Part 7
“Kau tahu, dua lelaki dari Tiongkok yang pernah membual kegemparan tiga tahun lalu bersama Begal Ireng?” tanya laki-laki bertopeng kasar, dengan bauk memenuhi wajahnya.
“Ya, tentu saja aku tahu. Bukankah mereka sudah mati sewaktu Pendekar Slebor mengamuk, membumi hanguskan mereka?” tanggap lelaki yang diajak berbicara.
Wajah laki-laki ini kelimis, tanpa kumis maupun jenggot.
“Mati? Siapa yang bilang mereka mati? Begal Ireng memang mampus di tangan pendekar muda itu. Tapi mereka tidak”
“Ah! Dari mana kau tahu begitu?”
“Percaya atau tidak, aku dua hari yang lalu bertemu mereka. Dengan kalimat-kalimat mereka yang kaku, aku ditanya tentang Pendekar Slebor....”
“Maksudku mereka mencari anak muda sakti itu? Sinting! Apa mereka belum kapok?!”
“Tapi, siapa tahu selama tiga tahun menghilang dari dunia persilatan, Kembar Dari Tiongkok
mempersiapkan diri untuk menghadapi Pendekar Slebor. Mereka mungkin punya ilmu baru!”
“Ah! Aku tak yakin, mereka bisa menandingi anak muda sakti itu meski tiga tahun menambah ilmu. Kata banyak orang, kesaktian anak muda itu seperti setan. Kalau dia bergerak..., bet! Bet! Tahu-tahu, apa yang ada di depan hancur. Belum lagi, kabarnya dia bisa menyerap tenaga petir!” tutur lelaki klimis menggebu-gebu. Saking semangatnya, gelas tuak di meja jatuh bergulingan ke lantai.
“Yaaa.... Tuak kita. Kau sih! Cerita pakai mencak-mencak segala!” gerutu lelaki bauk.
“Mana uangku sudah habis....”
“Tuan-tuan, kalian ingin lebih banyak tuak?” sapa Anggraini yang kebetulan tak jauh dari tempat
mereka.
Dua lelaki tadi menoleh dengan mata sayu, karena pengaruh tuak.
“Wah, rejeki nomplok! Nisanak baik sekali....” sambut lelaki klimis.
“Kalian akan kubelikan empat guci penuh, kalau mau memberitahu aku, ke mana Kembar Dari Tiongkok pergi,” lanjut Anggraini.
Lelaki bauk yang pernah ditanyai Kembar Dari Tiongkok penuh semangat berdiri, lalu menghampiri si dara berpakaian merah.
“Aku tahu, Nisanak,” kata si bauk.
“Setelah bertanya padaku, mereka pergi ke arah utara, eh... ! Tunggu dulu.”
Lelaki bauk itu diam sebentar seperti mengingat-ingat.
“Matahari tenggelam di sebelah mana, ya?” tanya laki-laki itu pada kawannya.
“Barat maksudmu?” sela Anggraini.
“Ya, barat! Tepat, Nisanak!”
“Kira-kira, apa daerah yang istimewa di daerah barat?”
Lagi-lagi si lelaki tadi mengingat-ingat. Sesaat kemudian wajahnya meringis ngeri.
“Di barat itu, yang santer sekarang-sekarang ini, ya Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Jaraknya tak begitu jauh dari sini. Kira-kira setengah harian berkuda....”
“Cukup, terimakasih,” putus Anggraini, seraya mengeluarkan beberapa keping uang perak. Diberikannya uang itu pada si lelaki pemabuk.
“Mabuk sampai pagi!” teriak lelaki itu girang bukan main. Setelah itu tubuhnya ambruk, tak kuat lagi menahan pengaruh tuak dalam tubuhnya.
Beres membayar makanan, Anggraini bergegas keluar kedai. Malam itu juga, gadis ini mencari seekor kuda jantan dan membelinya. Dia bermaksud langsung menuju ke arah yang ditunjuk dua lelaki pemabuk tadi.
***
Anggraini tiba menjelang pagi di Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Matahari mengintip malu-malu di sudut timur cakrawala. Cahaya jingganya menyapu samar wilayah itu. Panorama indahnya pun seolah bangun dari tidur.
“Pantas saja tempat ini disebut ‘Pintu Sorga’. Keindahannya benar-benar menakjubkan,” puji Anggraini perlahan.
