Part 2
Pemuda sakti dari Lembah Kutukan itu memajukan bibirnya.
"Kalau muridnya saja sebejat itu, apalagi gurunya," sindir Andika, pedas- pedas.
"Siapa yang kau bilang bejat?!" bentak si nenek sewot.
"Muridmu, Ratu Lebah!"
"Eee, Pemuda Bermulut Lancang! Kau tak boleh asal bicara sebelum kuizinkan!"
Si nenek mencak-mencak. Pakaian Andika dikebut-kebutkannya kian kemari.
"Ini mulutku sendiri, Perempuan Tua. Aku tak bisa mengatakan yang hitam itu putih. Kalau memang bejat, ya kukatakan bejat. Dan kalau...."
"Diam!" potong si nenek, menghardik.
Seketika itu juga Andika benar-benar terdiam. Mulutnya yang biasanya begitu terampil mencerocoskan dengan kata pedas, tiba-tiba saja tak bisa digerakkan. Raut mukanya kejang dan lidahnya kelu. Andika tetap tak bisa mengucapkan sepatah kata pun, meski telah berusaha menggerakkan rahang dengan menyalurkan kekuatan tenaga dalam warisan Pendekar Lembah Kutukan yang diandalkan.
"Mhhh... mhhh bhff!"
Hanya bunyi itu yang terdengar.
"Hik hik hik! Biar tahu rasa kau! Itu namanya kualat pada orang tua!" ledek si nenek. Mencak-mencaknya berganti goyangan pinggul ke kiri dan kanan.
Sekarang pendekar muda itu baru sadar kalau nenek yang dihadapinya bukan orang sembarangan. Terbukti, tenaga dalamnya yang disegani di dunia persilatan tak berdaya menghadapi kuncian yang dibuat si nenek kerahangnya.
"Sebelum aku salah menjatuhkan tangan padamu, sebaiknya kutanyakan dulu padamu. Apakah kau bertanggung jawab terhadap muridku yang terluka sewaktu kularikan dulu?"
Si nenek mulai mengajukan pertanyaan, tak ubahnya seperti seorang punggawa mengorek keterangan dari seorang mata-mata istana. Wajah keriputnya dibuat sebengis mungkin. Padahal, malah terlihat menggelikan. Malah lebih parah daripada raut wajah orang yang terserang mules hebat.
"Mmhh... mmh!" jawab Pendekar Slebor, tak kentara.
"O, iya! Aku lupa dengan mulutmu...," kata si nenek.
Segera si nenek menyapukan tangan yang tak memegang pakaian Andika ke udara. Gerakannya terlihat ringan saja, seolah asappun tak terhalau. Namun, hasilnya ternyata dapat membuat kuncian pada mulut Andika terbebas.
"Sekarang bicara!" bentak si nenek, disertai belalakan matanya.
"Aku tak akan menjelaskan duduk perkaranya, kalau kau tak memberikan pakaianku dahulu!" ujar Andika, tak memuaskan si nenek.
"E, bisa juga kau mengancam, ya! Nih! Tangkap pakaian jelekmu! Kau pikir aku butuh? Untuk kujadikan gombal saja, aku tak berniat..."
Perempuan tua berompi kulit pohon itu melempar pakaian Andika yang sejak tadi dipegangnya. Seperti ketika membebaskan Andika dari kuncian mulut, gerakan kali ini pun tak kelihatan bertenaga sama sekali. Amat
enteng. Namun ketika pakaian berwarna hijau muda itu terlepas dari tangannya....
Wuuut!
Terciptalah kelebatan amat cepat. Mata terlatih Andika yang biasa menangkap kecepatan sambaran kilat di Lembah Kutukan, masih sempat menangkap kelebatan pakaiannya. Lalu tangkas sekali pendekar muda itu mengangkat tangan dari bawah permukaan sungai, untuk menjemput lemparan si nenek. Meski begitu, ketangkasan tangannya belum bisa menghadang kelebatan pakaiannya.
Pyar!
