Part 2
Begitu bambu diangkat ke permukaan, tahu-tahu seekor ular sungai besar telah terhujam. Dengan begitu, menjadi jelas bagi si orang bertudung kalau orang tua yang dipanggilnya tidak tuli sama sekali. Kemampuan pendengarannya malah lebih hebat daripada orang biasa. Terbukti, gerak halus ular di bawah arus dapat ditangkapnya. Padahal suara deru arus sungai sudah sanggup menyamarkan derit rakitnya sendiri. Belum lagi suara selaksa titik air hujan yang menimpa apa saja.
“Hey, Orang Tua Kurus! Jangan pura-pura tuli padaku!” panggil orang bertudung sekali lagi.
“Kalau kau hendak menyebrang sungai, terus terang saja kukatakan aku tidak melayani!” sahut si orang tua jangkung acuh sekali
“Aku tak pernah berkata kalau mau menyeberang!” balas si orang bertudung.
“Soal menyeberang, terlalu mudah bagiku. Bahkan mungkin aku tak membutuhkan rakit buluk seperti milikmu itu!”
“Dan aku pun tak melayani sesumbar orang tengik macam kau!” terabas orang tua jangkung di ujung kalimat lawan bicaranya yang masih berdiri di bibir sungai.
Matanya yang sudah dipulas warna keabu-abuan, sama sekali tidak ditujukan pada si orang bertudung. Sebaliknya, tangannya malah sibuk menguliti kulit ular yang amat kenyal seperti sedang mengupas kulit pisang.
“Berhentilah kau. Dan, jangan merasa menjadi tokoh besar yang disegani, Tua Bangka Kurus!” maki orang bertudung, gusar.
“Kulitnya lumayan untuk kujadikan penutup kepala,” gumam si orang tua di atas rakit.
Lagi-lagi orang tua itu tak mempedulikan lelaki bertudung di tepi sungai. Sebentar kemudian, dia sudah tampak mengunyah daging ular mentah yang baru saja dikulitinya.
“Aku bicara padamu, Pertapa Rakit!” seru si orang bertudung.
Tampak sekali kalau dia sudah cukup mengenal orang tua kurus yang ternyata berjuluk Pertapa Rakit.
“Aku tahu. Siapa yang bilang kau berbicara dengan kodok buduk di sungai itu?” tukas Pertapa Rakit.
Pertapa Rakit adalah satu di antara tokoh tua sakti yang malang melintang di dunia persilatan. Biar pun namanya sudah melambung tinggi, namun dia lebih suka menyendiri di atas rakit bututnya. Ada yang menyatakan kalau dia sedang bertapa untuk menambah kesaktian. Tak jarang, juga ada yang menyatakan kalau dia hanya muak terhadap segala kerusuhan serta kepalsuan hidup.
“Aku ke sini hendak membunuhmu!” tegas orang bertudung tanpa tedeng aling-aling.
“Bicaramu enteng sekali, Anak Muda. Seakan-akan kau hendak membunuh seekor nyamuk!” balas Pertapa Rakit. Mata tuanya ternyata mampu mengetahui wajah orang di tepi sungai yang tersembunyi di balik bayangan tudung.
“Kau memang tak lebih daripada seekor nyamuk !”
“Nyamuk?”
“Ya! Binatang kecil memuakkan yang hanya mengusik hidup seseorang!”
“O-o! Sekarang aku bisa mulai menduga, siapa kau sebenarnya!” Pertapa Sakti mengacung-acungkan jari ke arah lawan bicaranya. Bibirnya memperlihatkan senyum tipis.
“Apa hubunganmu dengan Dewa Halilintar yang kuntet itu?!”
“Jangan pernah menyebut guruku kuntet!” hardik anak muda yang usianya sekitar tiga puluh.
“Jadi maksudmu, sekarang Dewa Halilintar tidak kuntet lagi?” leceh Pertapa Rakit disertai sebaris senyum tipis.
Geram bukan main pemuda bertudung yang berpakaian merah buram itu menerima cemoohan yang langsung menginjak-injak nama besar gurunya, Dewa Halilintar. Dari balik tudungnya, terdengar gemerutuk gerahamnya.
