- Beranda
- Stories from the Heart
Cinta Terakhir Yang Hilang Dari Bumi (Real Love Story)
...
TS
ceravime
Cinta Terakhir Yang Hilang Dari Bumi (Real Love Story)
Quote:
Kinan..
Rasanya berat sekali melepaskanmu, bukan karena kita berpisah, bukan karena raga kita harus menjauh. Tapi karena aku harus menjadi pria rapuh yang menyimpan semua cerita, semua kenangan yang tidak yakin bisa aku lepaskan sendirian. Semakin aku berusaha untuk melepasnya, semakin hari-hari manis itu membuat hatiku bertambah pahit. Kamu terlalu banyak mengambil rasa bahagiaku, hingga saat ini aku hanya bisa menikmati sisa-sisa bahagiaku, sendirian...
Sejak perpisahan kita, tanpa ada harapan lagi, aku memutuskan pergi jauh meninggalkan masa laluku dan menghilang dari hadapanmu. Aku selalu merasa hidupku akan lebih baik atau setidaknya kupaksakan untuk bisa lebih baik. Aku pikir dengan menciptakan kehidupan baru di tempat yang baru, akan membuatku mudah meninggalkan masa laluku, sekalipun 2 tahun di pengasingan belum terbukti bisa membuatmu hilang.
Membaca nama Kinan di surat itu membuatku merasa bahwa Tuhan akhirnya menjawab doaku. Memberiku penegasan untuk curahan hati yang selama dua tahun terakhir ini kusisipkan di setiap doa. Tentang bagaimana caraku melewati hari-hari tanpamu, tentang bagaimana sedihku sendiri dan seberapa hebatnya aku merindukanmu.
Dan untuk pertama kali dalam sendiriku disini, tiba-tiba aku bisa merasakan lagi pelukan yang selalu kau bagikan dan kecupan dari bibir hangatmu yang membangunkaku. Ya.. harapku, kamu akan menyadari perasaanmu, meyesali perpisahan yang kau buat dan lantas melepas kerinduan dengan cara yang romantis, sepucuk surat. . . .
Sudah kubayangkan dalam benakku segala pesan rindumu yang sengaja kau lepaskan lewat tulisan, sudah kubayangkan juga bagaimana aku akan membalas setiap kata-katamu nanti. Semua sudah terlintas dalam pikiranku bahwa kamu akan membujukku kembali dan meminta maaf untuk kesalahanmu yang "sempat" melukai hatiku sedalam ini.
Tapi di hari pertama aku memutuskan pergi, ada satu hal yang tidak pernah kamu ketahui, bahwa seribu kesalahanmu pun tidak akan pernah mendangkalkan perasaanku kepadamu, perasaan yang sudah kugali dalam dalam di hatiku.
Rasanya berat sekali melepaskanmu, bukan karena kita berpisah, bukan karena raga kita harus menjauh. Tapi karena aku harus menjadi pria rapuh yang menyimpan semua cerita, semua kenangan yang tidak yakin bisa aku lepaskan sendirian. Semakin aku berusaha untuk melepasnya, semakin hari-hari manis itu membuat hatiku bertambah pahit. Kamu terlalu banyak mengambil rasa bahagiaku, hingga saat ini aku hanya bisa menikmati sisa-sisa bahagiaku, sendirian...
Sejak perpisahan kita, tanpa ada harapan lagi, aku memutuskan pergi jauh meninggalkan masa laluku dan menghilang dari hadapanmu. Aku selalu merasa hidupku akan lebih baik atau setidaknya kupaksakan untuk bisa lebih baik. Aku pikir dengan menciptakan kehidupan baru di tempat yang baru, akan membuatku mudah meninggalkan masa laluku, sekalipun 2 tahun di pengasingan belum terbukti bisa membuatmu hilang.
Quote:
Membaca nama Kinan di surat itu membuatku merasa bahwa Tuhan akhirnya menjawab doaku. Memberiku penegasan untuk curahan hati yang selama dua tahun terakhir ini kusisipkan di setiap doa. Tentang bagaimana caraku melewati hari-hari tanpamu, tentang bagaimana sedihku sendiri dan seberapa hebatnya aku merindukanmu.