Gadis itu memandangi pucuk-pucuk bunga matahari jangkung yang masih tertunduk-tunduk, Seakan sekumpulan serdadu mengantuk. Warna kuningnya menyatu dengan jingga sang matahari.
“Tapi, kenapa tempat itu disebut juga ‘Pintu Neraka’? Aku belum menangkap maksudnya. Menurutku, tak ada tanda-tanda kalau tempat ini seperti neraka...,” gumam gadis itu kembali seraya menghirup dalam-dalam hawa sejuk yang berhembus dari sela-sela bukit pembenteng daerah itu.
Cahaya kekuningan matahari mulai memudar. Dan Anggraini puas menikmati maha karya Yang Maha Esa. Kini dia pun mulai mengendalikan kuda tunggangan yang telah dibelinya, berjalan perlahan menyusuri jalan setapak berkerikil warna-warni. Sepanjang jalan setapak, sesekali dia menemukan serumpun bambu kuning setinggi dua kali manusia. Gemerisik daun-daunnya menyapa ramah, ketika angin mengusik. Di dekat serumpun bambu kuning lain, telinga Anggraini menangkap suara mencurigakan. Bukan sekadar gemerisik daun atau derit bambu yang bergesekan. Maka seketika pendengarannya ditajamkan.
Tak lama kemudian, mulai bisa dipastikan kalau suara itu adalah rintihan seseorang. Dengan cekatan dara cantik itu melompat turun dari punggung kudanya. Dia langsung berlari ke balik kerimbunan rumpun bambu. Mata indahnya kontan terbelalak menyaksikan sesuatu yang terlihat. Sebuah tiang kayu bcsar terpancang angkuh dan dingin. Di atasnya, tergantung sescorang yang sudah dikenalnya.... Agungcakra.
“Cakra! Apa yang terjadi?” tanya Anggraini, khawatir melihat keadaan Agungcakra yang mengenaskan.
Tubuh pemuda itu menderita koyakan di sana-sini. Darah terus menetes ke tanah, tepat di bawah tempatnya tergantung. Sudah begitu banyak darah tergenang disana. Anak muda tampan itu nyaris pingsan dengan wajah pucat pasi. Matanya terkatup, redup. Anggraini cepat mengambil selembar daun bambu. Dan tangannya pun bergerak sekelebat.
Wes... tes!
Tali besar pengikat kaki Agungcakra terputus tanpa kesulitan, seakan baru saja ditebas sebilah kelewang amat tajam. Tubuh lunglai si anak muda malang, pun meluncur jatuh. Tapi, Anggraini menyergapnya sigap.
“Nisanak, apakah kau pernah mendengar cerita anak manusia....,” kata Agungcakra lirih.
Tubuhnya telah terbaring di tanah, sementara kepalanya sengaja dipangku Anggraini.
“Tentang seorang yang begitu menyayangi adik kandung ayahnya. Dia mencari sang bibi yang menghilang bertahun-tahun, tanpa kenal lelah dan tanpa kenal menyerah.... Lalu ketika bibi yang disayangi ditemukan, tiba-tiba dia harus menerima kenyataan pahit. Harapannya untuk menerima kasih sayang yang dulu pernah hilang, lebur dalam sekejap. Sang bibi ternyata tak lagi seperti dulu. Sang bibi yang disayanginya kini tiada. Yang ada hanyalah perempuan keji yang sudi mencabik-cabik atas perintah orang lain, yang sama sekali tidak mempunyai hubungan darah.... Ugh-ugh!”
Hati lembut Anggraini tersentuh. Nurani kewanitaannya trenyuh. Tak kuasa melihat kekecewaan Agungcakra menjelang ajal yang kian dekat.
“Bertahanlah, Cakra. Kau pasti selamat...,” hibur Anggraini bergetar lemah.
Seakan gadis itu bisa merasakan rasa sakit di kedalaman jiwa goyah Agungcakra. Tak terasa garis-garis bening mulai menggantung di matanya.
“Aku letih mencari, Nisanak. Amat letih....”
Agungcakra memperlihatkan tawa rapuh yang demikian pahit, seolah menertawai keburukan nasibnya.
“Jangan salahkan bibiku, Nisanak. Biar bagaimana pun, aku tetap menyayanginya. Hanya ‘sisi gulita’ dalam dirinya yang membuatnya begitu,” desah Agungcakra, mengutip sajak yang pernah dibacakan di depan Andika dan Anggraini.
