Part 3
Belum sempat Sutawijaya menjawab pertanyaan bocah yang pernah dianggap sebagai adik angkatnya, keduanya telah diusik kerumunan orang di alun-alun. Beberapa orang berlari-lari kecil, menambah kerumunan menjadi kian membengkak. Dari kejauhan, lamat-lamat terdengar gumaman serempak dari kerumunan orang yang berkumpul. Sesekali terdengar gemuruh sorak yang ramai. Jelas, hal itu memancing keingintahuan Sutawijaya dan Tompel.
Sutawijaya segera mengajak Tompel untuk melihatnya.
“Ada apa ya. Bang?” tanya bocah kotapraja itu. saat mereka berjalan tergesa menuju alun-alun.
“Aku tak tahu. Mestinya, aku yang bcrtanya begitu padamu. Kau kan selama ini tinggal di sini...,” sahut Sutawijaya, sambil melangkah dengan gerakan kaki lebar-lebar.
Sutawijaya dan Tompel akhirnya tiba di dekat kerumunan. Alun-alun makin dipadati orang-orang yang ingin tahu, apa yang terjadi di sana. Bahkan sudah hampir sepertiga luas alun-alun menjadi tempat kerumunan. Tepat ditengah-tengah kerumunan, terbentuk semacam arena yang cukup luas. Di sana, seorang bocah berusia lebih tua dua tahun di atas Tompel Sedang memainkan satu pertunjukan. Semacam pagelaran hiburan rakyat sederhana.
Biarpun sederhana, daya pikat permainan si bocah benar-benar bisa membuat penonton terperangah kagum. Dari penampilannya, anak lelaki itu tak ada istimewanya. Pakaiannya terlihat seperti gembel, compang-camping dan dekil. Rambutnya ikal tak teratur. Wajahnya menggemaskan, dengan mata bulat seperti pipi tembem. Anak itu mengenakan celana pendek. Dan di ikat pinggangnya terselip sebuah suling bambu. Pada satu babak permainan, anak berwajah lucu itu melepas suling bambu dari ikatan pinggangnya.
“Para penonton yang kuhormati....” kata bocah itu lantang seraya mengangkat tangan tinggi-tinggi.
“Aku akan menghibur kalian semua dengan satu permainan lagi.” Si bocah mengacungkan seruling miliknya ke muka.
“Suling ini bukanlah suling sakti atau pun suling ajaib. Bukan pula suling pengamen! Namun, benda tak berguna ini memiliki keistimewaan. Jika dimainkan.”
Bocah itu lalu mulai berkeliling pinggiran kerumunan. Satu persatu penonton yang berada paling depan diperlihatkan seruling di tangannya.
“Perhatikan..., perhatikan seruling ini baik-baik! Bukankah di dalamnya tidak ada satu pun yang istimewa?!” sambung si bocah dekil, tak kalah lantang dari sebelumnya.
Semua penonton di pinggir arena puas melihat keadaan suling. Seperti kata pemiliknya, seruling itu memang tidak terdapat apa-apa di dalamnya. Karena itu, mereka banyak mengangguk percaya atas perkataan si bocah. Bocah penghibur itu kembali ke tengah arena.
“Apakah saudara-saudara semua sudah siap melihat pertunjukan terakhir ini?!” tanya si bocah mencoba memancing semangat penonton.
Penonton terpancing, gemuruhpun tercipta.
“Siaaap...!” sambut sebagian besar dari mereka.
“Baik,” mulai si bocah lagi.
“Kini perhatikan baik-baik....”
Bocah yang memiliki lagak dan gaya macam orang tua itu pun memulai permainannya. Lambat tapi pasti, seruling ditempelkan ke bibirnya. Mulailah terdengar lantunan irama yang merdu mendayu, mengayun-ayun sukma siapa pun pendengarnya.
Sampai sebegitu jauh, belum tercipta hal-hal mengherankan, kecuali kemerduan tiupan seruling. Para hadirin mulai tak sabar menanti. Mereka memang cukup terhibur oleh permainan seruling. Tapi yang dijanjikan si bocah penghibur toh, bukan hanya itu. Jelas saja mereka menuntut janji tadi.