“Hey, Orang Muda. Katakan pada gurumu! Bukannya aku suka usil mengusik hidupnya. Justru dia yang usil mengusik kebenaran hidup. Dia berbuat sekehendak hati. tanpa peduli pada hak orang lain. Nah, itu baru yang namanya usil.... Usil yang kelewatan. Jadi kalau aku dibilang tak lebih daripada nyamuk, barang kali gurumu termasuk senopatinya nyamuk....”
“Tua bangka busuk!”
“Aku memang sudah dekat maut. Tapi terus-terang aku belum busuk. Lihatlahl Biar kurus, aku tetap sehat. Sehat badan, sehat hati. Kau mau tahu orang-orang yang masih hidup tapi sudah busuk? Sejenis gurumu itulah”
“Diam! Diam!”
Bentakan menggelegar yang sarat kegeraman dilampiaskan pemuda di tepi sungai disertai bantingan tudungnya ke sungai. Sepertinya, lemparan tak lebih dari cetusan kegeraman. Kenyataannya justru lebih dari itu. Dengan sengaja, tenaga dalamnya disalurkan ke dalam tudung. Maka, tatakala tudung itu menampar permukaan arus sungai....
Byarrr!
Berpusat dari tempat jatuhnya tudung tadi, tercipratlah gelombang besar tersibak setinggi manusia, jelas sekali terlihat Pertapa Rakit beserta rakitnya tertelan sibakan raksasa air sungai. Namun, begitu arus kembali seperti semula, tak terlihat bekas-bekas rakit tercabik. Juga tak ada tubuh Pertapa Rakit terapung. Sama sekali tidak berbekas.
“Kau terlalu mengumbar nafsumu. Itu yang kukatakan, ‘manusia hidup tapi sudah busuk’,” ucap pertapa aneh yang kini sudah pindah ke tepi sungai di seberang. Lengkap dengan rakit dan kayuh bambunya!
Rupanya sebelum tudung tadi menyentuh arus sungai. Pertapa Rakit sudah bisa membaca, ke arah mana maksud gerakan calon lawannya.
Ketika menyaksikan Pertapa Rakit masih segar bugar, pemuda di tepi seberang sungai menyusulkan satu serangan yang tak kalah hebat daripada sebelumnya. Saat itu juga tangan kanannya meloloskan batu berantainya dari ikatan pinggang. Dengan gerak kilat, senjata ganjil itu diputar-putar di atas kepala. Ujung rantainya sebagai sumbu putaran, sedangkan batu berbentuk gada pendek di ujung yang lain sebagai bandulnya. Seketika tercipta angin yang menderu keras, menerobos gencarnya suara angin rebut dan gemuruh hujan dari putaran senjata lelaki muda itu. Amat bising Cumiakkan.
Wuk! Wuk! Wuk!
Kekuatan deru yang terkandung dalam gerakan berputar senjata itu, merambah ke segenap penjuru, mematahkan kekuatan suara-suara amukan alam yang sedang berlangsung. Akibatnya, dedaunan pepohonan di sekitarnya menjadi cerai-berai dari tempat semula. Batang-batang rerumputan bambu besar yang berada paling dekat dengan tempat berdirinya pemuda berpakaian merah buram, makih menjadi hancur. Seakan, ada godam-godam baja raksasa tak terlihat yang menumbuk.
Tempat berdiri Pertapa Rakit pun tak luput dari pengaruh deru putaran senjata pemuda itu. Rerumputan di tempatnya berdiri, menjadi tercabut paksa, lalu berhamburan menuju dirinya. Rambut basah lelaki tua yang semula kuyu, kini malah tersibak ke belakang mengikuti arah terbangnya rerumputan.
Si Tua berjuluk Pertapa Rakit itu sendiri tak tampak kerepotan mendapat serbuan gelombang dahsyat deru senjata bandul berantai ini. Sikapnya masih tampak santai, berdiri di atas rakitnya. Padahal, rakit keropos itu mestinya sudah menjadi lantak, seperti batang pepohonan bambu di tepian seberang.
Di lain sisi, putaran senjata pemuda itu makin lama makin menggila saja. Setiap derap waktu, derunya bertambah dua kali lipat. Tentu saja kerusakan yang ditimbulkannya pun makin parah.
Wuk! Wuk! Wuk!
Sampai suatu ketika....
Slat! Cletar! Cletar...!
