Part 7
Pada saatnya, Andika tiba di pohon tua yang batangnya lebih besar dari tubuh tiga ekor kerbau de-wasa.
“Kita bertemu kembali, sarang siluman bau pesing!” maki Andika berdesis.
Memang Pendekar Slebor menjadi begitu benci pada tempat itu. Di samping di sana bermukim para siluman yang pernah menipunya mentah-mentah untuk mengambil Cermin Alam Gaib, di sana pula bersarang musuh lamanya. Manusia Dari Pusat Bumi!
Andika tepekur sejenak. Ditatapnya lamat-lamat bentuk pohon tua itu dalam kegelapan yang pekat. Nyaris pohon tua itu tak terlihat kalau saja tak ada sinar purnama yang sedikit menyusupi celah daun-daun pepohonan hutan yang demikian lebat. Menurut Walet, Andika bisa menembus masuk ke dalam alam halus yang berada di dalam pohon tua itu. Namun, caranya amat mengundang bahaya. Dan tak hanya bisa terluka, bahkan mungkin Andika akan kehilangan nyawa!
Pertama-tama, Andika harus melakukan semadi. Paling tidak agar batinnya benar-benar siap menghadapi alam kegelapan para makhluk durjana. Pendekar muda itu memang mesti membersihkan jiwanya dalam satu penyerahan sepenuhnya pada Sang Khalik.
Andika baru hendak menyatukan sepasang telapak tangannya, ketika tiba-tiba sesuatu yang dingin menyentuh erat pangkal lengannya. Andika tercekat. Dengan sigap dipasangnya kuda-kuda.
“Tompel?!” ucap Andika hampir-hampir berseru begitu melihat seseorang yang baru saja menyentuh tangannya.
Berikutnya, Andika justru merasa ragu. Benarkah anak ini Tompel? Padahal, Andika harus mengatur hawa murni sedemikian rupa agar bisa bertahan dari hawa dingin yang seperti hendak membekukan. Tapi Tompel...?
Kaki Pendekar Slebor tersurut beberapa tindak ke belakang. Ditatapnya hati-hati serta teliti bocah tanggung di depannya. Dulu, dia pernah tertipu oleh siluman yang menyamar sebagai Raja Penyamar. Karena itu, Andika tak ingin tertipu untuk kedua kalinya. Dia tak boleh ‘terpuruk dalam lobang yang sama! (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode : “Pengadilan Perut Bumi”).
“Bang Andika.... Yeee... Kenapa jadi seperti orang kurang waras?!” sungut si bocah tanggung.
Alis mata Andika dipaksa mengkerut. Gaya bicaranya memang khas Tompel. Acuh dan asal bunyi. Tapi, tetap saja Andika ragu.
“Hmh.. Jangan kau pikir aku akan tertipu lagi, siluman berpusar jengkol!” maki Andika tersenyum sinis.
Bocah didepan Pendekar Slebor langsung memperlihatkan muka asam.
“Abang Andika ini bagaimana?! Aku ini Tompel! Benar-benar Tompel tulen! Masa’ dibilang siluman berpusar jengkol segala!” rutuk Tompel.
“Tompel yang kukenal tak akan sanggup menghadapi hawa dingin hutan ini!” sergah Andika.
“Terang saja Abang baru bertemu kembali denganku. Selama ini Abang tidak tahu, kalau aku sudah menjadi murid Pendekar Dungu?” Mata Pendekar
Slebor menyipit.
“Kau...? Murid Pendekar Dungu?” tanya Pendekar Slebor tak percaya.
“Kalau Abang tak kenal dia, aku bisa jelaskan ciri-cirinya. Orangnya sudah tua. Giginya tinggal tiga. Bertopi pandan dan berpakaian kacau-kacau. Dan satu lagi..., bodohnya minta tobat!” papar si bocah tanggung lancar!
“Aku sudah kenal dia.” kata Andika lagi.
“Tapi, tetap saja aku tak percaya kalau kau adalah Tompel.”
