian berdua menemaniku." ujarnya sambil tersenyum.
Mereka berjalan bersama – sama ke lorong sebelah kanan dimana ruang karyawan berada. Mata Miccah sama sekali tidak dapat berpaling dari wajah manis Sissy. Namun gadis itu mengabaikannya dan sesekali melirik Darren yang berjalan disebelahnya dengan ekspresi cuek. Darren tahu jika dirinya sedang diperhatikan oleh wanita manis disebelahnya, dalam hati ia bersorak atas kemenangannya karena merasa unggul dari si pria berkulit hitam narsis bernama Miccah yang juga merupakan partner kerjanya.
Setelah memasuki ruang karyawan, Sissy langsung berjalan menuju kubikel miliknya, sibuk dengan layar monitor yang ada dihadapannya. Sedangkan Darren dan Miccah sudah berada disudut ruangan bersiap – siap memasang kamera cctv disudut langit – langit. Setelah mereka selesai memasang kamera cctv dikeempat sudut ruangan itu, akhirnya mereka pun pamit pada Sissy dan keluar dari ruangan itu.
Sissy POV
Setelah Darren dan Miccah keluar dari ruangan itu, Sissy tetap fokus menatap layar monitornya yang sekarang sedang menampilkan beberapa dokumen yang sedang ia periksa. Rencananya dokumen itu akan diserahkan oleh Miss Whitby keesokan harinya.
Ruangan itu menjadi sangat sunyi, hanya terdengar suara ketikan keyboard dari kubikel tempat Sissy duduk. Tidak ada yang aneh, sampai 15 menit kemudian Sissy mendengar suara AC dinyalakan.
TIT
Sissy menengadahkan kepalanya dan menatap AC yang terpasang tidak jauh dari kubikelnya. Lampu kecil merah menyala, pertanda bahwa AC itu aktif. Ia mengernyit heran, padahal daritadi AC itu mati dan dirinya juga tidak berniat untuk menyalakannya karena cuaca Paris yang saat itu sangat dingin karena salju sedang turun. Gadis itu tak ambil pusing, ia pun melangkah mengambil remote AC dan mematikannya. Lalu secepat kilat kembali fokus kembali pada monitor dihadapannya.
Tiba – tiba tumpukan kertas yang ada disebelahnya terjatuh tanpa sebab, tapi lagi – lagi Sissy tidak ambil pusing. Dengan cekatan ia mengambil kertas – kertas yang sudah terjatuh ke lantai dan membereskannya dengan cepat. Walaupun ia sempat heran karena ia tidak merasa menyenggol tumpukan kertas itu.
Kali ini ia dikagetkan oleh suara printer yang menyala seolah – olah ada orang yang sedang mengeprint. Sissy pun membalikkan badannya kearah mesin printer yang terletak tepat dibelakangnya. Printer itu menyala dengan kedipan lampu berwarna merah. Ia pun beranjak dari kubikelnya, berniat untuk mematikan printer itu.
"Sepertinya printer ini rusak." Ujarnya sambil menekan tombol off pada mesin itu.
Printer itu pun mati dan saat Sissy hendak membalikkan badan dan kembali ke kubikelnya, printer itu kembali menyala. Gadis itu berbalik dan melihat sebuah kertas yang kini bertuliskan 'KAK, MAIN YUK!' dengan tinta berwarna merah tebal yang masih basah. Kini gadis itu panik lalu mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan, mencari pelaku yang sedang mempermainkan dirinya. Tapi hasilnya nihil, tidak ada seorang pun disana selain dirinya.
Ia melangkah dengan cepat menuju kubikelnya, hendak memberesi semua barang – barangnya dan juga men-save data yang baru saja ia kerjakan. Sissy berusaha menenangkan dirinya dengan menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Tak lama kemudian, telepon yang ada dimeja kerjanya berbunyi dengan nyaring. Tangannya menggapai gagang telepon itu.
"Halo."
Tidak ada jawaban dari si penelepon hingga akhirnya Sissy meletakkan gagang telepon itu kembali. Selang beberapa detik telepon itu berdering kembali untuk kedua kalinya, ia pun mengangkatnya.
"Halo."
"..." tidak ada jawaban.
"Halo."
"..." Hening.
"TOLONG JANGAN PERMAINKAN SAYA!" bentak Sissy.
