Part 9
Puncak Gunung Bromo saat ini belum tuntas digebah rentetan lidah halilintar sambung-menyambung. Bagi Dewa Halilintar, selama belum cukup warga persilatan menyaksikan kedigdayaan nya, hatinya belum cukup puas. Sampai saat itu, belum ada yang secara langsung hendak menantangnya mengadu kesaktian.
Sampai akhirnya, seorang anak muda yang umurnya tak jauh berbeda dengan Dewa Halilintar, tiba-tiba muncul di dekatnya seperti menggunakan kecepatan dedemit yang sulit ditangkap mata. Orang itu ternyata sama persis dengan pemuda yang mengaku sebagai si Pengumpul Ilmu pada Dewa Topan. Baik rambutnya, parasnya ataupun penampilannya.
Meski cukup kaget, Dewa Halilintar tak cukup jujur untuk mengakuinya. Malah dengan sinar kepongahan di wajahnya, ditatapnya tajam-tajam pemuda berpakaian kulit ular itu tanpa kesopanan.
“Siapa kau?! Berani benar mencari mati dengan mendatangiku?!”
Pemuda yang mengaku sebagai si Pengumpul Ilmu tersenyum samar. Tangannya bersidekap memperlihatkan kewibawaan. Lalu tiba-tiba pula dia menghilang kembali dari tempatnya berdiri. Mata Dewa Halilintar tak bisa mengikuti ke mana tamunya pergi. Gerak pemuda itu terlalu cepat untuk diikuti matanya, biarpun kelopak matanya dipaksa untuk terbelalak sekali pun. Belum lagi sempat Dewa Halilintar menduga kemana tamunya pergi, dari belakangnya tahu-tahu terdengar suara.
“Aku eyang gurumu.... Apa kau tak melihat lukisanku di mata kalung pemberian gurumu?”
Bukan main terkesiapnya Dewa Halilintar. Bukan hanya suaranya yang menyembul tiba-tiba di belakangnya, tapi juga karena suara itu mengaku sebagai eyang gurunya. Bergegas Dewa Halilintar menoleh secepat kilat. Begitu menghadap ke belakang, orang tadi sudah tidak ada lagi. Semua itu, perlahan membangkitkan ketegangan dalam diri pemuda berwajah beruk ini. Matanya seperti tak berani berkedip, takut-takut orang tadi muncul kembali di tempat lain. Benar saja! Seperti kemunculan pertama, kemunculan orang itu kali ini pun begitu mendadak. Dewa Halilintar tak tahu, bagaimana caranya orang itu sudah berada empat tombak di sampingnya.
“Katakan padaku, siapa kau sebenarnya?!” hardik Dewa Halilintar. Tentu saja hatinya mengkelap setelah merasa dipermainkan mentah mentah.
Lagi-lagi si tamu tersenyum samar.
“Bukankah sudah kukatakan kalau aku adalah eyang gurumu...,” jawab orang itu dular.
“Bajingan busuk! Mana sudi aku percaya begitu saja! Guruku saja sudah begitu tua. Dan kau malah mengaku-aku sebagai eyang guruku!” bentak Dewa Halilintar.
“Apa salahnya bila seorang awet muda?!”
“Tentu saja salah, selama dia mengaku sebagai guru besar dari si Dewa Halilintar!”
“He he he. Anak muda yang bodoh... Sudah bodoh, tinggi hati pula,” ledek pemuda berpakaian ular itu.
Mata Dewa Halilintar dipaksa mendelik dengan perkataan pemuda berpakaian kulit ular perak di depannya. Rahangnya mengeras, melahirkan bunyi bergemcluluk geram.
“berani-beraninya kau menghina calon penguasa dunia persilatan! Akan kubakar mulutmu dengan halilintarkul” sentak Dewa Halilintar meledak-ledak penuh ancaman.
Pemuda yang mengaku sebagai eyang guru ini menggeleng-gelengkan kepala mantap.
“Kau tak akan bisa menjadi penguasa dunia persilatan. Otakmu terlalu tumpul! Kalau kau ingin berhasil, dengarkan nasihatku! Eyang gurumu....”
“Peduli setan dengan semua bualanmu!” dengus Dewa Halilintar menerabas habis. Secepatnya diputar kembali senjata aneh berbentuk gada pendek berantai miliknya
Wuk! Wuk! Wuk!
“Sebentar lagi kau akan menyesal di neraka, karena telah berani mengaku-aku sebagai eyang guruku!”
Lalu....
Jlegar, jlegar!
