Part 5
“Bukankah sudah kukatakan, aku hendak melamarmu kembali...,” jawab wanita itu di kejauhan.
“Apa kau belum tahu kalau aku justru ingin meringkusmu kembali, karena kau telah berhasil meloloskan diri dari hukum kerajaan atas perbuatan kejimu waktu itu?!” balas sang pangeran muda penuh tekanan, biarpun diucapkan dalam ketenangan.
“Apakah itu berarti kau menolak lamaranku?”
Pangeran Husein diam sesaat. Matanya yang dinaungi alis hitam lebal yang merentang jantan, Menusuk kegelapan tempat Beruang Betina Kutub Utara berdiri.
“Kalau waktu itu kau datang dengan cara baik-baik, mungkin aku bisa tertarik denganmu. Tapi, kini, di mataku kau bagaikan buronan yang mesti menjalani hukuman!” tandas Pangeran Husein dengan rahang agak mengejang.
“Mmm...,” Beruang Betina Kutub Utara bergumam lepas.
“Apa karena kau sudah merasa memiliki pilihan hati, seorang wanita jelita yang memiliki tanda bunga Wijayakusuma di punggung kanannya, seperti yang diumumkan beberapa hari lalu?” cemooh Beruang Betina Kutub Utara.
“Itu bukan urusanmu, Nona!” bentak Pangeran Husein. Gagang pedang di pinggangnya diremas kuat-kuat. Lelaki muda itu tampaknya berusaha menahan diri dari pancingan Beruang Betina Kutub Utara.
“Tentu saja itu jadi urusanku...,” balas Beruang Betina Kutub Utara.
Perempuan berwajah jelita namun pucat itu melangkah tiga tindak, hingga lampu badai besar di atas geladak kapal menyapu wajah dan sebagian tubuhnya.
“Kau ingin tahu, kenapa?” lanjut Beruang Betina Kutub Utara dingin dan datar.
“Karena wanita yang kau cari itu akan menjadi sainganku untuk mendapatkanmu. Pangeran....”
Kalau sang pangeran masih bisa menahan kemarahan, lain halnya Perwira Thariq. Tampaknya kewibawaan dalam diri lelaki tua itu bukanlah jaminan bahwa dia lebih bisa menahan kegusaran.
“Perempuan tak tahu adat!” hardik Perwira Thariq mengguntur.
Dilompatinya pinggir buritan setinggi dada. Tanpa kesulitan, lelaki tua itu telah tiba sekitar enam-tujuh depa dari tempat Beruang Betina Kutub Utara.
“Kali ini, aku bersumpah akan menangkapmu hidup atau mati!” dengus Perwira Thariq geram.
Beruang Betina Kutub Utara hanya tersenyum tipis mencemooh.
“Kau tak akan mampu melakukannya, Perwira Tua!”
Srang!
Bunyi pedang berbentuk melengkung menghentak kesenyapan dermaga. Perwira Thariq sudah melepas senjata dari sarangnya.
“Hiaaa...!”
Tanpa sempat meminta persetujuan Pangeran Husein lagi, laki-laki bagai singa tua itu segera melabrak beruang wanita dengan sabetan pedang menggetarkan.
Sing...!
Tebasan pertama ditujukan ke arah paha kiri Beruang Betina Kutub Utara. Dilihat dari sasaran tebasannya, tampak Perwira Thariq hanya bermaksud melumpuhkan. Sebagai kstaria sejati, Perwira Thariq menjunjung tinggi aturan-aturan yang berlaku dikerajaan. Salah satunya adalah, memberi kesempatan pada lawan untuk menyerah, dengan melumpuhkannya saja. Disamping itu, ada ketentuan untuk tidak bertempur dengan wanita.
Namun untuk perkara Beruang Betina Kutub Utara, ketentuan terakhir ini tidak harus berlaku. Sebab pada kenyataannya, Beruang Betina Kutub Utara justru lebih berbahaya daripada tiga atau empat lelaki jago tempur sekalipun. Itu pula yang menyebabkan Pangeran Husein tak segan-segan lagi bertarung menghadapi Beruang Betina Kutub Utara.
