- Beranda
- Stories from the Heart
BULAN (Project Novel Pertama)
...
TS
arerlangga
BULAN (Project Novel Pertama)
BULAN :
Bolehkah Aku Membencimu?
A story by rlanggaa

Image copyright : Google
Quote:
SATU
Sato mengerjapkan matanya berkali-kali sambil mengetuk-ngetuk Touchpad laptopnya yang masih menyala. Matanya terasa perih. Sudah berapa lama ia berada didepan laptopnya? Pikirnya sambil mengernyitkan dahi dan kemudian melirik jam dinding yang ada di apartemennya. Jam dua belas siang gumamnya. Itu berarti tepat empat jam sudah dia duduk didepan laptopnya. Kakinya terasa berat saat Sato beranjak dari meja kerjanya menuju kaca jendela apartemennya. Langit mendung sedang mengungkung langit kota Tokyo saat ini. Mungkin sebentar lagi salju akan turun, pikirnya. Dan satu hal penting yang hampir terlupakan olehnya, dia belum sarapan dari pagi hingga sekarang.
Dingin. Gerutu Sato yang dengan cepat mengeluarkan kunci mobil dari dalam saku jaketnya dan dengan terburu-buru menekan tombol kunci dan dengan segera membuka pintu mobilnya, memasukkan kunci, menghidupkan mesin dan dengan sekejap. Sato sudah pergi meninggalkan apartemen hangatnya.
Dingin. Gerutu Sato yang dengan cepat mengeluarkan kunci mobil dari dalam saku jaketnya dan dengan terburu-buru menekan tombol kunci dan dengan segera membuka pintu mobilnya, memasukkan kunci, menghidupkan mesin dan dengan sekejap. Sato sudah pergi meninggalkan apartemen hangatnya.
ooOoo
"Seperti biasa, Alex." Ucapnya kepada seseorang yang bernama Alex yang juga merupakan salah satu temannya.
"Ya, aku sudah hafal apa saja yang kau makan Sato, sudah hampir setahun kau selalu makan siang disini. Tunggu sebentar." ucap Alex sambil meletakkan segelas cokelat panas diatas meja "Minum ini saja dulu sambil menunggu makanannmu diantarkan, kau kelihatan kedinginan sekali." lanjutnya kemudian pergi menjauh setelah mendengarkan dengan samar apa yang diucapkan Sato.
Sato menggenggam gelas cokelat yang ada didepannya dengan kedua tangannya. Secara perlahan Sato merasakan kehangatan menjalari sekujur tubuhnya, yang kemudian dengan perlahan meminumnya. Cokelat panas buatan temannya ini memang selalu bisa diandalkan, gumamnya sambil tersenyum kecil dan melanjutkan meminumnya. Entah mengapa hari ini Tokyo lebih dingin dari biasanya. Dan Sato adalah orang yang paling merasakan adanya perbedaan itu. Yah, mungkin ini karena ia terlalu acuh akan lingkungannya sendiri.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Alex sambil mengaduk-aduk cokelat panasnya.
"Apa maksudmu?" Sato malah balas bertanya sambil mengernyitkan dahi. Kebingungan.
"Entahlah, aku hanya heran saja dengan kehidupanmu." ucapnya singkat. "Kau ini penulis terkenal, punya bisnis yang dapat dibilang besar. Dan hampir setiap hari pada siang hari kau disini? Makan hamburger? Ya ampun. Apa kau tidak merasa bahwa hidupmu ini tidak aneh?" Alex bertanya panjang lebar.
"Mm" jawab Sato sambil mengunyah hamburger yang memenuhi mulutnya. "Aku cukup puas dengan ini." lanjutnya sambil menggoyang-goyangkan burgernya. "Kau tau kan kalau aku tidak bisa memasak?" ucapnya sambil melanjutkan makan siangnya.
"Sepertinya itu hanya alasan yang kau buat-buat saja. Bagaimana mungkin ada orang yang terbilang sudah berumur 20 lebih tidak bisa memasak makanan? Apa kau tidak sekalipun pernah memasak sesuatu? Seperti mi instan misalnya?" Alex penasaran dengan jawaban yang dilontarkan oleh Sato. Tapi jika melihatnya dengan saksama, tentu ini adalah sesuatu yang sangat aneh.