Lidah halilintar mulai menjilat-jilat dari bandul senjatanya. Bagai ratusan tangan gurita laut berpendar menyilaukan mata! Salah satu lidah halilintar menerjang pemuda berpakaian kulit ular itu. Sinarnya membersit, seakan siap membelah bumi sekali pun. Namun orang yang menjadi sasarannya tak tampak hendak menghindar. Padahal kalau mau, tentu seluruh kemampuan kecepatannya yang sempat memperdaya Dewa Halilintar sudah dikerahkan.
Slash!
Telak! Cahaya berkekuatan petir raksasa itu menyergap tubuh korbannya. Tubuh orang itu sekejap berpijar seperti dikepung kekuatan halilintar ciptaan Dewa Halilintar. Tubuhnya tampak terdiam kaku, namun masih juga memperlihatkan ketenangan. Perlahan-lahan, sinar yang menyelubungi dirinya memupus, kemudian menghilang sama sekali.
“Percuma kau mempergunakan kesaktian halilintarmu untuk menyerangku. Bukankah sudah kukatakan, aku eyang gurumu. Ilmu yang didapat gurumu berasal dariku. Kalau kau mempergunakannya untuk menyerangku, sama saja memberikan mainan...,” papar pemuda berpakaian kulit ular.
“Aku tak percaya denganmu!” sentak Dewa Halilintar seolah hendak meyakinkan diri sendiri. Bagaimana mungkin seorang manusia tinggi hati seperti dia bisa dengan mudah percaya?
“Hiaaah, mampuslah kau!”
Berawal teriakan yang menyamai kesangaran salakan halilintarnya. Dewa Halilintar memutar kembali senjata andalannya. Sekali ini, dengan segenap pengerahan kemampuan yang dimiliki.
Jleguar. jleguarrr!
Sehimpun lidah halilintar menjilat, mengoyak langit. Menyusul satu bersitan cahaya menusuk mata menerjam pemuda berpakaian kulit ular. Lebih dahsyat daripada sebelumnya. Karena mungkin sambaran cahaya kali ini berkekuatan tiga puluh kali lebih dahsyat.
Slashhh!
Hanya desis panjang yang tercipta manakala kelebatan cahaya itu merangsak tubuh sasaran. Seperti pertama, lidah halilintar tersebut hanya seperti api yang diredam ke dalam kubangan air. Tubuh korbannya seperti menyerap sekaligus meredam begitu saja terjangan yang mampu mematangkan tiga ekor banteng lebih!
Sampai di situ, barulah mata Dewa Halilintar terbuka. Kalau kesaktian andalannya saja bisa diredam begitu mudah, dengan apa lagi bisa menghadapi kesaktian orang ini? Hatinya jadi kecut. Mungkin memang benar kata-kata pemuda berpakaian kulit ular itu.
Agak ragu, tangan Dewa Halilintar menjemput kalung pemberian gurunya yang selama ini tergantung di lehernya. Ketika membandingkan lukisan di sana dengan orang di depannya, barulah mulut jelek lelaki itu terbuka Semuanya begitu jelas dan persis. Lalu....
“Eyang.... Ampuni aku. Eyang Guru!” ujar Dewa Halilintar bergegas.
Bergegas pula lelaki muda berwajah beruk itu bersimpuh dengan kepala menunduk. Sementara Dewa Halilintar tidak memperhatikan apa-apa, pemuda yang mengaku sebagai si Pengumpul Ilmu tersenyum puas. Tapi tak cukup sampai di situ. Dari sinar matanya, terbetik suatu niat untuk menuntaskan kerjanya!
“Jadi sekarang, kau mau dengar kata-kataku? Kau ingin tahu. bagaimana agar benar-benar bisa menguasai dunia persilatan ini di bawah ketiakmu?” lanjut si Eyang berwajah muda.
Dewa Halilintar mengangguk.
“Bagus!”
“Apa yang mesti kulakukan Eyang Guru?” tanya Dewa Halilintar.’
“Tak banyak...”
Si Eyang berhenti sejenak. Dielus-elusnya dagu khusuk sekali.
“Kau tentu telah tahu kalau kau memiliki dua saudara kembar, bukan? Tak usah dijawab! Dua saudara kembarmu itu pun mewarisi dua kesaktian dariku. Kau menguasai aji ‘Halilintar’, sedang yang lain menguasai aji ‘Topan’, dan ‘Api....”
Kembali si Eyang terdiam. Sementara Dewa Halilintar tak berani menyela. Dia tetap tertunduk tepekur, seperti seekor ayam jantan pesakitan.
“Temuilah dua saudaramu segera. Permainan harus dihentikan! Segera! Kau dengar aku?! Segera...!” tandas si Eyang muda yang sebenarnya sama sekali tidak ada kepantasan untuk menerima sebutan itu. Karena memang wajahnya masih terlihat begitu muda.
