Part 5
Anggraini yang berada paling dekat dengan api unggun, dengan sigap menghembuskan angin tenaga dalam untuk memadamkannya. Menyusul padamnya api, Andika, Agungcakra, dan Anggraini menelusup cepat ke balik semak-semak lebat. Dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya purnama, ketiganya mengamati keadaan dengan perasaan tegang.
Sebentar kemudian, dari arah utara terlihat pemandangan menakjubkan. Dalam siraman sinar temaran benda langit angkasa, tampak seorang wanita cantik berpakaian merah sedang melayang di udara dalam keadaan bersila. Dia tidak terbang dengan sendirinya. Ada sekitar ratusan lebah mengangkatnya dengan benang-benang halus yang terangkai menjadi semacam permadani tembus pandang!
Dengung lebah itulah yang terdengar sebagai bunyi asing. Wanita itu memang Putri Mayangseruni. Memang, secara kebetulan, ketiga muda-mudi itu beristirahat di dekat wilayah Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Kebetulan pula, Putri Mayangseruni berniat mencari angin di sekitar wilayah kekuasaannya.
“Ratu lebah...,” bisik Agungcakra, nyaris tak terdengar.
Andika di sisinya menoleh.
“Kau kenal perempuan itu?” tanya Pendekar Slebor perlahan, serta hati-hati.
“Tentu saja aku kenal. Dia....”
Belum selesai kalimat yang hendak dibeberkan Agungcakra, tiba-tiba saja Putri Mayangseruni atau menurut Agungcakra adalah Ratu Lebah. menghentikan laju kendaraan anehnya. Di kejauhan matanya mengedar kesekitarnya. Tajam dan waspada, seolah pandangan rase betina. Andika bisa menduga, tentu wanita berjuluk Ratu Lebah itu mendengar bisikan mereka. Mau tak mau. Andika memuji dalam hati ketajaman indera pendengarannya. Padahal, bisikan Agungcakra maupun dirinya sudah begitu halus. Belum lagi, suara bising para lebah yang sudah pasti bisa menelan bisikan halus mereka.
Tahu kalau keberadaan mereka sudah tercium, Agungcakra hendak bangkit dari semak. Tapi, Andika segera menahannya. Menurut Pendekar Slebor, terlalu dini mereka berurusan dengan Tokoh wanita yang kepandaiannya sulit terukur itu.
Tindakan Andika tidak disukai Agungcakra.
“Aku hendak menemuinya, Andika! Lagi pula dia sudah tahu persembunyian kita,” bisik Agungcakra lagi dengan mata memperlihatkan bias ketidaksenangan.
“Kau ceroboh!” sentak Andika, tetap berbisik.
Jauh di sana, Ratu Lebah makin jelas saja menangkap kasak-kusuk mereka. Urat lehernya yang jenjang halus, tampak mengejang. Bibir ranumnya yang tipis bergerak.
“Chuih!”
Srak!
Bagai dibabat pedang bermata amat tajam, semak-semak tempat para pengintai bersembunyi, terpapas rata bagian atasnya. Kalau saja Andika, Anggraini, dan Agungcakra tak lebih cepat merunduk, tentu kepala mereka ikut terbabat.
Secara berbarengan, kepala ketiga anak muda-mudi itu muncul perlahan dari semak-semak yang terpangkas. Anggraini dan Agungcakra begitu hati-hati. Itu terlihat sekali dari raut wajah mereka yang agak menegang. Lain lagi Andika. Pendekar muda itu muncul dengan senyum serba-salahnya.
“Selamat malam, Nisanak,” sapa Andika berbasa-basi disertai cengiran konyol.
“Sungguh, kita bertiga tak sedang memata-mataimu, he he he. Bukan begitu, Kawan?”
Pendekar Slebor minta pendapat pada Anggraini dan Agungcakra di sisinya.
Wanita dingin yang disapa tak membayar basa-basi Andika dengan keramahan, tapi dengan satu semburan ludah maut kembali.
“Chuih!”
“Sial!” maki Andika.
