Part 103



Gua mengendarai Richard secara sembarangan, tak peduli dengan rambu rambu lalu lintas yang ada. Perasaan gua kacau, bayang bayang wajah Alisha masih terus menggelayut dikepala gua. Gua masih tak percaya kalau sekarang diantara kita sudah ada jarak yang begitu jauh. Ingatan gua kembali melayang, mengenang semua hal yang telah kita lewati bersama. Semua hal yang kini takkan pernah bisa terulang lagi. Kini takkan ada lagi seorang gadis yang menyapa gua dengan begitu manis saat gua baru masuk kelas, takkan ada lagi seorang wanita yang menemani gua menikmati secangkir kopi pahit disudut kantin, dan takkan ada lagi seorang malaikat yang dengan sukarela ngasih gua contekan saat tiba tiba ada ulangan mendadak.


Kita sudah sepakat untuk tak melanjutkan hubungan ini dan menganggap semuanya tak pernah terjadi. Disatu sisi, gua benar benar cinta sama dia. Tapi disisi lain, gua juga harus memikirkan kebahagiaan dia disana. Gua nggak mau semakin membebani pikirannya dengan hubungan yang arahnya gak jelas ini. Biarlah semua hanya menjadi kenangan yang tersimpan dimemori kita masing masing. Lagipula, bukankah cinta memang tak harus memiliki ?


Tapi terkadang gua bingung pada perasaan dan diri gua sendiri, bagaimana bisa sekarang gua merasa begitu terpukul padahal tadi gua terlihat sangat tenang. Bahkan gua juga yang menyemangati dan memotivasi Alisha supaya nggak sedih lagi dan menerima semuanya dengan ikhlas. Kenapa sekarang justru gua sendiri yang menyesal karena telah membiarkan dia pergi ? Entahlah, bibir gua memang selalu berkata kalau gua bisa melepasnya, bisa menerima semua yang telah terjadi, tapi tidak dengan hati gua. Jauh dilubuk hati yang paling dalam, gua masih nggak rela kalau harus berpisah darinya.


"woi anjing, kalo gak bisa nyetir motor mending naik odong odong aja lo"


Terlalu larut pada semua hal tentang Alisha membuat gua lupa akan kondisi jalanan yang sedang gua lewati. Hingga tak sadar kalau vespa yang gua kendarai hampir saja menabrak seorang pejalan kaki yang hendak menyeberang jalan. Untung saja lelaki itu masih sehat wal afiat. Gua benar benar belum siap dan nggak bisa bayangin gimana rasanya menggalau di hotel prodeo gara gara nabrak orang. Dan gua bersyukur, seenggaknya gua masih bisa sampai dikosan dengan selamat



Sesampainya dikosan, gua melihat Dhara sedang asik membaca sebuah majalah diteras rumahnya. Melihat gua datang, ia langsung berjalan menghampiri gua lalu mengomel dengan bawelnya.


"Irfaaan, lo darimana aja sih ?" omelnya. "gua daritadi nungguin lo tauu, mau ngajak jogging bareng. Kirain masih molor, gak taunya udah ngilang aja lo fan."


Gua yang masih belum ada mood untuk menanggapi ocehannya pun hanya membalas sekenanya.


"ajak aja tuh si Firman, ngapain capek capek nungguin gua ra."


"Firman lagi pulang kampung fan, emang lo darimana sih ?" tanyanya. "terus bekas lipstik siapa tuh dibibir lo ? Lo gak abis main gila sama bencong di pelabuhan kan ?"


"apaan sih lo ra, gak lucu tau. Udah ah gua mau masuk dulu." jawab gua sambil mencoba kembali berjalan menuju kosan. Namun dengan cepat tangannya meraih lengan gua.


"Eh fan, lo kenapa sih ? gak biasanya deh lo dingin gini."


Gua melepas pegangan tangannya dilengan gua. Menatap wajahnya sejenak lalu kembali bersuara.


"bukan urusan lo !" jawab gua sambil berlalu meninggalkannya.


Gua berjalan kedapur, memanaskan air kemudian menyeduh kopi hitam buatan nyokap yang gua bawa saat pulang kampung. Mungkin secangkir kopi ini bisa membuat gua sedikit lebih tenang.


Gua duduk sendirian diteras depan kosan sambil menikmati kopi hitam dan beberapa gorengan yang gua beli di warung depan. Minggu pagi gini kosan emang sering sepi. Carissa, Renata sama Adrian pasti masih di gereja. Sementara Ikbal, Iman, Andi dan lainnya masih pulang kerumahnya, mereka baru balik ke kosan sore harinya.