“Setelah itu, Eyang?”
“Setelah itu.... Hm-hm-hm. Kau dan mereka harus berbagi kesaktian....”
Dewa Halilintar melengak. Kepalanya terangkat takut-takut.
“Maksud Eyang?” tanya lelaki berwajah bersih.
“Aku tak mau kalian meributkan, siapa di antara kalian yang pantas menjadi pemimpin! Kalian harus mempelajari ilmu masing-masing, agar semuanya memiliki kesaktian sama. Dengan begitu, tak perlu ada lagi yang meributkan, siapa yang paling sakti. Mengerti? Lagi pula, dengan begitu kalian akan menjadi tiga tokoh sakti yang tak terkalahkan. Apa kau tak tahu, bila ketiga kesaktian itu digabungkan menjadi satu, maka tak ada seorang tokoh pun bisa menandingimu“
“Jadi maksud Eyang...”
“Guoblok! Sudah kubilang tadi, kalian harus berbagi kesaktian! Masing-masing pihak harus mengajarkan ajian yang dimilikinya pada yang lain!”
“Tapi, bagaimana kalau mereka tidak menyetujuinya, Eyang?” bantah Dewa Halilintar, memberanikan diri.
“Kalau salah satu ada yang berani menolak perintahku, maka guru kalian akan menerima hukumanku. Dan kalau guru kalian menerima hukuman dariku akibat ulah kalian, maka cepat atau lambat kalian pun akan menerima hukuman amat berat dari mereka.... Mengerti?! Tidak usah dijawab!”
Mata si Eyang muda mendelik-delik seperti hendak melompat keluar sewaktu berbicara. Apalagi ketika Dewa Halilintar berani mengangkat kepala. Tampangnya lebih menyeramkan dari topeng barong. Itulah sebabnya Dewa Halilintar makin ciut saja
“Lagi pula.” tambah si Eyang.
“Kedua saudara kembarmu itu sudah pula kuberitahu. Mereka menyetujuinya. Entah kalau kau sendiri...”
“Tentu...! Tentu saja aku menyetujuinya, Eyang Guru!” sahut Dewa Halilintar bergegas.
Dewa Halilintar seakan begitu ngeri kalau eyang gurunya akan menelannya hidup-hidup. Bukankah menurut gurunya sendiri, eyang gurunya sudah bagai dewa. Setiap kali pemuda berwajah beruk ini berlatih dulu, gurunya selalu menyanjung-nyanjung nama besar si Pengumpul Ilmu bagai tak akan bisa bernapas kalau belum melakukannya.
“Nah, sekarang kau sudah mengerti apa belum?! Apa mesti kuulangi semua perkataanku sampai mulutku berbusa?!” bentak si Eyang.
Gaya bicara pemuda berbaju kulit ular itu sungguh bertolak belakang dengan penampilannya. Kalau penampilannya tampak muda, gaya bicaranya justru tampak seperti orang tua bangkotan kehilangan cangklong.
“Mengerti.... Mengerti sekali, Eyang Guru!” sahut Dewa Halilintar cepat.
“Kalau begitu, cepat temui mereka!” ujar Eyang. Koornya lebih kencang daripada kentut sekawanan dedemit.
Di akhir teriakannya, tubuh si Eyang muda lenyap begitu saja. Entah terbawa angin, entah pula tertelan bumi....
***
Satu purnama terlewati tanpa banyak basa-basi. Hari memang tak berniat uncang-uncang kaki sebentar pun. Dia terus menggiling usia manusia tanpa peduli. Siang itu, di ujung barat kaki Gunung Bromo, berjalan tiga orang yang berwajah serupa dengan arah berbeda. Satu ke barat, satu ke selatan, dan yang lain ke utara. Mereka rata-rata berperawakan gagah, layaknya seorang jawara dunia persilatan. Langkah-langkah mereka pun demikian ringan. Sayang, seribu kali sayang.... Ketiganya mengidap penyakit jiwa yang berbeda.
Lelaki yang berjalan keutara, terus saja tertawa terbahak-bahak bersambungan. Pada satu saat, tawanya meninggi hingga terpingkal-pingkal kalang-kabut. Perutnya sendiri dipegangi seraya berguling-guling di tanah. Sepertinya dia akan mati dalam tawanya. Sinting!
Lelaki yang menuju selatan lain lagi. Sambil berjalan membawa rantai berbandul batu berbentuk gada pendek, dia bernyanyi-nyanyi sepanjang jalan. Apa pun lagu di kepalanya, disenandungkan. Tak peduli enak didengar atau tidak. Tak peduli lagu anak-anak atau lagu orang jompo.
“Lenggang kangkung jalan menikung....
Minta uang, dikasih tepung....
