Part 2
“Sss. . siapa..., siapa kau?” tanya lelaki setengah baya gelagapan, tergebah pengaruh mata pemuda ini.
“Aku hanya seorang pengembara,” jawab pemuda itu singkat dan datar. “Sekarang, jelaskan padaku. Mengapa kau hendak menghajar anak kecil ini?”
“Ddd... dia mencopet kantong uangku.... Tolong aku, Tuan Muda. Lepaskan tanganku. Biar kuhabisi anak tak berguna ini,” pinta lelaki setengah baya, memelas.
Pemuda yang menjadi tempat berlindung si bocah pencopet tak sudi meluluskan begitu saja permintaan laki-laki perlente. Matanya terus saja menyelidik, bagai hendak menerobos langsung ke dalam jantung lelaki yang masih dicekalnya. Memang terlihat kesan kebusukan pada sinar mata si lelaki setengah baya. Mungkin benar, bahwa bocah kecil ini sebagai pencopet. Namun lelaki ini justru terbiasa hidup dengan menghisap darah sesama. Kini, seenaknya saja bocah kecil ini dituding sebagai anak tak berguna. Padahal, dirinya sendiri bukan saja tak berguna. Lebih dari itu, malah bersenang-senang di atas kesengsaraan orang lain!
Seraya melepas senyum sinis, pemuda itu menoleh ke arah bocah pencopet di belakang tubuhnya.
“Benar kau telah mencopet kantong uang orang ini, Adik Kecil?” tanya pemuda ini setenang telaga.
“Ya, aku memang mencopetnya. Tapi itu hasil kerjanya memerah uang rakyat! Bunga dari hutang yang diberikan pada rakyat, terlalu tinggi dan mencekik leher!” tukas si bocah, lugu dan jujur.
“Tutup bacotmu!” hardik lelaki perlente dengan mata membesar penuh. Tangannya telah dilepas oleh si pemuda. Itu yang membuatnya jadi mulai berani berkoar lagi.
“Asal Abang tahu, keluarga yang baru saja diperasnya baru saja mengalami kesusahan. Anaknya meninggal. Mereka butuh uang untuk menguburkannya. Tapi orang busuk ini malah merampas uang keperluan pemakaman!””
Tanpa segan-segan ataupun takut-takut, semua kebejatan yang baru saja dilakukan lelaki lintah darat ini diutarakan si bocah.
“Tutup bacotmu! Tutup bacoootmu!” hardik si lelaki perlente makin kalap. Namun, dia tak berani bertindak lebih dari itu di bawah ancaman mata si pemuda.
“Kalau begitu, ayo cepat kau kembalikan!” perintah si pemuda tanpa mau banyak urusan lagi.
“Tapi, Bang....”
“Jangan pakai tapi-tapian segala! Apa susahnya mengembalikan kantong uang orang ini?” desak si pemuda.
Dengan setengah menggerutu serta wajah tertekuk, bocah pencopet ini mau juga mengeluarkan kantong uang hasil jarahan dari balik baju rombengnya.
“Nih. makan biar perutmu menggelembung!” umpat bocah itu seraya melempar kasar kantong uang tadi ke tanah.
Si lelaki perlente mengambilnya. Matanya menusuk tajam, mengancam pada si bocah. Rupanya hatinya masih penasaran karena belum menghajar. Dan baru saja dia hendak maju, pemuda berbaju hijau pupus itu mengangsurkan badannya.
“Heee... he... he! Cuma bercanda kok, Tuan Mu-da!” celoteh laki-laki perlente ini memuakkan.
Tanpa permisi lagi, apalagi berterima kasih, lelaki perlente itu melewati si pemuda dan bocah pencopet tanpa permisi. Tangannya asyik menimang-nimang kantong uang hasil perasan dengan hati puas.
“Abang keterlaluan!” bentak si bocah pada pemuda di dekatnya, sepeninggalan lelaki perlente tadi.
“Keterlaluan bagaimana?” tanya si pemuda, acuh tak acuh.