“Aaah, Abang ini! Kenapa jadi memusingkan aku ini Tompel atau bukan?! Yang penting, Abang harus tahu! Ada sesuatu yang lebih gawat dari itu!” Andika tak berucap apa-apa. Ditunggunya perkataan bocah tanggung itu lebih jauh dengan keadaan tetap siap siaga.
“Bang Suta! Dia bertingkah ganjil. Sewaktu hendak ke alun-alun untuk menonton pertunjukan wayang, aku berpapasan dengan Bang Suta. Anehnya, dia sama sekali tidak mengenaliku. Padahal, aku lewat persis didepannya...,” cerocos si bocah tanggung, lancar seperti mercon kembang api.
“Karena aku yakin ada yang tak beres telah terjadi pada diri Bang Suta, lalu kuurungkan niat ke alun-alun. Kemudian dia kuikuti dan sampai ke tempat ini. Kalau saja aku belum dibekali ilmu tenaga dalam oleh Guru Rengga....”
“Guru Rengga?”
“Pendekar Dungu. Si tua berotak bebal itu bernama Renggaswara!” ujar Tompel, kurangajar.
“Kalau aku tidak berbekal ilmu tenaga dalam, aku tentu sudah mampus dalam keadaan kaku di tempat ini.”
Andika mulai mempercayai keterangan bocah tanggung itu. Dia tahu benar, bagaimana sifat Tompel sesungguhnya. Anak ini tampak kurang ajar pada siapa saja. Tapi, sebenarnya berhati baik.
“Dan ada yang lebih membingungkan, Bang Andika!” cetus Tompel, setengah berbisik.
“Bang Suta, entah bagaimana bisa menembus masuk ke dalam pohon besar itu.”
Tompel menunjuk pohon tua raksasa di belakang Andika.
“Aku sendiri bingung, bagaimana dia bisa melakukannya...,” lanjut Tompel tetap berbisik.
“Suta?” desis Andika bergidik. Jadi, orang yang telah dirasuki roh Manusia Dari Pusat Bumi adalah sahabatnya sendiri? Orang yang sudah seperti saudara kandungnya....
“Ah! Rasanya aku tak bisa mempercayainya,” kata Andika, lirih.
“Semula aku juga begitu, Bang. Tapi kenyataan seringkali bertolak belakang dari harapan kita,” tukas Tompel. Sebagai gelandangan kotapraja, ucapannya tergolong bijak.
“Sekarang, apa yang harus kita lakukan, Bang?”
“Aku harus menyelamatkan seorang perempuan dalam alam siluman di balik pohon ini,” sahut Andika.
“Kita masuk, Bang?” ralat Tompel.
“Apa maksudmu?” tanya Andika.
“Lho? Biar bagaimanapun, aku harus ikut ke dalam sana. Bang Suta kan, sudah seperti kakak kandungku juga!” sambung Tompel beralasan.
“Bukan itu masalahnya....”
“Apakah Abang kira aku takut dengan ‘genderuwo’, setan belang, siluman cacingan, dan segala macam?” serobot Tompel penuh semangat berkobar-kobar.
“Aku tahu, kau bukan pengecut. Tapi....”
“Tak ada tapi, Bang!” Tompel bersikeras. Bibirnya mencibir, seolah hendak menganggap masuk ke alam kegelapan para siluman hanya sekadar buang kentut baginya.
“Kau...,” Andika kehabisan kata.
“Baiklah, hitung-hitung buat berjaga-jaga.”
“Berjaga-jaga bagaimana, maksud Abang?”
“Siapa tahu para siluman di dalam Sana langsung ngacir melihat wajahmu. Wajahmu kan. lebih jelek daripada mereka.... He he he...”
“Sialan benar!”
Andika lalu memulai kembali niatnya untuk bersemadi.
“Aku hendak bersemadi. Kalau nanti pintu alam gaib terbuka, kau harus segera masuk. Setelah itu, aku menyusul,” pesan Andika, seraya menyatukan kedua tangannya.
“Kenapa bukan Abang lebih dahulu?” tanya Tompel, tak suka.