Dan untuk pertama kali dalam sendiriku disini, tiba-tiba aku bisa merasakan lagi pelukan yang selalu kau bagikan dan kecupan dari bibir hangatmu yang membangunkaku. Ya.. harapku, kamu akan menyadari perasaanmu, meyesali perpisahan yang kau buat dan lantas melepas kerinduan dengan cara yang romantis, sepucuk surat. . . .
Sudah kubayangkan dalam benakku segala pesan rindumu yang sengaja kau lepaskan lewat tulisan, sudah kubayangkan juga bagaimana aku akan membalas setiap kata-katamu nanti. Semua sudah terlintas dalam pikiranku bahwa kamu akan membujukku kembali dan meminta maaf untuk kesalahanmu yang "sempat" melukai hatiku sedalam ini.
Tapi di hari pertama aku memutuskan pergi, ada satu hal yang tidak pernah kamu ketahui, bahwa seribu kesalahanmu pun tidak akan pernah mendangkalkan perasaanku kepadamu, perasaan yang sudah kugali dalam dalam di hatiku.

Hai. . . .
Namaku Rio, seorang pria 28 tahun yang gagal beranjak dari masa lalu, hati yang terlanjur kubagikan membuatku seolah berjalan membelakangi masa depan. Sampai detik ini pun, masa laluku masih menjadi harapan yang "kupikir" bisa kuperbaiki, tanpa peduli betapa sakitnya membelah hati yang sedang tumbuh. Semoga saja disini aku bisa melepaskan satu persatu beban di setiap kenangan yang akan kuceritakan pada kalian. Sembari menjebakkan diri dalam nostalgia, akan kupendam semuanya disini di setiap bagian yang kutulis.
Salam dan terima kasih untuk apa yg kalian rasakan

Quote:
UPDATE pagi, trims buat atensinya
Diubah oleh ceravime 29-10-2016 18:46
anasabila memberi reputasi
1
12.3K
104
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ceravime
#59
PART 1.2
Setibanya di sekolah, aku langsung menghampiri beberapa kawan-kawanku yang sedang asyik dengan tebaran pesona mereka di kantin, pesona kepada gadis-gadis adik kelas yang sedang menunggu bel jam pertama berbunyi. Saat itu tidak seperti biasanya, aku memilih diam , mungkin karena ada gundah yang tersisa tentang bapak pagi ini. Dalam diamku, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dan mengambil tempat sempit di sebelahku.
" tumben pagi-pagi sudah pasang wajah datar bro?" tanya Fendi, teman sebangku ku sedari kelas XI,mempertanyakan lamunanku.
" memang biasanya nggak gini ya? padahal kamu juga tahu, aku selalu berusaha jadi cowok cool di sekolah" jawabku santai
" cool akut, malah terlihat anti cewek," sahut Fendi nyinyir
" iya yaa, belum lagi kita selalu jalan berdua bro?! bisa-bisa 2 tahun ini, sebenarnya gosip sudah menyebar bahwa kita pasangan gay," kataku lagi
" najis, misal gay juga. . . aku milih cowok kayak si Desta, kamu opsi terakhir," protes Fendi
" anj**g. . . kok pakai kata misal bro??" tanyaku sembari melepas tangannya yang dari tadi di pundakku
" lhaah, lo tau sendiri kalo satu geng lagi nongkrong rame-rame sama ceweknya, kita dapet jatah berpasangan melulu," ujarnya enteng
" boncengan berdua, makan sebelahan, sampe nonton aja kita sebelahan bro. . . masa nggak inget?" lanjutnya
" hahahaha. . .iya, dulu waktu study tour kita sampai bela-belain protes ke guru ya bro, gara-gara beda bis," kataku dengan tersenyum ringan
" naah itu tahu . . ." sahut Fendi seolah membenarkan kata-katanya tadi
" hahahaha. . . . amit-amit kalo gitu!" jawabku sambil menepuk nepuk kepala
" iya amit-amit juga, setelah ini aku mau move on, lepas dari bayang-bayangmu bro," Fendi ikut-ikutan menepuk nepuk kepalanya juga
" eh bro,ngomong-ngomong lamunin apa tadi?" tanya dia sekali lagi
" nggak ada bro. . . cuman memkirkan hari ini, hanya saja aku belum siap melewati besok, hari-hari tanpa kalian," jawabku
" tanpa Kinan juga?" Fendi tersenyum dan berdiri mengambil kue jajanan di kantin
" mungkin termasuk itu, rasanya belum lega jika selama 3 tahun hanya berstatus sebagai pemuja rahasianya," jawabku sambil menerawang jauh ke pohon tua di belakang sekolah.