Pemuda itu lantas melangkah perlahan. Sementara si bocah pencopet mengikutinya di belakang. Terkadang dia pindah ke sisi kiri si pemuda, terkadang pula ke kanan. Anak tanggung itu tampak tak puas atas tindakan pemuda yang scbenarnya telah menolongnya.
“Jangan Abang pikir sudah menolong! Aku sungguh tidak merasa baru ditolong. Biar mampus, aku tidak akan berterima kasih!” cecar si bocah bersungut-sungut.
Kepalanya mendongak-dongak ke wajah pemuda yang di kutinya.
“Hush! Kau ini kenapa jadi seperti nenek-nenek saja!” sergah si pemuda.
“Aku tidak peduli, Abang mau bilang apa! Pokoknya aku tidak terima perlakuanmu! Apa Abang tahu, keluarga yang sedang berkabung itu tidak bisa mencari uang lagi dalam waktu yang begitu mendesak! Eee, Abang tega-teganya menyuruhku mengembalikan uang itu! Huh.... Huh!” dengus si bocah, kesal.
“Sudah, tidak usah merajuk seperti itu,” ujar si pemuda tenang.
Lalu dikeluarkannya segenggam uang perak dari balik pakaian.
“Ini ambil! Pakai untuk keperluan anak keluarga yang tertimpa kemalangan itu!”
Mulut si bocah mendadak terkatup. Kicauannya yang bising terhenti seketika.
“Ayo, ambil! Kenapa diam?” kata si pemuda, mencoba meyakinkan bocah itu kalau benar-benar hendak memberikan uang di tangannya.
“Ayo, buka tanganmu!”
Meski agak ragu, si bocah membuka tangan juga. Lantas pemuda berambut gondrong itu menuang segenggam uang perak ke tangan kurusnya.
“Terima kasih, Bang... Kukira, Abang juga berhati busuk seperti lelaki tadi.” tutur si bocah, malu-malu.
“Tidak usah berterima kasih padaku...,” kata pemuda ini.
“Pada Tuhan?” selak bocah pencopet.
Si pemuda mengangguk.
“Lagi pula, itu bukan uangku, kok!” tambahnya.
Si anak tanggung ini tentu saja jadi bingung.
“Aku tak mengerti maksud Abang? Uang ini jelas-jelas dikeluarkan dari pakaian Abang. Tapi, kenapa dibilang ini bukan uang Abang?” tanya bocah tanggung itu sambil mengangsur-angsurkan tangan yang berisi uang ke muka.
“Uang itu, ya hasil copetanmu. Aku mengambilnya dari balik bajumu. Dari kantong uang itu, kukeluarkan semua isinya. Lalu kukembalikan lagi ke balik bajumu, sebelum kau kembalikan kantong uang itu ke pemiliknya....”
Si bocah terbengong dengan mulut melompong. Si pemuda tak begitu mengacuhkannya. Dia berjalan kembali dengan langkah tetap santai.
“Bang!” panggil si bocah dari belakang.
“Kenapa Abang menyuruhku mengembalikan kantong uang itu tadi?”
“Ada salahnya? Bukankah pemiliknya tadi hanya meminta kantong uang?” sahut si pemuda tampan menoleh.
“Jadi, apa isi kantong tadi itu, Bang?” tanya si bocah, penasaran.
Si pemuda tak menyahut. Hanya, tangannya menunjuk ke bagian belakang seekor kambing yang kebetulan hendak dijual di sisi jalan. Kontan saja si bocah terbahak-bahak, sampai-sampai air matanya keluar.
***
Bocah pencopet yang ditolong si pemuda tadi, sepertinya tak punya nama. Sebagai anak terlantar di kotapraja, orang-orang biasa memanggil dengan sebutan Tompel. Julukan itu tercipta, karena tanda hitam sebesar uang logam yang menghias pelipisnya sejak lahir. Tampang yang dekil selalu mengakrabi diri si Tompel. Tak hanya pakaian. Tubuh, rambut, dan wajahnya pun begitu. Meski begitu, paras Tompel bisa dibilang menarik. Matanya dalam, dengan kelopak bergaris tegas. Alis di atas matanya hitam, tumbuh rata dan teratur. Hidungnya bangir dan bibirnya tipis. Dia lebih mendekati keturunan priyayi dengan kulitnya yang putih, andai saja tak berpenampilan mengenaskan.