Pak-tipuk-tipak-tipung:...
Kangkung-kangkung! Sayur bayem tempe bongkrek!”
Senandung itu terdengar ngalor-ngidul. Ya, lelaki berwajah beruk itu memang sinting!
Sedang seorang lagi, berjalan dengan wajah diliputi mendung. Tampak murung. Sesekali tangannya menggosok-gosok dua batang kayu kering. Ketika gosokan itu kian panas dan memercikkan api kecil..
“Api! Api...! Kebakaraaan...!”
Orang itu berteriak kacau balau. Ya, dia pun sinting! Mereka semua adalah Tiga Dewa yang telah temakan jebakan pendekar berotak encer, Pendekar Slebor. Seperti pernah diketahui pendekar muda itu, jika tiga kesaktian ‘Api’, ‘Halilintar’, dan ‘Topan’ disatukan, maka pemiliknya akan mengalami gangguan jiwa berat. Kalau si Pengumpul Ilmu yang begitu mandraguna saja masih bisa diganyang ilmu aneh itu, apalagi ketiga pemuda murid dari para muridnya!
Sementara itu, jauh di sebelah selatan tempat tersebut, Pendekar Slebor dan Pertapa Rakit yang semasa mudanya dikenal sebagai Pendekar Pengumpul Ilmu, berjalan sambil sesekali tertawa-tawa renyah. Tidak, mereka tidak ikut sinting! Mereka hanya menertawakan hidup yang demikian aneh. Terkadang, perjuangan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan pun bisa membuat mereka terlihat bodoh. Begitu kata Pertapa Rakit.
Bagaimana tidak bodoh kalau si tua bangkotan yang sebentar lagi masuk liang lahat itu sudi-sudinya dipermak dengan keahlian penyamaran Andika, untuk menjadi Pendekar Pengumpul Ilmu yang muda kembali! Ya! Orang tua itulah yang telah menemui Dewa Topan.
Sedangkan Andika yang juga menyamar sebagai Pendekar Pengumpul Ilmu, menemui Dewa Halilintar. Bukankah mukjizat buah ‘Inti Petir’ dalam dirinya mampu menyerap hujanan petir dari langit? Apalagi sekadar kekuatan halilintar ciptaan senjata Dewa Halilintar.... Tapi. entah bila Pendekar Slebor sendiri dikeroyok oleh Tiga Dewa dengan ilmu masing-masing. Untung saja, Andika hanya menghadapi salah seorang yakni Dewa Halilintar. Tambahan lagi, masalah halilintar sepertinya sudah bagian hidup Pendekar Slebor sehari-hari. Demikian pula bagi si Pertapa Rakit. Sebagai orang yang dulu memiliki tiga kesaktian itu sekaligus, rasanya mudah bila untuk melumpuhkan salah satu ilmu itu. Ilmu ‘Angin Menggila’ milik Dewa Topan.
“Untung saja kau cepat menemui Dewa Api. Kalau tidak, tentu dia akan makin banyak meminta korban. Dasar tukang tabun! Sembarangan saja membakar perguruan orang!” kata Andika pada lelaki tua sahabat buyutnya.
Pertapa Rakit di sisinya menatap Andika dengan sinar mata terheran-heran mendengar perkataan barusan.
“Lho? Bukankah justru kau yang cepat menemui Dewa Api?” orang tua itu balik bertanya dengan alis putih samar bertaut.
Giliran Andika yang menatap Pertapa Rakit terheran - heran.
“Aku tidak,” jawab Andika.
“Aku pun juga tidak,” timpal Pertapa Rakit.
Mereka kini sama-sama menatap bingung. Lalu, siapa yang telah menyamar sebagai Pendekar Pengumpul Ilmu muda yang menemui Dewa Api? Sesaat kemudian terdengar tawa nyaring, menyentak keterpanaan mereka.
“Siapa itu, Orang Tua?” tanya Andika.
Pertapa Rakit menyembulkan senyum kecil.
“Sahabatku. Tampaknya dialah yang telah menyamar untuk menemui Dewa Api...,” jawab Pertapa Kakit. enteng berbareng tarikan napas lega.
“Maksudmu, buyutku? Pendekar Lembah Kutukan?” Andika tercengang. Setahunya, si tua buyutnya telah mati.
“Tapi....”
“Tak perlu pakai tapi. Dia memang orang yang sulit dimengerti!” sergah Pertapa Rakit.
“Tapi....”
“Tak perlu bingung. Dia tak kalah cerdik denganmu, meski usianya sekeropos aku!”
“Tapi...,” Andika kehabisan kata-kata.
Serial Pendekar Slebor selanjutnya: UNDANGAN RATU MESIR