- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah, gue mati aja
...
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Cover By: kakeksegalatahu
Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.
Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue


----------
----------
PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.
----------
Spoiler for QandA:
WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+
NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY
Spoiler for Ilustrasi:
Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#2597
PART 79
“Lo tau enggak kalo cewek-cewek disini liar?”
“Apa?”
Bentigo mendekatkan mulutnya ke telinga gue, “CEWEK DISINI LIAR!”
“Oh… iya liar,” kata gue. “Liar … maksud lo?”
“Iya, mereka garang kalo disini, mereka open-minded semua. Enggak ada yang fake, enggak kayak yang diluar sana,” jelas Bentigo. Mumpung disini, mending lo cari aja, ntar gue back-up.”
Back-up? Back-up apaan?! Dia mau bantuin cari cewek disini? Bentigo udah gila, jelas-jelas gue barusan ke rumah dia mau baikan lagi sama Grace. Gimana ceritanya dia jadi kayak gini?!
“Bo … boleh deh.”
Bentigo ketawa ngakak, “Gue kira bakalan lo tolak. Tunjuk gih yang mana.”
“Kalo yang itu gimana Ben?” ucap gue menunjuk seorang cewek.
“Boleh juga selera lo. Yaudah, lo tunggu disini.”
Sama kayak di film-film, orang di klub malam pada mabok semua. Gue ikutan mabok? Enggak. Gue bohongin Bentigo sama Pepy kalo gue ikutan minum juga, padahal sebenernya enggak. Dari awal masuk gue berusaha pura-pura ikutan minum, padahal yang gue minumin cuma tower birnya doang dan botolnya enggak gue sentuh sama sekali. Di table kita ada satu tower bir dan dua botol minuman yang asing banget bagi gue, mirip kayak koka-kola, tapi rada terang, mirip kayak koka-kola ketumpahan bayklin.
Tapi sehalus-halusnya paha ABG-ABG jaman sekarang, pasti suatu saat bakalan ada bisulnya juga. Pepy membawa seorang cewek ke table kita dan memperkenalkan gue dengan Angel. Enggak beda dari namanya, dia emang beneran kayak malaikat. Iya, malaikat cantik tanpa sayap yang datang ke tempat dugem. Dan Angel inilah yang bikin gue akhirnya menelan pahit-pahit gelas kecil berisi bensin itu, enggak, bukan bensin, itu alkohol.
“Angel, kenalin ini Dawi, temen gue baru pertama kesini,” kata Pepy.
Angel menatap gue tajam-tajam, “Serius baru pertama dugem?”
“Enggak! Gue udah sering! Malah seminggu sekali gue dugem kalo lagi bosen.”
“Sering naik ke floor juga?” tanya Angel menuang minuman layaknya bartender.
“Floor?” Gue manggut-manggut enggak jelas, “Oh, iya. Gue biasa kalo joget di depan DJ gitu. Malahan kalo enggak di atas gue enggak bakalan dapet feel-nya.”
Angel membagikan es batu ke tiap gelas, “Serius? Kok enggak pernah ketemu, ya?”
“Ya… kan tempatnya gelap, mana kelihatan.”
Tiab-tiba Pepy merangkul gue, “Angel tuh DJ lhoh disini, masa iya sih enggak pernah ketemu.”
Mampus! Ketahuan bohongnya gue. Mana mungkin dia enggak pernah melihat gue kalo gue joget di depan DJ padahal dia DJnya?! Gue harus cari cara buat bikin dia percaya dan gue juga harus secepatnya membungkam mulut Pepy biar dia enggak mancing-mancing gue buat bohong lagi.
“Anu … Gue kan—”
Angle menyodorkan gelas ke gue, “Mungkin beda hari kali, ya? waktu gue lagi off.”
“Bisa jadi! Bisa jadi!”
Angel mengangkat gelasnya tinggi-tinggi, sampe keteknya kelihatan, bulu halus berombak memenuhi area itu dan bau busuk mulai tersebar. Enggak, mana mungkn Angel keteknya bau busuk, pasti wangilah. Lagipula enggak setinggi itu juga dia angkat gelasnya.