" masih ada waktu hari ini, kalau sekedar menyapanya sambil basa-basi tanya tempat kuliah dia, aku dukung doa aja dari belakang sambil siap-siap kalau aja kamu pingsan di depan dia," saran Fendi setengah mengejekku, sambil mengunyah kue yang tadi dia ambil.
" hahahaha. . . gampang, nanti tinggal telepon ambulan," jawabku sambil tertawa
" wiih, mobil derek kali broo. . . hahaha, semangat!" kata Fendi menambahkan dengan mulut yang penuh.
" ya bro. . . kalau sempat," jawabku singkat
aku terdiam setelahnya, sambil menunggu Fendi manghabiskan potongan terakhir kuenya.
" sepertinya tidak akan sempat bro. . . toh jika gagal, ak berharap apapun yang terlewatkan tentang Kinan nanti, tidak akan sepenuhnya hilang. Cukup tertutup cerita yang baru. . . jadi aku bisa mengulanginya lagi kelak," ujarku di dalam hati
" hmm. . . sudah 3 tahun ya bro?" kataku mengalihkan obrolan
" yup, sudah 3 tahun dan rasanya baru beberapa minggu lalu kita duduk sebangku," jawab Fendi
" hahaha . . . mungkin karena kita tidak pernah benar-benar di kelas, aku tidur menunggu jam istirahat, sedangkan kamu selalu sibuk dengan buku gambar kecilmu" sahutku sambil mengingat kekonyolan kami berdua.
" iya, baru sadar bro . . . baru sadar ternyata kita malas, masih untung bisa lulus," Fendi berdiri dan mengambil 2 botol teh untuk kami.
" iya, benar-benar malas, aku masih ingat waktu kita mencontek di ujian sejarah, dengan tegang kubolak-balik buku catatan sejarahmu, mencari jawaban soal ujian yang ternyata tidak pernah kamu catat!" kenangku dulu
" nah, kamu kan sudah tau aku aku selalu foto kopi catatan punya Dhea," Fendi tertawa mengingatnya
dan ingatan konyol itu memecahkan tawa kami berdua.
Bel jam pertama berbunyi, dalam 5 menit kantin pun seketika sepi dari adik-adik kelas, beberapa kawan kelasku juga memilih bubar saat itu. Setelahnya, tanpa sengaja aku dan Fendi mendengar obrolan 3 orang jauh di belakang bangku yang kami duduki. Desta bersama kedua orang teman dekatnya, yang mungkin baru saja datang pagi itu.
" Des. . . tadi si Kinan anak bahasa keliatan beda ya hari ini?"seru Ivan, salah satu teman Desta
" beda?? maksudmu?" Tanya Desta
" hari ini tumben dia pake softlens, dan nggak ada rambut kuncir kudanya lagi," jawab Ivan
" masa?? biasa aja berarti. . . dulu aku pernah lihat dia waktu taeter sekolah manggung, dengan rambut tergerai dan tanpa kaca mata kecilnya," kata Desta meyakinkan
" iyaa itu. . . bener, aku juga pernah lihat. . . cantik ya Des?" Sahut Hendrik yang waktu itu melintasi kami, sembari membeli 3 botol minuman untuk mereka
" nggak, biasa aja . . .kalau kamu mau, aku ada nomor hapenya?!" Desta menjawab dengan nada datar yang angkuh
" sialan kamu des, kok bisa punya banyak nomor cewek gitu?" seru Ivan seolah tidak percaya
" aku nggak minta kok, seringnya mereka yang ngasih sendiri ke aku," jawab Desta lagi, masih sama dengan nada bicaranya yang selalu datar
" bweeeh. . . sombong!" Hendrik berkomentar sambil menaruh botol-botol tadi di meja
" hahahaha, nggak bro. . . dulu waktu pentas teater di acara lustrum sekolah, aku anterin si Kinan balik, sebagai imbalan aku minta aja nomornya," jelas Desta kepada dua temannya itu ( dan untukku juga, menurutku . . .)
