- Beranda
- Stories from the Heart
SAILENDRA TERAKHIR
...
TS
spv7hqfj
SAILENDRA TERAKHIR
WELCOME TO MY THREAD!

Setelah sekian lama disibukan oleh urusan perut dan segala urusan yang menyangkut "Tika", tiba-tiba saya ingin menulis lagi. Tetapi kali ini saya akan membuat cerita fiksi (fantasi). Jadi, mohon maaf jika ada yang tidak berkenan
Buat yang ngarep di cerita ini ada sosok cewek cantik seksi bahenol, saya mohon maaf 😂😂😂😂😝 wkowko wkowko
Saya tunggu respon kalian 😂
Dan jangan lupa buat "Rate and Share" ya?
Matur Nuwun
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/5805e3b4507410f7208b4567/2/baS E N S O R--macan-kumbang-hitam"]BAB I - MACAN KUMBANG HITAM[/URL]
BAB II -RAMBUT MERAH DAN PUTIH
BAB III - SYLVIA KINANTHI
BAB IV - ORANG ANEH

Setelah sekian lama disibukan oleh urusan perut dan segala urusan yang menyangkut "Tika", tiba-tiba saya ingin menulis lagi. Tetapi kali ini saya akan membuat cerita fiksi (fantasi). Jadi, mohon maaf jika ada yang tidak berkenan

Buat yang ngarep di cerita ini ada sosok cewek cantik seksi bahenol, saya mohon maaf 😂😂😂😂😝 wkowko wkowko
Saya tunggu respon kalian 😂
Dan jangan lupa buat "Rate and Share" ya?

Matur Nuwun

Spoiler for Prolog:
Tahun 1401
Pemberontakan berkobar di wilayah Tiongkok yang dikuasai oleh Dinasti Tang. Berjuta-juta korban meninggal berjatuhan. Tak hanya di pihak kerajaan, tetapi juga warga sipil yang tidak berdosa dan tak tahu apa-apa. Dengan alasan untuk kedamaian, kedua belah pihak saling membunuh.
Sampai saat ini, sejarah tidak mengetahui, jauh di selatan Tiongkok, secara bersamaan telah terjadi juga Perang antara para Dheva. Negara Sakha yang menaruh benci yang amat dalam tidak tahan lagi untuk tidak menghancurkan Negara Jhiwa— akhirnya memulai perang. Di mulai dengan terbunuhnya Menteri Kerajaan Jhiwa yang paling di hormati, I Halu, lalu tewasnya ribuan pasukan dari pihak Sakha maupun Jhiwa. Sampai akhirnya, hanya tersisa beberapa keluarga dan petinggi kerajaan, kedua belah pihak sepakat untuk menyudahi permusuhan mereka dan mengadakan perjanjian damai. Tetapi, dibalik itu semua, ada dua Dheva yang mengorbankan nyawa untuk perdamaian yang mereka berdua harap akan Abadi. Satu diantaranya bernama, Sailendra, Raja Jhiwa II.
Pemberontakan berkobar di wilayah Tiongkok yang dikuasai oleh Dinasti Tang. Berjuta-juta korban meninggal berjatuhan. Tak hanya di pihak kerajaan, tetapi juga warga sipil yang tidak berdosa dan tak tahu apa-apa. Dengan alasan untuk kedamaian, kedua belah pihak saling membunuh.
Sampai saat ini, sejarah tidak mengetahui, jauh di selatan Tiongkok, secara bersamaan telah terjadi juga Perang antara para Dheva. Negara Sakha yang menaruh benci yang amat dalam tidak tahan lagi untuk tidak menghancurkan Negara Jhiwa— akhirnya memulai perang. Di mulai dengan terbunuhnya Menteri Kerajaan Jhiwa yang paling di hormati, I Halu, lalu tewasnya ribuan pasukan dari pihak Sakha maupun Jhiwa. Sampai akhirnya, hanya tersisa beberapa keluarga dan petinggi kerajaan, kedua belah pihak sepakat untuk menyudahi permusuhan mereka dan mengadakan perjanjian damai. Tetapi, dibalik itu semua, ada dua Dheva yang mengorbankan nyawa untuk perdamaian yang mereka berdua harap akan Abadi. Satu diantaranya bernama, Sailendra, Raja Jhiwa II.