Angel membenturkan gelasnya ke gue, “Tos!”
“I … iya, tos!”
GLEK!
Awalnya gue pikir minum alkohol bisa langsung bikin gue mabok enggak jelas kayak di film-film, tapi ternyata enggak, gue masih sadar setelah menelan alkohol. Gue kira alkohol bakalan pahit dan rasanya enggak enak kayak cerita-cerita yang gue denger, tapi ternyata, enak.
“Doyan enggak lo?” Pepy menaruh es batu di gelas gue, “Kalo enggak doyan, lo cemilin lagi aja birnya sampe kembung.”
“Cemilin bir? Maksud lo?”
“Lo pikir gue enggak tau kalo daritadi lo cuman minumin bir doang? Angel aja tau kalo lo belum nyenggol botol sama sekali.”
Angel ketawa cekikikan.
Kampret! Busted dua kali! Gimana ceritanya Pepy bisa tau?! Kan gelap, masa iya dia bisa lihat bedanya minuman dari botol sama bir? Apa jangan-jangan dia punya pengelihatan super? Tapi Angel? Kan dia baru gabung sama gue, masa dia juga punya pengelihatan super?
“Lo … punya pengelihatan super apa gimana sih, Pep?”
“Eh, si kampret, mana ada pengelihatan super. Lo nya aja yang bego masalah bohong.”
“Udah, gapapa, baru pertama kali juga kan, hehe.” Angel menuangkan botol ke gelas gue lagi, “Segelas lagi abis ini nge-floor depan DJ yuk!”
Jadilah malam ini tenggorokan gue diperjakain sama minuman beralkohol. Angel menarik gue menuju floor dan mulai memeluk gue. Awalnya gue rada canggung, tapi lama-kelamaan gue nikmatin juga. Iyalah, kapan lagi gue bisa joget bareng cewek cakep kayak Angel.
Juju, gue sebenernya bingung mau joget model apa. Gue mencoba beradaptasi dengan menirukan gaya yang lain, tapi hasinya, gue malah kelihatan kayak penonton dangdutan yang salah gaul.
Di floor gue enggak mungkin break dance, tempatnya rame banget, baru joget dikit bisa-bisa digebukin orang karena makan tempat. Apalagi kalo joget cappoera, kaki gue bisa nendangin orang satu kampung Kalo gue lakuin. Tapi akhirnya gue ada satu model joget yang menurut gue paling aman buat dipake di tempat dugem, Gangnam Style. Iya, gue Gangnam Style di depan DJ. Iya, gue sadar kalo beatnya enggak cocok, tapi mau gimana lagi, gue bisanya itu doang. Mas-mas DJ juga sempat heran nontonin gue Gangnam Style di depan dia, tapi akhirnya dia enggak memperdulikan gue.
Banyak orang yang nyenggol-nyenggol gue dan mengacungkan jempol ketika joget sama Angel. Bahkan beberapa dari mereka juga sempat bertanya, “Kenalan dari luar, Bro?”
Jelas aja gue menggeleng, gue kan baru kenal Angel di dalem, itu juga dikenalin sama Pepy.
Tapi, tanggapan mereka beda dari yang gue kira, “Wah, gila. Keren abis pasti sepiknya sampe bisa gaet DJ.”
Keren abis sepiknya bapak moyang lo, gue aja ketangkep basah bohong di depan dia dua kali.
“Lo mau ini enggak?” tanya Angel sambil menunjukkan sebutir pil.
Jelas aja gue geleng-geleng, baru juga pertama minum alkohol masa mau nelen ekstasi juga.
“Yaudah, turun yuk ke meja aja kalo gitu, gue capek,” ajak Angel sambil manyun.
Gue mengikuti Angel balik ke meja sesuai permintaan dia. Dan begitu sampai di dekat meja, Bentigo melambaikan tangan sambil tangan lain menggandeng cewek yang gue tunjuk di awal tadi.
