Part 4
“Kami datang dari negeri seberang lautan. Tujuan kami ke sini adalah, hendak melaksanakan kehendak junjungan kami, Pangeran Yang Perkasa, untuk mencari seorang istri. Beliau telah membuat suatu pengumunan. Bunyi pengumumannya adalah sebagai berikut:
“Kepada seluruh wanita di negeri ini Diumumkan bahwa aku hendak menc ari seorang pendamping hidup. Sesuai dengan wangsit yang kudapat dalam mimpi, wanita yang akan ditakdirkan menjadi istriku berasal dari negeri ini. Wanita itu memiliki tanda lahir di bagian punggung kanannya berupa kembang Wijayakusuma....”
Sampai batas itu, Andika jadi terperanjat bukan main. Tiba-tiba saja tubuhnya tersentak bangkit dari bangku kedai. Wajahnya sulit digambarkan. Melihat sikap Andika, Sutawijaya dan Tompel tentu saja menjadi heran.
“Kenapa Bang Andika? Kok seperti orang yang baru diserobol tuyul?” usik Tompel.
“Tanda lahir berbentuk bunga Wijayakusuma di punggungnya?” desis Andika, tanpa menjawab pertanyaan ngawur Tompel.
“Kau bilang apa, Andika?” tanya Sutawijaya tak jelas mendengar gumaman sahabatnya.
Andika baru tersadar. ketika Tompel meninju perutnya cukup keras.
Dugkh!
“Bang Suta tanya, Abang barusan ngomong apa?!” teriak Tompel, di dekat telinga Andika.
“Ah, tak apa-apa...,” kilah Andika, berusaha menutupi.
Kembali pikiran Andika menerawang jauh, menembus awang-awang. Bahkan sepertinya kedua sahabatnya tak dipedulikan.
“Siapakah sesungguhnya orang yang memiliki tanda bunga Wijayakusuma di punggung kanannya?” bisik hati Andika bertanya-tanya.
“Apa pula hubungannya ‘bayangan’ yang dilihat Walet dengan pangeran asing itu?”
Lagi-lagi si pemuda sakti buyut Pendekar Lembah Kutukan itu tercenung sendiri. Tanpa sadar, Andika hendak menggaruk kepala karena tak mengerti teka-teki yang harus dihadapinya. Padahal, tangannya masih memegang cangkir teh.
“Aufh...!”
Si pemuda bertampang ningrat namun berpenampilan gelandangan itu menjadi megap-megap sendiri begitu cairan hitam pekat mengguyur wajahnya.
“Wah... minum teh tubruk saja bisa mabuk, ya Bang?!” ledek Tompel.
Andika hanya bisa mendelik dongkol.
***
Di buritan sebuah kapal layar indah, seorang laki-laki tinggi tegap berhidung mancung tengah berjalan mondar-mandir seperti menanti sesuatu. Dia adalah Pangeran Husein yang berasal dari negeri Parsi. Pangeran inilah yang baru-baru ini membuat pengumuman yang isinya ingin mencari calon istri. Di negerinya, dia mendapat gelar kehormatan Pangeran Yang Perkasa. Gelarnya, memang tak hanya sebatas sebutan. Melainkan, benar-benar tampak pada kepribadian sesungguhnya.
Dengan kegagahan dan keberanian menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam negeri yang merongrong kedaulatan ayahnya, memang tak berlebihan jika sang pangeran mendapat gelar itu. Dalam perang, dia lebih berani dan tangguh daripada panglima istana.
Beberapa waktu lalu, Pangeran Husein bermimpi didatangi sebentuk bayangan yang menyerahkan seorang gadis cantik rupawan ke dalam pelukannya. Si gadis memiliki tanda bergambar bunga Wijayakusuma di punggung kanan. Tanpa hendak meminta saran dari penasihat istana, Pangeran Husein merasa yakin kalau mimpi itu semacam wangsit dari Yang Maha Tunggal. Dengan keyakinan penuh dia menafsirkan, bahwa wanita yang hadir dalam mimpinya adalah calon istrinya.