Babatan pedang Perwira Thariq tanpa banyak kesulitan dapat dimentahkan Beruang Betina Kutub Utara. Tangan kiri wanita itu menyibak mantel bulu beruangnya dari dalam. Maka sekerdip mata saja, sisi tajam pedang bertumbukan dengan kibasan mantel.
Drang!
Satu kenyataan memaksa mata Perwira Thariq terbelalak. Bagian pedang yang bertemu mantel lawan telah sompal! Manakala lelaki tua itu tertegun, kebutan susulan mantel Beruang Betina Kutub Utara kembali menyibak udara.
Drang!
Bunyi keras terdengar merobek telinga. Dan akibatnya sungguh mengejutkan. Bagaimana bisa mantel bulu yang terlihat lembut itu mampu mematahkan pedang Perwira Thariq menjadi tiga bagian sama rata?!
Sekali lagi, mata si lelaki tua dari negeri Parsi terpaksa terbelalak lebar. Perwira Thariq yakin, kalau wanita itu tadi hanya mengebutkan sisi mantelnya sekali saja. Tapi, hasil yang terjadi sebenarnya harus dilakukan dengan tiga gerakan. Dalam hati, Perwira Thariq mengutuk sekaligus memuji kehebatan gerak Beruang Betina Kutub Utara. Di negerinya, jago pedang yang paling hebat pun, belum bisa melakukannya. Bahkan kelihaian permainan pedang Pangeran Husein yang amat ditakuti di negerinya, belum tentu mampu.
“Aku tak ingin mengotori tangan dengan membunuhmu, Perwira Tua. Lebih baik, menyingkirlah dari jalanku!” gebah Beruang Betina Kutub Utara dengan tatapan menghujam.
“Kalaupun kau memiliki ilmu yang dapat membelah gunung, aku tak akan mundur,” balas Perwira Thariq, sedikit pun tak kehilangan nyali, biarpun sempat terperanjat dengan kenyataan yang disaksikannya tadi.
Beruang Betina Kutub Utara mendengus nyaris tak kentara.
“Itu artinya, kau minta aku membunuhmu....”
“Cukup, Beruang Betina!” terabas Pangeran Husein melihat gelagat tak baik bakal dialami salah seorang perwira terbaiknya kalau tak segera mengambil tindakan.
Pemuda bersorban ungu itu menyusul perwiranya. Dengan gerakan ringan, dilewatinya tepian buritan kapal. Setelah itu, kakinya berdiri persis di tengah-tengah antara Perwira Thariq dan Beruang Betina Kutub Utara.
“Kau telah terlalu jauh, Nona...,” ucap Pangeran Husein satu-satu, dipadati gelegak kegeraman.
Tatapan tajam mata sang pangeran mencorong tepat ke manik mata Beruang Betina Kutub Utara yang selalu menebar pengaruh rayu.
“Sebenarnya kedatangan ke negeri ini tidak untuk menumpahkan darah pada siapa pun. Tapi karena aku memiliki kewajiban untuk mengirimmu ke pengadilan kerajaan, terpaksa aku harus berhadapan denganmu...,” jabar Pangeran Husein, seperti memberi peringatan pada wanita calon lawannya agar segera bersiap.
Sring!
Pedang panjang milik pemuda gagah dari negeri Parsi, itu pun memperdengarkan suara menggiriskan manakala lepas dari sarungnya. Pantulan cahaya rembulan kontan bersatu dengan pantulan lampu badai di atas kapal, menjilati mata pedang sepanjang satu kaki yang membengkok.
Wut!
Pedang Pangeran Husein membuat tebasan pembuka di udara malam, sebagai aba-aba kalau pertarungan hebat yang pernah terjadi beberapa waktu lalu dinegerinya akan segera terulang kembali. Tapi sebelum masing-masing bergerak lebih lanjut....
“Hi hi hi...! Jangan digubris perempuan jalang seperti dia, Pangeian Gagah...,” selak seseorang, menjegal pertarungan yang baru saja hendak tersulut.
Seorang wanita lain telah hadir di dermaga itu. Siapa dia?
