Part 4
Chia Kuo yakin, sedikit saja si perempuan cantik memutar kuku-kuku tangannya seperti gerakan memeras, maka tangan Chia Jui akan langsung terkoyak. Atau, lebih parah dari itu... terputus! Siapa yang mau mempunyai saudara kembar bertangan kutung? Maka, tak mau berpikir lebih lama, Chia Kuo cepat melepas hantaman jarak jauh, sekejap sebelum tangan si perempuan bergerak.
Wush!
Hasilnya lumayan untuk menyelamatkan tangan Chia Jui. Walau begitu, tak luput tangan Chia Jui tercabik sewaktu si perempuan mendadak menarik kuku-kukunya. Mulutnya tampak meringis-ringis menahan pedih tak terkirakan, sambil melompat menjauhi lawan. Sadarlah tokoh sesat kembar itu, dengan siapa mereka berhadapan. Lawan ternyata bukan sembarang orang. Kalau mereka yang sudah masuk dalam jajaran atas golongan sesat saja bisa kebobolan dalam segebrakan, bagaimana dengan kepandaian wanita ini.
***
Terbukanya mata milik Kembar Dari Tiongkok terhadap kemampuan berbahaya wanita itu, membuat mereka memutuskan untuk menghadapinya dengan menggabungkan jurus. Sebagai dua orang kembar tak terpisahkan, mereka memang tak bisa bertarung sendiri-sendiri. Kehebatan mereka terbangun kalau keduanya menggabungkan kesaktian. Dalam waktu singkat, dua lelaki gundul bermata sipit itu membentuk sebuah gerak bersama. Sekejap, tangan mereka bersatu pada telapak tangan masing-masing, untuk mengempos kekuatan gabungan. Telapak tangan mereka yang masih bebas mulai memerah, lalu diarahkan lurus-lurus ke arah wanita itu.
Wuuush!
Bunyi angin pukulan jarak jauh berbau maut, memburu cepat berbentuk dua bentangan angin kembar ke arah wanita itu. Mestinya, si wanita asing terkejut menerima serangan ganas tersebut. Entah karena ilmu kedigdayaannya begitu melangit, dia justru melepas tawa kaku. Bahkan tenang saja terjangan angin kemerahan milik kembar dari tiongkok dihadapi. Dengan maksud untuk memamerkan kehebatan, tiba-tiba wanita itu menahan angin pukulan berpendar kemerahan dengan membuat hirupan udara dari mulut.
“Hfff....”
Bentangan panjang angin pukulan Kembar Dari Tiongkok langsung berhenti meluncur. Saat si perempuan menyedot lebih kuat, angin pukulan itu dipaksa masuk ke dalam mulutnya. Sesungguhnya, angin pukulan Kembar Dari Tiongkok adalah himpunan gelombang petir yang kuat luar biasa. Di tanah Tiongkok, ilmu itu sudah dikembangkan oleh para pendeta berabad-abad yang lalu dengan memusatkan seluruh tenaga petir dalam tubuh manusia, hingga mencapai kekuatan dahsyat. Dengan begitu, tentu tenaga pukulan itu akan membawa akibat merusak, sewaktu terus tersedot masuk ke dalam rongga paru-paru si perempuan.
Mulanya, Kembar Dari Tiongkok menyeringai, menertawai kesombongan lawan. Mereka menduga, sebentar lagi perempuan itu akan terguncang hebat, lalu mengejang dan mati. Namun selanjutnya mulut mereka ternganga. Dengan mata kepala sendiri, keduanya melihat lawan tersentak sekejap. Usai menelan kekuatan petir raksasa itu, dengan tenang seluruh sengatan petir disalurkan ke bumi sampai hilang tertelan.
“Sinting!” sergah Chia Jui, tak mempercayai penglihatannya.
“Dia itu manusia atau....”
“Kita tak akan menang melawan dia, Chia Jui. Harus segera menyingkir!” peringat Chia Kuo, kalang kabut.
Tak beda dengan kembarannya, Chia Kuo pun tampak memucat. Bagaimana tidak, kalau kemampuan gabungan mereka hanya dibuat santapan siang oleh perempuan cantik tapi bengis itu?
“Heeeh...,” si perempuan menggeram.
