Part 1
Dunia seringkali menawarkan pada manusia sesuatu yang tidak terduga. Layaknya sakaratul maut menjemput. Datang tanpa disadari siapa pun, sementara manusia mungkin masih terlena buaian duniawi.
Seperti juga yang dialami seorang gadis cantik yang saat ini berada di sebelah selatan Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Dia adalah Anggraini, putri seorang tokoh silat wanita bernama Kupu-kupu Merah. Berjalan bersamanya adalah seorang laki-laki tua, penguasa wilayah ini. Julukannya, Pangeran Ne-raka. Mereka tampak beriringan akrab dengan langkah lambat menyusuri jalan setapak berkerikil halus. Sebelah tangan Pangeran Neraka menggandeng bahu gadis cantik itu, memperlihatkan perhatian seorang paman kepada kemenakannya.
Di atas sana, angkasa meredup lamat. Cahaya mentari telah menguning matang, pertanda hari sebentar lagi tersungkur di awal malam. Angin senja menyapu kulit kedua insan yang bertalian darah itu.
"Bukankah kau hendak menceritakan padaku tentang cemeti dan kalung kepala rajawali yang diberikan ibu padaku, Paman Bureksa?" tanya Anggraini bernada meminta, setelah memindahkan benda-benda yang dimaksud ketangannya.
"Apakah kau sudah siap mendengarnya?" tanya Pangeran Neraka yang ber-nama asli Bureksa.
Cara bicara laki-laki tua ini saat itu sangat jauh dari sifat sebenarnya yang telengas dan culas. Dia lebih tampak sebagai orangtua arif penuh kasih.
"Apa maksudmu dengan pertanyaan itu, Paman?"
Pangeran Neraka tertawa.
"Sewaktu bertemu pertama kali, bukankah kau tak percaya kalau aku ini kakak ayahmu?" kata Pangeran Neraka seperti hendak menguji kesungguhan Anggraini menanyakan tentang riwayat dua benda di tangannya.
"Sekarang aku percaya, setelah Paman bisa tepat menceritakan tentang riwayat ibuku."
"Tapi itu bisa saja dilakukan banyak orang yang mengenal ibumu. Kupu-kupu Merah adalah julukan ibumu yang tersohor beberapa waktu lalu. Banyak orang yang tahu tentang ibumu."
"Tapi, tak mungkin banyak orang tahu tentang kalung kepala rajawali ini, bukan?"
Pangeran Neraka tertawa lagi. Entah apa yang dianggapnya lucu.
"Sekarang, Paman mau menceritakan bagaimana kaitan benda-benda ini dengan ayahku, bukan?" desak Anggraini halus tanpa kesan merajuk.
Dalam beberapa hari ini, gadis itu memang sudah begitu dekat dengan Pangeran Neraka. Keberadaan lelaki tua itu seperti mengisi kerinduannya pada sosok seorang ayah. Namun demikian, sebagai seorang gadis yang dibesarkan menurut adat orang-orang persilatan Anggraini tak tampak manja.
Pangeran Neraka mengangguk mantap.
"Baiklah," desah orang tua itu.
Anggraini menunggu. Namun, belum ada satu kata lagi meluncur dari mulut Bureksa. Anggraini tentu saja menjadi agak heran.
"Kenapa Paman kelihatannya ragu?" tanya Anggraini.
"Aku ingin bertanya dulu padamu sebelum bercerita," kata Bureksa, seraya menjemput bahu Anggraini dengan kedua tangan kekarnya yang berkulit cacat seperti bekas terbakar. Ditatapnya sepasang mata gadis itu lekat-lekat.
"Aku sempat melihat kau bersama pemuda berpakaian hijau muda waktu itu. Bagaimana hubunganmu dengannya?"
Anggraini mengingat-ingat. Gadis itu cepat tahu, siapa yang dimaksud pamannya
"Andika maksud Paman?"
"Ya!" sahut Bureksa, singkat.
"Dia kawan baruku," jawab Anggraini, sungkan.
"Jangan menyembunyikan apa-apa padaku, Anggraini! Aku sudah hidup cukup lama. Artinya, aku sudah hafal benar, bagaimana sinar mata seorang gadis yang mulai jatuh hati pada seorang pemuda...."