Ternyata, dia adalah wanita berkebaya yang pernah berurusan dengan Anggraini. Perempuan yang tak kalah cantik dibanding Beruang Betina Kutub Utara itu rupanya telah ikut campur. Dari sebelah utara dermaga, dia muncul dengan lenggak-lenggok gemulai menggoda. Sinar mata Beruang Betina Kutub Utara berubah beringas begitu mendengar dirinya dikatakan wanita jalang.
“Perempuan bosan hidup dari mana yang berani menyebutku selancang itu?” geram Beruang Betina Kutub Utara.
“Heee..., bosan hidup?” wanita berkebaya melengak. Bibirnya mencibir.
“Bagaimana bisa dikatakan kalau aku bosan hidup, bila aku datang ke sini malah hendak memenuhi pengumuman Pangeran Yang Perkasa... “ Suara wanita berkebaya itu mendayu-dayu seraya mengerling nakal ke arah Pangeran Husein.
Sekarang giliran pemuda dari Parsi itu yang menatap teliti wanita berkebaya.
“Wanita ini berkata kalau hendak memenuhi pengumumanku?” bisik sang pangeran membatin.
“Kalau benar begitu, mungkinkah wanita berkebaya ini yang muncul dalam mimpiku? Dia memang cantik. Tak kalah cantik dengan Beruang Betina Kutub Utara. Tapi wajahnya sama Sekali tidak mirip gambaran wanita dalam mimpiku....”
“Heee.... Tak usah begitu terpana melihat kecantikan hamba Pangeran yang ‘ehm..ehm’ kalau aku nanti sudah resmi menjadi istrimu, tentu kau akan puas menikmatinya. Bahkan lebih dari itu... hi....hi” kicau wanita berkebaya.
***
Sementara itu jauh di lain tempat, seorang kakek bertudung lebar melenting ringan di antara lekuk-lekuk tebing terjal. Licin maupun kecuramannya seakan tak menjadi penghalang. Pakaiannya yang sudah tinggal koyakan-koyakan saja, menari-nari ditepis angin. Lelaki tua renta itu mengenakan celana pendek, memperlihatkan kakinya yang melengkung keluar dengan tempurung dengkul menonjol. Sesekali gigi tebingnya runcing dijadikan tempat menjejak. Padahal, kakinya tak beralas apa-apa.
Saat yang sama, Anggraini tengah berjalan di bawahnya pada jalan di antara himpitan dua tebing. Cara aneh si kakek melakukan perjalanan, membuat dara jelita berkesan ketus itu menjadi tertarik.
“Ada pangeran dari negeri yang jauh mencari jodoh...,” senandung si kakek lamat-lamat.
Tanpa mempedulikan keberadaan Anggraini, kakek ini melewati gadis itu di atas tebing.
“Seorang gadis bertanda bunga Wijayakusuma di punggung kanannya...,” sambung si kakek bertudung. merangkai senandungnya.
Mendengar link lagu terakhir, sepasang alis Anggraini segera bertautan satu sama lain. Bagaimana tidak? Ternyata. lirik lagu yang didengarnya amat mirip sekali dengan keadaan dirinya. Pada punggung kanan Anggraini pun terdapal tanda berbentuk bunga Wijayakusuma.
“Pak Tua, tunggu!” tahan Anggraini dari bawah.
Seperti tuli, kakek tua itu terus saja asyik bersenandung sambil mencelat-celat di antara tonjolan tebing menuju matahari terbenam. Anggraini mengumpat dalam hati. Dibantingnya napas kesal.
“Pak Tua! Kenapa kau menyanyikan lagu yang buruk itu?! Telingaku pekak mcndengarnya!” pancing Anggraini, agar si kakek mau berhenti.
Memang, pendekar muda dari Tanah Buangan itu yakin kalau telinga orang tua itu belum rusak. Umpan cerdik Anggraini mengena. Rupanya untuk orang tua itu dengan dihina lebih dulu baru membuatnya berhenti ketimbang panggilan santun
“Bocah perempuan gendengl” hardik orang tua itu dongkol.
Di atas tonjolan batu seruncing mata pisau, si kakek berhenti. Hanya saja, kepalanya belum menoleh sedikit pun. Apalagi berbalik.