“Jangan berharap kalian bisa meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup! Sudah menjadi sumpahku, kalau istana ini adalah milikku. Siapa pun yang masuk ke istanaku, berarti telah mengotorinya. Dengan begitu, harus dibunuh!”
Untuk kedua kalinya, si perempuan cantik dan bengis ini menyeringai. Sebaris gigi putih menawan tersembul. Sayang, bibirnya sendiri melekuk menggiriskan. Tiba-tiba saja, perempuan yang hingga saat ini tak memperkenalkan namanya, meludah kesebuah bongkahan batu sebesar kuda.
“Chuih!”
Plas!
Bagai menembus bayangan, air ludah itu langsung melesak masuk hingga keluar di sisi yang lain.
“Aku tak ingin mengotori tangan! Akan kubunuh kalian dengan ludahku. Ya! Dengan ludahku. Hanya ludah yang pantas untuk kalian,” geram wanita itu menggidikkan.
Sepasang matanya mencorong di bawah kelopak, memperlihatkn setengah warna hitamnya.
“Kau sudah gila, Perempuan!” maki Chia Jui, was-was.
“Sudah terlalu banyak orang gila di dunia ini. Jadi bagiku, tidak ada soal apakah aku gila atau tidak!”
“Tapi kami tak ada urusan sama sekali denganmu!” lontar Chia Kuo, membela diri.
“Sudah kubilang, kalian telah lancang memasuki istanaku!”
“Tapi itu alasan yang terlalu dibuat-buat!” sengit Chia Jui.
“Aaah! Toh, bukan aku saja yang berbuat sewenang-wenang dengan alasan dibuat-buat. Berjuta orang telah melakukannya di dunia sampah ini! Asal kalian tahu itu! Kini, bersiaplah untuk mampus!”
Si perempuan mulai menggerakkan mulut. Sebentar lagi, akan melesat semburan-semburan ludah kejinya, andai saja sebuah seruan lantang tak menahannya.
“Tunggu!”
Si perempuan menoleh ke asal suara. Dilihatnya seseorang yang sudah amat dikenal, lelaki berjenggot seperti seekor kambing gunung. Menilik kerutan wajah, bisa diduga usianya sekitar delapan puluhan. Alisnya hitam, tebal dan lebat menaungi sepasang mata setajam sembilu. Meski tua, masih tampak sisa ketampanannya. Keningnya melebar. Rambutnya hanya tumbuh di pinggiran kepala, memanjang lepas menutupi bokongnya. Perawakan lelaki itu tinggi besar dan kekar berotot. Yang menggidikkan dari penampilannya adalah, cacat kulit pada seluruh badan dari bagian leher ke bawah. Kulitnya itu berkerut-kerut, seperti karet lusuh dengan warna merah kehitam-hitaman. Sepertinya, dia pernah mengalami luka bakar yang demikian hebat.
” Pengeran Neraka,” sebut si perempuan.
Wajah wanita itu seketika berseri. Dan matanya pun berbinar.
“Kekasihku, pangeran istanaku...,” tambah wanita ini, mendayu.
Lelaki yang dipanggil Pangeran Neraka maju. Sepasang tangannya menimang-nimang dua bola besi baja, sebesar kepalan tangan.
“Kenapa kau menahanku, Sang Pangeran?” tanya si wanita cantik berpakaian merah-merah manja.
Didekatinya Pangeran Neraka lalu bergayut di bahu kekarnya. Pangeran Neraka tak cepat menjawab. Matanya melirik dua lelaki Tiongkok yang wajahnya begitu sulit dibedakan.
“Kalian tentu pernah mendengar satu pepatah,” kata laki-laki berjuluk Pangeran Neraka pada Kembar Dari Tiongkok.
“Jika Giam Lo Ong*) memerintahkan kau mati tengah hari, tak seorang pun berani membiarkanmu hidup sampai petang.”
Chia Jui dan Chia Kuo balas menatap. Mereka meneliti lelaki yang baru munc ul dengan mata masing-masing.
“Tentu saja kami tahu pepatah itu, karena memang berasal dari negeri kami sendiri. Tapi, apa maksudmu dengan menyebutkan pepatah itu pada kami?” tanya Chia Kuo, mengungkap keheranannya.