" kamu deketin Kinan juga?" tanya Ivan penasaran
" nggak. . . masih ada Winda waktu itu, lagian dia nggak cakep-cakep amat," Desta menjawab enteng
Sementara itu, pikiranku melayang membentuk sosok Kinan dan Winda. Sekeras apapun aku membandingkan mereka, bagiku tetap Kinan yang tercantik. Winda tidak pernah semenarik Kinan, sekalipun pria-pria selevel Desta selalu memujanya. Kasihan memang. . . dibalik eksistensi wanita populer seperti Winda, ada hal yang tereksploitasi di dalam dirinya.
" tapi juga nggak ada yang tahu setelah ini, mungkin saja. . ." Desta menambahkan lagi kalimat yang (mungkin) berarti sangat dalam bagiku saat ini.
" sombong lagi, udah lah. . . makan aja sendiri nomornya, nggak jadi deh minta sama kamu des!" seru Ivan dengan sewotnya.
Aku hanya terdiam dan sesekali Fendi menatapku layu. Ternyata Kinan (pernah) hampir sangat dekat dengan Desta. Sekalipun apa yang kudengar menegaskan bahwa tidak ada hal yang berlebihan antara Kinan dan Desta, tapi pikiranku meracau tidak karuan. Jangan-jangan tidak seperti yang kukira, jangan-jangan Kinan terbawa perasaan di malam itu dengan Desta, jangan- jangan Desta bohong dengan ucapannya tadi.
Aku iri, kenapa Desta semudah itu berdekatan dengan Kinan, sementara sampai sekarangpun semua tubuhku kaku jika ada Kinan, walau hanya sejangkauan mata melihatnya. Dia bisa membuat semua darahku seolah berhenti mengalir. . .
Aku masih terdiaam sendu, berusaha melawan setiap gerak pikiranku karena obrolan Desta dan teman-temannya tadi. Fendi pun juga terdiam, seperti memberiku waktu untuk meredakan kegundahanku. Sampai suara Bimo, ketua kelas kami berteriak dari kejauhan.
" cuuuuy. . . kumpul di kelas dulu woy!" teriakan Bimo melengking. Badan besar Bimo pun tidak bisa menutupi suaranya yang bagiku seperti ibu-ibu itu.
Kami berdua beranjak dan melangkah pelan menuju kelas. Sementara semua masih bergerak-gerak di pikiranku. Ada ketakutan yang aku tidak tahu berasal dari mana, namun seperti menusuk dadaku. Sampai akhirnya Fendi sedikit meredakannya
" bro. . . aku nggak jadi deh sama si Desta, dia playboy. . . mendingan tetap bersamamu saja," kata Fendi tiba-tiba, berusaha memecah diamku
" gila kamu bro. . ."
Dan sedikit suara yang walau berat, masih bisa kupaksakan keluar untuk tetap menertawakannya.
" tumben pagi-pagi sudah pasang wajah datar bro?" tanya Fendi, teman sebangku ku sedari kelas XI,mempertanyakan lamunanku.