Spoiler for INDEX:
[URL="http://www.kaskus.co.id/show_post/5805e3b4507410f7208b4567/2/baS E N S O R--macan-kumbang-hitam"]BAB I - MACAN KUMBANG HITAM[/URL]
BAB II -RAMBUT MERAH DAN PUTIH
BAB III - SYLVIA KINANTHI
BAB IV - ORANG ANEH
Diubah oleh spv7hqfj 26-10-2016 14:14
anasabila memberi reputasi
1
4.9K
Kutip
31
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
spv7hqfj
#26
BAB IV - Orang Aneh
Quote:
Sylvia sedang berdiri diantara lemari rak buku yang tinggi berjejer. Melihat satu persatu buku yang terhampar di depannya. Sesekali ia melirik kekiri dan kekanan.
“Ku pikir, dia jauh lebih beruntung darimu,”Ebi sekilas memandang Galih,”tanpa wajahnya yang cantik, seisi sekolah pasti akan menganggapnya anak aneh—seperti dirimu.”
Galih tidak memperdulikan perkataan Ebi, ia sibuk mencari-cari buku pelajaran tentang Matematika, mungkin dengan membacanya akan berguna untuk pelajaran besok. Yah, walau bisa dibilang secara diam-diam ia melirik kearah orang yang dimaksud Ebi. Akhirnya, menemukan buku yang mereka cari, jika saja koran yang dibaca Ebi termasuk buku.
Beberapa hari kemudian,
Semua penghuni Panti Asuhan Wiroboyo dan termasuk pengurusnya, berkumpul di salah satu ruangan yang luas. Duduk berjejer di kursi yang tertata rapi mengelilingi meja besar. Tampak beberapa anak yang sudah tidak sabar menunggu Kepala Panti Asuhan memulai acara.
“Ayo semua, berdoa dulu sebelum sarapan.” Ajak seoarang wanita tua kurus, berwajah keriput. Tetapi senyumnya membuat anak-anak tampak nyaman. Ciri khas beliau adalah, konde yang selalu di pakainya sehari-hari. Kedua matanya yang sayu tampak di balik kacamata bulatnya.
Semua penghuni panti berdoa bersama, lalu bunyi gigi yang beradu dengan sendok yang masuk ke mulut masing-masing samar-samar terdengar bersautan. “Hayo anak-anak, kalau makan jangan bunyi mulut-nya, tidak sopan,” Kata wanita tua tadi, pelan namun berwibawa.
“Iya Bunda Hayati,” anak-anak menjawab serempak,”ayam gorengnya boleh satu lagi, Bunda?” tanya seorang anak berbadan gemuk, malu-malu.
“ah, dasar gembok polsek, makan terus yang selalu dipikirkan,” sahut temannya, diiringi tawa anak-anak yang lain.
“Eh, sudah—sudah, jangan berisik kalau sedang makan, ayo habiskan,” Bunda Hayati tersenyum kepada semua.
Selesai makan, mereka berdoa kembali, mengucap syukur karena masih diberi nikmat oleh Yang Maha Kuasa. Galih dan Tobi bergegas, tidak lupa sebelum itu ia berpamitan dengan Bunda Hayati.
“Galih berangkat dulu, Bunda,” bersalaman dan menempelkan punggung tangan Bunda Hayati ke kepala.
“Ebi juga, Bunda,” tidak mau kalah.