“Katanya kau bukan pengecut...,” ledek Andika.
Tompel lagi-lagi mencibir.
“Ooo, pasti! Perkenalkan, pendekar sakti kotapraja yang belum sempat tersohor!”
“Sudah diam kau!” bentak Andika.
Andika memulai semadinya. Dan sekali lagi, dia harus memenggal niatnya. Karena tiba-tiba, terdengar suara berat dan serak merambah seisi hutan. Andika tersentak. Lebih-lebih Tompel.
“Nah, lo...! Rasanya aku belum pernah mendengar suara siluman seperti itu, Bang,” bisik Tompel seraya mendekati Andika.
“Itu memang bukan suara siluman,” kata Andika.
“Aku yakin, itu suara binatang buas. Tapi, aku belum pernah mendengarnya di tanah Jawadwipa ini.”
“Jadi binatang buas apa, Bang?”
“Mana aku tahu.”
“Khoaarrrkhhh!”
Suara geraman memecah suasana hutan angker kembali, disusul terkuaknya semak-semak tinggi. Dan, muncullah sosok makhluk yang tak pernah ada di tanah Jawadwipa. Seekor beruang berwarna putih kapas berbulu indah. Namun di balik itu, tersimpan kebuasan hewan pemangsa berdarah dingin.
“Apa itu, Bang?” tanya Tompel, tersentak.
Seumur hidup, baru kali ini bocah itu melihat wujud yang begitu perkasa sekaligus menggetarkan hati!
“Kalau tak salah, binatang itu disebut beruang kutub, Pel,” jawab Andika tenang.
Bukan pertama kali bagi Pendekar Slebor menghadapi bahaya yang jauh lebih mengancara jiwanya. Jangankan beruang. Sepuluh ekor banteng ketaton pun dapat ditumpasnya dalam sekali kepruk. Tapi yang dipermasalahkan bukan hal itu. Melainkan, Anggraini harus segera diselamatkan. Sebentar lagi, dini hari akan habis. Saat itulah Manusia Dari Pusat Bumi melaksanakan niatnya untuk menumbalkan Anggraini agar dirinya dapat kembali ke alam kasar.
“Seberapa jauh Pendekar Dungu telah menurunkan ilmu tenaga dalamnya padamu?” tanya Andika cepat.
“Cukup,” jawab Tompel dengan mata tak berkedip memandang makhluk yang mempesona sekaligus membuat nyalinya mengkerut.
“Kau sudah bisa menghancurkan batu karang?” tanya Andika.
“Ya..., kira-kira begitu.”
“Mmm.... Kalau begitu, kau sanggup menghadapi binatang ini. Sementara itu, aku akan masuk sendiri ke alam siluman.”
Tompel melotot, namun tak bisa menolak. Biar bagaimanapun, Andika harus secepatnya masuk tanpa terhalang kedatangan makhluk buas yang menyeramkan itu.
“Cepat maju!” hardik Andika.
“Jangan biarkan hewan itu mengusik semadiku,” pesan Andika.
Pendekar Slebor melangkah beberapa tindak mendekati pohon besar, sarang para siluman untuk memulai semadi kembali.
***
“Chiaaat...!”
Selantang pendekar jajaran kelas atas dari dunia persilatan, Tompel merangsak beruang kutub yang telah kehilangan tuannya. Mulutnya terbuka lebar-lebar, sehingga sulit dibedakan apakah anak itu sedang berteriak atau justru menguap. Meski baru kali ini melihat sosok makhluk yang akan dihadapinya, anak tanggung yang ternyata murid si Pendekar Dungu membuat tendangan terbang ke dada beruang kutub.
Menyambut serangan pembuka Tompel, beruang kutub yang besarnya dua kali lebih orang dewasa itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya. Sementara sepasang kaki depannya mencakar-cakar udara kemuka, siap menyambut kedatangan tendangan Tompel.