“Wah, Dawi, baru juga dicariin temen. Eh, enggak taunya udah dapet sendiri,” kata Bentigo.
“Iya dong!” kata Angel. “Cowok kayak dia enggak bakal disia-siain, orangnya lucu lagi.”
“Oh, lucu ya? Kenalin deh kalo gitu, gue Mona,” ucap cewek yang digandeng Bentigo sambil mengulurkan tangan.
Belum jadi gue menjabat tangan Mona, Angel menjabat tangannya duluan, “Dia Dawi, malam ini dia sama gue. Lo besok-besok aja, dia sering kesini kok.”
“Really? Dawi anak lampu? Wow!” kata Bentigo lebay.
“Apa sih lo, lebay kampret.”
Gue duduk di tengah, diantara Mona dan Angel. Angel sama Mona ini sama-sama cantik, tapi bedanya, tangan Mona cuma muter-muterin gelas, sedangkan Angel, dia gandeng tangan gue. Angel gandeng tangan gue mulai dari turun floor, sampe Grace dateng. Iya, Grace dateng.
Grace memandang gue tajam-tajam, sempat terlihat dia kaget sewaktu tau gue juga ada disini. Mirip kayak abis lihat setan, iya, setan yang lagi digandeng malaikat.
“Grace…,” ucap gue pelan.
Pepy menarik tangan gue, “Lo ikut gue bentar.”
Pepy membawa gue ke toilet, sarang dimana banyak orang muntah-muntah.
Oeeek! WOOOEEK!
“Bentar, Pep, pelan-pelan aja,” ucap gue memegangi kepala. “Kepala gue rada pusing.”
“Bagus deh, biar lo enggak bisa jawab bohong lag,” sindir Pepy. “Sekarang lo jawab jujur sama gue. Lo ada rasa enggak sama Grace?”
“Hah?! Ada rasa? Maksud lo?”
“Si anjing masih belaga bego.”
“Tunggu, lo kenapa sih? Kok tiba-tiba lo jadi nanya gini? Lo mabok?”
Pepy menampar gue, “Lo tuh yang mabok. Gue tanya sekali lagi, lo suka enggak sama Grace?”
“Iya gue suka sama dia, kenapa? Lo juga suka sama dia?” tantang gue.
“Iya, anjing! Gue juga suka sama dia!” seru Pepy bikin kepala gue makin pusing.
“Lo serius, Pep?”
“Gue suka sama Grace dari awal gue kenal sama dia, dari waktu ospek fakultas! Gue berkali-kali coba deketin dia tapi gue cuma dianggap kakak gara-gara gue temenan sama Bentigo. Tapi sialnya kenapa lo yang juga temennya Bentigo bisa dianggap lebih sama dia?! Awalnya gue mulai rela dia deket sama temen baik gue sendiri, tapi begitu gue tau lo nyakitin dia, gue jadi ikutan sakit, anjing!”
Gue hanya terdiam mendengar kejujuran Pepy. Pikiran gue kemana-mana, berapa kali gue cerita soal Grace sama dia. Hampir tiap Grace kontak gue, dia pasti gue kasih tau. Tapi ternyata dia diem-diem juga suka sama Grace. Dia sampe segitunya sama Grace, sedangkan gue, yang jelas-jelas Grace suka malah bikin dia sakit hati.
Pepy memukul kepala gue tepat di depan tulang pipi. Gue yakin bakalan bengkak soalnya lumayan berasa padahal gue setengah sadar. Kampretnya sewaktu gue mau mukul balik, gue ditahan sama orang-orang di dalam toilet.
“Ngapain lo balik lagi nyariin dia kalo lo udah pernah nyakitin dia?! Lo pikir lo siapa sampe berani-beraninya balik lagi?!”
Sewaktu orang-orang yang megangin gue lengah, gue pukul perut Pepy pas di ulu hatinya.
“Anjing! Sakit bego!”
“Lo pikir gue enggak sakit?! Lo pikir gue enggak sakit apa denger kejujuran sahabat gue sendiri yang ternyata suka sama cewek yang gue juga suka tapi enggak pernah bilang kayak gini? Lo ini anggap gue temen atau apa?! Jawab gue, bangke!”