Saat hendak menjauhkan gagang telepon itu dari indera pendengarannya, tiba – tiba terdengar suara. Suara itu terdengar seperti suara anak kecil yang mengerikan.
Kak...
Main...
Yuk...
Saat mendengar suara itu, tubuh Sissy mematung. Ia merasakan bulu kuduknya meremang, lalu dengan kewarasan yang tersisa ia membanting gagang telepon itu. Sissy menggenggam tas yang ia bawa erat – erat dan berjalan menuju pintu dengan langkah cepat tapi sialnya pintu itu terkunci. Hampir 15 menit ia menggedor – gedor pintu itu dengan keras sambil berteriak memanggil Darren dan Miccah. Sialnya kedua pria itu tak kunjung datang untuk menolongnya.
Kini deringan telepon kembali terdengar bukan hanya satu telepon saja yang berdering tapi hampir semua telepon yang ada di ruangan itu berdering secara bersamaan. Beberapa printer kembali menyala menimbulkan suara ribut yang bersautan dengan deringan telepon. Sissy sangat ketakutan. Tangannya memerah karena menggedor pintu ruangan yang terkunci itu dengan sangat kuat. Tiba – tiba semuanya menjadi hening, tidak ada lagi suara deringan telepon maupun suara mesin printer yang menyala.
Suhu di ruangan itu mendadak menjadi semakin dingin membuat siapa saja yang merasakannya menggigil ketakutan. Keheningan seperti itu membuat Sissy merasakan sesuatu yang ganjil dan aneh. Entah mengapa ada sesuatu dibelakangnya yang membuatnya ingin berbalik. Belum sempat ia membalikkan tubuhnya, Sissy mendengar sebuah suara pelan yang sangat mengerikan.
Kak...
Main...
Yuk...
Lampu ruangan pun seketika itu padam, membuat gadis itu terisak ketakutan dengan tangan yang tak henti memukul pintu ruangan itu. Berharap seseorang menolongnya.
***
Darren POV
Darren dan Miccah yang telah selesai memasang kamera CCTV diruangan Sissy pun pamit untuk memasang kamera cctv lainnya di koridor dekat pantry. Darren merasakan sedikit perasaan tidak enak ketika harus meninggalkan Sissy didalam sana, tapi apa boleh buat ia dan Miccah juga harus menyelesaikan pekerjaannya.
"Sepertinya dia suka padamu Darren." ujar Miccah setelah mereka menjauh dari ruang karyawan. "Padahal jelas – jelas aku lebih tampan darimu."
"Tidak masalah jika kau lebih tampan dariku tapi yang jelas pesonaku lebih memikat jika dibandingkan denganmu." Jawab Darren sambil tertawa. "Sebaiknya kita bergegas mengerjakan pekerjaan kita. Jujur saja aku sedikit khawatir meninggalkan Sissy sendirian disana."
"Ohh so sweet... Ternyata kau pria yang romantis Darren."
"Shit Miccah! Bukan itu maksudku. Kau tahu kan jika hotel ini sangat mengerikan apalagi ketika malam tiba."
"STOP! Sebaiknya kita tidak membicarakannya saat ini."
Akhirnya mereka berdua pun sibuk memasang kamera cctv di sudut koridor yang dekat dengan pantry. Darren masih sibuk berdiri diatas tangga sedangkan Miccah dibawahnya memegangi tangga yang digunakan temannya itu agar tidak jatuh.
"Hey Darren, aku mau ke toilet sebentar. Nanti aku kembali." Ujarnya.
"Oke." Jawab Darren singkat tanpa memalingkan pandangannya pada Miccah sedikit pun.
Darren masih saja sibuk dengan kabel – kabel yang ada dihadapannya, sampai tiba – tiba ia merasakan ada seseorang yang menarik – narik bagian bawah celana panjangnya. Ia hanya berdecak sebal tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya.
"Apa lagi Miccah? Jangan mengangguku! Aku sedang konsentrasi."
Tarikan itu menghilang tapi sayangnya hanya sebentar. Seseorang yang dikira Miccah kembali menarik – narik celana panjannya. Darren pun mulai kesal dan akhirnya ia menunduk untuk memarahi Miccah, sayangnya kedua matanya tidak melihat satu orang pun ada disana. Sampai akhirnya ia sangat bingung, sebenarnya siapa yang menjahilinya.
