Part 8
Malam pun tiba. Sejauh ini takada tanda-tanda mencurigakan bakal terjadi. Pendekar Slebor berusaha terus untuk tetap waspada, sesuatu bisa saja terjadi secara tiba-tiba. Jangkrik berkerik-kerik tanpa bosan- bosan. Nyanyian hewan malam lain turut menimpali, membuat suasana makin terasa tegang.
Tanpa mampu memicingkan mata sejenak pun, Pendekar Slebor berjalan hilir mudik di dalam kamarnya yang sengaja tidak diberi penerangan. Dalam keadaan gelap itu, matanya justru lebih leluasa meneliti keadaan di luar. Sementara itu, pikirannya terus digelayuti kegelisahan. Andika khawatir akan keselamatan Mayangseruni di kamar lain. Biarpun ilmu dara cantik tersebut tidak diragukan, namun tetap merasa memiliki
tanggung jawab terhadap keselamatannya.
Waktu terus merangkak. Entah sudah berapa lama Andika seperti itu, tetap juga tak terjadi apa-apa. Untuk menghempas kejenuhan, Pendekar Slebor mencoba sedikit menyibak kerai jendela. Angin menerobos diam-diam, sedikit pun tak membuatnya menjadi merasa lebih tenang. Diangkasa maha luas, matanya menemukan sinar pucat rembulan. Benda langit itu seakan menambah kegelisahan hatinya.
Di kamar lain, Mayangseruni pun mengalami hal yang sama. Matanya juga tak bisa dipicingkan. Hatinya pun gelisah, seperti pemuda pujaannya. Bedanya, kalau Andika berjalan tak karuan, gadis itu memilih untuk duduk diam di atas pembaringan dalam keadaan bersemadi. Dalam gelap, mata berbulu lentik Mayangseruni sesekali bergerak waspada. Gadis itu pun rupanya berpendapat sama dengan Andika. Jika tidak ingin diawasi orang lain dari luar, lentera kamarnya harus dipadamkan.
Suatu saat, perasaan Mayangseruni tiba-tiba memperingati akan suatu bahaya mengancam. Dia belum tahu, apa yang bakal terjadi. Yang jelas, nalurinya memperingati harus waspada.
Wesss!
Benar juga. Dari arah lubang angin di atas pintu, mendesis suara tajam menuju dirinya. Tangkas sekali Mayangseruni melempar tubuh ke samping ranjang. Tak ada sekejap, desisan tadi menghujam ranjangnya, melahirkan suara lain yang tak begitu kentara.
Bles!
Seusai suara tadi, tak ada kejadian lain menyusul. Hanya kelengangan merajai kamarnya, serta suara lamat-lamat jangkrik yang berdendang. Untuk lebih yakin, sengaja Mayangseruni menunggu beberapa lama dalam sikap memasang kuda-kuda siaga. Karena tetap tak terjadi apa-apa, barulah Mayangseruni mencoba menghidupkan lentera yang sejak tadi dipadamkan. Bunyi pemantik api penginapan terdengar, menyusul ruangan menjadi terang.
Kini, mata Mayangseruni bisa melihat jelas, benda apa yang telah memangsa ranjangnya. Di sana, tertancap sebilah anak panah yang di tengahnya diikatkan secarik surat. Cepat Mayangseruni menjemput anak panah tersebut. Dari ikatannya Mayangseruni melepas surat pada anak panah.
“Asal kau tahu, perempuan tak tahu malu! Pemuda tampan yang kini bersamamu, adalah kekasihku. Kau telah berani- beraninya merebut Andika dari pelukanku. Bukankah wanita seperti itu pantas disebut sebagai wanita murahan. – Anggraini”
Betapa panasnya wajah Mayangseruni membaca surat yang berisi bukan hanya kecaman, tapi juga caci maki. Seluruh kata yang tertulis dalam surat, seperti menyeruak paksa ke setiap jalan darahnya. Dadanya mendadak sesak, memaksa hidungnya menarik napas setarikan demi setarikan dengan terseret- seret.
Wanita mana yang sudi dikatakan wanita murahan? Tidak juga diri gadis cantik itu. Sebutan itu lebih menyakitkan ketimbang hantaman godam raksasa seberat ribuan kati! Saat itu, yang terbersit dalam pikiran Mayangseruni hanya perkataan kalau pemuda idamannya telah menipu dirinya mentah-mentah. Cinta murninya telah dipermainkan Andika. Cintanya yang selama ini terbangun dengan pengorbanan, terserpih begitu mudah.