Pepy cuma melirik ke gue sambil memegangi perut bagian atas.
“Lo enggak tau gimana cerita aslinya tapi enggak nanya ke gue dulu malah langsung simpulin gitu aja, lo pikir enggak sakit?! Lo ini temen gue bukan?!” Gue mengangkat Pepy supaya dia berdiri lagi, “Gue kurang yakin sama perasaan gue sendiri! Dan waktu dia nembak gue itu posisinya gue udah punya cewek duluan! Iya, gue akuin kalo gue juga suka sama Grace! Gue suka sama Grace tapi gue belum yakin kalo gue sayang, makanya gue ngomong jujur sama dia! Gue enggak mau bohongin orang kalo masalah perasaan, bangke!”
Pepy yang tadinya kelihatan kesel sama gue akhirnya balik tenang lagi.
“Maafin gue, Wi.” Pepy mengulurkan tangannya, “Iya, lo temen gue. Gue ngaku salah udah nilai lo jelek padahal gue enggak ngerti posisi lo.”
“Gue maafin,” ucap gue sambil mengulurkan tangan gue.
Belum jadi tangan gue menjabat tangan dia, tiba-tiba satu tangan Pepy menarik tangan gue dan tangan yang lain memukul perut gue.
“Ini balasan buat yang barusan, sakit banget, kampret!”
Perut gue rasanya sakit banget, sesak.
“Wi, lo enggak kenapa-kenapa, kan? perasaan enggak jauh lebih kenceng dari pukulan lo," ucap Pepy panik.
Pepy membungkuk, mengintip raut muka gue.
OEEK! WOOOEEK!
“Anjing, gue dimuntahin!” Pepy mendorong gue.
“Bangke, barusan lo nonjok apaan, bego?!” keluh gue. “Perut gue mual malah lo tonjok.”
OEEK! WWOOOOOEEKK!
“Yah… Yah…. Bangke lo, Wi. Kena deh baju gue! Mana bau banget lagi!”
“Lo tau enggak kalo cewek-cewek disini liar?”
“Apa?”
Bentigo mendekatkan mulutnya ke telinga gue, “CEWEK DISINI LIAR!”
“Oh… iya liar,” kata gue. “Liar … maksud lo?”
“Iya, mereka garang kalo disini, mereka open-minded semua. Enggak ada yang fake, enggak kayak yang diluar sana,” jelas Bentigo. Mumpung disini, mending lo cari aja, ntar gue back-up.”
Back-up? Back-up apaan?! Dia mau bantuin cari cewek disini? Bentigo udah gila, jelas-jelas gue barusan ke rumah dia mau baikan lagi sama Grace. Gimana ceritanya dia jadi kayak gini?!
“Bo … boleh deh.”
Bentigo ketawa ngakak, “Gue kira bakalan lo tolak. Tunjuk gih yang mana.”
“Kalo yang itu gimana Ben?” ucap gue menunjuk seorang cewek.
“Boleh juga selera lo. Yaudah, lo tunggu disini.”
Sama kayak di film-film, orang di klub malam pada mabok semua. Gue ikutan mabok? Enggak. Gue bohongin Bentigo sama Pepy kalo gue ikutan minum juga, padahal sebenernya enggak. Dari awal masuk gue berusaha pura-pura ikutan minum, padahal yang gue minumin cuma tower birnya doang dan botolnya enggak gue sentuh sama sekali. Di table kita ada satu tower bir dan dua botol minuman yang asing banget bagi gue, mirip kayak koka-kola, tapi rada terang, mirip kayak koka-kola ketumpahan bayklin.
Tapi sehalus-halusnya paha ABG-ABG jaman sekarang, pasti suatu saat bakalan ada bisulnya juga. Pepy membawa seorang cewek ke table kita dan memperkenalkan gue dengan Angel. Enggak beda dari namanya, dia emang beneran kayak malaikat. Iya, malaikat cantik tanpa sayap yang datang ke tempat dugem. Dan Angel inilah yang bikin gue akhirnya menelan pahit-pahit gelas kecil berisi bensin itu, enggak, bukan bensin, itu alkohol.