Ucapan Bureksa terasa sekali menyentil perasaan Anggraini. Cepat-cepat pandangannya dialihkan, melepas ikatan mata Pangeran Neraka. Seolah-olah gadis itu percaya pamannya mampu membaca isi hatinya melalui sinar mata. Saat yang sama, pipinya bersemu merah.
"Kau belum mengatakan hal yang sebenarnya, bukan?" usik Pangeran Neraka. Nadanya seperti mendesak, membuat Anggraini merasa tak nyaman.
"Ayo, Anggraini! Katakan padaku. Kau mulai mencintai pemuda itu, bukan?" Pangeran Neraka makin mendesak. Cekalan tangan di bahu gadis itu pun mengeras.
"Aku tak suka Paman mendesakku seperti ini!" sentak Anggraini tiba-tiba.
Ditepisnya kedua tangan sang paman dari bahunya. Gadis itu berbalik, membelakangi Bureksa. Wajahnya yang kian matang terbakar oleh rasa malu dan kegugupan atas tekanan Bureksa, seakan-akan disembunyikannya.
Pangeran Neraka hendak meraih bahu Anggraini kembali dari belakang. Baru saja tersentuh, Anggraini sudah menjauh dengan langkah terbanting-banting.
"Anggraini!" seru Bureksa agak gusar melihat sikap kemenakannya yang
baru saja dikenal.
"Kalaupun aku mengakuimu sebagai kakak ayahku, tapi bukan berarti Paman bisa mencampuri hidupku seenaknya," gerutu Anggraini, sambil tetap melangkah.
"Aku tak akan mencampuri hidupmu, asal kau tidak mencintai pemuda itu!" tegur Pangeran Neraka, segera menyusulnya.
"Paman tak bisa mengatur cinta seseorang. Datangnya cinta tidak bisa ditentukan. Dan perginya pun tanpa bisa dicegah!" bantah Anggraini mulai sengit.
"Tapi kau belum tahu, siapa pemuda itu!"
"Aku memang belum lama kenal dengannya. Tapi hatiku mengatakan, dia lelaki yang patut dicintai. Seorang pemuda berkepribadian, punya jiwa ksatria. Juga memiliki kelembutan...."
"Kau sedang mabuk, Anggraini! Kau tak menyadari, siapa yang kau cintai!"
Pangeran Neraka kini segera menghadang langkah Anggraini. Diangkatnya wajah terbakar Anggraini dengan tangan.
"Lihat aku, Anggraini!" ujar orang tua itu, agak keras.
Gadis yang berwatak keras itu tak juga mau menurut. Lagi-lagi ditepisnya tangan kekar Pangeran Neraka.
"Aku tak mau mendengar ucapan Paman lagi, kecuali tentang ayahku!" tandas gadis itu.
"Pemuda itu pun berhubungan erat dengan kematian ayahmu, Gadis Keras Kepala!" hardik Bureksa, mulai kehilangan kesabaran.
Anggraini tercekat. Apakah telinganya tak salah dengar? Pamannya barusan menyebutkan, kalau Andika berhubungan dengan kematian ayahnya. Dengan kelopak menyempit, Anggraini mempertemukan matanya dengan mata sembilu Pangeran Neraka. Ditangkapnya jilatan api kemarahan pada mata lelaki itu. Tapi, Anggraini tak peduli.
"Apa maksud Paman?" tanya gadis itu nyaris seperti mendesis.
"Kalau kau ingin tahu, dialah orang yang telah membunuh ayahmu!" papar Pangeran Neraka tegas, penuh tekanan.
Anggraini melengak. Tak ada lagi kata yang bisa diucapkan bibirnya. Dia terlalu terkejut mendengar berita yang disampaikan pamannya. Kelopak matanya membuka tanpa kedip sekian lama. Lalu mendadak saja tubuhnya berbalik dan berlari sambil mendekap wajah.
"Aku tak percaya ini!" teriak Anggraini bergetar seperti menahan isak.