Di sepanjang perjalanan, beberapa kali Galih dan Ebi saling melempar canda. Misalnya saat Ebi dengan sengaja berjalan sedikit lebih lambat agar ia bisa berjalan di belakang temannya tersebut dan menjulurkan kaki-nya agar Galih tersandung.
Galih tidak mau kalah. Melihat Ebi yang berjalan sambil sibuk membaca komik, ia berjalan di depan Ebi dan dengan medadak berhenti—membuat Ebi kaget menabrak punggung Galih.
Sampai akhirnya Galih merasakan seusatu,”seperti ada yang berdiri di belakang kita,Ebi,” kata Galih pelan,”Ah, bukan apa-apa, Lupakan—lupakan.”
Ebi memandang aneh kearah Galih yang sepertinya mempercepat langkah kakinya. Ia menggelengkan kepala, lebih baik melanjutkan membaca komik. Tetapi,bulu kuduk Ebi tiba-tiba berdiri.
“TUNGGU WOY!!” teriak Ebi, mengejar Galih yang sudah terlihat jauh darinya.
--@&--
Ebi akhirnya bisa menyusul, tepat di Gerbang masuk sekolah. Nafasnya tersenggal senggal.
BRAKK!! Galih terjatuh, “Astaga Ebi!”
Ebi terkekeh, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal,”maaf sobat, tidak sengaja.”
Baju seragamnya yang sedikit kotor karena terjatuuh, berusaha ia bersihkan,”ada orang aneh diam-diam memperhatikan-ku,” bisik Galih. Disudut bangunan sekolah, ia menyadari ada seorang murid sedang memperhatikannya.
“siapa?”
“itu di pojok UKS”
Tetapi saat Galih ingin menunjukkan orang yang dimaksud, orang tersebut hilang. Detik berikutnya Galih sudah berlari, mengejar seseorang yang diam-diam memperhatikannya. “woy Galih, tunggu!” teriak Ebi.
Galih memberhentikan langkahnya tepat di pojok bangunan tempat orang mencurigakan tadi, orang yang ia kejar sudah menghilang entah kemana,” Sial!”
“Bilang dulu dong kalau mau lari,” gerutu Ebi yang mau tidak mau harus berlari lagi, nafasnya lagi-lagi tersenggal,”siapa sih?”
Galih melanjutkan langkah kakinya menuju kelas. “Siapa sih?” Ebi bertanya lagi, penasaran.
“Aku tidak tahu,” jawab Galih kesal, bercampur bingung. Orang yang ia lihat tadi, ya, orang yang diam-diam meperhatikan Galih diam-diam, secara sembunyi-sembunyi. Baru kali ini ia melihat orang berpakaian aneh di sekolah. Sempat ia berpikir bahwa orang tersebut adalah murid sekolah yang sedang ikut festival atau semacamnya, tetapi itu tidak mungkin, pikirnya. Gaya berpakaiannya belum pernah ia lihat sebelumnya, sungguh aneh.
--@@&--
“Oke anak-anak. Cukup untuk hari ini. Jangan lupa untuk mengerjakan PR kalian, minggu depan harus sudah selesai. Mengerti?” Pak Sanusi Guru bahasa indonesia melangkah pergi, keluar dari kelas yang baru saja ia ajar.
Tak butuh waktu lama, suara gaduh para murid kelas 10B terdengar hingga ke kelas sebelah. Sambil menunggu Guru berikutnya datang, beberapa murid mengeluarkan buku Matematika untuk dipelajari. Tak terkecuali Ebi.
“Galih, sepertinya anak-anak sudah terbiasa dengan rambutmu ya?” tanya Ebi tanpa menoleh kearah temannya, ia sibuk mengisi kuis Sudoku yang ada di koran harian edisi kemarin.
“yah, mungkin.” Jawab Galih singkat.
“kecuali si rambut perak.” Kata Ebi, masih sibuk dengan kuis Sudoku-nya.