Sejak kejadian siang tadi, Tompel terus saja dibayang-bayangi wajah pemuda yang menolongnya. Jauh di dasar benaknya yang sudah ditimbun oleh ingatan-ingatan masa lalu, raut wajah pemuda itu serasa pernah dikenalnya. Siapa dia, ya? Begitu yang terus terpikir dalam benak Tompel. Terkadang pikiran itu digumamkan keluar. Setiap kali teringat, setiap kali pula seraut bayangan masa silam mengambang dalam ingatannya.
Lama Tompel duduk terdiam, berusaha menggali seluruh ingatannya. Sampai akhirnya, dia bangkit tersentak dari duduk bertopang dagu.
“Aku ingat! Sekarang aku ingat! Dia itu kan. Bang Andika, yang dulu menjadi pencopet ulung di sini!” seru Tompel seperti kesetanan.
Sambil berseru, tubuhnya melompat-lompat tak karuan. Bagaimana bocah itu tidak gembira? Pemuda yang menolongnya adalah kakang angkatnya dulu, ketika sama-sama menjadi gelandangan kotapraja. Waktu itu, Tompel masih berumur delapan tahun. Sedangkan Andika yang kini tersohor dengan julukan Pendekar Slebor, berusia empat belas tahun.
Dengan wajah dirasuki kegembiraan meluap, Tompel berlari riang menuju pusat kotapraja. Hendak dicarinya pemuda yang telah menolongnya. Tompel yakin, ingatannya tidak keliru. Pemuda itu memang kakak angkatnya yang pernah bersama-sama mengarungi hidup di kotapraja beberapa tahun yang lalu. Setibanya di pusat kotapraja, bocah kecil itu mulai bertanya pada setiap orang yang dijumpai.
“Bang, lihat orang berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur tersampir di bahu?” tanya bocah tanggung itu pada beberapa orang. Kembali bocah itu mencari-cari.
“Pak... Mak. . Euceu.... Abah.... Mas... Lihat anak muda yang memakai pakaian hijau muda dengan kain catur di bahu?” tanya Tompel pula pada beberapa orang lain. Namun, tak ada satu orang pun tahu.
Kebanyakan dari mereka hanya menjawab dengan gelengan kepala. Memang, siapa yang mau peduli dengan pertanyaan seorang anak kecil gelandangan? Meski begitu, ada juga yang mau menjawabnya sungguh-sungguh. Biasanya, mereka sudah mengenal Tompel cukup baik. Tapi sayangnya, mereka pun tak tahu. Sampai akhirnya, Tompel berjumpa orang asing yang tak dikenal.
“Bang, apa pernah lihat orang asing seperti Abang, mengenakan pakaian hijau dan bersampir kain catur di bahu?” tanya Tompel, pada lelaki muda berpakaian serba putih. Dari penampilannya, terlihat kalau pemuda itu seorang pertapa.
Sambil tersenyum, pemuda berkepala gundul namun memiliki wajah teduh ini, memandang Tompel.
“Rasanya tidak, Adik Kecil,” kata pemuda itu berbareng gelengan kepala yang perlahan.
Tompel melekuk bibir. Agak kecewa juga hatinya. Setelah lama mencari dan bertanya, tapi belum sedikit pun dapat keterangan yang berarti. Tompel lalu ngeloyor begitu saja, dibayangi kekesalan di wajah. Hingga dia lupa mengucapkan terima kasih pada pemuda berkepala gundul itu.
“Hei, Adik Kecil!” tahan si pemuda gundul.
“Kenapa kau jadi begitu tergesa-gesa?”
Bocah pencopet itu menahan langkah. Sementara pemuda pertapa ini menghampiri.
