Part 6
Di batas cakrawala sebelah barat, matahari telah terkapar. Sinarnya menjadi kuning matang kemerahan. Lembayung tak merata di atas sana. Pendekar Slebor bersama Penggerutu Berkepang telah tiba di tempat yang dituju. Sebuah muara sungai, di bibir selat kecil yang dipenuhi pepohonan bakau liar.
“Rasanya kita telah sampai,” kata Penggerutu Berkepang pada Andika yang masih cukup rapuh dalam papahannya.
“Jadi, di sini dia akan menunggu?” tanya Andika.
Tentu saja yang dimaksud Andika adalah si Pertapa Rakit. Penggerutu Berkepang, memang diminta menyampaikan pesan pada Andika untuk menemui lelaki tua itu di muara sungai tersebut. Namun karena keadaan Andika, Penggerutu Berkepang sudi tak sudi mengantarkan juga. Hitung-hitung untuk balas jasa pada Pertapa Rakit, yang telah menolongnya dari cengkeraman racun ganas Dewa Topan.
“Kalau aku mengantarmu ke dasar laut, berarti di dasar laut si tua itu menunggu. Begitu juga kalau aku mengantarmu ke tempat ini.... Huuuh! Bagaimana kau ini?”
“Tapi aku belum melihat orang itu...,” goda Andika.
Sengaja Pendekar Slebor hendak membuat jengkel Penggerutu Berkepang. Gerutuan dan makian kelewatan lelaki itu ternyata bisa mengurangi sedikit rasa sakitnya.
“Terang saja dia belum datang! Bagaimana kau ini?!” semprot Penggerutu Berkepang lagi. Matanya mendelik-delik, seraya menepuk-nepuk baju gembelnya.
“Belum lagi berterimakasih, kau sudah secerewet itu!”
Selang beberapa lama kemudian, di kejauhan selat terlihat sesosok tubuh kurus dan jangkung sedang duduk bersila di atas rakit tua. Datangnya entah dari mana, tahu-tahu sudah muncul menuju muara. Padahal semenjak tadi, Andika atau Penggerutu Berkepang masih sempat melepas pandangan ke tengah selat kecil. Sambil menggeleng-gelengkan kepala seperti mengikuti irama senandungnya, sosok yang ternyata lelaki tua bertubuh kurus itu menepuk-nepuk ringan permukaan air. Namun tindakan yang terlihat remeh, itu ternyata cukup untuk
membuat rakitnya meluncur mantap menentang arus muara sungai yang derasnya seolah hendak menanduk bibir muara.
“Kau yang bernama Pendekar Urakan?” sapa lelaki tua yang tak lain Pertapa Rakit pada Andika setelah rakitnya mendekat.
Bibir Andika tersenyum menanggapi kesalahan sebutan julukannya.
“Oh! Pasti aku salah menyebut namamu!” tukas Pertapa Rakit, menyadari arti senyuman Andika.
“Apa, ya.... Pendekar Acuh? Acuh, bukan ..O, Pendekar Slebor! Iya, kan?”
Sekali ini Andika mengangguk.
“Dan kau....”
Pertapa Rakit mengalihkan ucapan pada Penggerutu Berkepang yang saat itu asyik menjentik-jentik dahan pohon bakau yang merangas di tepi muara.
“Kau orang yang terkena racun itu, bukan? Julukanmu.... Hm,” kala si tua tua itu. sambil menempelkan jari telunjuknya di kening.
“Penggerutu Berkepang!” terabas Penggerutu Berkepang, jadi tak sabar.
“Ah, iya.... Terima kasih, Saudara Penggerutu Berkepang! Kau telah bersedia mengantar anak muda ini padaku...,” hatur Pertapa Rakit bersahabat dan hangat.
“Yah..., itu kan karena kau telah sudi menolongku,” ujar Penggerutu Berkepang acuh.
“Kalau kau tidak menolongku, mana mau aku memenuhi permintaanmu.”