“Angel, kenalin ini Dawi, temen gue baru pertama kesini,” kata Pepy.
Angel menatap gue tajam-tajam, “Serius baru pertama dugem?”
“Enggak! Gue udah sering! Malah seminggu sekali gue dugem kalo lagi bosen.”
“Sering naik ke floor juga?” tanya Angel menuang minuman layaknya bartender.
“Floor?” Gue manggut-manggut enggak jelas, “Oh, iya. Gue biasa kalo joget di depan DJ gitu. Malahan kalo enggak di atas gue enggak bakalan dapet feel-nya.”
Angel membagikan es batu ke tiap gelas, “Serius? Kok enggak pernah ketemu, ya?”
“Ya… kan tempatnya gelap, mana kelihatan.”
Tiab-tiba Pepy merangkul gue, “Angel tuh DJ lhoh disini, masa iya sih enggak pernah ketemu.”
Mampus! Ketahuan bohongnya gue. Mana mungkin dia enggak pernah melihat gue kalo gue joget di depan DJ padahal dia DJnya?! Gue harus cari cara buat bikin dia percaya dan gue juga harus secepatnya membungkam mulut Pepy biar dia enggak mancing-mancing gue buat bohong lagi.
“Anu … Gue kan—”
Angle menyodorkan gelas ke gue, “Mungkin beda hari kali, ya? waktu gue lagi off.”
“Bisa jadi! Bisa jadi!”
Angel mengangkat gelasnya tinggi-tinggi, sampe keteknya kelihatan, bulu halus berombak memenuhi area itu dan bau busuk mulai tersebar. Enggak, mana mungkn Angel keteknya bau busuk, pasti wangilah. Lagipula enggak setinggi itu juga dia angkat gelasnya.
Angel membenturkan gelasnya ke gue, “Tos!”
“I … iya, tos!”
GLEK!
Awalnya gue pikir minum alkohol bisa langsung bikin gue mabok enggak jelas kayak di film-film, tapi ternyata enggak, gue masih sadar setelah menelan alkohol. Gue kira alkohol bakalan pahit dan rasanya enggak enak kayak cerita-cerita yang gue denger, tapi ternyata, enak.
“Doyan enggak lo?” Pepy menaruh es batu di gelas gue, “Kalo enggak doyan, lo cemilin lagi aja birnya sampe kembung.”
“Cemilin bir? Maksud lo?”
“Lo pikir gue enggak tau kalo daritadi lo cuman minumin bir doang? Angel aja tau kalo lo belum nyenggol botol sama sekali.”
Angel ketawa cekikikan.
Kampret! Busted dua kali! Gimana ceritanya Pepy bisa tau?! Kan gelap, masa iya dia bisa lihat bedanya minuman dari botol sama bir? Apa jangan-jangan dia punya pengelihatan super? Tapi Angel? Kan dia baru gabung sama gue, masa dia juga punya pengelihatan super?
“Lo … punya pengelihatan super apa gimana sih, Pep?”
“Eh, si kampret, mana ada pengelihatan super. Lo nya aja yang bego masalah bohong.”
“Udah, gapapa, baru pertama kali juga kan, hehe.” Angel menuangkan botol ke gelas gue lagi, “Segelas lagi abis ini nge-floor depan DJ yuk!”
Jadilah malam ini tenggorokan gue diperjakain sama minuman beralkohol. Angel menarik gue menuju floor dan mulai memeluk gue. Awalnya gue rada canggung, tapi lama-kelamaan gue nikmatin juga. Iyalah, kapan lagi gue bisa joget bareng cewek cakep kayak Angel.
Juju, gue sebenernya bingung mau joget model apa. Gue mencoba beradaptasi dengan menirukan gaya yang lain, tapi hasinya, gue malah kelihatan kayak penonton dangdutan yang salah gaul.