Kalaupun Pangeran Husein kemudian memaklumatkan sebuah pengumuman ditanah Jawadwipa, penyebabnya karena akhirnya mimpi terlihat hamparan padi yang menguning sepanjang pandangan. Untuk hal ini, sang pangeran meminta pendapat para cendikiawan istana. Dan seorang cendikiawan menyarankan, agar dia berlayar membelah lautan Cina sampai tiba di sebuah pulau subur makmur bernama Jawa Dwipa.
Setelah beberapa hari mengarungi lautan dengan kapal layar kerajaan yang besar, sang pangeran yang juga tampan itu segera turun ke darat. Dibawanya seorang kusir dan dua pengawal untuk menyebarkan pengumuman yang telah dibuatnya.
Kini, tiga hari telah berlalu dari saat pengumuman dibacakan di kotapraja. Sampai saat ini, tak ada seorang wanita pun yang mendatangi kapal layar kerajaan milik Pangcan Husein. Dan ini membuat calon pewaris tahta Kerajaan Persia itu menjadi gelisah. Menunggu dan menunggu baginya seperti siksaan berat. Keinginan untuk segera bertemu wanita yang pernah hadir dalam mimpinya itu, begitu menggebu-gebu, bagai letupan-letupan kawah gunung berapi. Sebulan berperang, barangkali akan lebih disukai ketimbang tiga hari menanti. Itulah yang mendera perasaan Pangeran Husein belakangan ini.
Kini, Pangeran Husein berdiri menatap angkasa luas. Angin yang sepoi-sepoi basah tak bisa menghiburnya. Tidak juga bayangan bulan yang mengapung di permukaan laut, atau kerlap-kerlip berjuta bintang di angkasa raya. Hatinya benar-benar gelisah. Tak jauh di sebelahnya, seorang perwira berdiri mematung. Raut wajahnya s udah dipenuhi kerutan. Rambutnya memutih. Biarpun tampak demikian tua, tak ada kesan rapuh pada perawakannya. Dengan Kumis berwarna putih yang lebat serta mata yang agak cekung berwarna kelabu, perwira ini justru kelihatan berwibawa.
“Sudah berapa lama kita berlabuh di pesisir pulau ini, Paman Thariq?” cetus Pangeran Husein lamat, di antara bisikan lembut angin laut. Matanya tak kunjung lepas menatap gerak gemulai Bayangan bulan yang dipermainkan gelombang kecil.
Perwira tua di sisinya menoleh.
“Sudah menjelang hari keempat, Pangeran,” jawab sang perwira bernama Thariq, penuh rasa hormat.
Kepala pemuda gagah berpakaian kebesaran itu menggeleng perlahan.
“Sepertinya, aku sudah menunggu berabad-abad...,” desis Pangeran Husein nyaris bergumam.
“Kalau boleh tahu, ada keperluan apa sebenarnya Pangeran mendatangi negeri yang begitu jauh ini?” tanya Perwira Thariq.
Selama ini, perwira itu memang belum diberitahu tujuan Pangeran Husein sebenarnya. Pangeran Husein tertawa kecil. Ditariknya napas dalam-dalam. Sementara, pandangannya beralih sejenak pada lelaki berwibawa di sebelahnya.
“Rasanya lucu jika aku memberitahukannya pada Paman, kenapa aku begitu menggebu-gebu hendak ke negeri ini...?” tutur Pangeran Husein.
“Apakah aku telah lancang menanyakannya?”
“Oh! Bukan itu, Paman,” kilah Pangeran Husein cepat.
“Sebenarnya aku sendiri ingin memberitahukannya pada Paman, sebelum kita berangkat dahulu. Tapi, aku sungkan....”
Pangeran Husein menurunkan kedua tangannya ke tepian kapal.
“Kenapa jadi sungkan? Bukankah Pangeran menganggap kami, para perwira tua, sebagai orang-tua Pangeran juga? Dulu, Pangeran berkata begitu, bukan?”
“Ya! Tentu saja aku ingat, Paman.” Pangeran muda dari negeri Parsi itu menganggukkan kepala.
“Kalau begitu, silakan ceritakan.... Percayalah, Paman akan mendengarkan.”
