Part 1
Bumi terus berputar pada sumbunya tanpa pernah merasa jenuh. Matahari masih terus membakar diri dalam garis edarnya sendiri. Selama itu, perubahan pasti ikut berjalan.
Di sebuah dataran luas tempat tumbuhnya ilalang jangkung, satu pertunjukan mengagumkan sedang berlangsung. Seseorang tampak sedang men celat-celat ringan dari pucuk ilalang yang satu, ke pucuk yang lain. Gerakannya lebih ringan daripada seekor lebah atau lalat sekali pun. Malah lebih gesit daripada seekor rubah muda.
Sesekali sosok itu melenting ringan ke udara, mengapung beberapa saat bagai sedang mengendarai angin, lalu hinggap kembali di salah satu pucuk ilalang. Terkadang, sepasang telapak tangannya dikibaskan hingga menimbulkan tiupan angin kencang melibas setiap pucuk ilalang. Hebatnya potongan pada setiap ujung ilalang memiliki ukuran yang sama. Seakan, baru saja ditebas sebuah arit raksasa.
Orang yang melenting-lenting lebih ringan di banding selembar bulu itu berusia cukup muda. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya tak sedap dipandang, karena nyaris mirip beruk. Berkumis hitam tipis, beralis lebat dan tegas, serta bermata agak sayu. Sewaktu membuat gerakan-gerakan yang hanya mampu dilakukan para tokoh kelas atas itu, pakai annya yang berwarna hitam pekat berkibar diusik angin. Meski dengan rambut dikepang klimis, lelaki itu tetap menebar kengerian bagi siapa pun yang memandangnya!
Begitu kaki sosok berpakaian hitam ini mendarat di ujung ilalang, matanya menatap ke depan, ke arah sosok lain yang baru saja dilewatinya. Rupanya, dia tadi tengah berusaha mengejar seseorang dan ternyata berhasil.
“Siapa kau, Anak Muda Sialan?!” bentak sosok yang dikejar,
“Jangan tanya siapa aku! Yang jelas aku ingin menantangmu. Karena, kau sudah memiliki nama besar di dunia persilatan. Dengan mengalahkanmu, dapat langsung meluncur ke puncak ketenaran para jago persilatan!” teriak pemuda berwajah mirip beruk.
“Sembrono! Kau terlalu sembrono bila hendak menjatuhkanku, Anak Muda! Kentut basi sialan!” sambut lelaki setengah baya yang dikejar.
Penampilan laki-laki ini tidak sedap dipandang. Raut wajahnya lebih tua dari usia sebenarnya. Mungkin karena selalu menghadapi hidup yang berat ini dengan segala kemangkelan hati. Rambutnya yang panjang dipenuhi uban juga dikepang. Kalau rambut lelaki berpakaian hitam pekat ditata begitu rapi dan resik, orang ini malah kebalikannya. Kotor, tak teratur, kemerahan, dan bau tujuh macam bangkai. Wajahnya kurus, seperti tubuhnya. Dengan wajah yang tirus hidungnya pun jadi tampak melancip, serta matanya jadi terlihat cekung dan besar tanpa alis.
Yang aneh dari lelaki gembel itu adalah, gerutuan panjang lebar yang lancer keluar dari mulutnya Di samping itu, tangannya selalu menepuk bagian bagian pakaiannya yang sudah begitu dekil bertambal-sulam. Seakan dia tak sudi membiarkan sebutir debu pun singgah. Di dunia persilatan, orang menjulukinya sebagai Penggerutu Berkepang. Tokoh yang mendapat nama besar tak hanya dari kesaktiannya, tapi juga karena gerutuan yang selalu saja meluncur keluar.
“Tidak. Aku tidak pernah sembrono dalam hidup. Kalau sekarang menantangmu, berarti aku telah memperhitungkan secara masak segala sesuatunya!” kata si lelaki berpakaian hitam-hitam.
Penggerutu Berkepang menyeringai.
“Kau salah menantang seseorang barangkali...,” ucap Penggerutu Berkepang tak seperti bergurau. Tidak juga seperti menggeram.
Pemuda berpakaian hitam – hitam tertawa.
“Apakah salah kalau kukatakan kau adalah Ketua Partai Pengemis Timur?” balas pemuda itu.
“Ya, tidak salah....Memang aku orangnya, Tapi, sialan sekali...,”, lanjut Penggerutu Berkepang. “Masa kau mau menantang orang yang lebih tua. Apa itu namanya bukan kurang ajar? Kurang ajar... kurang ajar...!”