Di floor gue enggak mungkin break dance, tempatnya rame banget, baru joget dikit bisa-bisa digebukin orang karena makan tempat. Apalagi kalo joget cappoera, kaki gue bisa nendangin orang satu kampung Kalo gue lakuin. Tapi akhirnya gue ada satu model joget yang menurut gue paling aman buat dipake di tempat dugem, Gangnam Style. Iya, gue Gangnam Style di depan DJ. Iya, gue sadar kalo beatnya enggak cocok, tapi mau gimana lagi, gue bisanya itu doang. Mas-mas DJ juga sempat heran nontonin gue Gangnam Style di depan dia, tapi akhirnya dia enggak memperdulikan gue.
Banyak orang yang nyenggol-nyenggol gue dan mengacungkan jempol ketika joget sama Angel. Bahkan beberapa dari mereka juga sempat bertanya, “Kenalan dari luar, Bro?”
Jelas aja gue menggeleng, gue kan baru kenal Angel di dalem, itu juga dikenalin sama Pepy.
Tapi, tanggapan mereka beda dari yang gue kira, “Wah, gila. Keren abis pasti sepiknya sampe bisa gaet DJ.”
Keren abis sepiknya bapak moyang lo, gue aja ketangkep basah bohong di depan dia dua kali.
“Lo mau ini enggak?” tanya Angel sambil menunjukkan sebutir pil.
Jelas aja gue geleng-geleng, baru juga pertama minum alkohol masa mau nelen ekstasi juga.
“Yaudah, turun yuk ke meja aja kalo gitu, gue capek,” ajak Angel sambil manyun.
Gue mengikuti Angel balik ke meja sesuai permintaan dia. Dan begitu sampai di dekat meja, Bentigo melambaikan tangan sambil tangan lain menggandeng cewek yang gue tunjuk di awal tadi.
“Wah, Dawi, baru juga dicariin temen. Eh, enggak taunya udah dapet sendiri,” kata Bentigo.
“Iya dong!” kata Angel. “Cowok kayak dia enggak bakal disia-siain, orangnya lucu lagi.”
“Oh, lucu ya? Kenalin deh kalo gitu, gue Mona,” ucap cewek yang digandeng Bentigo sambil mengulurkan tangan.
Belum jadi gue menjabat tangan Mona, Angel menjabat tangannya duluan, “Dia Dawi, malam ini dia sama gue. Lo besok-besok aja, dia sering kesini kok.”
“Really? Dawi anak lampu? Wow!” kata Bentigo lebay.
“Apa sih lo, lebay kampret.”
Gue duduk di tengah, diantara Mona dan Angel. Angel sama Mona ini sama-sama cantik, tapi bedanya, tangan Mona cuma muter-muterin gelas, sedangkan Angel, dia gandeng tangan gue. Angel gandeng tangan gue mulai dari turun floor, sampe Grace dateng. Iya, Grace dateng.
Grace memandang gue tajam-tajam, sempat terlihat dia kaget sewaktu tau gue juga ada disini. Mirip kayak abis lihat setan, iya, setan yang lagi digandeng malaikat.
“Grace…,” ucap gue pelan.
Pepy menarik tangan gue, “Lo ikut gue bentar.”
Pepy membawa gue ke toilet, sarang dimana banyak orang muntah-muntah.
Oeeek! WOOOEEK!
“Bentar, Pep, pelan-pelan aja,” ucap gue memegangi kepala. “Kepala gue rada pusing.”
“Bagus deh, biar lo enggak bisa jawab bohong lag,” sindir Pepy. “Sekarang lo jawab jujur sama gue. Lo ada rasa enggak sama Grace?”
“Hah?! Ada rasa? Maksud lo?”
“Si anjing masih belaga bego.”
“Tunggu, lo kenapa sih? Kok tiba-tiba lo jadi nanya gini? Lo mabok?”
Pepy menampar gue, “Lo tuh yang mabok. Gue tanya sekali lagi, lo suka enggak sama Grace?”