“Sekarang aku sudah membayar jasamu, bukan? Dan aku pasti boleh pergi!” aju Penggerutu Berkepang. Sebelum memastikan jawaban Pertapa Rakit, dia sudah ngeloyor pergi tanpa pamit
“Naiklah kau ke rakitku, Anak Muda!” pinta Pertapa Rakit, sepeninggal Penggerutu Berkepang.
Andika memenuhi permintaan lelaki tua yang matanya menyiratkan isyarat persahabatan hangat itu.
“Hendak kau ajak ke mana aku. Orang Tua? Dan, kenapa kau ingin bertemu denganku?” tanya Andika.
Si tua jangkung berbadan kurus kering itu tak menyahut. Dia menepuk perlahan permukaan air dengan sepasang telapak tangannya. Lalu….
Werrr!
Rakit melaju deras, seperti disorong ke depan oleh segerombolan dedemit usil. Andika sendiri begitu kaget. Bahkan tubuhnya hampir terlempar ke belakang kalau saja kesigapannya tak begitu terlatih.
***
Beberapa puluh tahun silam, ada seorang pendekar muda sakti yang memiliki ilmu sakti sedemikian banyak. Karena terlalu banyak ilmu sakti yang telah dipelajari, kaum persilatan pun menyepuhkan julukan Pendekar Pengumpul Ilmu. Kehebatan Pendekar Pengumpul Ilmu tidak diragukan. Di antara para tokoh sakti mandraguna saat itu, dia memiliki kelas tersendiri dalam penguasaan olah kanuragan dan kedigdayaan.
Pendekar Lembah Kutukan buyut Pendekar Slebor sekarang ini, kebetulan seangkatan dengannya. Dan dia menjulukinya si Sahabat Yang Jahat. Kenapa demikian? Karena, sepak terjang Pendekar Pengumpul Ilmu sangat sulit diduga. Sebentar berlaku sebagai tokoh sesat, lalu di lain saat berdiri pada jajaran tokoh-tokoh aliran putih. Beberapa kali, Pendekar Lembah Kutukan bentrok dengannya. Dan tidak jarang pula, pendekar sakti yang kemudian menjadi tokoh berpamor tinggi itu mendapat bantuan dari Pendekar Pengumpul Ilmu dalam tugas menegakkan kebenaran dan keadilan.
Ternyata bagi diri Pendekar Pengumpul Ilmu sendiri, hal itu sebenarnya menjadi persoalan. Dia seperti memiliki dua pribadi terpisah. Lama-kelamaan, dirinya mulai dianggap sakit jiwa. Sejauh itu, hanya Pendekar Lembah Kutukan sajalah yang memaklumi keadaan pribadi sahabatnya yang terpecah itu.
Suatu ketika, Pendekar Lembah Kutukan menemukan sebuah rahasia yang terdapat dalam sebuah sobekan kitab kuno. Seluruh ilmu dalam kitab kuno itu, rupanya telah dipelajari sahabatnya. Sayang, penjelasan tentang bahaya dari ilmu-ilmu itu luput diketahui Pendekar Pengumpul Ilmu, karena berada pada sobekan yang hilang. Dalam kitab kuno itu, terdapat tiga kesaktian, yang tak boleh ada satu orang menguasainya sekaligus. Ilmu itu masing-masing bernama ilmu ‘Halilintar’, ilmu ‘Api’, dan ilmu ‘Topan’.
Ketiga ilmu itu sesungguhnya hanya bisa dipelajari oleh tiga orang berbeda. Satu ilmu, untuk setiap orang. Akibat yang bakal menimpa bagi siapa saja yang nekat menguasai ketiga ilmu itu sekaligus adalah, kerusakan pada jiwanya. Dan itu terjadi pada Pendekar Pengumpul Ilmu.
Demi mengetahui persoalan dasar yang menjadi sebab terpecahnya pribadi sang sahabat, Pendekar Lembah Kutukan pun berusaha untuk menjelaskannya. Namun untuk soal kecil itu. Pendekar Lembah Kutukan harus membayarnya dengan taruhan nyawa, karena pada saat sahabatnya didatangi, pendekar yang sebaya dengannya itu justru gangguan kejiwaannya tengah berlangsung.