Aroma dan rasa kafein ini terasa begitu pas dilidah dan hidung gua, membuat mood gua perlahan mulai membaik. Dan sekarang gua mulai menyesali perbuatan gua tadi. Biar bagaimanapun juga, dia sahabat gua, nggak seharusnya gua bersikap kayak gitu pada Dhara.


"Kalau lo lagi ada masalah, cerita aja sama gua. Gua mungkin nggak bisa bikin lo ketawa, tapi gua bisa ikut menangis bareng elo fan."


Gua menoleh kearah sumber suara, lalu melihat Dhara sedang berjalan kearah gua sambil membawa segelas cappucino yang asapnya masih mengepul tipis.


"ayah pernah bilang fan, dengan bercerita kita bisa membagi luka yang kita rasain pada orang lain." ucapnya sembari mencoba duduk disebelah gua. "dan gua kesini supaya lo bisa membagi kesedihan yang lo rasain pada gua fan. Walau bagaimanapun, two is better than one. Masalah akan lebih cepat selesai kalau kita pecahin sama sama fan."


Gua menyeruput kopi yang ada didepan gua. Lalu mencoba berbicara padanya. "soal yang tadi, maafin gua ya ra. Nggak seharusnya gua bersikap kayak gitu sama lo."


Dia menepuk pundak gua. "santai aja fan, gua udah kenal sama lo dari kecil. Dan gua tau kok kalo lo bukan orang yang kayak gitu. Dan kalo kemudian lo bersikap kayak tadi, pasti lo lagi ada masalah." dia menghentikan ucapannya, lalu mengambil pisang goreng yang ada didepannya. "sama kayak dulu waktu gua ngerusakin mobil mobilan lo fan, satu minggu lo ngambek dan nggak mau main kerumah gua. ahaha."


"hahaha, masih inget aja lo ra."


"ahaha, ya masih inget lah. Terus sekarang apa yang bikin lo sedih fan ? siapa yang udah ngerusakin mobil mobilan lo ?"


Gua nggak langsung menjawab pertanyaannya. Menyeruput kopi dan kembali berfikir. Gua bukan tipe orang yang suka mencurahkan isi hati atau masalah yang gua alamin pada orang lain. Gua lebih sering memendamnya dan menyelesaikan semuanya sendiri. Tapi yang dikatain Dhara ada benarnya juga, masalah akan lebih cepat selesai jika kita pecahin sama sama.


"Alisha ra.." jawab gua lirih.


"kenapa sama Alisha fan ? lo udah nembak dia ?"


"udah.."


"terus ? lo ditolak ?" tanyanya lagi.


"enggak, justru dia udah lama suka sama gua ra.."


Dia menyeruput capucinonya yang sudah mulai agak dingin. "bagus dong, terus apa yang bikin lo sedih fan ?"


Gua menatap kejauhan, memandang kawanan burung yang sedang terbang dengan begitu tinggi. Seolah bebas dan bisa terbang kemanapun yang mereka mau.


"Barusan dia pindah ke Manado ra."


Dia nampak terkejut dengan kalimat yang baru saja gua ucapkan, hingga membuat cappucino yang masih ada didalam mulutnya sedikit menyembur.


"Lo serius fan ?"


"gak ada gunanya gua boong sama lo ra."


Dia mendekatkan tubuhnya, kini dia juga memandang jauh kearah burung burung yang sedang terbang kesana kemari. Lalu kembali menepuk pundak gua.


"Sebelumnya gua minta maaf ya fan kalo pertanyaan gua bikin lo makin sedih. Tapi menurut gua mending lo tumpahin semua kesedihan lo sekarang. Kalo lo mau nangis, silahkan lo nangis sampe puas hari ini. Tapi inget, besok lo harus jadi 'Irfan' lagi."


"...." gua masih terdiam mendengar kata katanya.