Perlahan-lahan, desakan rasa pedih dari dalam dada Mayangseruni memaksa garis bening merembes dari kelopak matanya. Dia memang seorang pendekar wanita. Tapi, tentu saja tak akan sanggup memungkiri kewanitaannya. Biar bagaimanapun, air mata tetap menjadi bagian dalamhidup seorang wanita seperti Mayangseruni.
Mayangseruni tak ingin terisak. Cukup airmata saja yang jatuh sebagai tanda kekecewaan mendalam. Mayangseruni melempar surat dan anak panah di tangan. Dengan hati luluh lantak, kakinya melangkah menuju pintu kamar dan keluar dari sana. Jika seseorang menanyakan hendak ke mana saat itu, dia tidak bisa menjawab. Mayangseruni hanya ingin meninggalkan tempat itu. Seakan-akan, hanya dengan begitu bisa membuang jauh-jauh segala hal tentang Andika.
Bagaimana dengan Andika sendiri?
Tidak! Pemuda itu tak pernah tahu kalau Mayangseruni pergi. Jendela kamarnya membelakangi kamar Mayangseruni. Sehingga apa pun yang terjadi di kamar gadis itu, Andika tidak dapat melihatnya. Sementara, letak yang cukup jauh, membuat suara halus anak panah tersapu angin tak dapat tertangkap telinga Andika.
"Sudah lewat dini hari, tapi kenapa belum terjadi apa-apa juga...," gumam Andika berbisik.
Untuk yang ke sekian kalinya, Pendekar Slebor melepas pandangan keluar dari jendela, seraya menajamkan indera pendengarannya. Tapi tetap saja tak tertangkap suatu yang mencurigakan.
"Apakah aku sudah salah perhitungan?" tanya Pendekar Slebor pada diri sendiri, ragu.
"Apa mungkin aku justru telah benar-benar masuk ke dalam perangkap pangeran sial itu tanpa kusadari?"
Andika makin digebah keraguan. Sebelumnya pemuda itu sudah merasa yakin, telah berhasil membaca rencana licik Pangeran Neraka. Semua hal-hal yang berkesan ganjil, direkam serta diolah otaknya. Dia yakin, telah berada pada arah yang tepat menuju puncak rencana lawan.
Kalau sampai selarut itu perkiraannya belum terbukti, tentu saja Andika menjadi ragu. Segera Andika memutuskan untuk memeriksa kamar murid bibi buyutnya. Bukankah Pangeran Neraka amat licik? Bisa saja, dia telah memperdayai Mayangseruni tanpa sepengetahuannya.
Namun baru saja tangannya hendak menjemput gagang pintu, tiba-tiba saja matanya melihat seseorang mengendap-endap ringan di atas wuwungan. Tak jelas, apakah orang itu wanita atau lelaki. Sebab pada saat itu, bulan diselumuti awan hitam pekat. Gerakan orang itu amat ringan, seringan kucing liar. Tak ada keributan yang ditimbulkannya.
Anehnya, begitu melihat kehadiran sosok tak dikenal itu, Andika telah mengurungkan niat. Lebih aneh lagi, bibirnya malah memperlihatkan senyum. Hanya Pendekar Slebor sendiri yang tahu, kenapa begitu.
"He he he, kukira aku sudah salah perhitungan...," bisik Andika samar.
Selang beberapa waktu berikutnya, pemuda urakan yang terkadang sulit dimengerti itu, mengangkat kesepuluh jarinya. Satu persatu, jari tersebut dilipat seraya menghitung.
"Satu... dua... tiga...."
Pada hitungan kesepuluh, Andika bergegas membuka pintu kamarnya. Wajahnya kini dibuat seperti sedang diguncang kekhawatiran. Namun karena dasarnya memang urakan, masih sempat-sempat pula bibirnya tersungging kecil. Aneh!
Lalu, pemuda dari Lembah Kutukan itu berlari-lari, seolah memburu suatu yang mencemaskan. Arahnya, menuju kamar Mayangseruni. Agar lebih terlihat seperti sungguh-sungguh, Andika pun mengerahkan sebagian ilmu meringankan tubuhnya yang amat dikagumi banyak tokoh persilatan.
Whus!