“Ah, lagi-lagi rambut perak, aku sudah bosan Ebi.” Perlahan, diam-diam, Galih memundurkan bangkunya, agar bisa mengintip Sylvia yang berada di pojok belakang yang lain. Hanya sekejap, Galih sudah merubah posisi duduknya lagi ke awal.
“Benar kan?” tanya Ebi bangga.
“Mata—nya,” kata Galih gugup, baru saja ia bertatapan dengan Sylvia,”Huuh..” menarik nafas.
Untuk sesaat, Galih tidak tahu apa yang dia alami barusan. Jantungnya berdegup kencang, awalnya ia mengira ini adalah cinta, Oh mana mungkin? pikirnya. Tak masuk akal. Tapi jujur saja, seperti ada aura yang terpancar dari mata Sylvia saat tadi bertatapan. Sekali lagi, tifak mungkin, tidak mungkin begitu saja,”ada yang aneh dengan mata-nya,” gumam Galih.
Galih menyilangkan kedua tangannya dimeja, menjadikan mereka bantalan untuk kepala Galih. Ia ingin tidur sejenak. Matanya terpejam. Pikirannya kini berangsur-angsur terbang jauh entah kemana.
Bel tanda pulang berbunyi. Para murid berhamburan keluar kelas, sepanjang koridor penuh murid-murid yang berebut jalan, ingin cepat-cepat sampai kerumah, atau mungkin juga ingin cepat-cepat pergi dengan pasangannya masing-masing. Termasuk Galih dan Ebi, jika memang mereka layak di sebut pasangan.
Sudah seperti menjadi kewajiban bagi Galih dan Ebi untuk selalu bersama, di setiap ada Galih, disitu ada Ebi. Mereka memang sudah seperti saudara kandung. Sedari kecil selalu bersama, kedatangan mereka ke Panti untuk pertama kalinya juga hanya selisih beberapa hari. Galih yang ditinggalkan begitu saja oleh seseorang di depan pintu Panti asuhan, sedangkan Ebi datang sehari kemudian dititipkan oleh seorang wanita, seorang wanita yang memohon kepada Bunda hayati agara Ebi kecil bisa tinggal dan tumbuh besar menjadi anak yang sehat dan cerdas.
Galih Yudhistira. Nama tersebut dia dapatkan dari Bunda Hayati. Walaupun, bukan sepenuhnya beliau yang memberikan nama tersebut. Bunda Hayati hanya menemukan secarik surat yang ikut bersama Galih kecil, bertuliskan ‘Galih’. Nama Yudshitira beliau berikan kepada Galih, agar ia menjadi anak yang pintar, cerdas, bijaksana, dab segala kebaikan yang ada didalam diri seorang yang sempurna.
“Beli es dulu?” ajak Ebi, mereka berdua sudah berada di depan gerbang sekolah.
“Wah, baik sekali kamu Sobat,” Galih tersenyum licik, merangkul leher Ebi dari samping.
“Yah, sekali-kali aku yang traktir,” kata Ebi, membuka dompetnya yang tipis, memeriksa apakah masih ada uang yang cukup untuk mereka berdua.
“Ih, jijik,” kata seorang tiba-tiba. Seorang murid perempuan berbadan gemuk pendek. Wajahnya pun bulat, dilengkapi dengan leher yang tenggelam oleh lemak badannya. Ebi mengetahui perempuan tersebut, Tyas namanya, mereka sekelas.
Ebi sudah melangkah maju untuk memberi pelajaran kepada siswi tersebut. Tapi Galih menahannya,”sudah ah, diamkan saja, kita kan serasi?” kedua alis Galih terangkat dua kali, menatap mata Ebi.
“Ish, jijik!” balas Ebi, melepas tangan Galih yang sedari tadi melihgkar di lehernya. Emosinya teredam, wajahnya berubah merah merona malu karena Galih bersikap menjijikan menurutnya. Yah, apalagi kalau bukan karena mereka sama-sama lelaki.