“Maaf. PakTua. Bukan maksudku menghinamu. Aku hanya ingin agar kau berhenti sejenak,” hatur Anggraini dengan susunan kata demi kata yang sopan. Paling tidak, bisa membayar kekurang ajaran yang dilakukan karena terpaksa tadi.
“Kalau kau hanya ingin aku berhenti sejenak, itu artinya mau mempermainkanku. Itu lebih mendongkolkan daripada sekadar hinaan tadi!” ketus si kakek, tetap tak berbalik.
“Oh! Maksudku..., aku ingin bertanya padamu, Pak Tua,” ralat Anggraini bcrgegas.
“Huh! Kau pikir aku perlu pertanyaanmu?” Menerima gerutuan janggal si kakek, perut Anggraini seperti digelitik sekawanan tuyul. Bibirnya tersenyum-senyum menahan tawa.
“Jangan menertawakanku!” bentak si orang tua.
Anggraini sempat dibuat terkesiap. Dia sama sekali tidak mengeluarkan suara tawa. Namun, si kakek tahu kalau gadis itu diam-diam menertawainya. Bagaimana dia tahu tanpa perlu menoleh? Anggraini jadi terkagum-kagum.
“Jus.. , jus...”
Anggraini jadi dibuat tergagap mengetahui kalau lelaki tua itu bukan orang sembarangan. Mungkin saja kesaktiannya yang sudah bisa dibanggakan hanya sekuku hitam dibanding ilmu si kakek.
“Bicara yang jelas! Masih muda sudah seperti nenek peyot dan pikun! Pakai ‘jus.. jus’ segala lagi!”
“Maksudku, justru aku yang perlu bertanya pada Pak Tua tentang lirik yang kau nyanyikan Pak Tua,” lagi-lagi Anggraini merasa harus meralat ucapannya.
“Tanya!”
“Bagaimana, Pak Tua?” tanya Anggraini karena tidak jelas menangkap ucapan singkat si kakek yang sampai saat itu tak sudi menoleh padanya.
“Kubilang, tanya! Kau taruh otakmu di mana?!” dengus si kakek.
“Oh... eh, iya. Soal lirik lagumu tadi, Pak Tua. Apakah....”
“Ya! Memang ada pangeran dari seberang lautan hendak mencari istri!” terabas si lelaki tua, sebelum Anggraini sempat menyelesaikan pertanyaannya.
“Jadi itu tadi bukan sekadar karanganmu, Pak Tua?” tanya Anggraini lagi, merasa ingin lebih jelas.
“Huh, karanganku...,” gerutu lelaki tua ini.
“Sana kau datangi pesisir! Biar kau bisa lebih jelas duduk perkaranya! Jangan hanya bertanya melulu!”
Selesai itu, orang tua bertudung lebar melanjutkan perjalanan dengan cara aneh. Sejurus tubuhnya melenting tinggi, menjejak satu tonjolan tebing, lalu melenting lagi. Begitu seterusnya sampai sosoknya menghilang di kejauhan.
“Kalau benar kata orang tua itu, berarti memang ada seorang pangeran yang mengharapkan wanita yang bertanda bunga Wijayakus uma di punggung kanannya,” bisik Anggraini sepeninggalan lelaki tua tadi.
“Bukankah di punggung kananku juga ada tanda lahir berbentuk bunga Wijayakusuma.... Aneh! Apa ini kebetulan semata? Atau....”
Sehimpun rasa ingin tahu menyelinap cepat ke dasar benak dara cantik berkesan ketus itu.
“Benar kata pak tua tadi. Aku harus mencari tahu. Rasanya ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua itu...,” putus Anggraini akhirnya. Dia pun menggenjot tubuh.
Di luar sepengetahuan Anggraini, kakek aneh itu berhenti di sebuah tonjolan bukit batu. Berdiri diam seperti tonggak menanti cahaya rembulan di tengah malam. Begitu gerombolan awan pekat lamat-lamat membuka tabirnya, terlempar tawa dari mulut kakek aneh tadi. Tawa yang bising, melengking serta menggidikkan.
“Ha ha ha...!”