"Kau tahu, mie instan tidak baik untuk kesehatan, setidaknya itulah yang dituliskan di internet dan diucapkan ibuku sejak dulu." gumamnya pelan. "Aku pernah memasak, masak air lebih tepatnya." lanjut Sato sambil tersenyum lebar dan tertawa ringan.
"Lalu kau pikir burger itu sehat?" Alex masih serius bertanya. Ya ampun, sepertinya kau punya banyak sekali pertanyaan yang ingin kau ajukan kepadaku, pikir Sato.
"Ini mengandung sayur dan daging, bukan?" jawabnya singkat.
"Mm" Alex hanya mengangguk pelan, mengiyakan.
"Kupikir sudah cukup sehat. Ditambah roti sebagai penunjang karbohidrat, itu lebih dari cukup untuk memulai hari." Jawabnya lagi. Singkat, memutus rasa keingintahuan temannya yang kelewat penasaran tersebut. "Sampai kapan kau akan memainkan sendokmu itu?" Sato balik bertanya sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Kudengar kau sedang menulis buku baru? Apakah itu benar?" Alex kembali menemukan topik pembahasan yang baru.
"Mm. Benar. Kenapa? Kau mau beli? Atau kau mau kuberikan beserta tanda tanganku?" Sato menjawab sambil mengambil tisu yang ada didekatnya. Tertawa ringan.
"Sejak kapan aku suka membaca buku, Sato?" Alex terkekeh mendengar jawaban Sato. "Mengingat bahwa adik perempuanku sangat menggemari bukumu, mungkin aku bisa menerima opsi kedua dari jawabanmu tadi." Lanjut Alex sambil tersenyum lebar kearah Sato.
"Kalau begitu, bilang saja padanya untuk menunggu lebih lama. Aku sedang kehilangan inspirasiku untuk menulis akhir-akhir ini." gerutunya. "Mungkin aku akan keluar kota atau bahkan keluar negeri untuk mencari ide untuk menulis." lanjutnya sambil menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya
"Pastikan saja tempat yang kau tuju ada kios burgernya." Ucap Alex sambil tertawa. "Atau kau akan mati kelaparan." Tawa Alex semakin menjadi ketika ia melihat Sato mengernyitkan dahi yang seolah tidak terima dengan ejekannya.
Sepulangnya dari tempat Alex, Sato kembali membenamkan pikirannya dan memfokuskan pandangannya kearah laptopnya. Sayang, untuk kesekian kalinya Sato mendapati dirinya tidak mempunyai sepatah kata apapun untuk dituliskan dalam dokumennya. Mungkin ia memang benar-benar butuh liburan, benakny sambil meregangkan tanganya di bantalan sofa tempatnya duduk. Tapi kemana? Pikirnya dengan mata terpejam.
Satu kota terlintas dikepalanya, dan seutas senyum timbul di bibir Sato. Baiklah, saatnya berkemas ucapnya beranjak dari sofa.
"Ya, aku sudah hafal apa saja yang kau makan Sato, sudah hampir setahun kau selalu makan siang disini. Tunggu sebentar." ucap Alex sambil meletakkan segelas cokelat panas diatas meja "Minum ini saja dulu sambil menunggu makanannmu diantarkan, kau kelihatan kedinginan sekali." lanjutnya kemudian pergi menjauh setelah mendengarkan dengan samar apa yang diucapkan Sato.
Sato menggenggam gelas cokelat yang ada didepannya dengan kedua tangannya. Secara perlahan Sato merasakan kehangatan menjalari sekujur tubuhnya, yang kemudian dengan perlahan meminumnya. Cokelat panas buatan temannya ini memang selalu bisa diandalkan, gumamnya sambil tersenyum kecil dan melanjutkan meminumnya. Entah mengapa hari ini Tokyo lebih dingin dari biasanya. Dan Sato adalah orang yang paling merasakan adanya perbedaan itu. Yah, mungkin ini karena ia terlalu acuh akan lingkungannya sendiri.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Alex sambil mengaduk-aduk cokelat panasnya.