“Tuh, es potong Bi,” kata Galih, menunjuk seorang pria tua penjual Es potong yang kebetulan lewat di depan mereka.
“Pas!” “Pak, berhenti!” teriak Ebi, padahal jaraknya dengan penjual Es sangatlah dekat. Ia berlari-lari kecil menghampiri penjual Es potong.
“Bi, lima ratusan aja ya?” Saat Ebi menoleh kearah Galih, temannya tersebut sudah tidak ada, entah kemana.
Hanya terlihat sekilas, beberapa detik, seseorang terlihat menyeberang jalan di depan sekolah. Tidak jauh dari situ tampak sebuah mobil sedan melaju dengan kecepatan tinggi, mobil tersebut mengarah ke si penyeberang jalan.
Dan hanya ada waktu beberapa detik juga, seseorang berlari kearah si penyeberang jalan, dan..
“Brakk!!”
“maaf, sakit ya?” tanya Galih
Perempuan di depannya tidak menjawab, kepalanya terasa sedikit pusing karena terbentur tanah. Segerombol orang berberondong berlari kearah Galih dan perempuan yang ia tolong. Mereka megelilingi Galih, penasaran ingin melihat apa yang terjadi setelah Galih menolong perempuan tersebut, ada apa tuh—ada apa tuh—ada apa tuh.
“Pangeran?” gumam lirih perempuan tersebut.
“Hah?” Galih bingung. Ebi tiba-tiba muncul menyeruak diantara orang-orang yang mengelilingi Galih,”BAWA KE RUMAH SAKIT! BAWA KERUMAH SAKIT!?” teriak Ebi panik.
“Galih!!!” perempuan yang ia tolong tiba-tiba sudah sadar, perempuan yang diketahui beberapa menit yang lalu mengatai Galih dan Ebi. Ya, perempuan tersebut adalah Tyas. “Galih, oh, Aku cinta kamu.”
Semua orang yang mendengar perkataan Tyas, terpana, kaget, shock, campur aduk. “Kabur—kabur.” Galih langsung berdiri, memecah germbolan orang-orang yang tadi mengelilinginya, tanpa menghiraukan Ebi.
“LARIIIIIII!!!!!” Galih berteriak keras, memberitahu Ebi dari jauh agar temannya tersebut lari.
Di sela-sela nafasnya yang tersenggal-senggal dalam pelarian, langkah kakinya sudah perlahan melambat, Galih berpikir, mengapa hari ini aneh sekali.
“Ku pikir, dia jauh lebih beruntung darimu,”Ebi sekilas memandang Galih,”tanpa wajahnya yang cantik, seisi sekolah pasti akan menganggapnya anak aneh—seperti dirimu.”
Galih tidak memperdulikan perkataan Ebi, ia sibuk mencari-cari buku pelajaran tentang Matematika, mungkin dengan membacanya akan berguna untuk pelajaran besok. Yah, walau bisa dibilang secara diam-diam ia melirik kearah orang yang dimaksud Ebi. Akhirnya, menemukan buku yang mereka cari, jika saja koran yang dibaca Ebi termasuk buku.
Beberapa hari kemudian,
Semua penghuni Panti Asuhan Wiroboyo dan termasuk pengurusnya, berkumpul di salah satu ruangan yang luas. Duduk berjejer di kursi yang tertata rapi mengelilingi meja besar. Tampak beberapa anak yang sudah tidak sabar menunggu Kepala Panti Asuhan memulai acara.
“Ayo semua, berdoa dulu sebelum sarapan.” Ajak seoarang wanita tua kurus, berwajah keriput. Tetapi senyumnya membuat anak-anak tampak nyaman. Ciri khas beliau adalah, konde yang selalu di pakainya sehari-hari. Kedua matanya yang sayu tampak di balik kacamata bulatnya.