Kejadian tak kalah menggidikkan mengekor di ujung tawanya. Seluruh kulit lelaki tua itu mengelupas. Saat yang sama dari kuakan kulitnya menggeliat-geliat puluhan ulat-ulat kecil! Tak lama berselang, tubuh lelaki itu ambruk dalam wujud kerangka busuk. Jasad halus manusia terkutuk telah merasuki lelaki tua yang sebenarnya adalah mayat dari liang lahat.
***
Dermaga di pesisir pantai tempat kapal layar Pangeran Husein tertambat. Wanita berkebaya dan berkain wiron yang pernah berurusan dengan Anggraini si Pendekar Wanita Tanah Buangan, memperkenalkan namanya pada Pangeran Husein.
“Nama hamba Kuntum Mawar, Pangeran Ganteng,” kata wanita itu manja seraya meliuk-liukkan pinggul.
“Tak perlu lagi pangeran mengurusi wanita pucat ini. Nanti hanya membuang waktu. Bukankah pangeran hendak mencari seorang istri? Inilah aku, calon istrimu. Datang memenuhi panggilanmu.... Hi hi hi...!”
“Aku mencari seorang yang memiliki tanda bunga Wijayakusuma di punggung kanannya,” kata Pangeran Husein.
“Ya, aku orangnya! Mau lihat buktinya? Boleh....”
Tanpa malu-malu, Kuntum Mawar melorotkan kebayanya sebagian. Untung saja. tubuhnya masih tertutupi pakaian dalam. Kalau tidak, Pangeran Husein bisa-bisa membuang pandangannya jauh-jauh ke tengah laut! Dengan membelakangi Pangeran Husein, Kuntum Mawar memperlihatkan gambar bunga Wijayakusuma di punggung kanannya.
“Nih, lihat! Benar, bukan?” tukas wanita seronokan itu.
Pangeran Husein menggeleng-gelengkan kepala. Memang di punggung kanan wanita itu terlihat gambar bunga Wijayakusuma. Tapi matanya tidak bisa ditipu. Itu bukan sekadar tanda scjak lahir, melainkan tatto yang sengaja dibuat dan tampaknya masih baru.
“Dasar perempuan murahan!” caci Beruang Betina Kutub Utara gusar melihat si pangeran hendak dirayu wanita saingannya.
“Eee, berani-beraninya kau menghina calon istri Pangeran Yang Perkasa!” bentak Kuntum Mawar. Matanya berkedip-kedip cepat karena marah.
Beruang Betina Kutub Utara mencibir.
“Jangan bodoh! Pangeran tak pernah mencari wanita seperti kau.... Juga, jangan menganggap Pangeran bodoh. Apa kau pikir dia tak tahu kalau tanda di punggungmu hanya buatan tangan?” cemooh Beruang Betina Kutub Utara dengan kalimat-kalimat datar dan dingin seperti biasa.
“Eee, kurang asem! Mau kujambak rambut ‘kain kafan’mu itu, ya?!”
Dengan bibir terangkat seperti moncong serigala betina, Kuntum Mawar menerjang Beruang Betina Kutub Utara. Kedua tangannya membentuk cakar ke depan, siap menjambak rambut lawan.
Wuk!
Begitu sepasang tangan Kuntum Mawar mencoba menyambar rambut putihnya, Beruang Betina menyambut dengan pukulan ‘Cakar Beruang’ nya pula.
Bret!
Ada sesuatu yang terkoyak. Begitu Beruang Betina Kutub Utara tersadar, jubah bulu beruang salju kesayangan telah menganga lebar. Rupanya, kecepatan cakaran Kuntum Mawar Lebih dahulu mengenai sasaran. Sedangkan, pukulan ‘Cakar Beruang’ Beruang Betina Kutub Utara bagai hilang lertelan angin.
Beruang betina cepat menyadari pula kalau telah berbuat kesalahan. Dia terlalu menganggap remeh lawan yang tampaknya selemah penari itu. Sepasang bola mata Beruang Betina Kutub Utara mencorong ke atas penuh dendam pada Kuntum Mawar. Bagi Beruang Betina Kutub Utara terkoyaknya jubah bulunya seperti melukai bagian tubuhnya sendiri