“Hu... hu... hu! Tak kukira kalian ini tergolong bebal, Kembar Dari Tiongkok,” ejek Pangeran Neraka, didahului tawa yang terdengar aneh.
Mendengar julukan mereka disebutkan, sekali lagi Kembar Dari Tiongkok meneliti tegas-tegas Pangeran Neraka. Sebelumnya, mereka sudah cukup heran. Karena, lelaki itu tahu tentang pepatah dari negeri mereka yang jauh. Sekarang, tiba-tiba saja dia menyebut julukan Kembar Dari Tiongkok. Padahal jelas, si lelaki berkulit cacat ini bukan dari Tiongkok. Chia Jui maupun Chia Kuo yakin, sebab Pangeran Neraka sama sekali tak seperti orang dari negeri tirai bambu itu. Dengan begitu, dia bukanlah utusan dari Tiongkok yang hendak menjemput mereka pulang. Tapi, siapa?
“Kau bukan utusan Tiongkok yang hendak memaksa kami pulang untuk menerima hukuman, bukan?” aju Chia Kuo tak yakin dengan pikirannya sendiri.
“Hu... hu... hu! Ya, jelas bukan!”
“Kalau begitu, jelaskan saja, apa maksudmu dengan pepatah tadi?” sergah Chia Jui tak sabar.
“Maksudku....” Baru saja Pangeran Neraka hendak menjelaskan
“Kenapa mereka tidak dibunuh saja kekasihku? Bukankah dua orang lancang ini telah mengotori Istana kita?” potong si perempuan di sisinya.
Pangeran Neraka ganti melirik si perempuan.
“Bagaimana kalau mereka kita manfaatkan, Putri Mayang seruni?”
“Mana mungkin sampah bisa dimanfaatkan, Sayang?”
“Hu hu.... Tak selamanya sampah tidak berguna. Mereka bisa membantuku untuk mencari orang yang telah membunuh saudara kandungku, Putri....”
“Kita bisa mencarinya sendiri, bukan?” perempuan yang ternyata bernama Putri Mayangseruni balik bertanya.
“Itu terlalu memakan waktu, Putri. Aku ingin secepatnya mengunyah jantung si pembunuh saudara kandungku. Hu hu hu, betapa nikmatnya....” Pangeran Neraka lantas mengangkat kedua alis rimbunnya.
“Kita lihat saja nanti....”
Setelah itu Pangeran Neraka menatap Kembar Dari Tiongkok.
“Kupikir sekarang kalian tentu mengerti maksudku melontarkan pepatah tadi. Artinya, kalau memang waktunya kalian mampus, ya biar bagaimana pun akan mampus. Sebaliknya, kalau belum waktunya, biar kalian jatuh dari gunung, tetap tidak mampus.” Pangeran Neraka tertawa dengan gaya yang khas.
“Kalian bingung, ya? Jadi, singkatnya kalian belum waktunya mampus hari ini....”
***
Malam turun merambah mayapada. Ribuan bintang gemerlap memunculkan diri, menemani rembulan penuh yang muncul tak ragu-ragu. Temaram cahayanya benda-benda langit, menjadi bagian dari malam itu. Karena saat itu angkasa tak diusik awan kelabu.
Api unggun besar telah dibuat Pendekar Slebor. Di atasnya, terpanggang.daging tiga ekor kelinci gemuk hasil panahan Anggraini menjelang sore tadi. Tiga anak muda itu kini sedang duduk mengelilingi api unggun, mengenyahkan dingin malam yang menggelitik kulit.
Satu sisi diri manusia adalah malam gulita
istana para durjana semesta bersemayam dan berencana
untuk sehimpun dusta
untuk sehimpun nista...!
Agungcakra menyudahi sajaknya. Selaku orang dari kalangan bangsawan, keindahan susastra sudah menjadi bagian hidupnya. Bagi para bangsawan, susastra adalah seni terhormat, karena lahir dari daya cipta agung dalam diri manusia.
Andika bertepuk-tepuk.
“Kata-kata yang indah. Lahir tanpa kepalsuan,” puji Andika, terhadap sajak si kawan baru.
Pendekar muda itu rebah bersandar batang pohon tumbang. Diliriknya Anggraini yang memutar-mutar kayu panggangan.