Semua penghuni panti berdoa bersama, lalu bunyi gigi yang beradu dengan sendok yang masuk ke mulut masing-masing samar-samar terdengar bersautan. “Hayo anak-anak, kalau makan jangan bunyi mulut-nya, tidak sopan,” Kata wanita tua tadi, pelan namun berwibawa.
“Iya Bunda Hayati,” anak-anak menjawab serempak,”ayam gorengnya boleh satu lagi, Bunda?” tanya seorang anak berbadan gemuk, malu-malu.
“ah, dasar gembok polsek, makan terus yang selalu dipikirkan,” sahut temannya, diiringi tawa anak-anak yang lain.
“Eh, sudah—sudah, jangan berisik kalau sedang makan, ayo habiskan,” Bunda Hayati tersenyum kepada semua.
Selesai makan, mereka berdoa kembali, mengucap syukur karena masih diberi nikmat oleh Yang Maha Kuasa. Galih dan Tobi bergegas, tidak lupa sebelum itu ia berpamitan dengan Bunda Hayati.
“Galih berangkat dulu, Bunda,” bersalaman dan menempelkan punggung tangan Bunda Hayati ke kepala.
“Ebi juga, Bunda,” tidak mau kalah.
Di sepanjang perjalanan, beberapa kali Galih dan Ebi saling melempar canda. Misalnya saat Ebi dengan sengaja berjalan sedikit lebih lambat agar ia bisa berjalan di belakang temannya tersebut dan menjulurkan kaki-nya agar Galih tersandung.
Galih tidak mau kalah. Melihat Ebi yang berjalan sambil sibuk membaca komik, ia berjalan di depan Ebi dan dengan medadak berhenti—membuat Ebi kaget menabrak punggung Galih.
Sampai akhirnya Galih merasakan seusatu,”seperti ada yang berdiri di belakang kita,Ebi,” kata Galih pelan,”Ah, bukan apa-apa, Lupakan—lupakan.”
Ebi memandang aneh kearah Galih yang sepertinya mempercepat langkah kakinya. Ia menggelengkan kepala, lebih baik melanjutkan membaca komik. Tetapi,bulu kuduk Ebi tiba-tiba berdiri.
“TUNGGU WOY!!” teriak Ebi, mengejar Galih yang sudah terlihat jauh darinya.
--@&--
Ebi akhirnya bisa menyusul, tepat di Gerbang masuk sekolah. Nafasnya tersenggal senggal.
BRAKK!! Galih terjatuh, “Astaga Ebi!”
Ebi terkekeh, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal,”maaf sobat, tidak sengaja.”
Baju seragamnya yang sedikit kotor karena terjatuuh, berusaha ia bersihkan,”ada orang aneh diam-diam memperhatikan-ku,” bisik Galih. Disudut bangunan sekolah, ia menyadari ada seorang murid sedang memperhatikannya.
“siapa?”
“itu di pojok UKS”
Tetapi saat Galih ingin menunjukkan orang yang dimaksud, orang tersebut hilang. Detik berikutnya Galih sudah berlari, mengejar seseorang yang diam-diam memperhatikannya. “woy Galih, tunggu!” teriak Ebi.
Galih memberhentikan langkahnya tepat di pojok bangunan tempat orang mencurigakan tadi, orang yang ia kejar sudah menghilang entah kemana,” Sial!”
“Bilang dulu dong kalau mau lari,” gerutu Ebi yang mau tidak mau harus berlari lagi, nafasnya lagi-lagi tersenggal,”siapa sih?”
Galih melanjutkan langkah kakinya menuju kelas. “Siapa sih?” Ebi bertanya lagi, penasaran.