“Kau sudah lupa hukum rimba persilatan, Penggerutu Berkepang? Siapa yang kuat, dia yang berhak berkuasa. Segala tatakrama sama sekali tidak diperlukan.”
“Kau kira dunia ini punya bapak moyangmu?! Mau seenaknya berbuat sesuka hati.... Huh-hah-huh!”
Penggerutu Berkepang yang berdiri di dekat pinggiran sungai kecil yang membelah padang, mulai mencak-mencak tak karuan. Sebentar kemudian dia tenang kembali, meski mulutnya tetap mengulur ‘jampi-jampi’ khasnya.
“Tapi, kalau kau memang bersikeras hendak menantangku, yah... boleh jugalah. Hitung-hitung, untuk melemaskan otot-ototku,” kata Penggerutu Berkepang kemudian.
Sebenarnya, hal itu termasuk kejadian langka. Seumur hidup, Penggerutu Berkepang belum pernah mau mengalah. Hitam harus hitam. Putih harus putih. Sifat keras kepalanya minta ampun. Kalau sekarang bisa berubah pikiran begitu cepat, bisa jadi karena baru salah makan.
“Tapi aku menginginkan diadakan persyaratan tanding,” aju Penggerutu Berkepang kemudian.
Lelaki berpakaian hitam pekat itu tersenyum. Pada pucuk selembar ilalang dia bersila santai, menunggu ucapan lawan bicaranya kembali.
“Dalam pertandingan nanti, kita akan membuat tiga permainan. Jika dua permainan dimenangkan salah seorang, maka dia akan menjadi pemenangnya. Artinya, untuk menang, dibutuhkan kemenangan dalam dua permainan sekaligus. Kau mengerti? Kenapa duduk terdiam seperti ayam pesakitan begitu?”
“Ya! Aku mengerti sekali!” jawab lelaki berpakaian hitam-hitam mantap.
“Tapi sebelum dimulai, aku hendak mengajukan satu aturan permainan lagi.”
“Ah! banyak mulut kau! Apa?!”
“Siapa pun yang kalah di antara kita, dia harus mati” landas si lelaki berpakaian hitam pekat, menyentak hati Penggerutu Berkepang.
“Kuduk... Rupanya kau benar-benar ingin cari gara-gara denganku, ya? Eee, sudah berani-berani, ya?” Semprot Penggerutu Berkepang sewot.
“Sebutkan namamu!! Biar aku laporkan kau pada guru kampretmu!”
Lelaki berpakaian hitam itu tertawa lepas dan nyaring mendengar ucapan terakhir Pengerutu Berkepang. Entah apa yang dianggapnya lucu.
“Kau ingin tahu aku? kau boleh menyebutku Dewa Topan!” ujar lelaki berpakaian hitam, sarat keangkuhan.
“Dewa Topan,,,?“bisik Penggerutu Berkepang.
Rasanya julukan itu tak asing lagi bagi Penggerutu Berkepang. tapi, kapan dan di mana pernah mendengarnya? Sampai akhirnya, sepasang bola matanya berhenti bergerak. Kelopaknya membuka tanpa kedip. Benak lelaki setengah baya itu seperti baru dirasuki keterperanjatan luar biasa yang tiba-tiba menerobos.
“Kau murid Bayuslaksa, si Dewa Angin dari Selatan itu?!” tanya Penggerutu Berkepang.
Lelaki yang berada sekitar tujuh tombak dari Penggerutu Berkepang kembali tertawa nyaring melengking. Bahkan terdengar angkuh.
“Kenapa, Orang Tua? Kau terkejut mendengar nama besar itu?”
“Sialan benar.... Tidak bisa itu! Dewa Angin dari Selatan sudah mampus lebih dari empat puluh tahun yang lalu, sebelum kau sendiri lahir. Masa, tahu-tahu punya murid?! Huh! Tidak lucu... tidak lucu!” kilah Penggerutu Berkepang sengit.
“Aku sendiri waktu itu menyaksikan dengan mata kakiku, eh! Mata kepalaku sendiri! Si Dewa dari Selatan sudah mampus!”
“Kau terlalu banyak bicara, Orang Tua. Apakah kau sengaja mengulur-ulur waktu karena takut bertanding denganku?” leceh si lelaki muda yang mengaku berjuluk Dewa Topan.
Penggerutu Berkepang mendengus. Cuping hidungnya yang berwarna merah mengembang-kempis tanda kegusaran.