Telanjur meluncur deras di udara, Tompel tak bisa lagi menghinaari dari sambaran kuku-kuku tajam beruang salju. Namun dengan bekal ilmu yang didapat dari gurunya yang tergolong pelit dalam menurunkan ilmu, di udara tubuhnya menggulung demikian rupa seperti bola karet. Dengan begitu, sambaran cakaran kuku binatang yang hendak merobek kaki kurusnya dapat dihindarinya. Begitu luput dari cakar ganas beruang kutub, Tompel dengan cerdik segera melenturkan tubuh kembali sepenuh tenaga.
Dugkh!
Tak ayal lagi, dada gempal si beruang salju menjadi mangsa empuk kaki kurus Tompel. Meskipun kakinya langsing, namun tendangan anak tanggung itu sanggup mendorong tubuh besar beruang sejati tiga tombak ke belakang. Pada masa jayanya, Pendekar Dungu amat disegani. Terutama dalam hal ilmu tenaga dalam. Maka, tak heran kalau sekarang kehebatan tenaga dalam itu terlihat pada murid tunggalnya yang masih bau kencur dan baru mendapat sebagian dari kesaktian tokoh bangkotan itu.
“Wihhh! Aku bisa membuat binatang kutu kupret ini terjengkang ke belakang, lho!” seru Tompel kegirangan sendiri melihat hasil tendangannya.
Wajah bocah itu tampak berbinar-binar bangga sewaktu menoleh pada Andika. Sayang, pemuda sakti itu telah menyatu dalam semadinya.
“Khoarrkh!”
Si binatang berbadan bongsor ini tentu saja jadi makin murka menerima perlakuan dari si bocah. Seraya mengumandangkan geraman menggetarkan udara, tubuh beruang itu merunduk perlahan. Ditusuknya Tompel dengan tatapan sepasang bola mata yang tajam mengancam. Perlahan binatang itu bergerak mengintai.
“Khoaargkh...!”
Lalu mendadak beruang kutub ini meluruk menuju Tompel. Bocah murid Pendekar Dungu itu terperanjat bukan main. Tak diduga kalau lawan besarnya akan melakukan serangan tiba-tiba. Padahal, dikira binatang itu justru akan melarikan diri.
“Mampus juga aku!” teriak Tompel kelimpungan seraya bergegas membuang diri ke sisi kiri.
Tubuh kurus bocah itu lantas bergulingan di tanah yang penuh akar-akar merangas.
“Bang! Apa aku tidak bisa sedikit menawar, nih?!” seru Tompel pada Andika.
Bibirnya meringis sambil berusaha untuk bangkit kembali. Sejulur akar tua rupanya telah menghantam dengkulnya yang terlalu mancung.
Pendekar Slebor tak bisa lagi memperhatikan teriakan Tompel. Sebab pada saatyang sama, dia telah tiba di titik puncak kekhusuan semadinya. Dan pada saat itu niat Pendekar Slebor ditentukan, apakah berhasil membuka pintu alam gaib menuju alam siluman atau tidak.
Beberapa saat berselang, di sekujur tubuh Pendekar Slebor muncul semacam pendaran cahaya halus yang hanya bisa ditangkap mata seseorang yang memiliki kekuatan batin. Cahaya halus itu merambat dan mengembang keluar dari tubuh Andika. Sedangkan tubuh pendekar muda ini sendiri tampak bergetar. Kian lama, getaran tubuhnya kian kentara. Sampai akhirnya....
Seperti datang dari pusat bumi, angin tiba-tiba bertiup amat kencang. Anehnya, hanya di daerah sekitar pohon tua itu. Seketika, angin tadi membentuk pusaran yang menyerupai angin puting beliung yang menerbangkan daun-daun, ranting-ranting kering, rerumputan dan apa-apa yang bisa disapu. Bahkan, pepohonan besar yang tidak bisa bertahan dengan akarnya lagi! Semuanya diterbangkan ke pusat pusaran, tepat di tengah-tengah batang besar pohon tua.
Begitu angin reda, terbukalah lingkaran selubung cahaya yang amat menyilaukan. Kian lama lingkaran itu kian membesar membentuk celah bundar pada batang pohon. Begitu lingkaran cahaya itu berhenti mengembang, sekerdip mata saja Pendekar Slebor telah melompat ke sana.