"Tenang Darren! Tidak ada apa – apa! Selesaikan saja semua ini dengan cepat lalu kabur ke kafetaria." ujarnya menenangkan diri sendiri.
Ia pun kembali berkonsentrasi pada pekerjaannya sampai celana panjangnya kembali ditarik berulang kali. Dengan raut wajah kesal, Darren pun berniat untuk menghardik orang yang tengah mengerjainya dari tadi. Namun wajah kesalnya berubah menjadi raut ketakutan saat tahu jika yang daritadi mengerjainya adalah sesosok anak kecil berjenis kelamin perempuan dengan mata bolong yang berdarah – darah. Bibirnya menyunggingkan senyum yang membuat bulu kuduk Darren meremang seketika. Apalagi ditambah detak jantung yang tak beraturan.
Kak...
Main...
Yuk...
Suara hantu anak kecil itu membuatnya melompat dari tangga alumunium yang tingginya mencapai satu meter. Darren tidak peduli lagi dengan efek lompatan mendadak yang membuat kedua kakinya sedikit nyeri. Yang ada didalam pikirannya hanya satu yaitu pergi dari tempat itu sekarang juga. Persetan dengan Miccah yang masih belum kembali dari toilet.
Darren berlari menuju lift, menekan tombol lift dengan rasa panik agar pintunya cepat terbuka. Ketika pintu lift terbuka, sosok gadis kecil mengerikan itu tepat berdiri disana masih dengan matanya yang berlubang dan mengeluarkan darah. Dan lagi – lagi ia berkata, "Kak main yuk!"
Miccah POV
Cuaca dingin membuat Miccah tak dapat menahan kantung kemihnya yang telah penuh, hingga ia pun pamit kepada Darren untuk ke toilet. Sebenarnya selain ingin buang air kecil, Miccah juga ingin menghindari partner kerjanya itu. Ada sebersit rasa iri dalam hatinya, apalagi saat mengingat sosok Sissy, si gadis berwajah manis itu terang – terangan melirik Darren. Sesampainya di toilet, Miccah langsung menuju urinoir. Membuka retsleting celana panjangnya perlahan dan menunaikan hajatnya untuk buang air kecil sambil bersiul pelan. Miccah masih saja bersiul dengan suara yang lumayan nyaring hingga akhirnya indera pendengarannya menangkap suara siulan lain yang mengikuti suaranya. Kepalanya menoleh kebelakang tapi sayangnya tidak menemukan apa – apa. Suara siulan itu pun juga terhenti. Jadi Miccah berasumsi bahwa apa yang ia dengar hanya halusinasinya saja.
Ia pun kembali melanjutkan 'kegiatannya' sambil bersiul – siul dan sesekali menyenandungkan lagu absurd yang terlintas dikepalanya. Sekali lagi pria berkulit hitam itu dibuat terdiam karena mendengar siulan asing yang bukan berasal dari dirinya. Miccah jengkel karena 'me time' nya diganggu oleh orang asing yang menyebalkan. Akhirnya dengan terburu – buru ia menyudahi 'kegiatannya' dan beranjak dari urinoir, lalu berjalan untuk menghampiri suara siulan yang masih saja terus bergema di toilet itu. Tanpa ia sadar bahwa retsleting celana panjangnya masih terbuka dan memperlihatkan celana boxer-nya yang berwarna hitam.
Miccah berjalan menghampiri suara siulan itu yang ternyata berasal dari kubikel toilet paling ujung dengan langkah panjang. Sungguh ia tidak sabar untuk memaki pria sialan yang mengganggunya. Suara siulan itu semakin keras hingga membuat Miccah menggedor pintu kubikel toilet paling ujung.
"HEY MAN! TIDAK BISAKAH KAU DIAM!!!! KAU SUNGGUH MENGGANGGU BUNG!"
Miccah kembali menggedor pintu toilet itu hingga berguncang, berharap bahwa orang yang tidak sopan itu keluar dari sana, meminta maaf dan menghentikan siulannya yang menyebalkan itu. Sepuluh menit berlalu dan tak ada tanda – tanda orang itu akan keluar dari sana dan menghadapi kemarahan seorang Miccah.
"Baiklah jika kau tidak mau keluar. Aku tidak peduli!"