Sekejap kemudian, pakaian hijau muda itu menampar permukaan sungai di belakang Andika. Saat itu air, seperti langsung disibak tangan raksasa. Sampai-sampai, tubuh Andika sendiri terhempas gelombang besar ketepi sungai.
"Sudah tidak betah di sungai, ya?" ledek si nenek, menjengkelkan.
Seraya menggerutu berkepanjangan, Andika memakai pakaiannya. Daripada setengah telanjang, dipakainya juga pakaian basah itu. Tak begitu lama, dia pun naik.
"Nah! Sekarang, jawab pertanyaanku!" kata si nenek memulai kembali.
"Terus terang, aku memang memusuhi muridmu. Aku tak menyesal jika dia terluka," jelas Andika tak segan-segan.
"Aku tak tanya kau menyesal atau tidak! Yang kutanya, apa kau bertanggung jawab terhadap keadaan muridku!" sergah si nenek ngotot.
"Kalau itu pertanyaannya, kujawab tidak."
"Bagus!" cetus si nenek.
Setelah itu, si nenek berbalik. Perempuan tua itu pergi begitu saja. Padahal, Andika menduga si nenek akan menggempurnya setelah seluruh pertanyaan dijawab. Biasanya, jika murid bejat, itu karena hasil didikan gurunya. Dengan kata lain, guru yang keji biasanya akan melahirkan murid yang sama keji.
Dengan terheranheran, Andika menahan langkah si nenek.
"Kenapa kau tak melabrakku?" tanya Andika.
Si nenek menoleh sebentar.
"Apa kau mau bermusuhan dengan seorang yang baru kau kenal?" si nenek balik bertanya.
Bibirnya tersungging kecil. Entah meledek, entah meremehkan. Dan entah pula merasa lucu dengan pertanyaan Andika barusan.
"Bermusuhan? Aku malah sering memimpikan seluruh manusia di atas jagad ini membuang semua sifat ingin musuhan. Lalu, mereka bisa hidup damai saling berkasih sayang. Sayang, hati manusia banyak yang dengki dan busuk...," ucap Andika seperti bicara pada diri sendiri.
Sekali ini, si nenek terkekeh mendengar penuturan pemuda yang baru saja dikerjainya.
"Itu artinya, kau tidak mau bermusuhan denganku. Nah, kenapa pula aku harus memusuhi orang yang tidak ingin bermusuhan denganku? Asal kau tahu, Anak Muda Semestinya, di dunia ini berlaku hukum yang setimpal Setiap kejahatan harus dibalas kejahatan. Sebabnya, kebaikan harus dibalas pula dengan kebaikan...," ucap si nenek berkesan dalam.
"Tapi, jika seseorang ingin besar di hadapan Tuhan semesta Alam, semestinya memaafkan kejahatan yang diperbuat orang terhadap dirinya. Dan, membalas kebaikan dengan kebaikan yang lebih baik...," timpal Andika.
"Hik hik hik! Aku suka kau, Anak Muda!" puji si nenek tulus meski disampaikan secara menyebalkan.
Tak lama kemudian, sinenek sudah menghilang bagai ditelan bumi. Andika memang sempat menangkap kelebatan tubuhnya. Tapi dia tahu sulit untuk menandingi kecepatan geraknya.
* * *
Anggraini termenung sendiri dalam kungkungan kebisuan. Dipandanginya gerombolan bunga matahari di kejauhan, dengan sinar mata amat kosong. Di bawah naungan ser ampun bambu kuning yang tumbuh di beberapa tempat di Pintu Sorga dan Neraka Dunia, gadis menawan itu duduk bersandar. Angin mengusik derit batang bambu hingga saling bergesekan menggoda. Juga, gemerisik dedaunan bambu mencoba menyadarkan Anggraini dari lamunan. Namun, gadis itu tidak peduli. Banyak hal yang bisa membuat seseorang bagai menghukum diri menjadi area batu seperti itu. Untuk dara semacam Anggraini, penyebabnya seringkali mudah dikenali. Cinta!