“Kau mau mulai?! Ayo kita mulai!” sentak Penggerutu Berkepang.
Tangan lelaki setengah baya itu lalu menjumput ujung-ujung ilalang. Diangkatnya potongan pucuk pucuk ilalang ladi ke muka.
“Ini permainan pertama. Sejumput ilalang ini kutebarkan ke udara. Kalau ada salah satu di antara kita yang berhasil lebih dahulu membelah seluruh lembar ilalang ini menjadi tiga bagian yang sama, maka akan memenangkan permainan pertama....”
Tanpa banyak tambahan kata lagi, tangan Pengerutu Berkepang bergerak amat cepat.
Sssst! Wrrr!
Potongan pucuk ilalang pun bertebaran di udara. Jumlahna terlampau banyak untuk dihitung, lalu bagaimana pula mereka dapat memotong menjadi tiga bagian yang sama? Pekerjaan yang tampaknya mustahil bagi siapa pun. Namun tidak bagi orang-orang yang memiliki kesaktian yang berada pada papan puncak dunia persilatan. Dan tampaknya, Penggerutu berkepang adalah salah satu tokoh itu. Buktinya, dengan sekali gerakan singkat yang nyaris tak dapat diikuti mata, tangannya menyapu udara. Begitu tangannya kembali pada keadaan semula! seluruh lembar ilalang yang ditebarnya sudah terbelah menjadi tiga sebelum ada satu pun sempat menyentuh tanahl
“Lihatlah, Dewa Kentut! Kau tidak bisa menandingiku, bukan? Bahkan untuk memotong selembar ilalang pun, kau tak sanggup...,” ledek Penggerutu Berkepang, merasa yakin kalau telah berhasil memenangkan permainan pertama.
“Jangan sesumbar dulu,” ejek Dewa Topan.
“Apa kau yakin kau telah memenangkan permainan ini? Lebih baik periksa kembali seluruh lembaran daun ilalang tadi....”
Sedikit pun tak terlihat perubahan raut wajah Dewa Topan mendapati ejekan pedas Penggerutu Berkepang.
“E-eh! Sudah kalah, mau berlagak lagi...,” sungut Penggerutu Berkepang.
“Kenapa kau tak periksa?”
Penasaran dengan ucapan lelaki muda berjuluk Dewa Topan, Penggerutu Berkepang mau juga melirik lembaran-lembaran daun ilalang di tanah. Bukan main terperanjatnya orang tua setengah baya itu. Ternyata setiap lembar ilalang telah terpotong memanjang menjadi tiga bagian yang sama rata!
Kalau tadi Penggerutu Berkepang sanggup membelah melebar, Dewa Topan justru membelah dalam garis memanjang. Tentu saja itu jauh lebih sulit, karena lebar daun ilalang terlalu kecil untuk dipotong menjadi tiga bagian yang sama di udara! Lalu. bagaimana pula orang itu melakukannya? Sedangkan setahu Penggerutu Berkepang, penantangnya tak membuat gerakan sama sekali.
“Ah! Sebenarnya itu tak terlalu hebat,” ucap Penggerutu Berkepang, tak mau mengakui kelebihan Dewa Topan meski sepasang matanya masih melotot takjub.
“Aku bahkan bisa membelahnya menjadi enam bagian memanjang!”
“Permainan pertama sudah kumenangkan, bukan?” selak Dewa Topan, tak mau lebih lama mendengar ocehan Penggerutu Berkepang.
“Bagaimana dengan permainan kedua?”
Bibir Penggerutu Berkepang komat-kamit. Hargadirinya merasa sedang dilecehkan mentah-mentah oleh seorang pemuda yang masih tergolong hijau di dunia persilatan.
“Namun sebelum kita melanjutkan...,” sambung Dewa Topan, seraya merogoh sesuatu di balik bajunya
“Ini....”
Dewa Topan melemparkan sebuntal kecil kantung kulit ular tepat di dekat kaki Penggerutu Berkepang. Sementara Penggerutu Berkepangg masih bersungut-sungut, membuat wajah makin tambah jajek. Siapa peduli pada kantung butut atau kantung kentut sekalipun!
“Kau tak mau tanya apa isi kantung itu.’” usik Dewa Topan, memancing keingintahuan Penggerutu Berkepang.
“Peduli tuyul!” bentak Penggerutu Berkepang, sewot.