"Apa maksudmu?" Sato malah balas bertanya sambil mengernyitkan dahi. Kebingungan.
"Entahlah, aku hanya heran saja dengan kehidupanmu." ucapnya singkat. "Kau ini penulis terkenal, punya bisnis yang dapat dibilang besar. Dan hampir setiap hari pada siang hari kau disini? Makan hamburger? Ya ampun. Apa kau tidak merasa bahwa hidupmu ini tidak aneh?" Alex bertanya panjang lebar.
"Mm" jawab Sato sambil mengunyah hamburger yang memenuhi mulutnya. "Aku cukup puas dengan ini." lanjutnya sambil menggoyang-goyangkan burgernya. "Kau tau kan kalau aku tidak bisa memasak?" ucapnya sambil melanjutkan makan siangnya.
"Sepertinya itu hanya alasan yang kau buat-buat saja. Bagaimana mungkin ada orang yang terbilang sudah berumur 20 lebih tidak bisa memasak makanan? Apa kau tidak sekalipun pernah memasak sesuatu? Seperti mi instan misalnya?" Alex penasaran dengan jawaban yang dilontarkan oleh Sato. Tapi jika melihatnya dengan saksama, tentu ini adalah sesuatu yang sangat aneh.
"Kau tahu, mie instan tidak baik untuk kesehatan, setidaknya itulah yang dituliskan di internet dan diucapkan ibuku sejak dulu." gumamnya pelan. "Aku pernah memasak, masak air lebih tepatnya." lanjut Sato sambil tersenyum lebar dan tertawa ringan.
"Lalu kau pikir burger itu sehat?" Alex masih serius bertanya. Ya ampun, sepertinya kau punya banyak sekali pertanyaan yang ingin kau ajukan kepadaku, pikir Sato.
"Ini mengandung sayur dan daging, bukan?" jawabnya singkat.
"Mm" Alex hanya mengangguk pelan, mengiyakan.
"Kupikir sudah cukup sehat. Ditambah roti sebagai penunjang karbohidrat, itu lebih dari cukup untuk memulai hari." Jawabnya lagi. Singkat, memutus rasa keingintahuan temannya yang kelewat penasaran tersebut. "Sampai kapan kau akan memainkan sendokmu itu?" Sato balik bertanya sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Kudengar kau sedang menulis buku baru? Apakah itu benar?" Alex kembali menemukan topik pembahasan yang baru.
"Mm. Benar. Kenapa? Kau mau beli? Atau kau mau kuberikan beserta tanda tanganku?" Sato menjawab sambil mengambil tisu yang ada didekatnya. Tertawa ringan.
"Sejak kapan aku suka membaca buku, Sato?" Alex terkekeh mendengar jawaban Sato. "Mengingat bahwa adik perempuanku sangat menggemari bukumu, mungkin aku bisa menerima opsi kedua dari jawabanmu tadi." Lanjut Alex sambil tersenyum lebar kearah Sato.
"Kalau begitu, bilang saja padanya untuk menunggu lebih lama. Aku sedang kehilangan inspirasiku untuk menulis akhir-akhir ini." gerutunya. "Mungkin aku akan keluar kota atau bahkan keluar negeri untuk mencari ide untuk menulis." lanjutnya sambil menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya
"Pastikan saja tempat yang kau tuju ada kios burgernya." Ucap Alex sambil tertawa. "Atau kau akan mati kelaparan." Tawa Alex semakin menjadi ketika ia melihat Sato mengernyitkan dahi yang seolah tidak terima dengan ejekannya.
Sepulangnya dari tempat Alex, Sato kembali membenamkan pikirannya dan memfokuskan pandangannya kearah laptopnya. Sayang, untuk kesekian kalinya Sato mendapati dirinya tidak mempunyai sepatah kata apapun untuk dituliskan dalam dokumennya. Mungkin ia memang benar-benar butuh liburan, benakny sambil meregangkan tanganya di bantalan sofa tempatnya duduk. Tapi kemana? Pikirnya dengan mata terpejam.