"Dulu, gua juga pernah ngalamin hal yang hampir mirip sama yang lo alamin sekarang fan. Waktu kecil gua gak terlalu punya banyak temen fan. Tapi gua punya seorang temen yang lumayan deket sama gua fan. Yah, walaupun dia laki laki dan gua selalu diajak main mainan anak cowok tapi gua seneng fan bisa main sama dia. Dia anaknya baik, kalo kalah taruhan suka beliin gua permen sama eskrim. Sementara kalo gua yang kalah gua bisa bebas ngadu ke ibu supaya gua gak harus bayar taruhannya, dulu dia baik banget fan sama gua. Tapi tiba tiba gua harus pindah kesini fan, ninggalin semua kebahagian yang ada disana. Jujur waktu itu gua sedih banget kalau harus pindah dari sana, termasuk harus ninggalin dia. Gua gak yakin apa disini gua akan ketemu lagi sama orang yang kayak dia. Tapi ayah selalu bilang kalau gua pasti akan ketemu dia lagi. Gua cuma disuruh berdoa supaya gua bisa ketemu dia lagi fan. dan lo tau, doa gua terkabul fan, justru sekarang dia yang nyamperin gua." jelasnya panjang lebar.


Dia menghabiskan sisa sisa cappucino yang masih ada digelas, lalu kemudian melanjutkan kata katanya. Sementara gua cuma diam sambil memperhatikan segala yang ia ucapkan.


"Percayalah fan, lo masih bisa ketemu sama dia lagi. Lo cuma harus berdoa, tuhan pasti denger semua doa lo. Dan kalaupun doa lo nggak terkabul, percayalah, rencana tuhan pasti lebih indah. Lo gak perlu larut pada kesedihan, sebenarnya perpisahan itu seperti dua sisi mata uang. Disatu sisi kita harus rela melepas seseorang yang telah lama ada dihidup kita, tapi disisi lain kita juga harus membuka diri untuk orang orang baru, untuk kenangan kenangan baru yang akan mereka beri. Percayalah fan, hidup lo nggak akan berhenti cuma karena dia pergi. Life must go on boy, with or without her..


Gua tersenyum mendengar semua kata katanya. Tak pernah menyangka kalau seseorang yang biasanya terlihat seperti anak kecil bisa berpikir sejauh itu, bisa berpikir sedewasa itu. Gua memperhatikan wajahnya, ia pun tersenyum setelah melihat gua mulai menampakkan senyum.


"makasih banget ya ra, gak rugi deh gua punya sahabat kayak elo. Udah cakep, perhatian, eh bisa jadi motivator juga ternyata." kata gua memujinya.


"ah apaan sih, lebay lo fan. Gua cuma bantuin lo sebisa gua aja kok."


"ohiya, sekarang gimana tuh kabar temen kecil yang lo ceritain tadi. Pasti sekarang dia makin ganteng kan ?" tanya gua mencoba memancing.


"Ah boro boro fan, justru dia malah makin blangsak. Sekarang dia jadi nyebelin, suka modus, gak jelas deh pokoknya. Nyesel gua udah berdoa supaya ketemu dia lagi. ahahaha." ucapnya sambil mencoba berlari, sementara gua mencoba melemparnya dengan cabe gorengan yang masih tersisa.


"hahaha sialan lo raa.." kata gua sembari tertawa.


Dhara bener, sekeras apapun gua mencoba atau segalau apapun gua memikirkan Alisha tetep takkan bisa merubah keadaan. Yang bisa gua lakukan sekarang hanyalah berdoa, semoga suatu hari nanti gua bisa bertemu dengannya lagi.

"Hahaha, eh berarti bekas lipstik dibibir lo itu kenang kenangan dari Alisha ya fan ?" tanya Dhara disela sela tawa kita.


"yaa gitu deh.." jawab gua.


"Cieee.. dan lo akan ngebiarin bekas bibirnya nempel terus dibibir lo gitu ?"


"Mungkin, kecuali lo mau bantuin ngehapus."


"Yaudah deh sini gua bantuin ngapus." katanya seraya mengambil selembar tissue yang letaknya tak jauh dari tempat kita duduk.


"tapi ngapusnya jangan pake tissue ra." gua menepis tangannya yang hendak mengusap bibir gua.


"terus ?" tanyanya dengan kening berkerut.


"pake bibir lo juga dong." kata gua ngasal.


Namun tanpa gua sangka kini wajahnya mulai mendekat. Dia kemudian membisikkan sesuatu ditelinga gua.


"pake apa Irfan sayaang ?" tanyanya dengan nada manja, kali ini wajahnya semakin dekat dari muka gua.


Jantung gua berdegup kencang, nafas gua mulai tak beraturan. Gua menatap sosoknya, kini wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari muka gua. Dengan gugup gua mencoba mengulangi kata kata yang tadi sempat gua ucapkan.


"Ppp... pa.. pake bib..."


Belum sempat gua menyelesaikan omongan gua, tiba tiba tangannya melayang dan langsung menerjang pipi gua.


PLLAAAKKK !!!