Lebih cepat dari 'gas buangan' siapa pun, Pendekar Slebor telah tiba di depan kamar Mayangseruni. Tepat di depan pintu kamar, pemuda itu berdiri sejenak. Dibenarkannya letak kerah baju, kemudian menjemput gagang pintu. Pintu terbuka. Ruangan ternyata sudah gelap kembali. Ada seseorang yang telah mematikan kembali lentera yang baru saja dinyalakan Mayangseruni sebelumnya.
Entah, siasat apa lagi yang sedang dijalankan pemuda berotak encer itu. Yang jelas, dia berlagak seperti orang yang bersiaga penuh. Kakinya melangkah satu-satu, melewati mulut pintu. Sepasang tangannya teracung ke depan dengan otot menegang. Diliriknya ranjang di dalam kamar. Ada seseorang sedang terlelap di sana.
"Mayang..., ssst, Mayang," bisik Pendekar Slebor hati-hati seraya mendekat perlahan-lahan ke sisi ranjang.
Makin dekat, gaya anak muda brengsek itu makin dibuat-buat. Sepertinya, Andika begitu tahu ada orang lain selain wanita diranjang yang sedang mengawasi semua gerak-geriknya. Kaki Andika mulai berjingkat-jingkat kecil menuju tepi ranjang, seperti maling jemuran. Tangannya pun mencak sana mencak sini tak karuan. Sebenarnya, apa yang ada dalam pikiran Andika saat itu?
"Mayang.... Mayang...," ulang Pendekar Slebor, memanggil nama gadis yang sudah tidak ada lagi di tempatnya.
Tepat ketika benar-benar tiba di tepi ranjang.
Werrr!
Selimut yang menutupi sebagian badan tersingkat amat cepat. Seiring dengan itu, seberkas suara mendesis halus terdengar.
Seth!
Tahu-tahu, telah menempel benda kecil tajam yang dingin tepat di tenggorokan Andika. Namun Pendekar Slebor tak tampak terperanjat mendapat sambutan tak ramah itu. Malah dia memperlihatkan cengiran kudanya yang menjengkelkan.
"Apa kabar, Anggraini?" tegur Pendekar Slebor.
Sungguh pada saat itu, tak ada sedikit cahaya yang menerangi wajah wanita di depannya. Semuanya memang telah diperhitungkan Pendekar Slebor. Jadi, tanpa perlu melihat jelas pun, Andika sudah tahu kalau wanita itu adalah Anggraini. Kalaupun sebelumnya memanggil-manggil nama Mayangseruni, itu semata-mata hanya berpura-pura.
"Tak perlu berbasa-basi lagi padaku, Penipu Laknat!" geram Anggraini.
Di tangannya telah siap busur yang merentang tegang. Ujung anak panahnya menempel di tenggorokan Andika.
"Kukira aku tidak seperti apa yang kau ucapkan," sangkal Andika tenang.
"Aku yakin, kau telah termakan hasutan pamanmu. Bukan begitu, Anggraini?"
"Sekali lagi kau berbicara, lehermu akan tertembus anak panahku!" ancam Anggraini.
"Sekarang nyalakan lentera itu!"
Andika menuruti perintah gadis yang dibakar api dendam buta ini. Perlahan tubuhnya beringsut ke tempat lentera tergantung. Dengan pemantik api di dekatnya, dinyalakannya lentera minyak itu hati-hati di bawah ancaman busur Anggraini.
"Sekarang, aku bisa melihat wajah pembunuh ayahku. Aku akan lebih puas melihat, bagaimana wajahmu ketika meregang maut...," desis Anggraini geram dengan menyipit.
Andika tak peduli dengan kegeraman di wajah ayu yang terbakar warna merah itu. Ditatapnya lurus-lurus mata Anggraini, seakan sedang berusaha menembus langsung ke hati gadis itu.
"Apa kau yakin hendak membunuhku?" tanya Andika.
Ucapan Pendekar Slebor mungkin tak beda dengan sebuah tantangan. Namun, nada kalimat yang dibuatnya mengandung tekanan mantap, mencoba menggoyahkan niat membunuh dalam diri gadis itu.
Anggraini tak segera menjawab.
"Kenapa kau diam, Anggraini? Apakah kau ragu?" susul Andika lagi.
"Diam kau! Aku tak pernah ragu untuk membunuh orang yang telah membunuh ayahku!" bentak gadis itu hampir tersekat isak yang muncul tanpa tertahan.