Bagai menyerap segenap kandungan petir, senjata lelaki muda itu membersitkan berpuluh-puluh lidah halilintar! Bagaimana itu bisa terjadi? Sesungguhnya, kejadian mengagumkan tadi bisa terwujud kalau si pemilik senjata memiliki tingkat tenaga dalam sempurna, yang hanya bisa disejajarkan dengan para datuk rimba persilatan. Lewat kesempurnaan tenaga dalam, maka bandul balu berbentuk gada pendek yang terus berputar, akan bergesekan hebat dengan udara. Makin cepat putaran terjadi, maka kian hebat gesekannya. Pada batas tertentu, batu alam langka dari salah satu perut gunung berapi itu akan menghasilkan percikan api raksasa, berbentuk lidah-lidah halilintar!
“Akulah Dewa Halilintar !” seru pemuda berpakaian merah buram, memperkenalkan diri secara brutal.
”Kutantang kau, Tua Bangka Keparat! Selama ini kau menjadi musuh guruku! Kini aku bertekad akan membuatmu merangkak-rangkak memohon ampun !”
Cletar! Cletar...!
Sebentuk lipatan tenaga dalam melalui senjatanya dilakukan pemuda yang mengaku berjuluk Dewa Halilintar. Dengan begitu. tentu saja juluran lidah halilintar dari senjatanya bertambah panjang. Bahkan menjulur mengancam sampai menyeberangi lebar sungai. Di luar dugaan, percikan api raksasa itu bagai bisa dikendalikan langsung oleh Dewa Halilintar. Bahkan mungkin bisa ditujukan pada sasaran seekor cecak di pucuk pepohonan sekali pun! Sekedip mata saja. lidah halilintar membersit menuju Pertapa Rakit di tepian seberang. Sinarnya begitu menyilaukan, sanggup menerangi dalam sekejap suasana di sekitarnya yang saat itu dirubung kegelapan mendung.
Pertapa Rakit tetap tenang, meski sambaran lidah halilintar mungkin lebih cepat daripada kerdip kelopak matanya sendiri. Manakala lidah petir siap menghujam, tangannya bergerak amat cepat. Dan batang bambu yang sebelumnya digunakan sebagai kayuh, tiba-tiba menghadang laju sambaran lidah halilintar.
Slap!
Sungguh mengagumkan! Lidah petir dari Dewa Halilintar bagai ditelan batang bambu yang hanya sebesar genggaman tangan! Belum lagi, Dewa Halilintar menyadari kalau serangannya telah dimentahkan....
“Nah, aku tak sudi mengurusi kebusukan orang macam kau! Selamat tinggal!”
Pertapa Rakit berseru enteng. Namun suara yang dihasilkannya lebih menggelegar daripada deru putaran senjata Dewa Halilintar. Begitu selesai dengan kalimai terakhirnya, si pertapa aneh itu menghilang seperti tertelan bersama guyuran hujan dari langit. Demikian pula rakit dan kayuh bambunya! Kini, tinggallah anak muda berpakaian merah huram yang berjuluk Dewa Halilintar menikmati kegeramannya sendiri.
“Aku akan menjadi tokoh nomor satu dunia persilatan! Tidak seorang pun bisa menghalangi Dewa Halilintar! Tidak juga kau, Tua Bangka Keparat!” sumpah Dewa Halilintar beserta sehimpun lidah halilintar menerangi wajahnya yang buruk.
***
“Permainan Dunia hanya permainan belaka
Manusia berpolah dalam seribu satu topeng di muka
Buana pun jadi panggung terbuka
Yang makin muak menanggung beban nista
Makin mengeluh dibebani angkara...”
Senandung sarat makna, menghiasi udara pagi yang ramah. Untuk bisa dibilang merdu, justru suara itu menusuk telinga. Terdengar berat berdebam, seperti bedug rombeng. Asalnya dari pita suara seorang pemuda yang wajahnya bertolak belakang dengan suara senandungnya.