Miccah memilih pergi dari sana dan tidak menggubris orang aneh itu. Tapi baru satu langkah ia berjalan menjauhi kubikel toilet itu, tiba – tiba Miccah dikagetkan oleh suara pintu yang terbuka dengan sangat kencang.
"Hey Man! Tidak bisakah kau so..."
Pria berkulit itu terdiam ketika melihat sepotong tangan berlumuran darah tengah bergerak keluar dari dalam stall wc. Tangan berlumur darah itu seperti mencoba menarik dirinya keluar dari kubikel wc itu, sedangkan Miccah membeku begitu saja dengan mata yang tak beranjak dari sana. Jika kalian pernah melihat 'suster ngesot', penampakan ini hampir mirip dengan mahluk itu hanya saja seluruh tubuh hantu ini patah hingga si hantu menyeret tubuhnya yang terbaring di lantai toilet dengan susah payah hanya menggunakan salah satu tangannya. Hal ini membuat lantai toilet dipenuhi oleh jejak seretan darah.
Miccah melangkah mundur secara perlahan, ia tidak ingin hantu itu menyadari keberadaannya. Namun terlambat, dibalik rambut panjangnya yang lepek dan basah karena lumuran darah, sepasang mata nanar telah menangkap keberadaan Miccah. Sedetik kemudian, hantu wanita itu menyeret tubuhnya perlahan kearah Miccah yang sudah nyaris menangis karena ketakutan. Ia mundur secara perlahan kearah pintu toilet, sialnya Miccah jatuh terjerembab karena menginjak celana panjangnya sendiri yang lupa ia pakai dengan benar. Kini dirinya jatuh tertelungkup, tapi dengan cepat ia membalikkan tubuhnya. Kedua bola matanya terbelalak karena ketakutan dan kengerian yang ada dihadapannya.
Jarak antara dirinya dan hantu perempuan bersimbah darah itu sangat dekat. Salah satu tangannya yang tidak patah mulai menjangkau sepatu Miccah. Keringat dingin mulai keluar melalui pori – pori kulitnya. Ingin sekali ia berteriak tapi apa daya, ketakutan membuat seluruh tenaganya menghilang begitu saja. Malam mencekam itu adalah malam dimana ia kembali berdoa meminta pertolongan kepada Yang Maha Kuasa. Begitulah sifat dasar manusia, hanya mengingat Tuhan ketika sedang dilanda musibah.
Cengkeraman setan itu mulai menguat, tubuh berat Micah diseret menuju stall toilet paling ujung. Teriakan demi teriakan bernada sumpah serapah pun mulai keluar dari bibir pria itu. Ia harus hidup. Ia tidak mau berakhir mengenaskan menjadi hantu penunggu toilet pria bersama setan wanita mengerikan ini. Apa coba enaknya melihat sesama pria buang air kecil? Lagi pula dirinya kan straight, masih menyukai keindahan lekuk tubuh wanita. Kalau pun ia harus menjadi hantu, paling tidak ia ingin menghantui toilet wanita yang ada di pusat kebugaran alias gym.
"SHIT!!!"
Dengan sekuat tenaga, Miccah menendang hantu wanita cabul itu hingga terhempas dan membuat genggaman tangannya terlepas. Miccah berdiri dan mulai berlari menuju pintu toilet. Celana panjangnya sudah melorot hingga dengkul kakinya. Salah satu sifat buruk Miccah yang Darren benci adalah ia selalu saja lupa membenarkan celananya sehabis buang air kecil maupun buang air besar. Celana yang melorot itu membuat dirinya kembali jatuh terjerembab sedangkan hantu wanita menyeramkan itu kembali mendekatinya dengan cepat.
Kini hantu mengerikan dengan wajah rusak berlumur darah ditambah rambutnya yang basah hanya berjarak satu jengkal dari wajahnya. Miccah dapat melihat seringai mengerikan dari wajah hantu itu apalagi bau busuk yang menguar dari tubuhnya. Miccah menutup matanya sambil terisak pasrah, berharap ada seseorang yang menolongnya keluar dari situasi mengerikan ini.
To be Continue...
***
Note:
1. POV : Point of View / sudut pandang pelaku
Diubah oleh dianmaya2002 10-11-2016 12:11
0
Kutip
Balas