" memang biasanya nggak gini ya? padahal kamu juga tahu, aku selalu berusaha jadi cowok cool di sekolah" jawabku santai
" cool akut, malah terlihat anti cewek," sahut Fendi nyinyir
" iya yaa, belum lagi kita selalu jalan berdua bro?! bisa-bisa 2 tahun ini, sebenarnya gosip sudah menyebar bahwa kita pasangan gay," kataku lagi
" najis, misal gay juga. . . aku milih cowok kayak si Desta, kamu opsi terakhir," protes Fendi
" anj**g. . . kok pakai kata misal bro??" tanyaku sembari melepas tangannya yang dari tadi di pundakku
" lhaah, lo tau sendiri kalo satu geng lagi nongkrong rame-rame sama ceweknya, kita dapet jatah berpasangan melulu," ujarnya enteng
" boncengan berdua, makan sebelahan, sampe nonton aja kita sebelahan bro. . . masa nggak inget?" lanjutnya
" hahahaha. . .iya, dulu waktu study tour kita sampai bela-belain protes ke guru ya bro, gara-gara beda bis," kataku dengan tersenyum ringan
" naah itu tahu . . ." sahut Fendi seolah membenarkan kata-katanya tadi
" hahahaha. . . . amit-amit kalo gitu!" jawabku sambil menepuk nepuk kepala
" iya amit-amit juga, setelah ini aku mau move on, lepas dari bayang-bayangmu bro," Fendi ikut-ikutan menepuk nepuk kepalanya juga
" eh bro,ngomong-ngomong lamunin apa tadi?" tanya dia sekali lagi
" nggak ada bro. . . cuman memkirkan hari ini, hanya saja aku belum siap melewati besok, hari-hari tanpa kalian," jawabku
" tanpa Kinan juga?" Fendi tersenyum dan berdiri mengambil kue jajanan di kantin
" mungkin termasuk itu, rasanya belum lega jika selama 3 tahun hanya berstatus sebagai pemuja rahasianya," jawabku sambil menerawang jauh ke pohon tua di belakang sekolah.
" masih ada waktu hari ini, kalau sekedar menyapanya sambil basa-basi tanya tempat kuliah dia, aku dukung doa aja dari belakang sambil siap-siap kalau aja kamu pingsan di depan dia," saran Fendi setengah mengejekku, sambil mengunyah kue yang tadi dia ambil.
" hahahaha. . . gampang, nanti tinggal telepon ambulan," jawabku sambil tertawa
" wiih, mobil derek kali broo. . . hahaha, semangat!" kata Fendi menambahkan dengan mulut yang penuh.
" ya bro. . . kalau sempat," jawabku singkat
aku terdiam setelahnya, sambil menunggu Fendi manghabiskan potongan terakhir kuenya.
" sepertinya tidak akan sempat bro. . . toh jika gagal, ak berharap apapun yang terlewatkan tentang Kinan nanti, tidak akan sepenuhnya hilang. Cukup tertutup cerita yang baru. . . jadi aku bisa mengulanginya lagi kelak," ujarku di dalam hati
" hmm. . . sudah 3 tahun ya bro?" kataku mengalihkan obrolan
" yup, sudah 3 tahun dan rasanya baru beberapa minggu lalu kita duduk sebangku," jawab Fendi
" hahaha . . . mungkin karena kita tidak pernah benar-benar di kelas, aku tidur menunggu jam istirahat, sedangkan kamu selalu sibuk dengan buku gambar kecilmu" sahutku sambil mengingat kekonyolan kami berdua.
" iya, baru sadar bro . . . baru sadar ternyata kita malas, masih untung bisa lulus," Fendi berdiri dan mengambil 2 botol teh untuk kami.
" iya, benar-benar malas, aku masih ingat waktu kita mencontek di ujian sejarah, dengan tegang kubolak-balik buku catatan sejarahmu, mencari jawaban soal ujian yang ternyata tidak pernah kamu catat!" kenangku dulu
" nah, kamu kan sudah tau aku aku selalu foto kopi catatan punya Dhea," Fendi tertawa mengingatnya
dan ingatan konyol itu memecahkan tawa kami berdua.
***
Bel jam pertama berbunyi, dalam 5 menit kantin pun seketika sepi dari adik-adik kelas, beberapa kawan kelasku juga memilih bubar saat itu. Setelahnya, tanpa sengaja aku dan Fendi mendengar obrolan 3 orang jauh di belakang bangku yang kami duduki. Desta bersama kedua orang teman dekatnya, yang mungkin baru saja datang pagi itu.