“Tong...! Mana yang kau katakan kalau seruling itu bisa mengeluarkan sesuatu yang mengherankan?! Jeee...! Kalau cuma gitu, aku juga.... bisa!” tuntut salah seorang penonton.
“Iya! Mana?!” timpal yang lain.
“Iya, mana! Eh! Mana apanya, ya?” tanya seseorang yang baru saja datang tergopoh-gopoh.
“Mana... mana! Mana jidatmu! Kalau tak tahu, jangan ngomong!”
“Wong aku punya mulut sendiri, kok!”
“Kalau begitu, ngomong sana sama bedug!”
Meski banyak yang berteriak-teriak, si bocah penghibur tampaknya masih tetap tenang memainkan jemarinya di atas lubang-lubang seruling. Matanya terpejam, menikmati alunan irama dari suling. Orang-orang makin mangkel, karena teriakan-teriakan tadi hanya dianggap pepesan kosong oleh sibocah.
Dengan mulut terungkit-ungkit, salah seorang penonton mengambil sandal dari kakinya. Biarpun pertunjukannya belum memungut bayaran, namun kalau urusan tak memuaskan, maka bolehlah memberi sedikit pelajaran. Kira-kira, begitu pikir orang ini tanpa mempertimbangkan akibatnya.
Wuk!
Seketika sebelah sandal kayu yang kelewat kotor dan bau pun melayang ke udara. Sasarannya, tepat kepala sibocah yang masih terpejam-pejam ke-asyikan. Begitu sandal kayu nyaris tiba, dari lubang ujung seruling muncul bergumpal-gumpal asap jingga dengan cepat mengejar benda yang sengaja dilempar oleh salah seorang penonton tadi. Sekejap saja, gulungan asap telah menelan sandal kayu.
Plas!
Setelah itu, seluruh penonton dibuat terpana. Sandal tadi mestinya menimpa kepala si bocah. Setelah melewati gumpalan asap jingga. Ditunggu-tunggu, ternyata sandal itu tak juga muncul dari gulungan asap. Bahkan ketika asap jingga menipis dan akhirnya menghilang, sandal itu tetap tak terlihat lagi.
“E-eh! Kok, gitu ya...?” seru beberapa orang.
“Iya, ya... Hebat juga. Sandal kok bisa hilang. Tapi, gimana nanti aku mengatakannya pada istriku? Sandal itu kan warisan mbahnya...” gumam si pelempar sandal. Baru menyesal dia sekarang!
Plok, plok, plok.. !
Orang-orang bertepuk tangan meriah. Janji telah terbukti. Mereka puas. Namun begitu, ketika si bocah mengeluarkan topi pandan yang dikira untuk meminta saweran, hampir sebagian besar bubar.
“Lho..., lho? Jangan bubar dulu!” cegah si bocah.
“Aku tidak mau minta saweran.’
Bocah itu berusaha meralat kesalahpahaman para penonton. Sambil mengenakan topi pandan ke kepala, anak itu memanggul buntalannya.
“Aku hanya ingin minta sedikit keterangan sebagai bayaran dari hiburan yang kupersembahkan
barusan...,” kata bocah itu lagi.
“Tak perlu!” sergah seseorang tiba-tiba dari kerumunan.
Tak lama, muncul seorang pemuda berpakaian hijau muda ke tengah arena. Bibirnya mengembangkan senyum menyapa.
“Bang Andika.... Apa kabar?!” sambut si bocah.
Dihampirinya pemuda yang ternyata Andika atau di dunia persilatan dikenal sebagai Pendekar Slebor. Diangsurkannya tangan, mengajak berjabatan. Si bocah dan Andika pun berjabatan hangat, layaknya dua sahabat yang lama tak jumpa. Padahal, usia mereka terpaut cukup jauh.
“Apa kabar juga, ‘Pangeran’ Walet,” balas Andika dengan sebuah embel-embel baru yang disepuhkan di depan nama bocah itu.
Bocah penghibur itu memang Walet. Bocah kecil yang memiliki kehebatan batin. Dengan kehebatannya, banyak orang menjulukinya Bocah Ajaib. Kedua kawan lama itu lalu terlibat pembicaraan. Tidak dipedulikan lagi penonton yang menggerutu.