“Asal Paman tidak menertawai ceritaku...,” ujar Pangeran Husein, mengajukan syarat.
“Asal Pangeran tidak bermaksud melucu...,” balas Perwira Thariq, sedikit bergurau.
Kembali tawa kecil si pangeran muda tersembul.
“Begini, Paman....”
Belum lagi kalimat Pangeran Husein berlanjut, mendadak saja selantun suara seorang wanita bersenandung merayapi sekitar dermaga. Pangeran Husein menegakkan kepala. Begitu juga
Perwira Thariq.
“Apa Paman mendengar senandung seorang wanita?” tanya Pangeran Husein, bimbang pada pende-ngarannya sendiri.
“Aku rasa begitu, Pangeran,” sahut sang perwira.
Merasa yakin kalau memang ada wanita bersenandung, Pangeran Husein berseru.
“Hei! Adakah seorang wanita di sana? Kalau benar, sudikah kiranya memperlihatkan diri?!”
Seruan pangeran ini tak mendapat sambutan. Bahkan tiba-tiba saja berdesir serangkum angin pukulan deras tak tampak mata dari arah timur dermaga
Wush!
“Pangeran awas!” Perwira Thariq memperingatkan.
Selang sekejap dari peringatan lelaki tua bersorban dan berpakaian merah dengan rompi kain putih itu, Pangeran Husein melenting ke udara.
Blash!
Pukulan jarak jauh tadi langsung memangsa layar yang kebetulan tersibak sebagian. Seketika itu pula, kain tebal berwarna abu-abu tersebut koyak bagai dicabik-cabik cakar seekor beruang.
“Beruang Betina Kutub Utara...,” desis Pangeran Husein, begitu kakinya menjejak lantai buritan.
Pangeran Husein dan Perwira Thariq saling berpandangan tak mengerti. Sudah lama mereka mengenal wanita berjuluk Beruang Betina Kutub Utara. Seorang wanita berilmu tinggi yang tidak hanya sulit dimengerti, tapi juga sulit diduga kesaktiannya.
***
Dulu, Beruang Betina Kutub Utara memang pernah muncul membuat kegemparan di negeri Parsi bersama seekor beruang kutub berwarna putih salju. Kehebatannya hanya bisa ditandingi Pangeran Husein. Biar begitu, Pangeran Husein sendiri pernah menjadi bulan-bulanan pukulan ‘Cakar Beruang Salju’ milik wanita aneh itu.
Kala itu, kerajaan digemparkan kabar burung yang menyebar seperti wabah menular. Rakyat sampai petinggi istana banyak membicarakan tentang kemunculan seorang wanita berparas cantik bagai bidadari, namun sepucat mayat. Rambutnya panjang. Dan tak seperti orang kebanyakan, rambutnya berwarna putih bagai warna binatang peliharaannya.
Desas-desus yang kian santer, membuat Pangeran Husein tertarik. Dari seorang petinggi istana, pemuda calon pewaris tahta kerajaan itu mengorek keterangan tentang Beruang Betina Kutub Utara. Selang sekian waktu, setelah si petinggi menceritakan segala hal yang diketahuinya, Beruang Betina Kutub Utara mendatangi istana.
Di depan istana, wanita bermantel dari bulu beruang itu tanpa tedeng aling-aling mengungkapkan niatnya. Melamar Pangeran Husein. Kemarahan timbul dalam diri para prajurit istana. Sebagai abdi setia kerajaan, mereka beranggapan bahwa wanita asing yang dikawal beruang salju itu bermaksud menghina keluarga istana. Mereka berang. Diusirnya Beruang Betina Kutub Utara dari pelataran istana. Tapi bukannya pergi, wanita yang memiliki mata menantang ini malah melangkah menuju serambi istana tempat Pangeran Husein berdiri.
Tanpa diperintah, empat prajurit andalan istana menghadang. Belum lagi mereka siap berdiri menghalangi, serangkum sampokan bertenaga dalam dahsyat terlepas dari punggung tangan wanita bermuka pucat berjuluk Beruang Betina Kutub Utara. Dalam segebrakan, empat nyawa prajurit andalan itu melayang.