Tanpa bisa dicegah, pertarungan sengit dua tokoh muda yang disegani hampir di segenap hamparan dunia persilatan itu pun meledak. Mereka baru bisa mengakhiri pertarungan, setelah berlangsung hampir dua hari-dua malam tanpa pernah berhenti. Sehari penuh mereka sama sama tergolek keletihan. Pada keesokan paginya, keduanya baru bisa merangkak menuju tepi sungai, untuk membasahi kerongkongan yang kering kerontang dan mengganti cairan tubuh yang terkuras habis selama bertarung.
Setelah agak segar, barulah Pendekar Lembah Kutukan bisa menyampaikan tentang rahasia sobekan kitab yang didapat tanpa sengaja di bawah sebuah batu tengkorak. Keterangan jelas dalam sobekan kitab cepat menyadarkan Pendekar Pengumpul Ilmu. Barangkali, ini akibatnya bila tak berhati-hati dan terlalu rakus pada kesaktian. Toh, semua yang berlebihan selalu berakibat tidak baik.
Didukung pertimbangan sahabatnya, Pendekar Lembah Kutukan, pendekar yang menjadi gudang kesaktian ini pun mencoba melepaskan ketiga ilmu luar biasa itu. Tapi persoalannya pun tidak semudah mencampakkan kotoran. Pada saat mengenyahkan kekuatan sakti ketiga ajian itu, Pendekar Pengumpul Ilmu malah nyaris mampus.
Seperti sebelum-sebelumnya. Pendekar Pengumpul Ilmu lalu meminta nasihat Pendekar Lembah Kutukan, yang amat terkenal juga sebagai pendekar muda bijaksana. Jawaban dari Pendekar Lembah Kutukan datang, setelah Pendekar Pengumpul Ilmu hampir gila bertarung dengan kesintingannya sendiri. Pendekar Lembah Kutukan mempunyai pertimbangan, agar ketiga ilmu sulit tidak tertandingi itu diberikan kepada tiga murid berbeda. Mungkin dengan demikian, Pendekar Pengumpul Ilmu dapat sekaligus melepasnya.
Untuk mencari murid yang benar-benar pantas menerima tiga kesaktian luar biasa, ternyata juga terlalu sulit. Dunia ini justru lebih banyak dipenuhi manusia-manusia bejat tak tahu adat, ketimbang sebaliknya. Di lain sisi, kerusakan jiwa Pendekar Pengumpul Ilmu kian hari kian memprihatinkan. Bahkan dengan terpaksa, sahabatnya sendiri harus memasungnya dengan berpuluh-puluh rantai baja, ditambah sejumlah totokan di beberapa jalan darah!
Karena sudah begitu mendesak dan genting, Pendekar Lembah Kutukan akhirnya memutuskan untuk mengambil calon murid secara untung-untungan. Kalau ada yang kebetulan lewat pertama kali ke trmpat pemasungan sahabatnya pada pagi-pagi buta, maka mereka akan dijadikan murid. Begitu sumpahnya dalam hati.
Celakanya, pada keesokan pagi, saat hari masih kuyu dengan segenap embun dinginnya, justru yang melintasi wilayah pemasungan justru tiga orang pencoleng kesiangan! Mereka berlari serabutan dikejar-kejar penduduk kampung. Untuk menyelamatkan diri, dicobanya memasuki hutan tempat Pendekar Pengumpul Ilmu dipasung.
Sumpah sudah tercatat di hati. Bahkan disaksikan seluruh isi bumi. Apa mau dikata. Pendekar Lembah Kutukan pun akhirnya menculik pencoleng kelas teri itu untuk dijadikan murid sahabatnya. Maka, jadilah ketiga pencoleng sebagai pewaris ilmu yang amat langka serta luar biasa. Mereka terdiri dari dua orang lelaki dan seorang wanita.