"Kau tak akan percaya bila kukatakan, kalau aku telah melakukan tindakan yang benar dengan membunuh ayahmu," ucap Andika kembali, tanpa takut Anggraini melepas tali busurnya.
"Kau penipu!" maki Anggraini.
Wajahnya menyimpan mendung. Kalau saja tak berusaha menahan, tentu isaknya sudah terlempar keluar.
"Aku memang pembunuh ayahmu. Tapi, aku bukan penipu seperti katamu," sangkal Andika.
"Pamanmu lah yang pantas disebut penipu...."
"Diam!" bentak Anggraini. Tapi, Andika tak peduli.
"Dia telah memutar balikkan kenyataan sesungguhnya. Kau telah berhasil dipermainkan lelaki itu, lalu dimanfaatkan untuk melaksanakan keinginannya untuk membunuhku...."
"Diam! Diam! Diam! Kalau kau tidak diam...."
"Kalau aku tak diam, apa yang akan kau lakukan Anggraini? Apa? Membunuhku dengan anak panahmu ini? Ayo, bunuhlah aku! Ayo bunuh!" Andika terus menyudutkan Anggraini dengan kata demi katanya.
Anggraini tidak bisa menjawab. Bibirnya bergerak-gerak, hendak mengucapkan sesuatu, namun tak mampu. Bulir bening yang sejak tadi bergelayut dikelopak matanya, kini mulai gugur di sepanjang pipi halusnya.
"Kenapa kau belum juga membunuhku, Anggraini? Kau ragu bukan? Karena, kau tidak ingin menyesal seumur hidup setelah tahu aku tak pantas dibunuh...," sambung Andika agak melembut.
Sementara hati gadis di depan Pendekar Slebor makin goyah diberondong isak.
"Perlu kau tahu. Sebenarnya, aku sudah tahu kalau kau akan ada di sini. Kelicikan pamanmu sudah dapat kubaca. Manakala tahu Mayangseruni telah bersamaku, dia pun segera mengatur siasat licik untuk mengenyahkanku dengan tanganmu. Bukankah kau dan Mayangseruni hampir sulit dibedakan, jika dilihat sekilas. Apalagi dalam gelap seperti tadi...," kata Andika, lalu diam sesaat.
"Dia mengira, aku bisa tertipu dengan menempatkanmu di kamar Mayangseruni. Tidak! Aku tidak tertipu. Kalaupun aku datang juga ke kamar ini, itu karena ingin membuktikan padamu bahwa aku tidak. bersalah dengan membunuh ayahmu. Aku yakin, telah melakukan tindakan benar. Jadi, kenapa aku harus takut menghadapi tuntutan dendammu?"
Seluruh kalimat Andika bagai menghujam ke dalaman batin Anggraini. Di telinganya, kata-kata itu begitu mantap terulur bagai tak memiliki keraguan atau kedustaan sepercik pun. Di lain sisi, justru keraguan dalam diri Anggraini makin membesar dan membesar. Bahkan berkembang perlahan bagai daging tumbuh yang menyiksa.
Tangan Anggraini yang merentangkan busur makin kehilangan kekuatan. Getarannya menghebat. Biar bagaimanapun, dendam buta membakar, cinta pula yang bisa menerobos dari kepungannya. Anggraini tak kuasa menghalangi rontaan cinta dari dalam dirinya. Sementara, kata demi kata pemuda dihadapannya telah jatuh tepat di garba cinta itu sendiri.
"Sadarlah. Anggraini. Begal Ireng, ayahmu, adalah tokoh sesat yang harus kusingkirkan...."
Mendapat kalimat terakhir Andika, mata Anggraini yang semula terjatuh, kini membeliak beringas.
"Kebohongan apa lagi yang kau katakan, Andika?" geram Anggraini.
"Kalau kau benar-benar ingin membunuhku, cari tahulah tentang ayahmu di Istana Alengka, agar nanti tak menyesal. Dan kau pun harus benar meyakini setiap ucapan pamanmu...."
Saat berbicara, mata Andika mencari-cari sesuatu dalam kamar. Ditemukannya remasan surat yang ditujukan untuk Mayangseruni, serta anak panah di satu sudut ruangan. Sejak semula, Andika sudah tahu kalau Pangeran Neraka akan memperdayai Mayangseruni agar keluar dari kamar itu, lalu memperdayai Anggraini pula agar menggantikan Mayangseruni di kamarnya. Hanya sampai semuanya terjadi, Andika tidak tahu bagaimana cara Pangeran Neraka melakukannya.
