Urusan cemburu katanya naif, urusan cemburu juga alasan paling lumrah pasangan jadi bubar. Gua yang tadinya baik-baik aja kalo Marcella nonton bareng dengan teman-teman kantornya jadi menyesal. Menyesal karena membiarkan dia akhirnya pergi nonton, padahal mau di runut dari hak asasi manapun jelas gua belum punya hak untuk melarangnya pergi kemana dan dengan siapa. Tapi, perihal 'cinta' ya yang namanya Hak asasi jadi tenggelam. Kesel? jelas.

Penasaran apa yang diceritain Marcella ke si Bayu. Kok bisa bisa-nya Bayu bilang kalo hubungan gua dengan Marcella 'nggak baik-baik aja'. Gua terlalu naif kalo nggak percaya apa yang di bilang Bayu, tapi gua juga nggak mau over positif menghibur diri dengan menganggap Bayu cuma nyebar omong-kosong doang, padahal toh nyatanya memang hubungan gua dengan Marcella baik-baik aja, paling tidak begitu menurut gua. Nggak tau kalo dari sudut pandang Marcella, apa iya doi merasa kalo hubungan kita nggak baik-baik aja; Itu yang gua takutkan.

Gua duduk didalam ruang studio di kantor sambil memandang kosong ke arah jendela besar di depan gua, cahaya matahari yang kuat menembus kaca dan memantul pada lantai keramik berkilap didalam studio. Sayup terdengar suara klakson kendaraan yang menyelinap masuk melalui celah kecil dari pintu kaca geser yang menuju ke balkon, tempat teman-teman biasanya menghabiskan waktu untuk 'ngopi' sambil 'ngerokok' dikala sore hari menjelang magrib atau saat otak tak sedang bersahabat dengan pekerjaan. Suara langkah kaki berjalan cepat terdengar menghampiri gua, disusul tepukan cepat di bahu; "Bang.. mau mulai foto sekarang?" Daus bertanya gua sambil tersenyum. Gua membalas pertanyaanya dengan anggukan sambil tersenyum, Daus; seorang asisten fotografer yang gua nggak tau kenapa selalu bisa membawa suasana ceria di lingkungan sekitarnya. Dari cerita yang pernah gua denger, Daus itu yatim piatu sejak SD, pernah dagang koran untuk membiayai sekolahnya, sampai saat ini setau gua gaji yang doi terima kecil banget untuk ukuran standar hidup di Jakarta. Tapi, Daus nggak pernah keliatan sedih, selalu keliatan ceria dan seneng banget menghibur orang. Hidupnya keras, mirip dengan Marcella. Tapi, nggak sekalipun gua denger dia pernah mengeluh. Superb!

"Mau dimana bang?"Daus bertanya lagi, masih sambil mengumbar senyum.

"Di pojok aja.." gua menjawab sambil menunjuk ke arah studio satu yang terletak di pojok ruangan.

"Ngapa si bang, bengong aja gua peratiin dari setadi?"

"Gapapa..."

"Capek bang? sini gua pijetin.."

"Kagak.."

"Paling juga berantem sama ceweknya.." Sebuah suara muncul dari lorong yang menghubungkan antara Studio dengan ruang Editor. Dari tempat gua berdiri didepan pintu studio satu, memanjang sebuah lorong dengan lebar 1,5 meter, beralas karpet tebal, pada sisi dindingnya terdapat beberapa lukisan replika VanGogh dan poster-poster besar film-film fenomenal. Dari dalam studio 3, menyembul kepala si pemilik suara; Ilham.

"Cewe lu, bukannya di bawah bang.. samperin aja kalo ada masalah mah.." Daus bicara sambil telunjuknya mengarah kebawah.

Gua terdiam sejenak.

"Yauda.. lu setting lampu dulu, us.." Gua bicara ke Daus kemudian bergegas pergi.

Terdengan suara 'Lah..' pelan dari Daus.

---


Tuut.. tuut.. Gua menggenggam ponsel sangat dekat dengan wajah, sementara suara dari speaker yang sengaja gua keraskan menggema di seantero ruangan. Gua berada persis di depan kantor Marcella yang 'hanya' berjarak beberapa lantai dari kantor gua. Entah kenapa gua nggak bisa dengan tepat menyebutkan berapa perbedaan lantai antara kantor gua dengan kantornya Marcella yang notabene masih satu bangunan. Secara fisik, kantor gua dan Marcella hanya terpisah 6 lantai. Tapi, menurut penomoran yang tertera pada direktori di Loby utama gedung dan juga penomoran pada tombol-tombol lift, kantor gua dan Marcella terpaut 10 lantai. Mostly, gedung-gedung perkantoran, hotel, apartemen dan bangunan menjulang lainnya di Jakarta punya teknik penomoran yang (masih) menjunjung tinggi nilai-nilai Fengshui, angka sial dan keramat. Di bangunan tempat gua dan Marcella berkantor sekarang, nggak ada lantai dengan angka 13; yang punya kesan angka sial, nggak ada pula angka 4, 24, 34 dan 44; yang (menurut Fengshui, dari yang pernah dituturkan Marcella) angka 4 bukanlah angka Hoki.