Seketika itu pula, Pendekar Slebor mengebutkan kain pusaka ke arah ludah Ratu Lebah. Menghadapi kealotan kain itu, ternyata ludah sakti Ratu Lebah tak bisa berkutik. Sambaran maut bertenaganya langsung terserak begitu saja oleh kekuatan yang disalurkan Pendekar Slebor pada kain pusaka.
“Nisanak! Mestinya kau bisa bersikap ramah pada orang ramah seperti aku ini!” semprot Pendekar Slebor.
Pendekar muda itu berdiri bertolak pinggang. Hatinya mulai panas atas perlakuan Ratu Lebah tadi. Sebentar lagi, sifat urakannya tentu akan meledak.
“Andika...,” tahan Agungcakra. Pemuda itu ikut bangkit. Dipegangnya bahu Pendekar Slebor.
“Apa?! Ini semua gara-gara ulahmu, tahu! Coba kalau kau bisa sedikit tutup mulut!” omel Pendekar Slebor pada Agungcakra.
Rupanya, darah si pemuda dari Lembah Kutukan itu makin melonjak naik ke ubun-ubun. Alis mata sayap elangnya bertaut rapat, cuping hidungnya kembang-kempis. Ditunjuknya Ratu Lebah dengan tudingan menantang.
“Aku tak suka orang seperti kau, Nisanak! Kau terlalu sombong untuk menghargai orang lain!” sembur Pendekar Slebor lagi.
Anggraini di sebelahnya mendelik. Rasanya, kalimat Andika tadi sengaja hendak menyinggungnya sekaligus. Sekali tepuk dua lalat!
“Ayo, ludahi aku lagi! Biar kusumpal mulut usilmu dengan kainku yang tak pernah kucuci ini!” tantang Andika kembali. lebih keterlaluan.
Ratu Lebah yang sesungguhnya memiliki kecantikan luar biasa mengumbar senyum tipis.
“Hey! Aku tahu, kau lebih cantik dari kawanku ini,” ujar Andika seraya menunjuk semena-mena kedepan wajah Anggraini.
“Tapi, jangan dikira aku akan tergoda dengan senyummu itu! Huh! Tak usah,ya!”
Sekali lagi Anggraini mendelik dongkol. Kalau urusan sudah selesai dengan Ratu Lebah, wanita ini berjanji akan menyumpal mulut Andika dengan tinjunya!
Di Iain sisi, Ratu Lebah memerintah lebah-lebahnya mendekat ke arah mereka. Andika waspada. Apalagi, ketika wanita cantik berkesan bengis itu kian dekat. Saat Ratu Lebah melompat turun dari kendaraan anehnya, Pendekar Slebor langsung pasang kuda-kuda. Dikiranya, wanita menjengkelkan itu akan segera mengirim serangan maut. Tak dinyana tak diduga, Ratu Lebah malah mendekati Agungcakra. Langsung dipeluknya pemuda itu.
“Cakra....”
“Bibi...,” balas Agungcakra setengah lirih. Andika hanya melongo.
***
“Ke mana saja kau selama ini, Bibi Mayang?” tanya Agungcakra saat keduanya berjalan beriringan, jauh dari tempat semula.
Ratu Lebah telah memaksa Agungcakra untuk meninggalkan Andika dan Anggraini. Walau perasaannya tak enak, akhirnya Agungcakra ikut juga. Lagi pula, Andika maupun Anggraini sudah mempersilakannya dengan senang hati.
“Aku....”
Mayang terdiam. Matanya menerawang kosong.
“Aku berkelana di dunia lain,” jawab wanita itu kemudian dengan sebaris senyum yang sulit dipahami.
“Aku tak paham maksudmu, Bi?”
Tiba-tiba sang bibi tertawa lepas. Suara tawanya ganjil, membuat bulu roma di tubuh Agungcakra meremang. Mayangseruni atau Ratu Lebah adalah adik bungsu ayah Agungcakra. Sejak orang tuanya meninggal dalam tugas kerajaan, Mayangseruni yang waktu itu baru berusia tiga tahun tinggal bersama Dwigeni, kakak lelakinya itu.
Tak lama Mayangseruni tinggal, kandungan istri Dwigeni kian besar. Maka lahirlah anak lelaki yang diberi nama Agungcakra. Mayangseruni dan Agungcakra lalu tumbuh besar bersama. Keakraban mewarnai masa kanak-kanak keduanya. Mereka tak lagi seperti antara bibi dengan keponakan. Lebih dari itu, mereka sudah seperti kakak beradik.