“Kantong itu berisi racun. Itu adalah taruhan kita. Siapa di antara kita yang kalah dalam permainan ini, maka dia harus menelan racun di dalam kantong itu. Bagaimana?”
“Aku tak bakal kalah!” sesumbar Penggerutu Berkepang.
“Aku tak tanyakan itu. Yang kutanya, apa kau setuju dengan usulku?” tukas Dewa Topan, enteng.
Penggerutu Berkepang menimbang-nimbang sebentar. Ujung-ujung bibirnya turun. Kalau diperhatikan, wajahnya lebih mirip orang yang tersiksa sakit perut ketimbang sedang menimbang.
“Sesuka udelmu saja!” putus Penggerutu Berkepang.
“Baik..., kita mulai permainan kedua!”
***
Hujan deras mengguyur bumi sore ini. Begitu lebatnya, seakan ditumpahkan dengan semena-mena dari langit. Angkasa seperti dikurung awan gelap bergulung-gulung. Sementara halilintar menyalak dari waktu ke waktu. Sebentang sungai lebar yang membelah tanah jawa dwipa bagian barat tampak menjadi kecoklatan. Tumpahan hujan telah menyapu lapisan tanah, lalu menggiringnya ke sungai. Sementara permukaannya diserbu terus menerus oleh butir-butir hujan yang demikian gencar.
Dalam cuaca tak bersahabat seperti itu, kebanyakan orang lebih suka berselimut dpembaringan tempat kediaman masing-masing. Atau mungkin berselimut kain sarung, sambil menikmati kopi hangat dan singkong rebus.
Namun, lain lagi buat seorang yang bertudung bambu, berpakaian warna merah buram. Seperti tidak pernah mengindahkan terjangan hujan menggila seperti itu, kakinya terus melangkah tenang namun mantap. Setiap langkahnya begitu ringan. Bahkan seperti menjejak di atas permukaan aliran air hujan yang masih telap menggeliat liar. Perawakan orang itu kekar terbungkus baju berlengan pendek yang memperlihatkan otot-otot kenyal di sekujur tangannya. Pada selipan ikat pinggang kainnya, terdapat sebuah senjata berbentuk tak lazim. Sebongkah batu berbenluk gada pendek yang disambungkan rantai baja sepanjang lengan.
Orang berpakaian merah buram itu terus mengayun langkahnya, hingga akhirnya tiba di tepi sungai. Di sana, ditemukan seorang yang tampaknya juga tak menggubris kemurkaan alam. Dia adalah seorang lelaki jangkung kurus, berwajah tirus. Rambutnya yang panjang tampak kuyup tersiram hujan. Bibirnya membiru. Bukan karena hawa dingin, tapi memang demikian warnanya. Karena kurus, matanya menjadi cekung. Usianya kira-kira tujuh puluhan.
Di atas rakit bambu yang sudah keropos, orang tua kurus itu berdiri. Tangannya memegang sebilah bambu panjang yang digunakan untuk mengayun rakit. Apa yang hendak dilakukannya, tidak ada yang tahu. Jika sudah tiba di bibir sungai yang satu, orang tua ini segera mengayun kembali rakitnya ke tepi yang lain. Aliran sungai yang bergejolak seperti amukan banteng, tak pernah menjadi halangan buatnya. Tanpa kesulitan sama sekali, rakitnya meluncur menembus derasnya arus sungai. Mestinya, rakit bambu rapuh itu sudah berentakan terhantam arus sungai. Atau terhanyut cepat menuju hulu. Tapi, itu tak pernah terjadi!
Dalam cuaca yang bisa membuat kaku sendi dan otot-otot, si orang tua kurus malah bertelanjang dada. Rasanya, tak mungkin dia ingin memamerkan dadanya yang justru tak lebih dari tulang rusuk dibalut kulit keriput. Bagian bawah tubuhnya hanya mengenakan bebatan kain kasar, seperti bahan karung.
“Hei, Orang Tua Jangkung!” panggil orang bertudung di tepi sungai, tak ramah.
Nada suara orang bertudung itu benar-benar menyakitkan telinga. Kerasnya bahkan bisa menyela salakan guntur. Seorang tuli pun pasti bisa menangkap tegurannya. Namun, tidak sama sekali bagi orang tua kurus di atas rakit itu. Dia tetap asyik mendorong rakitnya dengan bambu di tangan.
Sewaktu ada gerakan halus arus sungai di belakangnya, tiba-tiba si orang tua jangkung mengayunkan bambu ke arah itu.
Pyar!