“Rasanya, aku pernah kenal denganmu...,” lanjut si pemuda pertapa. Sebentar saja mengingat-ingat.
“Gusti...! Bukankah kau Tompel?!”
Siapa pula Abang muda ini? Tompel terheran-heran. Anak ini tercenung. Setelah menatap lamat-lamat wajah pemuda di depannya, timbul bayangan masa lalu yang lain, seperti ketika mengingat wajah pemuda berpakaian hijau-hijau.
“Bang Suta? Kau..., Bang Sutawijaya?” tanya Tompel ragu.
“Iya, ini aku. Apa kau pangling? Aku juga pangling padamu,” balas pemuda yang dipanggil Sutawijaya.
Matanya langsung berbinar-binar. Terlihat baris bening di bawah kelopaknya. Tanpa sungkan-sungkan lagi, Sutawijaya dan Tompel yang lama tak berjumpa berpelukan. Tak dipedulikan lagi keramaian orang di sekitarnya. Padahal, sekian puluh mata sedang menatap keduanya.
Memang Sutawijaya dan Tompel dulu pernah bersama-sama sebagai gelandangan dikotapraja. Seperti Andika, lelaki muda itu pun sudah dianggap sebagai abang oleh Tompel. Sutawijaya, Andika dan Tompel dulu pernah bersama. Dan Sutawijaya paling tua di antara ke-tiganya. Meski begitu, Andika ternyata sanggup bersikap sebagai pemimpin. Ini karena Andika memiliki keberanian luar biasa daripada yang lain. Dia juga memiliki sikap tegas, sebagai cermin dari keteguhan hatinya dalam menghadapi kerasnya kehidupan kotapraja. Tak hanya itu, Andika pula yang mula-mula mengusulkan membagikan hasil jarahan kepada orang-orang yang hidupnya kembang-kempis di bawah telapak kaki para penguasa dan lintah darat. Menurut Andika, uang hasil copetan dari para orang kaya yang culas semata-mata adalah amanat yang harus disampaikan kembali kepada pemiliknya.
Dengan sedikit kelakar, Sutawijaya dan si Tompel kecil yang waktu itu berusia delapan tahun, menjuluki Andika “Sang Penyampai Amanat’. Maka suka tak suka, diterima atau tidak, ketiga bocah itu pun menjadi tiga dedemit kecil yang paling ditakuti para hartawan culas berkantong tebal.
“Bang! Mimpi apa, ya aku semalam...,” kata Tompel, memulai kembali.
“Memang kenapa?’ tanya Sutawijaya, seraya mengajak Tompel berjalan beriringan.
“Ya, bisa bertemu kembali dengan Abang. Kukira Abang sudah jadi makanan cacing...,” kata Tompel, berseloroh.
“Hush!”
“Eee, siapa tahu Abang ditangkap seorang saudagar culas yang menjadi mangsa kita dulu! Habis, Abang menghilang begitu saja tanpa kabar berita...,” tutur Tompel, bebas lepas.
Sutawijaya tertawa renyah.
“Tunggu, Bang!” sergah Tompel tiba-tiba.
“Kenapa aku jadi lupa sama Bang Andika...?”
“Apa kau bilang?” tanya Sutawijaya, begitu mendengar ucapan si bocah tanggung.
Kepala Tompel mendongak ke wajah Sutawijaya. Matanya berbinar-binar, seperti hendak mengungkapkan suatu yang menggembirakan.
“Apa Abang tahu...?” tanya si bocah tanggung, memulai.
“Apa?” timpal Sutawijaya.
“Bang Andika tadi siang sudah tiba di sini juga!”
“Sungguh?” tanggap Sutawijaya. ikut berbinar-binar.
“Maka itu aku tadi bertanya, mimpi apa semalam....”
“Di mana dia sekarang, Pel?” tanya Sutawijaya, bergegas. Rasanya Sutawijaya ingin secepatnya bertemu kawan lama yang begitu lama dirindukan.