Satu kota terlintas dikepalanya, dan seutas senyum timbul di bibir Sato. Baiklah, saatnya berkemas ucapnya beranjak dari sofa.
ooOoo
Diubah oleh arerlangga 10-11-2016 23:36
anasabila memberi reputasi
1
2.7K
30
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
arerlangga
#22
SATU #5
“Mau makan apa kita? Rora ada saran?” Hanna dengan penuh antusias bertanya kepada Rora. Untuk urusan makan, Hanna memang nomor 1, tidak ada yang pernah bisa mengalahkannya dalam hal makanan. Tapi hebatnya, seberapa banyak ia makan, ia sama sekali tak pernah kelihatan gemuk. Sungguh, suatu hal yang hampir seluruh gadis didunia ini inginkan.
“Bagaimana dengan sushi?” Jawab Rora sambil mengangkat bahu, menanyakan kembali. Meyakinkan jikalau ada yang tidak setuju dengan sarannya. Udara kota Paris seperti biasanya, dingin, Rora berharap agar musim dingin ini cepat berakhir. Beberapa bulan kedepan, Rora harus membiasakan diri dengan dinginnya udara kota Paris.
“Hmmm, Sato? Bagaimana denganmu?”
“Sushi juga tidak apa-apa, paling tidak kita bisa menemukan sushi di restoran Jepang kan? Aku sedang ingin makan ramen, diluar sini dingin sekali” Balas Sato.
“Oke, kalau begitu sudah diputuskan, restoran jepang, we’re coming!”
Dipusat kota Paris, ada suatu restoran jepang yang amat terkenal. Sebenarnya, restoran ini tidak terlalu terkenal juga, yang membuatnya sering dikunjungi orang-orang adalah karena harganya yang relatif murah untuk restoran yang menyajikan masakan jepang. Selain murah, masakan jepang di restoran ini juga enak, itulah kenapa Hanna sangat senang pergi kesini. Sebagai orang Jepang yang baru pertama kalinya pergi ke Paris, menemukan restoran yang rasanya sesuai dengan lidahnya sebagai orang Jepang tentu sangatlah susah, lagipula kebanyakan orang barat senang mengkonsumsi makanan cepat saji seperti hot dog dan burger yang sama sekali bukan kesukaan Hanna.
“Tempatnya lumayan ramai,” ucap Sato sambil memperhatikan sekeliling restoran “Kalian sering kesini?”
Hanna dan Rora hanya mengangguk, “Rora biasanya sering kesini, dengan pacarnya” jawab Hanna dan kemudian berjalan mendekati pelayan tak jauh dari pintu masuk, “Ayo.. Meja kita di sana”
“Benarkah? Kau sudah punya pacar?”
“Benar, kenapa? Kau kecewa?” Rora menjawab sambil nyengir, “Ayo”
Sato tidak berkata apa-apa, hanya mengikuti langkah kaki kedua perempuan tersebut.
“Jadi kalian mau pesan apa?”
“Aku pesan ramen saja, terserah ramen apa, kalian ada rekomendasi? Kalian sering ke sini kan.”
“Oke, jadi untuk Sato ramen, kau yakin tidak mau melihat-lihat buku menu dahulu?” Hanna masih sibuk membolak-balikkan halaman menu dihadapannya “Semuanya kelihatan enak”
“Aku tetap ramen saja, hitung-hitung untuk menghangatkan tubuh sekalian”
“Ra? Pesan apa?”
Rora masih membolak-balikkan halaman menu yang ada di hadapannya, sambil sesekali mengecek handphonenya, berharap ada pesan atau panggilan masuk kedalam handphonenya tersebut. Masih sibuk membolak-balikkan halaman menu hingga ia tidak menyadari Hanna yang sejak tadi berbicara kepadanya. Hanna yang sejak tadi menunggu jawaban akhirnya tidak tahan diacuhkan terus menerus, dengan perlahan Hanna mendekatkan tangannya ke kepala Rora, menunggu saat yang tepat dan kemudian memukulnya.
“Hei! Bangun!”
“Hmm? Kenapa? Sakit tau” sahut Rora sambil memegangi kepalanya
“Untuk kesekian kalinya aku bertanya, kau mau pesan apa?” jawab Hanna “Kau tidak lihat pak pelayan ini sudah dari tadi berdiri disitu menunggu pesanan?”