Pemuda itu tampan, berwibawa laksana pangeran. Matanya tegas, memancarkan keteguhan hati dan kekerasan lekatnya. Sekaligus, memendam kebeningan batin. Di atas matanya, membentang sepasang alis mirip kepak sayap elang yang siap mengarungi angkasa raya. Pakaian hijau pupus pemuda itu menggelepar-gelepar ketika ditepis angin sejuk. Kalau wajahnya laksana keturunan priyayi istana, justru penampilannya laksana pengurus kandang kuda! Rambutnya panjang sebahu, simpang-siur tak pernah terawat. Pakaian yang dikenakan pun lusuh, selusuh kain bercorak catur yang selalu setia tersampir di bahu kekarnya.
Dalam menyusuri jalan di pematang sawah, langkahnya tampak mantap. Mencerminkan kemantapan dirinya dalam menjalani hidup yang dikatakan dalam senandungnya sebagai ‘permainan belaka’.
“Tuan! Tuan muda!”
Tiba-tiba terdengar panggilan seseorang di belakang pemuda itu, membuai kepalanya menoleh ke belakang. Senandung terpenggal saat itu juga. Tampak seorang warga desa setempat berlari-lari menuju arahnya. Wajah laki-laki setengah baya bertubuh hitam dan bertelanjang dada itu tampak memancarkan kekhawatiran. Entah khawatir pada hal apa, belum bisa diterka.
“Ada apa, Pak?” tanya pemuda tampan ini, ramah.
“Tuan muda orang persilatan?” tanya warga desa itu, begitu tiba di dekat pemuda ini.
Pemuda ini tak mengiyakan. Hanya kepalanya yang mengangguk kecil.
“Kalau begitu, bisakah Tuan menolongku?” terabas warga desa tadi tergesa, di antara tarikan napasnya yang memburu.
“Apa yang bisa kubantu. Pak?” tanya pemuda ini. Dalam tolong-menolong, hatinya sulit menolak.
“Ada seorang yang tampaknya dari golongan persilatan juga. Pagi buta tadi, aku menemukannya sedang sekarat di pinggir pematang. Aku tidak tahu, apa yang harus kuperbuat, Tuan Muda. Sepertinya dia terluka dalam. Pada beberapa bagian tubuhnyanya berwarna biru matang”
“Sekarang orang itu berada dimana, Pak?”
“Di bawa ke rumahku.”
“Mari kita segera ke sana. Aku tak tahu, apakah bisa menolongnya atau tidak tapi. aku tetap akan mencoba....”
Setelah itu, mereka tampak berlari tergesa menuju timur.
***
“Ah! Kau, Slebor! Buat apa kau menemuiku lagi?!” sambut orang yang ditolong warga desa, terdengar seperti keluhan.
Ternyata, orang itu adalah Penggerutu Berkepang. Sedangkan pemuda yang baru datang bersama warga desa tak lain adalah Andika alias Pendekar Slebor. Penggerutu Berkepang saat ini sedang terbaring di atas ranjang bambu milik lelaki yang memanggil Pendekar Slebor.
Istri pemilik gubuk tampak sedang menyapu kening Penggerutu Berkepang dengan kain basah. Keringat lelaki kumal itu keluar terus menerus. Warna keringatnya tidak seperti biasa. Agak keruh kebiru-biruan. Dari sana. Pendekar Slebor mulai curiga.
“Apa yang telah terjadi padamu. Ketua Partai Pengemis Timur?” tanya Andika, menyebut gelar kehormatan Penggerutu Berkepang.
“Apa yang terjadi? Kau tanya padaku apa yang terjadi? Apa matamu tuli? Eh, buta? Aku hampir sekarat, tahu! Dan kau masih bertanya pula!” semprot Penggerutu Berkepang, biarpun napasnya sudah mulai Senin-Kamis.
“Maksudku, kenapa kau sampai kena racun?” ralat Andika seraya menyentuhkan telapak tangannya ke kening lelaki keras kepala ilu.
“Dari mana kau tahu kalau aku kena racun?”
“Sedikit banyak aku tahu tanda-tanda orang terkena racun...,” jawab Andika.
“O! Bisa begitu, ya?”
“Apa kau tak lahu, aku pernah berurusan dengan Ratu Racun?”
“Peduli amat!”
“Kira-kira, aku terkena racun apa, tabib sakti bau pesing”.’” ledek Penggerutu Berkepang.
Kening Andika berkerut sebentar. Sementara, tangannya mengusap-usap dagu.
“Tampaknya kau terkena salah satu racun paling mematikan di dunia persilatan...” simpul Pendekar Slebor.