Setelah itu, tak ada lagi kata. Tak ada lagi. Bahkan sekadar desah napasnya. Agungcakra telah mati akibat tangan orang yang disayanginya. Dunia menjadi bisu tiba-tiba bagi Anggraini. Tubuhnya terpaku diam, memandangi jasad Agungcakra di pangkuannya. Dua bulir bening merambah turun dari kehalusan pipi gadis itu. jatuh tepat di sisi bibir
Agungcakra yang masih memperlihatkan senyum kekalahan atas nasibnya. Belum puas gadis itu melepas keharuan. Mendadak sebuah jemari kekar menyentuh bahunya dari belakang. Begitu lembut dan hangat, seolah menyadarkan dirinya dari kebisuan panjang mengiringi jiwa Agungcakra yang pergi.
“Dia telah mati, Nisanak,” ucap seorang di belakang Anggraini.
Begitu menoleh, Anggraini jadi terhibur setelah tahu siapa yang ada di belakangnya. Ternyata, orang itu adalah Andika, yang mengikutinya sejak gadis itu meninggalkan kotapraja. Pendekar Slebor terus mengikuti Anggraini sampai tiba di tempat ini.
“Apakah kau percaya?” kata Anggraini,
“Kemarin malam, dia masih tertawa dengan kita. Masih membaca sajak indah untuk kita....”
Andika tak mampu berkata-kata.
***
Beberapa saat lalu, Andika dan Anggraini telah menguburkan jenazah Agungcakra dengan hidmat di tempat itu juga. Kini, mereka sudah berada di punggung kuda masing-masing. Anggraini masih menatap gundukan tanah basah di depan.
“Kasihan dia...,” bisik Andika seolah pada diri sendiri.
Gadis itu kemudian membalikkan arah kudanya. Lalu binatang itu berjalan perlahan. Andika menyusulnya di belakang.
“Kenapa kau terus mengikutiku?” tanya Anggraini pada Andika beberapa waktu kemudian.
“Aku hanya khawatir padamu,” kata Andika.
Anggraini menatap Andika lekat-lekat.
“Kenapa? Apa kau anggap aku lemah, sehingga perlu dikhawatirkan?” ujar gadis itu agak tersinggung.
Andika tersenyum.
“Soal kepandaianmu, aku tak begitu ragu. Dari caramu menotok kuda almarhum Agungcakra waktu itu, aku bisa menilai kalau ilmumu cukup bisa diandalkan untuk menjaga diri. Aku hanya khawatir, karena kau orang baru di dunia persilatan busuk ini....”
“Dari mana kau tahu?”
“Dari caramu waktu memperlakukan aku dan Agungcakra dulu. Kau begitu curiga pada kami dan begitu hati-hati. Bahkan kau sempat hendak menurunkan tangan kejam pada Agungcakra waktu itu....”
“Ya.... Aku memang menyesal...,” sela Anggraini, leringat sikap kasarnya pada pemuda yang ternyata berusia singkat itu.
“Nah! Menurut pengalamanku, hanya orang-orang yang baru turun ke dunia persilatan yang bersikap seperti itu,” papar Andika enteng.
Kembali bibirnya memperlihatkan senyum menawan, membuat Anggraini agak rikuh.
“Dugaanku terhadap kalian ternyata keliru. Mulanya, aku mengira kalian sejenis pemuda hidung belang. Tapi, nyatanya kalian berhati mulia...,” kata Anggraini dengan kepala terjatuh. Matanya memandangi jalan berkerikil, seolah merasa bersalah.
“Aku? Aku kau sebut berhati mulia?” tukas Andika, memperlihatkan wajah mencemooh diri sendiri.
“Kau belum tahu saja.”
“Di samping itu, aku mendapat hikmah dengan bertemu Cakra,” kata Anggraini, tak mempedulikan gurauan Andika.
“Ternyata, kita sering tertipu oleh banyak hal. Mulanya kita yakin, Agungcakra telah merasa gembira telah bertemu bibinya yang telah dicari sekian lama....”
“Ternyata dia mengalami nasib mengenaskan. Makanya kau pun harus berhali-hati. Di dunia ini banyak ‘bungkusan bagus, tapi isinya bangkai’...,” potong Pendekar Slebor.
Anggraini diam-diam menatap terus pemuda tampan yang berkuda di sisinya. Tak dinyana kalau pemuda ini mempunyai perhatian besar. Tadi, Andika mengatakan kalau mencemaskan Anggraini. Kini dari mulutnya meluncur nasihat-nasihat yang begitu bijak. Diam-diam pula senyum tipis tersembul di sudut bibir Anggraini. Keketusannya saat itu seperti terbang entah ke mana.