Rora mengerjapkan matanya untuk beberapa saat, kemudian mengalihkan pandangannya kearah pria yang berdiri di ujung meja mereka. Kemudian kembali menatap kearah Hanna dan Sato “Oh, maafkan aku. Aku pesan ramen saja, dengan sushi” ucap Rora dengan cepat dan menutup buku menu yang dipegangnya.
Senyuman mengembang di bibir pelayan tersebut, mengucapkan terima kasih dan segera pergi untuk memberikan daftar pesanan tersebut ke pelayan lain.
“Kau kenapa, Ra?” tanya Hanna sambil bertopang dagu dan menumpukkan kedua siku di meja.
“Tidak kenapa-kenapa. Ada apa memangnya?” jawab Rora, menghidupkan kembali layar handphonenya diatas meja.
“Ohh” Hanna enggan bertanya lebih lanjut, ia tau kenapa Rora bisa sampai semurung ini. “Bagaimana menurutmu tentang Paris, Sato?” tanya Hanna mengalihkan pembicaraan.
Sato yang sejak tadi hanya memperhatikan pembicaraan, sedikit terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba yang keluar dari mulut Hanna, “Eh, oh ya kotanya menarik, banyak tempat yang harus kukunjungi selama aku berada di sini,” jawab Sato berusaha santai “Mungkin aku akan mencoba berjalan-jalan sendiri nanti, untuk mencari tempat yang cocok untuk menulis.” Lanjutnya.
“Kau penulis?” sahut Rora, memasukkan handphonenya ke dalam tas, tidak peduli lagi apakah ada pesan ataupun panggilan masuk ke handphonenya.
Sato mengangguk pelan, “Hanya sekedar hobby saja”
“Kau tau? Tulisannya lumayan terkenal di Jepang sana,” sahut Hanna sambil mencondongkan tubuh ke arah Rora.
“Han.. ” Sato menarik kerah baju Hanna kembali ke tempat duduknya semula.
“Kau tau apa lagi? Dia juga seorang eksekutif muda di Jepang sana,” Hanna kembali mencondongkan tubuhnya ke arah Rora.
“Han, cukup” Sato menghembuskan nafas pelan, menutup kedua matanya dengan salah satu tangannya, “Kau terlalu banyak bicara, kau tau?” lanjutnya.
Hanna hanya tertawa pelan, “Iya.. iya.. Aku diam”
“Benarkah?” Rora mengerjapkan matanya, “Mungkin aku harus ke toko buku saat aku pulang ke Jepang nanti” ucap Rora sambil tersenyum lebar. “Lagipula kau tau itu semua dari mana, Han? Kau kan tidak suka membaca?” tanya Rora menyelidik, dengan senyum masih mengembang.
“Well, ayahku bilang seperti itu, kan dia kerabat ayahku” jawab Hanna sambil mengangguk pelan. Tertawa puas. “Selama ini aku sering di rumah, tetapi aku tidak pernah bertemu denganmu. Benar kan?” lanjut Hanna,
Sato mengangguk pelan. “Aku dan ayahmu secara tidak sengaja bertemu di sebuah pameran lukisan Jepang, saat itu ayahku dan ayahmu sedang mengatur janji untuk kelanjutan proyek pembangunan suatu gedung di Jepang. Aku hanya kebetulan ikut ayah karena aku juga tertarik dengan seni dan sesuatu yang berkaitan dengan seni, itulah kenapa aku senang mampir ke museum” jelas Sato panjang lebar.
Hanna dan Rora hanya memperhatikan Sato, sesekali mereka saling tatap satu sama lain, “Untung saja kita cepat pergi dari museum itu,” jawab Rora
“Memangnya kenapa?” tanya Sato sambil mengernyitkan dahi, kebingungan.