“Iya gue suka sama dia, kenapa? Lo juga suka sama dia?” tantang gue.
“Iya, anjing! Gue juga suka sama dia!” seru Pepy bikin kepala gue makin pusing.
“Lo serius, Pep?”
“Gue suka sama Grace dari awal gue kenal sama dia, dari waktu ospek fakultas! Gue berkali-kali coba deketin dia tapi gue cuma dianggap kakak gara-gara gue temenan sama Bentigo. Tapi sialnya kenapa lo yang juga temennya Bentigo bisa dianggap lebih sama dia?! Awalnya gue mulai rela dia deket sama temen baik gue sendiri, tapi begitu gue tau lo nyakitin dia, gue jadi ikutan sakit, anjing!”
Gue hanya terdiam mendengar kejujuran Pepy. Pikiran gue kemana-mana, berapa kali gue cerita soal Grace sama dia. Hampir tiap Grace kontak gue, dia pasti gue kasih tau. Tapi ternyata dia diem-diem juga suka sama Grace. Dia sampe segitunya sama Grace, sedangkan gue, yang jelas-jelas Grace suka malah bikin dia sakit hati.
Pepy memukul kepala gue tepat di depan tulang pipi. Gue yakin bakalan bengkak soalnya lumayan berasa padahal gue setengah sadar. Kampretnya sewaktu gue mau mukul balik, gue ditahan sama orang-orang di dalam toilet.
“Ngapain lo balik lagi nyariin dia kalo lo udah pernah nyakitin dia?! Lo pikir lo siapa sampe berani-beraninya balik lagi?!”
Sewaktu orang-orang yang megangin gue lengah, gue pukul perut Pepy pas di ulu hatinya.
“Anjing! Sakit bego!”
“Lo pikir gue enggak sakit?! Lo pikir gue enggak sakit apa denger kejujuran sahabat gue sendiri yang ternyata suka sama cewek yang gue juga suka tapi enggak pernah bilang kayak gini? Lo ini anggap gue temen atau apa?! Jawab gue, bangke!”
Pepy cuma melirik ke gue sambil memegangi perut bagian atas.
“Lo enggak tau gimana cerita aslinya tapi enggak nanya ke gue dulu malah langsung simpulin gitu aja, lo pikir enggak sakit?! Lo ini temen gue bukan?!” Gue mengangkat Pepy supaya dia berdiri lagi, “Gue kurang yakin sama perasaan gue sendiri! Dan waktu dia nembak gue itu posisinya gue udah punya cewek duluan! Iya, gue akuin kalo gue juga suka sama Grace! Gue suka sama Grace tapi gue belum yakin kalo gue sayang, makanya gue ngomong jujur sama dia! Gue enggak mau bohongin orang kalo masalah perasaan, bangke!”
Pepy yang tadinya kelihatan kesel sama gue akhirnya balik tenang lagi.
“Maafin gue, Wi.” Pepy mengulurkan tangannya, “Iya, lo temen gue. Gue ngaku salah udah nilai lo jelek padahal gue enggak ngerti posisi lo.”
“Gue maafin,” ucap gue sambil mengulurkan tangan gue.
Belum jadi tangan gue menjabat tangan dia, tiba-tiba satu tangan Pepy menarik tangan gue dan tangan yang lain memukul perut gue.
“Ini balasan buat yang barusan, sakit banget, kampret!”
Perut gue rasanya sakit banget, sesak.
“Wi, lo enggak kenapa-kenapa, kan? perasaan enggak jauh lebih kenceng dari pukulan lo," ucap Pepy panik.
Pepy membungkuk, mengintip raut muka gue.
OEEK! WOOOEEK!
“Anjing, gue dimuntahin!” Pepy mendorong gue.
“Bangke, barusan lo nonjok apaan, bego?!” keluh gue. “Perut gue mual malah lo tonjok.”
OEEK! WWOOOOOEEKK!
“Yah… Yah…. Bangke lo, Wi. Kena deh baju gue! Mana bau banget lagi!”
Diubah oleh dasadharma10 12-10-2016 09:05
0