Nasi sudah menjadi bubur. Kalau bubur bisa enak dimakan. Kalau ketiga pencoleng yang ketiban bulan itu lain lagi. Meski sudah dimaki-maki untuk membenahi diri masing-masing, bahkan sampai Pendekar Lembah Kutukan bosan, mereka tetap saja brengsek.
Waktu berlalu terus berlalu, seiring berputarnya jagad raya. Ketiga kesaktian itu telah berhasil diturunkan pada ketiga pencoleng. Bahkan mereka siap jadi tokoh kelas alas dunia persilatan. Sementara Pendekar Pengumpul Ilmu pun sembuh.
Pendekar Lembah Kutukan gembira sekaligus geram. Gembira, karena sahabatnya telah berhasil lolos dari sergapan kesintingannya. Geram, karena kini bertambah lagi urusannya untuk mengawasi setiap sepak terjang para pencoleng yang telah berubah sakti itu....
***
Pertapa Rakit mengakhiri ceritanya pada Andika. Mereka masih berada di atas rakit rongsokan milik lelaki tua itu, meluncur tanpa tujuan menembus lautan lepas.
“Jadi buyutku, Pendekar Lembah Kutukan, pernah memiliki sahabat kental berjuluk Pendekar Pengumpul Ilmu. Tapi sampai sejauh ini, aku masih belum paham tujuanmu menceritakannya padaku, Orang Tua? Lalu, siapa sebenarnya Pendekar Pengumpul Ilmu? Kupikir, dia sudah tak ada pula seperti buyutku. Bukan begitu?” berondong Andika, di sebelah Pertapa Rakit.
Pertapa Rakit menggeleng-gelengkan kepala.
“Tidak! Pendekar Malang itu belum mati,” kata Pertapa Rakit, menjawab pertanyaan terakhir Andika.
Senyum di bibir berkeriput itu penuh makna. Dan mata Andika bisa menangkapnya. Lagi pula, binar matanya menunjukkan kalau dia sedang menerawang, sepertinya sedang menikmati masa-masa penuh suka duka dahulu.
“Apa Pendekar Pengumpul Ilmu itu adalah kau, Orang Tua?” duga Andika agak ragu.
Sekilas Pertapa Rakit melirik anak muda itu. Lalu, kepalanya mengangguk.
“Jadi benar?” tandas Andika, agak terkejut sendiri karena dugaannya ternyata mengena.
“Ya,” tandas Pertapa Rakit.
“Kau tahu...? Bila aku sekarang berdiri bersamamu, rasanya sedang berdiri dengan buyutmu sewaktu muda dulu. Kau amat mirip dengannya...,” puji Pertapa Rakit, membuat cuping hidung Andika kembang-kempis tak ada kerjaan. Besar kepala dia!
Di kelopak mata bawah orang tua kurus itu terlihat rentangan garis bening yang agak bergetar kecil. Hatinya tampak haru.
“Kau belum menjawab pertanyaanku yang lain, Orang Tua,” usik Andika, agar Pertapa Rakit tidak terlalu hanyut oleh perasaannya.
“Kau tidak bisa menduga?” tantang Pertapa Rakit.
“Atau, kau tidak berotak secemerlang buyutmu?”
Sekarang hidung Andika tidak lagi kembang-kempis, tapi justru menguap lebar. Agak melonjak harga dirinya dikatakan seperti tadi.
“Itu mudah saja, Orang Tua,” tukas Andika pongah.
“Aku rasa kau butuh pertolonganku, untuk mencegah murid-muridmu atau paling tidak cucu murid-muridmu, merajalela seperti tikus sawah!”
Pertapa Rakit terkekeh.
“Benar! Memang benar begitu..., Kau sudah mengenal Tiga muridku itu?”
Sekali lagi. Andika mati kutu. Dia tidak bisa menjawab, karena memang sama sekali belum berjumpa tiga murid sesat lelaki tua itu.