Waktu berlalu. Tahun-tahun indah tercecer di belakang. Mayangseruni beranjak Sembilan tahun. Sedangkan Agungcakra menginjak usia enam tahun. Suatu saat seorang pertapa melihat Mayangseruni sedang bermain dengan Agungcakra. Pertapa itu adalah seorang wanita sakti yang sudah dianggap makhluk halus oleh masyarakat sekitarnya.
Karena tertarik pada diri Mayangseruni yang bertubuh dan bertulang-tulang bagus, serta mempunyai keyakinan diri yang mantap, tanpa sepengetahuan Dwigeni pertapa wanita itu menculiknya.
Agungcakra yang menjadi saksi saat itu, dipesan oleh si pertapa wanita agar merahasiakan tentang kejadian ini. Si kecil Agungcakra diberitahu, kalau bibi mungilnya akan dibawa ke suatu tempat yang menyenangkan. Jika nanti ditanya oleh orang tuanya, Agungcakra disuruh mengatakan kalau Mayangseruni diasuh oleh seseorang tak dikenal. Dan suatu saat nanti, Mayangseruni akan dikembalikan.
Dengan hilangnya Mayangseruni, adik tersayang Dwigeni yang menjadi adipati, maka kegemparan pun tak bisa dihindari. Para prajurit kadipaten dikerahkan untuk mencarinya. Pencarian sia-sia, Mayangseruni tak pernah ditemukan. Bahkan sekadar jejak sekalipun.
Sampai akhirnya, Agungcakra ditanya oleh si ayah tentang hilangnya Mayangseruni. Maka, Agungcakra pun mengatakan apa-apa yang dipesan si pertapa wanita padanya. Sewaktu Dwigeni menanyakan ciri-ciri si pertapa, Agungcakra yang memang cerdas, menceritakan dengan tepat.Mendengar seluruh cerita anaknya, barulah Adipati Dwigeni tahu, siapa yang telah membawa adik kesayangannya. Maka hatinya pun jadi sedikit lega.
Karena, si pertapa wanita sepanjang pengetahuannya, adalah tokoh sakti sulit tertandingi dari aliran lurus. Bahkan hatinya cukup bergembira ketika tahu pertapa wanita itu akan mengangkat adiknya menjadi murid.
Sepuluh tahun berlalu. Waktu memang cepat tertelan zaman. Mayangseruni akhirnya pulang, seperti janji si pertapa wanita pada si kecil Agungcakra. Dia kini bukan lagi seorang gadis kecil lugu nan lucu. Mayangseruni telah berubah menjadi gadis cantik, yang mekar merekah bagai bunga mempesona. Selain itu, kemunculannya pun sebagai pendekar wanita yang langsung sering ikut andil dalam menegakkan kebenaran. Namanya pun kian harum semerbak, dalam percaturan dunia persilatan, selaku tokoh wanita berkharisma pengendara ratusan lebah. Karena itu, lahir julukan untuknya Ratu Lebah!
Suatu hari, Ratu Lebah berurusan dengan seorang bajingan berilmu tinggi yang usianya jauh lebih tua darinya. Lelaki itu terkenal sebagai Pangeran Neraka. Menurut kabar burung, julukannya didapat di negeri Tiongkok, tempatnya berburu ilmu kedigdayaan. Dalam suatu usaha menuntut ilmu hitam, Pangeran Neraka harus menceburkan diri dalam kawah gunung berapi. Ilmu didapatnya, tapi sayang seluruh kulit tubuhnya melepuh. Kecuali, wajahnya.
Karena tak ingin melihat kebatilan, Mayang seruni saat itu berusaha menggagalkan segala sepak terjang Pangeran Neraka. Lelaki laknat itu bisa dikalahkan. Namun begitu, Mayangseruni terkena racun tanpa pemunah milik lawannya. Racun itu terus merasuk hingga ke jaringan saraf di otaknya. Sampai akhirnya, gadis itu kehilangan akal waras. Bahkan pikirannya berada dibawah pengaruh Pangeran Neraka.