Cinta? Ya! Satu kata singkat, namun menyimpan sehimpun makna. Dan itu telah menggerayangi gadis ini hari-hari belakangan. Dimulai sejak Pangeran Neraka, pamannya, menerangkan kalau pembunuh ayah gadis ini adalah jejaka yang berhasil menanam benih-benih kasih terdalam, yang kemudian tumbuh menjadi cinta pertamanya.
Betapa Anggraini sulit mempercayai keterangan tersebut. Dimatanya, Andika adalah seorang pemuda yang tidak saja tampan rupawan. Tapi, juga memiliki sifat yang patut dikagumi. Ksatria, welas asih, dan berwibawa adalah sekadar sebagian pribadinya. Anggraini bisa melihatnya, meski perkenalan dengan Andika bisa dikatakan singkat.
Mungkinkah semua itu adalah kepalsuan semata? Anggraini bertanya resah. Bukankah kepura-puraan dan kemunafikan adalah jamur menjijikkan yang semakin tumbuh di dunia ini? Dalam diri sekian banyak manusia? Keraguan mulai merambah relung batin gadis itu.
"Tapi, bagaimana mungkin dia tak membunuhku, kalau tahu aku bakal menuntut balas atas kematian ayahku?" sangkal sisi hati Anggraini yang lain.
"Kalau dia memang yang berdarah dingin, tentunya aku sudah tak memiliki nyawa lagi.... Tapi, ah! Kenapa dia membunuh ayahku? Apa salahnya? Atau...."
Relung hati gadis ini tak kuasa lagi menampung beruntun pertanyaan yang membingungkan. Dia berontak dan terjaga. Namun yang ditelannya setelah itu adalah sebentuk kekecewaan menghujam. Kecewa karena pemuda yang menanam benih cinta pertamanya, ternyata adalah sang pembunuh ayah kandung yang begitu lama dirindukan!
"Aku benci kau, Andika!" rutuk Angraini geram, nyaris bergumam geram.
Sesudah itu, Anggraini bangkit dengan benak terkoyak. Dia berdiri diam, menantang sapuan angin lembah. Dalam dirinya hanya terngiang kata-kata Bureksa, pamannya.
Andika adalah pembunuh Ayah!
Andika adalah pembunuh Ayah...!
* * *
Di pinggiran sungai Andika sedang memanggang ikan mujair hasil tangkapannya. Asap putih membawa aroma sedap berarak naik dari tumpukan kayu bakar, menggoda perut Andika yang sudah demikian keroncongan.
Sambil bersiul-siul, pemuda itu membalik-balik panggangan ikan di tangannya. Dan tiba-tiba siulan riangnya terhenti seketika, terpenggal oleh ingatan yang muncul begitu saja.
"Si nenek jelek itu...," gumam Pendekar Slebor.
"Bukankah kemarin dulu dia mengatakan kalau kejahatan mestinya dibalas kejahatan? Kalau muridnya terluka oleh Anggraini, tentunya dia akan menuntut balas. Kemarin lalu pun, dia menemuiku untuk meminta tanggung jawabku...."
Plak!
Andika menampar kening keras-keras dengan telapak tangan kiri.
"Kenapa aku jadi tolol! Tentu si nenek jelek itu kini sedang mencari Anggraini. Bukankah sewaktu menyelamatkan Ratu Lebah, dia melihat Anggraini sedang bertarung dengan muridnya itu? Tentu dia tahu, Anggrainilah yang melumpuhkan muridnya.... Wah, kacau! Anggraini bisa jadi sasaran kemarahan si nenek jelek. Padahal, muridnya sendiri yang salah...," gumam Andika lagi.
Dari duduknya, pemuda berambut gondrong itu cepat-cepat bangkit
"Tapi, ke mana aku harus mencari gadis itu? Dia menghilang seperti ditelan bumi. Berhari-hari aku mencarinya, tapi nihil. Apa iya, aku bisa menemukan secepatnya sebelum didahului nenek jelek itu?"
Andika mengetuk-ngetuk kepala dengan jari kiri. Sedang dipikirkan, bagaimana caranya agar bisa cepat menemukan gadis yang baru turun dalam dunia persilatan itu.