* * *
Berhari-hari Andika mencari Anggraini. Dan tak sejenak pun sempat dilihatnya lagi wajah gadis itu. Sejak menghilangnya Anggraini didaerah Pintu Sorga dan Neraka Dunia, Andika jadi seperti anak ayam kehilangan induk. Dia kelimpungan mencari kesana kemari, tapi hasilnya melompong. Kalau saja tak mengkhawatirkan keselamatan gadis yang baru turun dalam persilatan yang penuh tipu daya ini, tentu Pendekar Slebor sudah melanjutkan perjalanan ketujuan lain.
Dia sendiri tak mengerti, perasaan macam apa yang membuat hatinya begitu mengkhawatirkan Anggraini. Bisa saja semacam perasaan bersalah, karena membuat Anggraini harus kehilangan seorang yang amat dekat dengannya. Bisa jadi juga dia mulai menyukai pribadi Anggraini. Tapi, apa begitu? Padahal Anggraini tergolong sulit diajak bersahabat. Orangnya terlalu keras.
Sambil membawa pikirannya menerawang, Pendekar Slebor melanjutkan pencarian. Sampai akhirnya, Andika tiba di suatu tempat yang teduh. Pohon-pohon besar memayungi tempat itu. Sewaktu melihat ada sungai kecil berair bening di sana, timbul keinginannya untuk sedikit menyejukkan badan.
Andika pun menanggalkan pakaian. Setelah melemparkan perangkat penutup tubuhnya kebawah sebatang pohon, pemuda tampan itu langsung melompat kedalam sungai.
Byur!
"Fhuah! Segarnya," ucap Andika, begitu muncul di permukaan kembali.
Sungai kecil itu tergolong cukup dalam. Sehingga, memungkinkan Andika menyelam. Kebeningan airnya menyebabkan dasar sungai dapat terlihat melalui permukaan. Andika mencoba menyelamkan kepala lagi. Panas matahari yang memanggang batok kepalanya siang itu, sepertinya belum cukup terusir.
"Fhuah!"
Pemuda itu muncul kembali di permukaan. Kepalanya menggeleng-geleng keras, mengusir usikan air pada telinganya.
"Tuhan memang adil. Menciptakan rasa panas yang disertai pula rasa dingin. Coba kalau ada panas saja, bisa gosong semua manusia di permukaan bumi ini," gumam pemuda itu saat menggosok-gosok badan dengan batu cadas dari dasar sungai.
Puas menyejukkan sekaligus membersihkan badan, Pendekar Slebor berniat naik ke tepi sungai. Sewaktu matanya mencari pakaiannya, wajahnya kontan terlipat. Pakaiannya tak ada lagi di tempat! Mau tak mau, Andika mengurungkan niat untuk naik.
"Ini pasti ada yang usil," bisik Pendekar Slebor sambil menggerutu.
"Apa dikiranya aku ini bidadari dari kayangan yang tak bisa kembali lagi kalau pakaianku diambil?!"
Pendekar Slebor lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Hey, Pencuri! Kuberitahu, kalau pakaianku tidak berharga untuk dijual. Biar ke tempat loakan sekali pun!" teriak Andika.
"Dan kalau kau hanya mau usil, ya jangan keterlaluan! Aku tidak bisa keluar dari sungai ini hanya dengan mengenakan celana dalam!"
Tak ada sahutan.
"Hoooiii! Perempuan atau lelaki! Jin botak atau manusia gundul! Tua atau muda! Yang membawa pakaianku, cepat kembalikan ke tempatnya semula!" teriak Andika lagi. Tetap saja tak ada tanggapan.
"Ah! Apa aku hanya berprasangka buruk saja. Belum tentu pakaianku dibawa orang. Mungkin saja diterpa angin," gumam Andika, meralat dugaan sebelumnya.
Pikir punya pikir, pemuda itu akhirnya sedikit nekat untuk naik mencari pakaiannya. Dengan tangan menutupi celana dalam, tubuhnya mengendap-endap ke tempat pakaiannya diletakkan. Dicari-carinya baju dan celana hijau muda itu ke sekitarnya. Tapi sejauh mata memandang, tak juga ditemukannya. Kecurigaan Andika mulai tersembul lagi.
"Kalau begitu, benar dugaanku tadi. Memang ada manusia usil yang hendak mengerjaiku," bisik pemuda itu.
Sementara berbisik, matanya melirik kian kemari. Tentu saja pemuda kesohor itu takut tertangkap basah sedang polos seperti bayi yang hanya mengenakan popok!