“Hanna paling anti dengan yang namanya museum, untung dia tadi tidak kesurupan roh lukisan-lukisan yang ada di museum tadi. Beruntungnya lagi, dia melihat aku sedang menganggur, maka dari itulah dia menghampiriku” jawab Rora, sambil tersenyum kearah Hanna “Benarkan, nona Monalisa?” lanjutnya sambil tertawa
Hanna hanya tersenyum kecut, “Tunggu pembalasanku ya, Ra” ucapnya. Rora dan Sato hanya tertawa melihat ekspresi yang diberikan oleh Hanna.
“Bagaimana dengan sushi?” Jawab Rora sambil mengangkat bahu, menanyakan kembali. Meyakinkan jikalau ada yang tidak setuju dengan sarannya. Udara kota Paris seperti biasanya, dingin, Rora berharap agar musim dingin ini cepat berakhir. Beberapa bulan kedepan, Rora harus membiasakan diri dengan dinginnya udara kota Paris.
“Hmmm, Sato? Bagaimana denganmu?”
“Sushi juga tidak apa-apa, paling tidak kita bisa menemukan sushi di restoran Jepang kan? Aku sedang ingin makan ramen, diluar sini dingin sekali” Balas Sato.
“Oke, kalau begitu sudah diputuskan, restoran jepang, we’re coming!”
Dipusat kota Paris, ada suatu restoran jepang yang amat terkenal. Sebenarnya, restoran ini tidak terlalu terkenal juga, yang membuatnya sering dikunjungi orang-orang adalah karena harganya yang relatif murah untuk restoran yang menyajikan masakan jepang. Selain murah, masakan jepang di restoran ini juga enak, itulah kenapa Hanna sangat senang pergi kesini. Sebagai orang Jepang yang baru pertama kalinya pergi ke Paris, menemukan restoran yang rasanya sesuai dengan lidahnya sebagai orang Jepang tentu sangatlah susah, lagipula kebanyakan orang barat senang mengkonsumsi makanan cepat saji seperti hot dog dan burger yang sama sekali bukan kesukaan Hanna.
“Tempatnya lumayan ramai,” ucap Sato sambil memperhatikan sekeliling restoran “Kalian sering kesini?”
Hanna dan Rora hanya mengangguk, “Rora biasanya sering kesini, dengan pacarnya” jawab Hanna dan kemudian berjalan mendekati pelayan tak jauh dari pintu masuk, “Ayo.. Meja kita di sana”
“Benarkah? Kau sudah punya pacar?”
“Benar, kenapa? Kau kecewa?” Rora menjawab sambil nyengir, “Ayo”
Sato tidak berkata apa-apa, hanya mengikuti langkah kaki kedua perempuan tersebut.
“Jadi kalian mau pesan apa?”
“Aku pesan ramen saja, terserah ramen apa, kalian ada rekomendasi? Kalian sering ke sini kan.”
“Oke, jadi untuk Sato ramen, kau yakin tidak mau melihat-lihat buku menu dahulu?” Hanna masih sibuk membolak-balikkan halaman menu dihadapannya “Semuanya kelihatan enak”
“Aku tetap ramen saja, hitung-hitung untuk menghangatkan tubuh sekalian”
“Ra? Pesan apa?”
Rora masih membolak-balikkan halaman menu yang ada di hadapannya, sambil sesekali mengecek handphonenya, berharap ada pesan atau panggilan masuk kedalam handphonenya tersebut. Masih sibuk membolak-balikkan halaman menu hingga ia tidak menyadari Hanna yang sejak tadi berbicara kepadanya. Hanna yang sejak tadi menunggu jawaban akhirnya tidak tahan diacuhkan terus menerus, dengan perlahan Hanna mendekatkan tangannya ke kepala Rora, menunggu saat yang tepat dan kemudian memukulnya.
“Hei! Bangun!”
“Hmm? Kenapa? Sakit tau” sahut Rora sambil memegangi kepalanya
“Untuk kesekian kalinya aku bertanya, kau mau pesan apa?” jawab Hanna “Kau tidak lihat pak pelayan ini sudah dari tadi berdiri disitu menunggu pesanan?”
Rora mengerjapkan matanya untuk beberapa saat, kemudian mengalihkan pandangannya kearah pria yang berdiri di ujung meja mereka. Kemudian kembali menatap kearah Hanna dan Sato “Oh, maafkan aku. Aku pesan ramen saja, dengan sushi” ucap Rora dengan cepat dan menutup buku menu yang dipegangnya.