"Ah! Peduli setan bagaimana caranya! Kalau aku hanya berpikir terus,
bisa-bisa sudah kedahuluan nenek jelek itu!" umpat Pendekar Slebor pada diri sendiri.
Sejenak dipandanginya panggangan mujair di tangan kanan. Sudah matang dan benar-benar menggoda. Baunya pun menyengat hidung.
"Apa boleh buat...," gumam Andika.
Panggangan mujair itu dimasukkan saja ke balik bajunya. Padahal asapnya masih mengepul. Memang sayang, Dari pada dibuang, lebih baik dijadikan persediaan kalau perutnya tak bisa diajak berdamai lagi. Dasar urakan!
Pemuda acuh ini pun beranjak dari tempat itu. Tujuannya, Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Dia akan memulai ulang pencarian Anggraini dari tempat pertama. Disana, mungkin bisa disusuri jejak yang luput ditemukan pada pencarian pertama.
* * *
Pintu Sorga dan Neraka Dunia tampak lengang. Pendekar Slebor tiba disana ketika matahari terjatuh penggalan dibelahan angkasa sebelah barat. Berawal dari tempat Anggraini bertempur melawan Ratu Lebah dulu, Andika mulai mencari tanda-tanda yang mungkin bisa dijadikan petunjuk, kemana perginya Anggraini. Cukup lama pemuda berpakaian hijau-hijau menyusur tiap jengkal tanah disekitarnya. Matanya bahkan sudah sedikit pedih, karena terus dikerahkan. Kalau penciumannya setajam anjing pelacak, tentu urusannya akan lain.
"Tak ada tanda-tanda sedikit pun.... Koreng garing!" umpat Andika kesal.
"Aku jadi semakin yakin, Anggraini menghilang karena keinginannya sendiri. Sedikit pun tak ada tanda kalau dia dipaksa oleh seseorang. Apa mungkin dia tak ingin urusannya kucampuri. Padahal, aku sangat berkaitan erat dengan urusan gadis itu...."
Kepala pemuda sakti dari Lembah Kutukan ini menoleh ke sana kemari. Sepertinya, dia masih penasaran.
"Kalau nanti aku bertemu dengannya, bagaimana caraku menjelaskan kalau aku adalah pembunuh ayahnya?" gumam Pendekar Slebor lagi.
Plak!
Mendadak sontak Andika merasa kepalanya ditampar seseorang dari belakang. Hal itu membuat Andika terkesiap. Bukan karena tamparan itu berbahaya, sebaliknya tamparan itu sepertinya hanya dimaksudkan untuk main-main saja.
Pemuda urakan itu terkesiap, karena sedikit pun tak menyangka ada seseorang yang melayangkan telapak tangan kebelakang kepalanya. Padahal, sebagai seorang pendekar sakti yang cukup menggetarkan dunia persilatan, gerakan halus seekor cecak pun dapat tertangkap telinganya. Andika cepat menoleh.
"Hik hik hik! Kalau ada sumur diladang, boleh kita menumpang mandi. Kalau ada jodoh untukku seorang, boleh kita berkencan lagi!"
Andika meringis lebar-lebar. Orang yang menampar belakang kepalanya ternyata perempuan tua pertapa, guru Ratu Lebah. Nenek yang sudah bau tanah itu senyam senyum genit, memperlihatkan sebutir gigi besar yang masih tersisa di mulutnya.
"Ampun.... Kenapa aku harus berjumpa nenek jelek ini lagi?! Apa salahku?" gerutu Andika berbisik.
"Kau jangan sembarangan menghinaku, ya?!" hardik si nenek sewot.
"Begini-begini juga masih membawa rejeki!"
Rupanya bisikan Andika yang begitu halus bisa ditangkap dengan baik oleh telinga si nenek. Barangkali hanya kata hati saja yang tak bisa didengarnya.