Kekejian Beruang Betina Kutub Utara memancing kegusaran para perwira istana. Malah, menyusul ambruknya empat prajurit tadi ke bumi, dua perwira berusia muda langsung turun menghadapi kebengisannya. Kedua perwira itu pun harus menelan bulat-bulat akibatnya. Mereka berguguran seperti daun kering, tak beda dengan empat prajurit sebelumnya. Hanya karena kepandaian tempur mereka terbilang cukup tinggi, maka akibat yang diderita pun tak separah keempat prajurit. Mereka hanya terluka dalam.
Sampai di situ, Pangeran Husein tak bisa lagi mendiamkan tindakan semena-mena Beruang Betina Kutub Utara. Setelah menoleh sebentar pada ayahanda yang berada di sisinya, pangeran muda perkasa itu melompat. Dan dia mendarat tepat dua tombak di depan wanita yang tak hanya telah lancing melamarnya, tapi juga telah berbuat semena-mena di wilayah kekuasaannya.
“Siapa kau sebenarnya, Wanita Asing?” tanya Pangeran Husein, tenang.
“Aku?” Beruang Betina Kutub Utara melirik Pangeran Husein.
Tak ada kesan nakal dalam lirikannya. Namun, binar yang lahir dari setiap gerak bola matanya mengandung kekuatan memikat yang sungguh luar biasa. Kalau saja, Pangeran Husein tak memiliki kekokohan jiwa, bisa jadi langsung terpengaruh.
“Aku datang dari jauh. Dari tepi dunia ini. Aku tak punya nama. Tapi, aku lebih suka disebut Beruang Betina Kutub Utara,” sambung wanita itu, menjelaskan.
“Apakah kau tahu, kalau telah berbuat kemungkaran di tempat ayahku?” sambung Pangeran Husein, datar tapi mantap.
“Aku tahu...,” jawab Beruang Betina Kutub Utara singkat sambil menyingkap anak rambut berwarna putih yang jatuh menutupi mata.
“Apa kau tahu pula, bahwa seorang yang telah berbuat kemungkaran akan mendapat hukuman sesuai perbuatan yang dilakukannya?”
“Aku tahu...,” jawab Beruang Betina Kutub Utara, dengan singkat pula.
“Kalau begitu, aku tak perlu lagi memaksamu untuk menyerahkan diri pada hukum yang berlaku di kerajaan kami. Kau harus diadili, karena telah membuang nyawa empat prajurit dan melukai dua perwira....”
“Aku juga tahu itu...,” jawab Beruang Betina Kutub Utara sekali lagi.
“Tapi aku tak mau....”
Setelah itu, tak ada lagi jalan yang harus ditempuh Pangeran Husein, selain menggempur wanita cantik yang berkulit wajah pucat di depannya.
Pertempuran sengit terjadi. Para perwira serta raja yang pernah melihat Pangeran berlaga di medan perang baru kali ini, melihat pertempuran paling hebat yang pernah dialami sang pangeran. Sebagian tembok istana menjadi hancur tak karuan. Pelataran istana sudah tak ketahuan lagi bentuknya. Mereka bertukar jurus dalam adu keunggulan yang mencengangkan, bahkan bagi seorang panglima berilmu tinggi sekali pun.
Seluruh istana seakan terkurung bunyi pedang sang pangeran. Belum lagi hantaman-hantaman dari setiap kibasan tangan Beruang Betina Kutub Utara. Sampai akhirnya....
“Pangeran Husein! Aku menyusulmu untuk melamarmu kembali!”
Satu seruan seorang wanita memberangus bayangan kejadian silam dalam benak Pangeran Husein. Di sebelah timur dermaga, di antara puluhan perahu nelayan kecil yang tertambat bisu, tampak sesosok bayangan muncul di bawah siraman cahaya temaran rembulan.
Tepat seperti dugaan Pangeran Husein dan Perwira Thariq.... Wanita yang baru muncul itu memang Beruang Betina Kutub Utara. Dan itu makin nyata dari bayangan mantel bulu beruangnya.
“Untuk apa kau mengikutiku ke sini, Beruang Betina?” tanya Pangeran Husein.