“Jangan suka mencuri-curi pandang padaku, Nisanak. Nanti kau bisa jatuh cinta!” cetus Andika tak terduga.
Padahal, sedikit pun Andika tak menojeh pada Anggraini. Anggraini di sisinya saat itu juga memperlihatkan semu merah yang merebak di kedua belah pipinya. Belum sempat Anggraini menyembunyikan wajahnya yang merah karena malu, mendadak.
“Siapa pun yang menjejakkan kakinya di tanah ini, harus mati!”
“Heh?!”
Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar, membuat Andika dan Anggraini terkejut. Belum sempat keterkejutan mereka hilang, menyusul berkelebatnya sesosok bayangan merah....
***
Andika dan Anggraini tahu, kalau yang berdiri tegak menghadang jalan mereka adalah Ratu Lebah. Tampak masih membekas darah di kuku-kukunya yang berwarna keunguan. Tak terlintas kesan penyesalan di wajahnya atas kematian Agungcakra. Seperti ucapan Agungcakra menjelang kematian, memang bibinya itu yang telah menurunkan tangan keji.
Semula, Mayangseruni sendiri tak pernah terbetik niat untuk menghabisi Agungcakra. Meski bagaimanapun, ingatan tentang masa kecilnya bersama Agungcakra masih tetap tersisa. Sewaktu Pangeran Neraka memerintahnya membunuh Agungcakra, bahkan masih sempat terjadi pertentangan batin dalam dirinya antara pengaruh jahat Pangeran Neraka dengan benih kasih sayang yang tersisa. Sayang, pengaruh lelaki sesat itu lebih kuat menguasai pikirannya. Dengan telengas, Ratu Lebah menyerang keponakannya sendiri yang sangat disayangi.
Perbedaan kesaktian yang jauh terpaut antara Mayangseruni dengan Agungcakra, membuat wanita itu tanpa kesulitan berarti mengoyak-ngoyak kulit tubuh Agungcakra. Saat pemuda tersebut melemah, Pangeran Neraka menjerat kakinya dengan tambang besar. Agungcakra digantung di sebuah tiang.
“Rupanya sang bibi bertangan dingin itu,” kata Anggraini, menyambut penghadangan Ratu Lebah dengan riuh. Matanya berkilat-kilat gusar.
“Tak kusangka, kau ternyata hanya seekor hewan betina buas, yang tega menghabisi nyawa keponakan sendiri!”
“Apa maumu Ratu Lebah?” tanya Andika datar.
Pemuda itu berusaha tetap menjaga ketenangan. Hatinya juga terbakar. Terlebih kalau ingat keadaan terakhir Agungcakra. Tapi menurut pengalaman-pengalaman yang lalu, akan sangat berbahaya bila menghadapi tokoh sesat yang sulit terukur kepandaiannya dengan gegabah.
Wajah dingin Ratu Lebah tampak berubah. Mulutnya menyeringai seraya melempar sorot mata keji pada Andika.
“Perjaka tampan! Kau tentu belum pernah melayang-layang dalam tungku tanpa batas...,” desis Ratu Lebah dingin. Sulit dipahami Andika dan Anggraini.
“Aku tak paham maksudmu,” kata Andika.
“Tak perlu lagi berbasa-basi dengan wanita busuk ini, Andika! Dia harus menerima hukuman!”
Anggraini tak bisa menahan kegeraman. Betapa muak hatinya melihat seringai Ratu Lebah. Matanya jelas sekali menemukan pandangan telengas wanita itu. Dara dari Tanah Buangan itu lantas mengangkat satu tangannya ke depan tubuh perlahan dan pasti. Wajahnya berubah menegang.
“Kau rasakan ini!” seru Anggraini berbareng gerakan tangan, membuat pukulan jarak jauh ke bumi.
Wesss!
Serangkum angin pukulan menebar hawa panas kuat terlepas, lalu menghujam bumi. Tempat yang terkena langsung membara selebar roda pedati. Asap hitam mengepul di sekitarnya. Beberapa saat kemudian....
Grrr!
Bumi bagai digoncang, menciptakan gemuruh dahsyat. Dua kuda tunggangan Andika dan Anggraini mulai kalang kabut. Mereka meringkik-ringkik liar dengan kaki depan melonjak-lonjak. Seolah ada sesuatu yang amat menakutkan mereka.