"Kita bertemu lagi, ya Nek?!" Andika berbasa-basi pura-pura ramah. Sementara wajahnya sama sekali tidak menunjukkan keramahan. Bisa dibilang, mirip wajah orang yang telat buang hajat!
"Yang sopan terhadap orangtua kalau tak mau kualat!"
"Lho? Sapaan tadi sudah sopan, bukan?" sergah Andika.
"Nih ....."
Perempuan uzur itu menyodorkan punggung tangannya.
"Cium! Itu tanda kau anak muda yang sopan! Ayo, cium!" perintah si nenek dengan mata mendelik-delik.
Dengan berdecak-decak mangkel, Andika menuruti perintahnya.
"Aku sudah cium tangan, Nek. Karena, aku sebenarnya menaruh hormat pada orang yang lebih tua. Sekarang, apa lagi? Cium dengkulmu?" ceracau Andika.
Si nenek malah terkikik.
"Aku benar-benar suka padamu, Anak Muda!" kata si nenek. Lalu....
Plak!
Sekali ini, kening Andika yang menjadi sasaran kegemasannya. Mulutnya sampai meringis-ringis.
"Kau benar-benar pemuda yang cocok buat kujadikan menantu. Eh! Maksudku, jadi suami muridku yang molek itu, lho!" lanjut si nenek.
"Apa?!" Andika terbelalak. Mulutnya terbuka lebar.
Selagi masih terbelalak bodoh seperti itu, si nenek aneh menarik tangannya.
"Ayo ikut aku, Anak Muda! Sebaiknya kau melihat dulu anak gadisku," ujar si nenek semena-mena.
"Tapi...."
"Biar kau tahu dan jelas benar kalau anak gadisku memang molek!" terabas nenek pertapa, tak peduli.
Andika pun ditariknya seperti kambing congek.
Baru beranjak sekitar empat tombak dari tempat semula, seseorang menghadang tepat di depan si nenek. Gerakannya ringan. Sewaktu berkelebat, Andika menangkap warna merah pakaian si penghadang. Juga, sempat menangkap rambutnya yang panjang. Maka, hatinya pun mulai menduga kalau sipenghadang adalah Anggraini. Dugaannya terbukti, ketika matanya jelas-jelas melihat wajah Anggraini yang sudah tegak berdiri dengan sikap tegang.
"Nhaaa! Pucuk dicinta ulam pun tiba!" sambut si nenek senang sekali bisa menemukan Anggraini yang dicarinya, tanpa harus susah payah.
Sementara, Andika sibuk memperingati Anggraini Dibelakang si nenek. Tangannya memberi isyarat diudara, menyuruh Anggraini untuk segera pergi. Anak muda itu tidak mau urusan jadi runyam akibat kesalahpahaman, karena si nenek belum sadar kalau sebenarnya muridnyalah yang bersalah.
"Jangan coba macam-macam di belakangku, Anak Muda!" ancam si nenek tanpa menoleh.
"Bisa-bisa, kubuat rujak kau!"
Andika meringis. Tangannya berhenti bergerak-gerak.
"Nah! Mumpung kau ada di sini, Anak Gadis. Katakan padaku, apa kau bertanggung jawab terhadap luka yang diderita muridku tempo hari?" tanya sinenek memulai lagi.
"Maaf, Nek. Aku menghadang bukan untuk berurusan denganmu. Urusanku dengan pemuda itu," ucap Anggraini menusuk, seraya melempar isyarat mata yang panas kepada Andika.
Kalau sebelumnya pemuda berkain corak catur itu meringis mendengar ancaman aneh si nenek, kini mulutnya meringis karena sikap dan ucapan Anggraini. Sama sekali tidak dimengerti maksud gadis itu. Menurut dugaannya, tentu ada sesuatu yang melatar belakangi sikap Anggraini yang kini berubah tak ramah padanya. Apa mungkin gadis itu sudah tahu kalau Andika adalah pembunuh ayahnya?
“Sembarangan saja kau membacot!" sergah si nenek kasar.
"Jelas-jelas kau berurusan denganku, kalau kau telah melukai muridku tempo hari! Ayo jujur... jur... jur!"