Mengetahui lawan telah berada di bawah pengaruhnya, Pangeran Neraka memanfaatkan kecantikan dan kemolekan Mayangseruni. Sekaligus, memanfaatkan kesaktiannya. Ratu Lebah pun dijadikan pasangan si lelaki laknat.
Selanjutnya, Mayangseruni menghilang kembali seperti beberapa tahun lalu. Sementara Agungcakra memang sudah telanjur sayang pada sang bibi yang dianggapnya sebagai kakak perempuan. Maka dia segera melakukan pencarian, setelah sebelumnya berguru selama beberapa tahun pada tokoh kerajaan. Tiga tahun dia terus mencari tanpa basil. Sampai akhirnya, bisa bertemu kembali ketika Andika dan Anggraini bersamanya.
***
“Bibi Mayang, apa yang sesungguhnya terjadi padamu selama ini?” tanya Agungcakra sungguh- sungguh.
Ada yang tidak beres pada adik ayahnya, menurut penilaian anak muda itu. Ratu Lebah berhenti tertawa. Ditatapnya mata Agungcakra dengan cahaya mata liar. Lalu tawanya meledak lagi, lebih tinggi daripada sebelumnya. Agungcakra makin yakin ada sebuatu yang telah terjadi Pada diri Mayangseruni.
Sepanjang pengetahuannya, Mayangseruni adalah gadis yang penuh kendali diri. Dia tidak akan tertawa seenaknya, seperti perempuan jalanan. Kalau Mayangseruni yang dulu amat kentara sinar keceriaan diwajahnya, Mayangseruni yang ditemuinya kini memiliki sinar mata kejam.
Memang, Agungcakra hanya tahu kalau adik ayahnya itu pergi untuk sebuah urusan tiga tahun lalu. Ketika itu, Agungcakra menawarkan diri untuk mengawalnya. Namun, Mayangseruni menolak. Menurut wanita itu, urusannya harus diselesaikan sendiri. Sejak kepergian itu, Agungcakra tak pernah lagi jumpa dengan bibinya. Dan sewaktu mencoba mencari keterangan dari beberapa orang persilatan, yang didapat hanya sedikit keterangan. Menurut mereka yang sempat tahu, Ratu Lebah sering terlihat bersama seorang tokoh sesat bernama Pangeran Neraka
“Lama aku berkelana, Cakra,” tutur Mayangseruni lagi sambil memainkan anak rambutnya seperti wanita jalang penggoda.
“Berkelana di batas sorga dan neraka. Kau tahu, bagaimana rasanya berjalan disana? Seperti siksaan yang melenakan. Saat itu merasa tersiksa, aku menjadi demikian takut... takut!”
Wajah Mayangseruni berubah mencekam. Sudut matanya yang indah, memperlihatkan lipatan ketakutan. Dan secepat itu pula berubah penuh kebengisan.
“Tapi bagai ada selaksa makhluk menjijikkan menitahku untuk menikmatinya. Dan..., aku pun bisa menikmati. Menikmati darah, menikmati warna merah, menikmati....”
“Cukup, Bibi Mayang! Kau bukan bibiku yang dulu lagi! Rupanya kehidupan dunia yang memikat telah membuatmu lupa diri!” tuduh Agungcakra.
“Kau telah terjerumus dalam dunia laknat kaum sesat yang menganggap dunia ini hutan rimba penuh kesenangan dan darah! Sadarlah, Bibi.... Jangan sampai Tuhan memurkaimu....” Kata-kata Agungcakra padat dengan getaran.
Betapa terpukulnya dia mendapati orang yang disayangi sudah berubah demikian rupa. Mata anak muda itu berkaca-kaca, menembus lekat-lekat pandangan Ratu Lebah.
“Terlambat, Anak Muda! Semuanya sudah terlambat!”
Tiba-tiba terdengar suara di belakang. Suaranya begitu berat berdebam. Ketika Agungcakra menoleh, tampak Pangeran Neraka telah berada di sana. Ielaki itu berdiri dengan melipat tangan di dada. Jari-jarinya yang tersembunyi tampak memainkan dua bola besi baja. Sorot matanya menyampaikan ancaman berbau maut....