"Iya kalau lelaki yang mengusiliku. Aku tak begitu malu. Bagaimana kalau wanita? Wah! Bisa lepas wajahku karena malu," gumam Andika lagi seraya mengendap-endap untuk kembali ke sungai. Maksudnya, supaya bisa menyembunyikan tubuh.
Saat matanya melirik kesana kemari seperti maling kesiangan, mendadak saja terdengar hardikan seseorang dibelakangnya.
"Nhaaa! Mau berbuat mesum, ya!"
Tanpa pikir apa-apa lagi, Andika langsung saja tunggang-langgang secepatnya ke arah sungai. Tak lagi diperdulikan, bagaimana caranya berlari sepanjang masih bisa menutupi celana dalamnya dengan tangan.
"Wuaaa!"
Byur!
Didahului teriakan kalang kabut, pemuda urakan yang ternyata masih punya malu itu terjun ke dalam sungaikembali.
* * *
"Hik hikhik!"
Satu alunan tawa nyaring Cumiakkan telinga berkumandang, mengejek Pendekar Slebor. Ketika kepalanya muncul ke permukaan, Andika melihat seorang nenek jelek berpakaian aneh yang pernah dilihatnya saat melarikan Ratu Lebah. Nenek itu masih terkikik-kikik, sampai tubuhnya berguncang-guncang kecil. Dedaunan yang menutupi auratnya pun ikut bergetaran.
"Kau lagi...," gerutu Andika dongkol.
"Cepat kembalikan pakaianku!"
Mata Andika melotot ketika menemukan pakaian hijau muda itu berada di tangan si nenek jelek.
"Enak saja! Aku masih senang menikmati pemandangan bagus itu, kok!" sergah si nenek, menghentikan tawa nyaringnya.
Dengan genit, diliriknya permukaan sungai tempat Andika berendam.
"Kau tak sadar, ya? Sungai itu terlalu bening untuk dijadikan tempat bersembunyi. Hikhikhik!"
Mata pemuda berambut gondrong itu mendelik sejadi-jadinya. Kenapa dia jadi tolol! Tentu saja setiap orang yang tak buta akan dapat melihat tubuhnya yang tak berpakaian, dari permukaan air sungai yang begitu bening!
Untuk keluar dari sungai, sudah tak mungkin lagi bagi Andika. Itu sama saja membiarkan tubuhnya jadi tontonan indah si nenek genit. Namun, otak encer Andika tak kehilangan akal. Permukaan air segera diaduk-aduknya supaya bayangan tubuhnya jadi menghambur tak kentara.
"Lho! Lho?! Kok, tubuhmu sekarang jadi tampak berantakan?!" ejek sinenek dengan mata terbelalak.
"Tutup mulut mesummu itu, Nenek Jelek!" maki Andika kesal.
"Idih! Begitu saja sudah sewot!" goda si nenek dengan gaya seorang perawan desa merayu jejaka.
Andika mendengus. Pangkal hidungnya jadi terlipat.
"Sebenarnya, apa maumu?!" tanya Andika kemudian.
"Aku? Yang kumau sih, ya bisa jadi kekasihmu...," sahut si nenek mendayu.
"Amit-amit," bisik Andika membatin. Bergidik juga pemuda itu mendengar ucapan si nenek genit.
"Terus terang, aku sedang tak berselera mendengar ocehan tengik. Kenapa kau tak langsung katakan saja, apa maumu sebenarnya, Perempuan Tua?" Andika mengulangi kembali pertanyaannya.
"Anak muda selalu bernafsu," ce-mooh si nenek seraya mencibir.
"Tapi, baiklah. Aku hanya ingin memberi pelajaran padamu, karena kau harus ikut bertanggung jawab atas luka yang diderita anak gadisku,"ntutur perempuan uzur itu akhirnya.
"O, sekarang persoalan menjadi jelas. Sejak semula juga sudah kuduga kalau kau hendak mengungkit-ungkit pe-ristiwa itu lagi," tanggapnAndika.
"Jadi, Ratu Lebah adalah anakmu?"
"Aku tak bilang dia anakku, Tolol!"
"Kalau begitu, pasti dia muridmu," duga Andika.
"Nah! Kau tidak tolol lagi!"