Plash!
Tubuh pendekar muda kesohor itu langsung tertelan pintu alam gaib yang bcrhasil dibukanya. Tompel yang kebetulan berdiri tak jauh dari pintu alam gaib, tanpa pikir panjang segera menyusul Pendekar Slebor. Dia meloncat sekuat tenaga, bahkan sampai harus buang ‘gas’ dari pantatnya segala. Sekejap Tompel terlambat, maka tak akan bisa menyusul Andika. Karena begitu tubuhnya menyentuh lingkaran cahaya, pintu alam gaib tersebut cepat menutup kembali.
***
Alam lain benar-benar berbeda dari alam nyata tempat manusia hidup di dalamnya. Alam itu seperti kebun dengan beragam cahaya warna-warni di sekelilingnya. Sebagian cahaya berkelebat dan berseliweran di sekitar Pendekar Slebor dan Tompel. Seluruh warna begitu menyilaukan. Namun sungguh aneh, mata Andika maupun Tompel sama sekali tidak terpengaruh.
Kulit mereka merasakan himpitan hawa panas di mana-mana. Tapi, mereka sama sekali tidak tersiksa. Telinga keduanya dikerubungi suara-suara yang bersimpang siur tak karuan. Begitu bising, tapi tak menjadikan pekak. Semua serba ganjil. Serba sulit dimengerti. Untuk pertama kali dalam hidup Andika dan Tompel memasuki alam para makhluk durjana.
“Akan ke mana kita. Bang?” tanya Tompel.
“Mana aku tahu. Semuanya begitu membingungkan,” jawab Pendekar Slebor.
“Tanpa arah pasti dan alam yang begitu asing seperti ini, apa tidak mungkin kita akan tersesat?” cetus Tompel.
Hatinya cemas, meski di sampingnya berjalan seorang pendekar sakti yang amat disegani di dunia persilatan.
“Serahkan semuanya pada Sang Khalik. Kita ini milikNya. Percayalah, bahwa Sang Khalik tetap memelihara kita dari kejahatan para makhluk durjana,” tutur Andika mantap.
Andika dan Tompel terus melangkah. Setiap langkah mereka merasa menjejak gumpalan-gumpalan awan tebal yang lunak dan berlendir menjijikkan. Sampai sebentang sinar merah menyala bagaikan pantulan dari dasar neraka membentang di depan, maka Tompel dan Andika berhenti.
“Kau lihat hamparan sinar merah menyala itu. Bang? Apa tak mungkin kita benar-benar tersesat?” desis Tompel, ngeri membayangkan dirinya mati menyusuri bentangan sinar membara tanpa tepi.
Mulut Pendekar Slebor terkatup rapat, tak bisa bicara apa-apa. Tidak juga untuk menjawab pertanyaan bocah tanggung di sisinya yang terdengar amat sumbang. Andika menarik napas dalam-dalam. Hati nuraninya mengingatkan untuk meminta kekuatan dari Sang Khalik.
Belum lagi tuntas Pendekar Slebor memasrahkan dirinya pada Tuhan, tiba-tiba dari bawah kaki muncul tangan-tangan segelap lumpur. Tanpa diketahui Andika dan Tompel, tangan-tangan menjijikkan telah mencengkeram pergelangan tangan kaki mereka.
Srap! Srap!
Sebagai pendekar yang sudah begitu terlatih kesigapannya, Andika cepat membuat gerakan menghentak ke atas dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam tingkat sembilan belas nya.
“Khiaaa!”
Dua pasang tangan yang sempat menjepit pergelangan kaki Pendekar Slebor tak ayal lagi tercabut putus dari gumpalan-gumpalan seperti asap di bawahnya. Seketika, cairan berwarna kuning kental menjijikkan bercucuran dari setiap potongan tangan tersebut. Bibir Andika meringis jijik. Kalau saja tak bisa menguasai diri, saat itu juga Pendekar Slebor akan muntah.