“Aku tidak tahu,” jawab Galih kesal, bercampur bingung. Orang yang ia lihat tadi, ya, orang yang diam-diam meperhatikan Galih diam-diam, secara sembunyi-sembunyi. Baru kali ini ia melihat orang berpakaian aneh di sekolah. Sempat ia berpikir bahwa orang tersebut adalah murid sekolah yang sedang ikut festival atau semacamnya, tetapi itu tidak mungkin, pikirnya. Gaya berpakaiannya belum pernah ia lihat sebelumnya, sungguh aneh.
--@@&--
“Oke anak-anak. Cukup untuk hari ini. Jangan lupa untuk mengerjakan PR kalian, minggu depan harus sudah selesai. Mengerti?” Pak Sanusi Guru bahasa indonesia melangkah pergi, keluar dari kelas yang baru saja ia ajar.
Tak butuh waktu lama, suara gaduh para murid kelas 10B terdengar hingga ke kelas sebelah. Sambil menunggu Guru berikutnya datang, beberapa murid mengeluarkan buku Matematika untuk dipelajari. Tak terkecuali Ebi.
“Galih, sepertinya anak-anak sudah terbiasa dengan rambutmu ya?” tanya Ebi tanpa menoleh kearah temannya, ia sibuk mengisi kuis Sudoku yang ada di koran harian edisi kemarin.
“yah, mungkin.” Jawab Galih singkat.
“kecuali si rambut perak.” Kata Ebi, masih sibuk dengan kuis Sudoku-nya.
“Ah, lagi-lagi rambut perak, aku sudah bosan Ebi.” Perlahan, diam-diam, Galih memundurkan bangkunya, agar bisa mengintip Sylvia yang berada di pojok belakang yang lain. Hanya sekejap, Galih sudah merubah posisi duduknya lagi ke awal.
“Benar kan?” tanya Ebi bangga.
“Mata—nya,” kata Galih gugup, baru saja ia bertatapan dengan Sylvia,”Huuh..” menarik nafas.
Untuk sesaat, Galih tidak tahu apa yang dia alami barusan. Jantungnya berdegup kencang, awalnya ia mengira ini adalah cinta, Oh mana mungkin? pikirnya. Tak masuk akal. Tapi jujur saja, seperti ada aura yang terpancar dari mata Sylvia saat tadi bertatapan. Sekali lagi, tifak mungkin, tidak mungkin begitu saja,”ada yang aneh dengan mata-nya,” gumam Galih.
Galih menyilangkan kedua tangannya dimeja, menjadikan mereka bantalan untuk kepala Galih. Ia ingin tidur sejenak. Matanya terpejam. Pikirannya kini berangsur-angsur terbang jauh entah kemana.
Bel tanda pulang berbunyi. Para murid berhamburan keluar kelas, sepanjang koridor penuh murid-murid yang berebut jalan, ingin cepat-cepat sampai kerumah, atau mungkin juga ingin cepat-cepat pergi dengan pasangannya masing-masing. Termasuk Galih dan Ebi, jika memang mereka layak di sebut pasangan.
Sudah seperti menjadi kewajiban bagi Galih dan Ebi untuk selalu bersama, di setiap ada Galih, disitu ada Ebi. Mereka memang sudah seperti saudara kandung. Sedari kecil selalu bersama, kedatangan mereka ke Panti untuk pertama kalinya juga hanya selisih beberapa hari. Galih yang ditinggalkan begitu saja oleh seseorang di depan pintu Panti asuhan, sedangkan Ebi datang sehari kemudian dititipkan oleh seorang wanita, seorang wanita yang memohon kepada Bunda hayati agara Ebi kecil bisa tinggal dan tumbuh besar menjadi anak yang sehat dan cerdas.
Galih Yudhistira. Nama tersebut dia dapatkan dari Bunda Hayati. Walaupun, bukan sepenuhnya beliau yang memberikan nama tersebut. Bunda Hayati hanya menemukan secarik surat yang ikut bersama Galih kecil, bertuliskan ‘Galih’. Nama Yudshitira beliau berikan kepada Galih, agar ia menjadi anak yang pintar, cerdas, bijaksana, dab segala kebaikan yang ada didalam diri seorang yang sempurna.