“Kau harus hati-hati, Kang Andika...,” papar Walet.
“Aku mendapat bayangan beberapa hari ini, kalau kau akan berhadapan kembali dengan salah satu musuh lamamu yang paling berat.”
“Bayangan? Bayangan apa maksudmu?” tanya Andika heran.
“Seperti mimpi yang kualami, saat aku dalam keadaan sadar....”
“Aku tak paham. Setahuku, semua mimpi terjadi sewaktu seseorang tak sadar. Maksudku, saat seseorang sedang tertidur....”
“Kakang tak perlu paham, bagaimana aku mendapatkan ‘bayangan’ itu. Yang mesti diperhatikan adalah, isi ‘bayangan’ itu...,” tukas Walet.
“Apa itu?”
“Dalam ‘bayangan’ itu, aku melihat satu cahaya amat menyilaukan menembus langit malam kelam. Cahaya itu jatuh ke salah satu bagian kotapraja ini....”
“Apa kira-kira kau tahu, cahaya apa itu? Apa mungkin itu hanya benda angkasa yang masuk ke bumi?” tanya Andika.
Walet menggeleng mantap.
“Batinku mengatakan, kalau cahaya itu bukanlah benda langit biasa. Ada satu kekuatan gaib luar biasa yang dibawanya. Kekuatan mata batinku sendiri sulit menembus ke dalam cahaya itu,” papar Walet dengan mata menyipit.
Sejurus Andika terdiam memikirkan kata-kata Walet.
“Ada hal lain yang kulihat dalam ‘ bayangan’ku,” Walet mulai lagi.
Pendekar muda dari Lembah Kutukan di dekatnya menunggu.
“Aku melihat seorang gadis cantik berpakaian merah-merah ditelan cahaya menyilaukan itu, disuatu tempat yang dibatasi air sejauh mata memandang. Dan saat itu, purnama membulat penuh,” lanjut Walet.
Sementara, para penonton satu persatu kembali pada urusan masing-masing. Malam sudah sempurna. Lampu-lampu minyak di pinggiran jalan kotapraja sudah menyala. Para pedagang Malampun sudah siap dengan dagangannya di beberapa tempat.
Dua orang masih tersisa. Mereka adalah Sutawijaya dan Tompel.
“Bukankah itu Bang Andika, Kang?” ungkap Tompel berbisik pada Sutawijaya di sampingnya.
Sutawijaya mengangguk tanda membenarkan Tompel. Sepasang bola matanya tak lekang, menatap wajah dan sosok Andika. Rasanya memang sulit dipercaya kalau bisa bertemu kawan akrab kembali yang sudah seperti saudara kandung sendiri dalam keganasan kehidupan kotapraja dulu.
“Andika...!” sapa Sutawijaya.
Andika pun menoleh. Begitu juga Walet. Namun saat itu juga bocah penjelmaan seorang pangeran yang mati ratusan tahun lalu ini segera mohon diri pada Pendekar Slebor.
“Kenapa kau terburu-buru, Walet?” tanya Pendekar Slebor.
“Masih banyak yang harus kulakukan, Kang! Selamat tinggal....”
Andika tak bisa mencegah lagi, ketika Walet melangkah pergi. Sementara, Sutawijaya dan Tompel sudah tiba di depan Pendekar Slebor.
***
“Jadi, Pendekar Slebor itu ternyata kau, Andika?!” kata Sutawijaya dengan mata membesar.
Saat ini, Sutawijaya, Andika, dan si pencopet kecil Tompel sedang duduk berleha-leha di kedai pinggir jalan kotapraja.
“Ini benar-benar menggelikan,” ungkap Sutawijaya lagi.
“Sudah begitu lama aku mendengar kabar tentang Pendekar Slebor dari berbagai penjuru dan dari mulut ke mulut. Eee, tak tahunya orang yang bikin geger orang yang sudah kukenal sejak masih ingusan! Bagaimana tidak lucu?!”
Sutawijaya berbicara cukup menggebu-gebu.