" Des. . . tadi si Kinan anak bahasa keliatan beda ya hari ini?"seru Ivan, salah satu teman Desta
" beda?? maksudmu?" Tanya Desta
" hari ini tumben dia pake softlens, dan nggak ada rambut kuncir kudanya lagi," jawab Ivan
" masa?? biasa aja berarti. . . dulu aku pernah lihat dia waktu taeter sekolah manggung, dengan rambut tergerai dan tanpa kaca mata kecilnya," kata Desta meyakinkan
" iyaa itu. . . bener, aku juga pernah lihat. . . cantik ya Des?" Sahut Hendrik yang waktu itu melintasi kami, sembari membeli 3 botol minuman untuk mereka
" nggak, biasa aja . . .kalau kamu mau, aku ada nomor hapenya?!" Desta menjawab dengan nada datar yang angkuh
" sialan kamu des, kok bisa punya banyak nomor cewek gitu?" seru Ivan seolah tidak percaya
" aku nggak minta kok, seringnya mereka yang ngasih sendiri ke aku," jawab Desta lagi, masih sama dengan nada bicaranya yang selalu datar
" bweeeh. . . sombong!" Hendrik berkomentar sambil menaruh botol-botol tadi di meja
" hahahaha, nggak bro. . . dulu waktu pentas teater di acara lustrum sekolah, aku anterin si Kinan balik, sebagai imbalan aku minta aja nomornya," jelas Desta kepada dua temannya itu ( dan untukku juga, menurutku . . .)
" kamu deketin Kinan juga?" tanya Ivan penasaran
" nggak. . . masih ada Winda waktu itu, lagian dia nggak cakep-cakep amat," Desta menjawab enteng
Sementara itu, pikiranku melayang membentuk sosok Kinan dan Winda. Sekeras apapun aku membandingkan mereka, bagiku tetap Kinan yang tercantik. Winda tidak pernah semenarik Kinan, sekalipun pria-pria selevel Desta selalu memujanya. Kasihan memang. . . dibalik eksistensi wanita populer seperti Winda, ada hal yang tereksploitasi di dalam dirinya.
" tapi juga nggak ada yang tahu setelah ini, mungkin saja. . ." Desta menambahkan lagi kalimat yang (mungkin) berarti sangat dalam bagiku saat ini.
" sombong lagi, udah lah. . . makan aja sendiri nomornya, nggak jadi deh minta sama kamu des!" seru Ivan dengan sewotnya.
Aku hanya terdiam dan sesekali Fendi menatapku layu. Ternyata Kinan (pernah) hampir sangat dekat dengan Desta. Sekalipun apa yang kudengar menegaskan bahwa tidak ada hal yang berlebihan antara Kinan dan Desta, tapi pikiranku meracau tidak karuan. Jangan-jangan tidak seperti yang kukira, jangan-jangan Kinan terbawa perasaan di malam itu dengan Desta, jangan- jangan Desta bohong dengan ucapannya tadi.
Aku iri, kenapa Desta semudah itu berdekatan dengan Kinan, sementara sampai sekarangpun semua tubuhku kaku jika ada Kinan, walau hanya sejangkauan mata melihatnya. Dia bisa membuat semua darahku seolah berhenti mengalir. . .
Aku masih terdiaam sendu, berusaha melawan setiap gerak pikiranku karena obrolan Desta dan teman-temannya tadi. Fendi pun juga terdiam, seperti memberiku waktu untuk meredakan kegundahanku. Sampai suara Bimo, ketua kelas kami berteriak dari kejauhan.
" cuuuuy. . . kumpul di kelas dulu woy!" teriakan Bimo melengking. Badan besar Bimo pun tidak bisa menutupi suaranya yang bagiku seperti ibu-ibu itu.
Kami berdua beranjak dan melangkah pelan menuju kelas. Sementara semua masih bergerak-gerak di pikiranku. Ada ketakutan yang aku tidak tahu berasal dari mana, namun seperti menusuk dadaku. Sampai akhirnya Fendi sedikit meredakannya
" bro. . . aku nggak jadi deh sama si Desta, dia playboy. . . mendingan tetap bersamamu saja," kata Fendi tiba-tiba, berusaha memecah diamku
" gila kamu bro. . ."
Dan sedikit suara yang walau berat, masih bisa kupaksakan keluar untuk tetap menertawakannya.
Diubah oleh ceravime 29-10-2016 12:16
0