“Hua ha ha ugh!”
“Kenapa kau tertawa? “
“Kau pasti sedang menakut-nakutiku. Kau lupa! Aku ini Ketua Partai Pengemis Timur yang tak pernah takut!” sesumbar Penggerutu Berkepang.
Sebentar-sebentar, lelaki itu mendekap dadanya dengan wajah terlipat rapat. Menderita sekali rupanya. Tapi, dasar kepala batu! Biar sudah nyaris mampus, masih saja bisa berlagak! Pendekar Slebor tentu saja menjadi dongkol, biarpun sudah mengenal tabiat Penggerutu Berkepang.
“Kau mau kutolong, apa tidak?” tanya Pendekar Slebor, mangkel.
“Kau mau menolong aku, apa tidak?!” Penggerutu Berkepang malah balik bertanya menjengkelkan.
Pemuda sakti dari Lembah Kutukan itu menarik napas dalam-dalam. Sulit juga menghadapi orang yang sangat keras kepala!
“Begini saja. Kalau kau kutolong, kau harus percaya semua perkataanku,” tandas Andika.
“O, Lebih baik begini saja! Kalau mau menolongku, kau harus maklum dengan tabiatku,” balas Penggerutu Berkepang.
Kali ini, pendekar muda dari Lembah Kutukan justru tertawa. Ada yang terasa lucu dari ucapan Penggerutu Berkepang. Dia tahu apa maksud ucapan lelaki itu. Sebenarnya Ketua Partai Pengemis Timur hendak meminta maaf. Hanya karena terlalu keras kepala dan tinggi hati, permintaan maaf itu tak diucapkannya secara langsung. Dasar manusia menyebalkan!
“Sebelum aku menolongmu, kau tentu sudi menceritakan kenapa sampai terkena racun itu? Apa kau terkena karena bertarung dengan seseorang?”
“Aku sengaja menelannya,” jelas Penggerutu Berkepang, menjawab pertanyaan Andika.
Mata Andika kontan mendelik sebesar-besarnya.
“Apa kau sudah sinting?!” sentak Pendekar Slebor hampir tercekat. Orang gila pun masih berpikir seribu kali untuk menelan racun berbahaya!
“Ini soal harga diriku!” bentak Penggerutu Berkepang, tak mau kalah. Dia memang tidak mau kalah dalam segala urusan.
“Tapi, ini menyangkut nyawamu!” tukas Andika, lantang.
“Aku bertaruh. Karena kalah, aku harus menelan racun itu. Seperti kesepakatan sebelumnya.”
“Menelan racun itu?”
“He eh!”
“Gila!”
“Dunia ini memang sudah sumpek dengan orang gila. Dan aku hanya menambahkan saja...,” kilah Penggerutu Berkepang, enteng. Kendati wajahnya makin matang membiru dan terus meringis-ringis menahan penderitaan yang merongrong dari dalam.
“Kau sebenarnya berniat ngobrol sama aku atau hendak menolongku. Bor?!” bentak Penggerutu Berkepang lagi.
Pendekar Slebor geleng-geleng kepala.
“Aku jelas hendak menolongmu. Karena belum tahu bagaimana menawarkan racun ini, tentu saja aku harus bertemu si pemilik racun. Aku mungkin bisa mendapatkan cara menawarkan racun darinya.”
Penggerutu Berkepang terkekeh mengejek.
“Kalau begitu caranya, kau tak akan bisa menolongku,” kata Penggerutu Berkepang.
“Apa maksudmu?”
“Dia itu termasuk salah satu orang gila di dunia ini”
“Apa maksudmu?!” ulang Andika, lebih ditekan.
Mata yang mulai berkeriput milik Penggerulu Berkepang melirik Andika
“Dia menyukai permainan maut. Aku ditantangnya untuk bertanding. Siapa saja yang kalah harus menelan racun miliknya....”
“Sinting! Benar-benar sinting!”
“Kan sudah kubilang....”
“Aku tahu. dia sejenis orang yang hendak memburu pamor di dunia persilatan, bukan?” duga Andika, yakin sekali.
“Persis!”
“Sebutkan namanya padaku!” pinta Pendekar Slebor.
“Dewa Topan,” sebut Penggerutu Berkepang