Setelah melihat secarik surat lusuh dan anak panah itu, pikiran Andika terbuka kembali. Kini dia tahu, Pangeran Neraka mengeluarkan Mayangseruni dari kamar secara halus. Tampaknya, tidak akan terjadi apa-apa terhadap diri gadis itu. Karena, sasaran Pangeran Neraka hanya Andika sendiri.
"Kau lihat secarik surat lusuh dan anak panah di sudut ruangan itu?" kata Andika memulai kembali pada Anggraini.
"Dengan benda-benda itu, kau bisa mengetahui siapa sesungguhnya pamanmu...."
"Apa maksudmu?!" sentak Anggraini bersama derai airmata yang tak bisa lagi dibendung.
"Apa kau tak mengenali kalau anak panah itu adalah anak panahmu? Meskipun belum sempat kubaca, namun aku yakin isi surat itu mengatas namakan dirimu. Sementara, kau tak pernah mengirimnya pada Mayang seruni yang sebelumnya menempati kamar ini...."
Mata sembab gadis itu melirik ragu ke sudut ruangan.
"Ayo, lihatlah.... Aku tak akan lari. Dan aku tak akan membokongmu...," ucap Andika.
Mata Anggraini kini beralih pada mata Andika. Ditembusnya manik-manik mata perkasa pemuda itu. Seakan, dia ingin mencaritahu apakah Andika berusaha menipunya atau tidak. Tapi, sebetik pun tak ditemukan kedustaan di sana.
Perlahan-lahan, tubuh Anggraini beringsut menghampiri anak panah dan secarik surat lusuh tadi. Mata anak panah di tangannya tetap ditujukan pada Andika, seperti juga matanya yang tetap mengawasi. Begitu tangan lembut Anggraini hendak menjemput kedua benda itu....
Brak!
Mendadak saja, dinding kamar jebol. Serangkum pukulan bertenaga dalam dahsyat yang ditujukan pada Andika, merangsek masuk dengan amat kasar! Andika terkesiap. Begitu juga Anggraini. Apalagi, pukulan jarak jauh dahsyat itu searah dengan tempat Anggraini.
Pendekar Slebor yang sering kali menelan kejadian-kejadian tak terduga selama petualangannya serta merta mengerahkan seluruh kemampuan ilmu kecepatan warisan Pendekar Lembah Kutukan.
"Anggraini awas!"
Sekelebat gerak yang sulit diikuti mata, dilakukan pendekar muda itu. Disergapnya tubuh sintal Anggraini, sekaligus menyelamatkan diri dari terjangan pukulan jarak jauh tadi. Tak ayal lagi, tubuh mereka bergulingan di lantai.
Ketika guguran dinding kayu berserakan tanpa daya, ketika debu-debu ruangan sudah tergolek di seluruh ruangan, tubuh Andika dan Anggraini terdiam. Andika masih memeluk punggung Anggraini di bawahnya. Pemuda itu menanti serangan lebih lanjut, tapi tak kunjung datang juga.
Andika lalu berkesimpulan, penyerang gelapnya adalah Pangeran Neraka. Tahu kalau sasarannya selamat, Bureksa mungkin menyingkir secepatnya. Pada dasarnya, dia memang tidak mau mengambil bahaya menghadapi Andika secara langsung.
"Manusia kentut pengecut!" umpat Pendekar Slebor geram.
Andika bangkit, seraya membantu Anggraini.
"Kau tidak apa-apa, Anggraini?" tanya Andika lembut.
Sulit digambarkan, bagaimana wajah Anggraini saat itu. Sehimpun rasa berbaur menjadi satu. Gundah, kalut, kecewa, serta dendam. Kini dia tahu, ucapan Andika seluruhnya benar. Pamannya telah mengkhianati. Tanpa berniat menjawab pertanyaan Andika, Anggraini menghambur keluar kamar, membawa isak dan segala kepedihan tak tertanggungkan.
"Anggraini, tunggu!" tahan Andika.
Tapi, kehancuran batin Anggraini memaksanya untuk tidak mempedulikan apa- apa lagi. Dia terus berlari..., berlari..., membawa seluruh luka dalam diri. Akan ke mana kau, Anggraini?
S E L E S A I