“Bagaimana menurutmu, Anggraini?” tanya Andika, ingin tahu penilaian gadis itu tentang karya sastra Agungcakra.
“Menurutku, lebih baik kau cepat-cepat menceritakan padaku perihal cemeti ini...,” sahut Anggraini, tanpa melirik sedikit pun.
Lalu gadis itu melepas cemeti dari pinggang dan melemparkannya ke pangkuan Andika acuh tak acuh. Si Pendekar Slebor menarik napas agak mangkel. Kalau sudah berurusan dengan wanita, pemuda ini sering kali dibuat serba salah. Menurutnya, wanita itu sejenis makhluk indah yang sulit dipahami.
“Kau begitu ngotot mengetahui asal-usul cemeti ini,” kata Andika seraya menaikkan cemeti dengan tangannya ke atas.
“Tapi, kau sendiri tidak pernah memberitahu padaku, apa alasanmu sampai ingin tahu tentang benda ini?”
“Itu bukan urusanmu!” tandas Anggraini judes, seraya melemparkan sepotong daging kelinci yang sudah matang pada Agungcakra, tindakannya benar-benar tidak sopan. Tapi pemuda itu cepat menangkapnya, dan mulai menyantap.
“Kalau begitu, kenapa kau tak urus saja sendiri urusanmu! Jadi, kau tak perlu keterangan dariku,” sindir Andika.
Pendekar Slebor lantas menatap daging kelinci di atas api unggun. Baunya sedap, mengundang selera Andika. Si pemuda urakan itu tak sabar lagi. Apalagi, perutnya sudah mulai buat keributan. Andika mendekati api unggun. Baru saja tangannya terjulur ke daging kelinci panggang....
Plak!
“Apa kau tak bisa sabar sedikit menunggu giliran!” bentak Anggraini, setelah menampar tangan Andika.
Andika meringis. Dalam hati dia mengumpat-umpat tak henti. Dengan wajah terlipat lebih jelek daripada gombal, Andika akhirnya kembali ke tempatnya. Sementara Agungcakra hanya tersenyum kecil
“Baik. Kalau memang bisa membuatmu cepat membuka mulut, akan kuceritakan kenapa aku begitu ngotot hendak mencaritahu tentang cemeti itu...,” kata Anggraini mulai lagi.
“Sesukamulah,” jawab Andika, agak merajuk.
“Kau mau dengar apa tidak?!” mata Anggraini jadi begitu galak.
“Ya ya ya, mau,” jawab Andika cepat, daripada tak dapat jatah daging kelinci panggang.
Anggraini mulai bercerita. Tentang dirinya, tentang asalnya, juga tentang benda-benda pemberian ibunya. Semuanya dituturkan secara singkat dan lugas.
“Menurut ibuku, cemeti dan kalung itu adalah benda yang berhubungan dengan ayahku...,” tutur Anggraini mengakhiri.
“Maksud ibumu, dengan benda itu kau bisa menelusuri jejak ayahmu?” tanya Andika, menduga.
Pertanyaan itu disambut Anggraini dengan anggukan.
“Jadi, ibumu tak jelas-jelas mengatakan kalau benda itu milik ayahmu, bukan?” susul Andika hati-hati.
Karena Andika tahu, jika benda-benda itu milik ayah si gadis, berarti dia telah berhutang nyawa pada Anggraini. Bukankah cemeti itu milik Begal Ireng, musuh utamanya sewaktu Pendekar Slebor baru turun dari Lembah Kutukan? Kini, Begal Ireng telah mati di tangannya.
“Apa maksudmu?” tanya Anggraini.
Andika kehabisan kata, begitu disodok langsung dengan pertanyaan macam itu.
“Mmm, anu.... Maksudku, ngg begini Iho...,” kata Pendekar Slebor tergagap dan kelimpungan sendiri.
Melihat tingkah tokoh yang diperlihatkan Andika, Agungcakra jadi tak bisa menahan geli. Pemuda bangsawan itu terbahak mendadak.
“Kenapa tertawa?” Andika agak tersinggung.
Sambil menyapu bibirnya dari lemak daging kelinci. Agungcakra menggeleng.
“Tidak apa-apa,” jawab pemuda itu.
Di saat rikuh bagi Andika itulah, sebuah suara asing menyentak ketiganya....
“Ngi ingngng...!”