Senyuman mengembang di bibir pelayan tersebut, mengucapkan terima kasih dan segera pergi untuk memberikan daftar pesanan tersebut ke pelayan lain.
“Kau kenapa, Ra?” tanya Hanna sambil bertopang dagu dan menumpukkan kedua siku di meja.
“Tidak kenapa-kenapa. Ada apa memangnya?” jawab Rora, menghidupkan kembali layar handphonenya diatas meja.
“Ohh” Hanna enggan bertanya lebih lanjut, ia tau kenapa Rora bisa sampai semurung ini. “Bagaimana menurutmu tentang Paris, Sato?” tanya Hanna mengalihkan pembicaraan.
Sato yang sejak tadi hanya memperhatikan pembicaraan, sedikit terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba yang keluar dari mulut Hanna, “Eh, oh ya kotanya menarik, banyak tempat yang harus kukunjungi selama aku berada di sini,” jawab Sato berusaha santai “Mungkin aku akan mencoba berjalan-jalan sendiri nanti, untuk mencari tempat yang cocok untuk menulis.” Lanjutnya.
“Kau penulis?” sahut Rora, memasukkan handphonenya ke dalam tas, tidak peduli lagi apakah ada pesan ataupun panggilan masuk ke handphonenya.
Sato mengangguk pelan, “Hanya sekedar hobby saja”
“Kau tau? Tulisannya lumayan terkenal di Jepang sana,” sahut Hanna sambil mencondongkan tubuh ke arah Rora.
“Han.. ” Sato menarik kerah baju Hanna kembali ke tempat duduknya semula.
“Kau tau apa lagi? Dia juga seorang eksekutif muda di Jepang sana,” Hanna kembali mencondongkan tubuhnya ke arah Rora.
“Han, cukup” Sato menghembuskan nafas pelan, menutup kedua matanya dengan salah satu tangannya, “Kau terlalu banyak bicara, kau tau?” lanjutnya.
Hanna hanya tertawa pelan, “Iya.. iya.. Aku diam”
“Benarkah?” Rora mengerjapkan matanya, “Mungkin aku harus ke toko buku saat aku pulang ke Jepang nanti” ucap Rora sambil tersenyum lebar. “Lagipula kau tau itu semua dari mana, Han? Kau kan tidak suka membaca?” tanya Rora menyelidik, dengan senyum masih mengembang.
“Well, ayahku bilang seperti itu, kan dia kerabat ayahku” jawab Hanna sambil mengangguk pelan. Tertawa puas. “Selama ini aku sering di rumah, tetapi aku tidak pernah bertemu denganmu. Benar kan?” lanjut Hanna,
Sato mengangguk pelan. “Aku dan ayahmu secara tidak sengaja bertemu di sebuah pameran lukisan Jepang, saat itu ayahku dan ayahmu sedang mengatur janji untuk kelanjutan proyek pembangunan suatu gedung di Jepang. Aku hanya kebetulan ikut ayah karena aku juga tertarik dengan seni dan sesuatu yang berkaitan dengan seni, itulah kenapa aku senang mampir ke museum” jelas Sato panjang lebar.
Hanna dan Rora hanya memperhatikan Sato, sesekali mereka saling tatap satu sama lain, “Untung saja kita cepat pergi dari museum itu,” jawab Rora
“Memangnya kenapa?” tanya Sato sambil mengernyitkan dahi, kebingungan.
“Hanna paling anti dengan yang namanya museum, untung dia tadi tidak kesurupan roh lukisan-lukisan yang ada di museum tadi. Beruntungnya lagi, dia melihat aku sedang menganggur, maka dari itulah dia menghampiriku” jawab Rora, sambil tersenyum kearah Hanna “Benarkan, nona Monalisa?” lanjutnya sambil tertawa
Hanna hanya tersenyum kecut, “Tunggu pembalasanku ya, Ra” ucapnya. Rora dan Sato hanya tertawa melihat ekspresi yang diberikan oleh Hanna.
Next~~ DUA 

0