“Beli es dulu?” ajak Ebi, mereka berdua sudah berada di depan gerbang sekolah.
“Wah, baik sekali kamu Sobat,” Galih tersenyum licik, merangkul leher Ebi dari samping.
“Yah, sekali-kali aku yang traktir,” kata Ebi, membuka dompetnya yang tipis, memeriksa apakah masih ada uang yang cukup untuk mereka berdua.
“Ih, jijik,” kata seorang tiba-tiba. Seorang murid perempuan berbadan gemuk pendek. Wajahnya pun bulat, dilengkapi dengan leher yang tenggelam oleh lemak badannya. Ebi mengetahui perempuan tersebut, Tyas namanya, mereka sekelas.
Ebi sudah melangkah maju untuk memberi pelajaran kepada siswi tersebut. Tapi Galih menahannya,”sudah ah, diamkan saja, kita kan serasi?” kedua alis Galih terangkat dua kali, menatap mata Ebi.
“Ish, jijik!” balas Ebi, melepas tangan Galih yang sedari tadi melihgkar di lehernya. Emosinya teredam, wajahnya berubah merah merona malu karena Galih bersikap menjijikan menurutnya. Yah, apalagi kalau bukan karena mereka sama-sama lelaki.
“Tuh, es potong Bi,” kata Galih, menunjuk seorang pria tua penjual Es potong yang kebetulan lewat di depan mereka.
“Pas!” “Pak, berhenti!” teriak Ebi, padahal jaraknya dengan penjual Es sangatlah dekat. Ia berlari-lari kecil menghampiri penjual Es potong.
“Bi, lima ratusan aja ya?” Saat Ebi menoleh kearah Galih, temannya tersebut sudah tidak ada, entah kemana.
Hanya terlihat sekilas, beberapa detik, seseorang terlihat menyeberang jalan di depan sekolah. Tidak jauh dari situ tampak sebuah mobil sedan melaju dengan kecepatan tinggi, mobil tersebut mengarah ke si penyeberang jalan.
Dan hanya ada waktu beberapa detik juga, seseorang berlari kearah si penyeberang jalan, dan..
“Brakk!!”
“maaf, sakit ya?” tanya Galih
Perempuan di depannya tidak menjawab, kepalanya terasa sedikit pusing karena terbentur tanah. Segerombol orang berberondong berlari kearah Galih dan perempuan yang ia tolong. Mereka megelilingi Galih, penasaran ingin melihat apa yang terjadi setelah Galih menolong perempuan tersebut, ada apa tuh—ada apa tuh—ada apa tuh.
“Pangeran?” gumam lirih perempuan tersebut.
“Hah?” Galih bingung. Ebi tiba-tiba muncul menyeruak diantara orang-orang yang mengelilingi Galih,”BAWA KE RUMAH SAKIT! BAWA KERUMAH SAKIT!?” teriak Ebi panik.
“Galih!!!” perempuan yang ia tolong tiba-tiba sudah sadar, perempuan yang diketahui beberapa menit yang lalu mengatai Galih dan Ebi. Ya, perempuan tersebut adalah Tyas. “Galih, oh, Aku cinta kamu.”
Semua orang yang mendengar perkataan Tyas, terpana, kaget, shock, campur aduk. “Kabur—kabur.” Galih langsung berdiri, memecah germbolan orang-orang yang tadi mengelilinginya, tanpa menghiraukan Ebi.
“LARIIIIIII!!!!!” Galih berteriak keras, memberitahu Ebi dari jauh agar temannya tersebut lari.
Di sela-sela nafasnya yang tersenggal-senggal dalam pelarian, langkah kakinya sudah perlahan melambat, Galih berpikir, mengapa hari ini aneh sekali.
Diubah oleh spv7hqfj 25-10-2016 17:59
0
Kutip
Balas