"Halo.. kenapa rif?" suara Marcella terdengar di ujung telepon.

"Gua di depan kantor lu nih.." Gua menjawab singkat.

"Hah.. ada apaan?"

"Mo ngomong penting.."

"Bentar-bentar.." Marcella menjawab cepat dan nggak sampai hitungan menit dia terlihat keluar dari balik pintu dibalik kaca besar yang juga berfungsi sebagai pintu keluar masuk karyawan.

Begitu melihat gua, barulah Marcella memutuskan sambungan teleponnya. Wajahnya terlihat sumringah dan berseri-seri, senyum indah menghiasai wajahnya. "Kenapa? Kangen?"

Gua sedikit menjauh dari pintu kaca besar sambil menggandeng tangannya.

"Lu cerita apa aja ke si Bayu?" gua bertanya kepadanya sedikit berbisik.

"Hah? maksudnya?" Marcella balik bertanya ke gua.
Gua menghela nafas cepat, kemudian mulai menjelaskan perihal yang Bayu ceritakan ke gua tadi pagi mengenai hubungan kami. Sementara Marcella mendengarkan dengan seksama, sempat dia kedapatan tersenyum sambil memandangi gua saat bercerita. Sesekali gua menghentikan ucapan saat ada orang melintasi kami, takut pembicaraan seperti ini terdengar orang lain, Malu!

"Ya ampun, rif.. hal kayak gitu doang.. lu bela-bela-in turun kesini? Tadinya gua udah berasa seneng banget lu mau mampir ketemu gua karena kangen.. eh nggak taunya..."

"...." Gua hanya diam sambil mengangkat bahu, menunggu penjelasan dari Marcella.

"Nih denger ya.. kalo perlu rekam nih omongan gua... Gua nggak ada 'apa-apa', sama 'siapa-siapa', apalagi sama Bayu.. dan gua nggak pengen ada 'apa-apa' sama siapa-pun kecuali elu.." Marcella menjawab lantang, pada kata terakhir dia menunjuk dengan tangan ke arah gua.

"...." Lagi, gua hanya bisa terdiam.

"Waktu kita-kita nonton, gua bahkan nggak duduk deket sama Bayu, gua bahkan nggak ngobrol sama dia.."

"...."

"Kalo elu mau bukti, gua nggak punya... dan kalo elu mau saksi gua juga nggak ada... Tapi, coba lu pikir deh.. kalo pun gua mau selingkuh, gua nggak bakal milih si Bayu.." Marcella menmbahkan, kali ini telunjuknya mengarah ke kantornya di seberang sana.

"Oh.. " Gua menjawab singkat.

"Hah.. gitu doang reaksi lu.. cuma sebuah 'Oh'?.. lu bela-belain turun, nyamperin gua kesini, mempertanyakan kesetian gua dan setelah dapet penjelasan, cuma lu respon dengan sebuah 'Oh'... ? wow..!" Marcella tersenyum sambil meletakkan kedua tangan di atas kepalanya.

Secara harafiah gua jelas kurang puas dengan jawaban darinya. Kalaupun ini dibawa ke meja pengadilan dengan Marcella sebagai terdakwa-nya, alibi dia terlalu ringan dan jelas mudah dibantah oleh Jaksa penuntut umum yang mewakili gua. Tapi, perihal cinta nggak bisa disamakan sama kasus pidana atau perdata. Entah kenapa, cinta bisa bikin orang cemburu berat lalu dengan mudah luluh lantah hanya karena sebuah penjelasan yang pseudo. Aneh? memang.

Kali ini gua yang tersenyum. Lucu campur malu! menertawakan kelakuan gua sendiri yang begitu mudahnya terbakar cemburu.

"Udah?" Marcella bertanya.

Gua kembali menyunggingkan senyum.

"Gua udah bisa balik kerja lagi belum nih?" Marcella menambahkan.

"Iya.." Gua menjawab singkat.

Marcella berbalik kemudian berjalan menjauh, kembali ke arah muka kantornya. Sementara gua dengan segera, menekan tombol anak panah ke atas yang berada di sisi lift. "Ting" Suara speaker lift berbunyi, disusul pintu lift yang kemudian terbuka. Gua merangsek masuk kedalam lift yang saat itu cukup padat, namun sesaat sebelum pintu lift tertutup, sebuah panggilan terdengar dari arah kantor Marcella yang disusul suara derap kaki setengah berlari. Sontak gua menekan tombol lift agar tetap terbuka. Marcella muncul dimuka pintu lift yang terbuka, sesaat dia memandang ke arah kerumunan orang yang berada di dalam lift, pandangannya kemudian berakhir di gua, dia lalu berkata; "Rif, gua seneng deh kalo lu cemburu..." kemudian tersenyum, memasang pose paling manis yang dia punya. Sementara gua buru-buru menekan tombol agar pintu lift cepat-cepat tertutup. Begitu pintu lift tertutup, gua hanya bisa menahan malu, nggak berani memandang kedepan, kearah pintu lift yang memantulkan wajah gua dan kerumunan orang-orang di lift yang seakan-akan menertawakan gua didalam diam mereka. Damn! ini mungkin 6 atau 10 lantai paling laknat yang pernah gua rasakan.