“Jangan melebih-lebihkan seperti itu, Suta,” sergah Andika malu hati. Diseruputinya teh kental pahit khas kotapraja.
“Kang Andika tidak berubah dari dulu,” tukas Tompel ambil bagian.
“Biarpun urakannya setengah modar, tapi sifat rendah hatinya tak kalah modar. Eh..., maksudku tak kalah... ya, begitulah....”
“Kalau tak bisa ngomong dengan jelas. lebih baik tidak usah bicara. Pel!” gurau Andika.
“Nah, tuh! Bang Andika mulai mengalihkan pembicaraan, kan? Coba kalau tadi tidak ada yang berbisik-bisik kalau Bang Andika adalah Pendekar Slebor yang ‘wah’ itu, tentu kita tak akan pernah tahu. Ya, Bang Suta?”
Sutawijaya mengangguki ucapan Tompel.
“Ah, sudahlah! Kalian pikir, akan berbeda seorang yang namanya tersohor dengan orang yang tidak tersohor? Jangan suka menilai seseorang hanya dari satu sudut saja.... Manusia kan harus dinilai dari pribadinya. Bukan ‘embel-embernya!” tukas Andika seraya tangannya menepis udara.
Plok, plok, plok.. ! Tompel bertepuk tangan.
“Ini juga salah satu sifat yang kusuka dari Bang Andika. Dari dulu, sok pintarnya tidak hilang-hilang juga!” gurau si bocah pencopet dengan raut wajah meledek.
“Bocah sialan, kau!” umpat Andika.
Tompel tertawa. Begitu juga Sutawijaya.
“O, iya. Andika, kau belum beritahu kami, siapa bocah kecil ajaib yang menggelar pertunjukan itu? Dia tampaknya sudah begitu mengenalmu. Tapi. kenapa cepat-cepat pergi lagi?” tanya Sutawijaya.
“Anak itu sahabat lamaku. Dia punya sedikit keperluan denganku. Setelah itu, ingin melanjutkan
perjalanannya kembali,” jawab Andika, tanpa mau memaparkan hal sebenarnya tentang diri Walet.
Selagi mereka meneruskan obrolan ngalor-ngidul, di jalan utama kotapraja terlihat debu mengapung pekat ke udara. Ada dua penunggang kuda berperawakan gagah mengawal satu kereta kencana mewah. Kereta itu ditarik empat ekor kuda putih jantan bertubuh menawan. Semuanya dikendalikan seorang kusir kuda yang tak kalah gagah dibanding dua penunggang kudanya. Dari jendela kereta kencana terlihat seorang pangeran gagah melayangkan pandangan ke arah luar. Baik wajah dua pengawal, kusir, atau pangeran dalam kereta kuda, sedikit pun tak mencerminkan kalau mereka adalah penduduk asli. Mereka memiliki hidung lebih mancung daripada penduduk setempat. Kulit mereka pun lebih hitam. kecuali sang pangeran yang berkulit putih.
Bagi mata penduduk kotapraja, wajah mereka begitu asing. Belum ada yang bisa memastikan, dari mana asal mereka. Namun menilik raut wajah dan pakaiannya, banyak yang menduga mereka adalah pendatang dari negeri seberang.
Keempat lelaki asing itu semuanya mengenakan semacam sorban, dengan warna berbeda. Dua penunggang kuda bersorban warna merah jingga. Sang kusir berwarna hitam. Sedangkan si pangeran warna ungu. Dua penunggang kuda serta kusir memakai baju berbentuk rompi kain yang warnanya sama dengan sorban mereka. Celana mereka lebar dan longgar serta mengetat pada bagian mata kaki. Yang terlihat agak lucu bagi mata para penduduk kotapraja adalah. sepatu mereka. Ujung sepatu keempat lelaki asing itu memanjang dan meruncing, lantas membengkok seperti tanduk.
Salah seorang penunggang kuda maju ke dekat kerumunan. Di tangannya tergenggam gulungan kain yang tampaknya berisi sebuah maklumat yang akan disampaikan kepada orang-orang di kotapraja.
“Saudara-saudara yang terhormat...,” si penunggang kuda tadi mulai dengan ucapan terpatah-patah dan kaku.