“Justru itu, tadi aku juga sedang berusaha mencari-cari. Susahnya sungguh mampus! Setiap orang yang kutanya, jawabnya selalu gelengan kepala. Bang Andika seperti setan yang telat buang hajal. Tahu-tahu, hilang.... Posss!”
Mendengar penuturan Tompel, Sutawijaya tak bisa menahan geli. Kembali dia tertawa renyah, namun tak sampai memperlihatkan barisan giginya yang putih teratur. Mungkin karena kini, Sutawijaya adalah seorang pertapa yang semua tindak-tanduknya memiliki aturan dan tatakrama sendiri.
“Jadi bagaimana tindakan kita selanjutnya. Bang?” tanya Tompel.
“Untuk sementara, biar kita lupakan dulu soal kawan lama kita itu. Kalau Tuhan menghendaki, menjelang senja nanti pun kita sudah bakal bertemu. Sekarang, aku berniat mengajakmu makan dikedai...,” kata Sutawijaya.
“Hanya berniat?” gurau Tompel.
“Segalanya, kan harus diawali niat.”
“Makannya?”
“Ya! Tahun kodok nanti,” kelakar Sutawijaya masih bisa bergurau meski sudah menjalani hidup sebagai orang suci. Keduanya pun kembali berjalan beriringan akrab.
***
Senja tiba. Matahari jatuh lelah di tepi buana sebelah barat. Sinarnya menguning matang, bagai terpanggang panasnya sendiri. Sutawijaya dan Tompel baru saja keluar dari kedai makan murah. Tompel mengusap-usap perutnya yang agak membuncit karena disesaki makanan.
Selama di kedai tadi, anak itu begitu rakus. Tiga piring nasi penuh dilahapnya tanpa kesulitan. Belum lagi lauk-pauk dan dua buah pisang ambon besar. Makanya tak heran setibanya di pintu keluar kedai, Tompel terus saja berdahak berkepanjangan.
“Kalau sering-sering begini, bisa ‘ bengkak’ aku, Bang,” ujar Tompel dengan mata terkatup-katup. Karena kekenyangan, matanya jadi mengantuk.
“Ngomong-ngomong, Abang dapat uang dari mana? Apa masih menjarah kantong-kantong orang-orang kaya yang brengsek?”
Setelah itu Tompel berdahak seperti suara anak kerbau.
“Jangan bicara sembarangan,” tukas Sutawijaya.
“Uang itu kudapat dari hasil keringatku sendiri. Kau belum tahu ya, kalau kini aku berdagang kain. Berkeliling dari satu kota ke kota lain. Sambil berjualan, aku banyak mempelajari sifat-sifat manusia....”
“Tapi aku kok, tidak melihat barang dagangan Abang?”
Mata Sutawijaya melirik ke satu bangunan di pinggir jalan yang tak begitu jauh dari kedai.
“Aku menginap di penginapan itu. Jadi untuk sementara, barang daganganku kutaruh disana...,” papar Sutawijaya.
“Ooo...,” mulut Tompel pun membulat.
“Aku bukan seperti dulu lagi. Pel,” kata Sutawijaya tanpa ditanya.
“Aku berusaha untuk menjauhi kekotoran dunia....”
“Tapi tujuan kita mencopetkan, untuk menegakkan keadilan yang tidak bisa diperjuangkan dengan cara lain. Mana mungkin anak tanggung seperti aku, bisa mencegah orang-orang yang berkuasa mengisap darah rakyat. Bisa-bisa, malah kehilangan kepala....”
“Ya! Aku tidak bisa menyalahkan ataupun membenarkan. Kebenaran bagi setiap orang bisa berbeda. Kebenaran sejati hanya datang dari Tuhan Semesta Alam. Tapi apa pun alasannya, perbuatan itu tetap tidak baik, bukan?” kata Sutawijaya, mengungkap pendapatnya.
Tompel cuma mengangkat bahu, tanda tak punya pendapat.
“Sekarang, bagaimana kalau kita mencari Bang Andika?” tanya Tompel.