Part 3
Part 3
Si pemuda mengumpat dalam hati. Dia seperti diajak untuk menguji kecepatan. Kalau jarinya lebih cepat, Anggraini akan segera dilumpuhkan. Tapi kalau wanita itu lebih cepat, tak bisa dibayangkan. Sebab, dari geraknya si pemuda tahu, jari Anggraini tidak dimaksudkan untuk sekadar menotok.
Deb!
Dengan gerak blingsatan si pemuda berusaha membatalkan totokannya, sekaligus membuang diri agar jari Anggraini tak mendarat di tenggorokan. Sayang, dia membuang diri ke tempat yang tak tepat. Sehingga, gerakannya tertahan lereng bukit. Akibatnya, keadaannya kini terjepit. Sementara jari Anggraini kian dekat ke sasaran.
“Tunggu!” teriak si pemuda, kalap.
Pada saat yang sama, sebutir batu kecil melayang cepat membelah udara. Asalnya dari sisi kananmereka.
Tak!
“Aaah!”
Anggraini mengerang, begitu batu kecil tadi tepat mengenai jari telunjuknya dan langsung pula menyempongkan laju jari itu ke arah lain.
Bles!
Lereng bukit di belakang kepala si pemuda termakan tusukan jari Anggraini, hingga seluruh jari telunjuk gadis dari Tanah Buangan itu melesak. Hanya berjarak setengah jengkal dari tenggorokan lawan!
“Apa perlu kau menurunkan tangan kejam untuk sebuah urusan sepele, Nisanak Cantik?!”
Sebuah suara terdengar, tujuh tombak dari tempat mereka berdua. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda sambil, bersidekap. Kemunc ulannya, seperti hantu.
“Siapa kau?!” bentak Anggraini ketus, seraya mengangkat tangannya dari lereng bukit.
Ditempatkannya kedua tangan di pinggang, lalu tubuhnya dihadapkan pada si pendatang baru. Sikapnya begitu galak. Lebih galak daripada macan betina. Si pemuda ikut menoleh pada orang yang baru datang. Tampak seorang pemuda yang sebaya dengannya. Rambutnya panjang masai. Berpakaian hijau-hijau, dengan selembar kain bercorak catur tersampir bebas dibahunya. Melihat wajahnya, si pemuda harus merasa mendapat saingan. Kalau ada seorang gadis yang diminta untuk memilih salah satu di antara mereka, tentu gadis itu akan kebingungan. Mereka benar-benar memiliki ketampanan memikat dan sama-sama memiliki kelebihan pula dalam ketampanan itu.
“O, jadi hari ini aku bertemu pemuda-pemuda tampan mata keranjang?” sindir Anggraini, pada pemuda yang baru datang. Padahal, dia belum lagi mendapat jawaban dari pertanyaannya yang pertama.
“Terimakasih atas pujiannya, Nisanak yang cantik.... Tapi, apa kau lupa dengan pertanyaanmu yang pertama?” kata si pemuda berpakaian hijau-hijau.
“Jangan banyak basa-basi! Kenapa kau tak langsung menyebutkan namamu, lalu segera enyah dari sini!”
“Aku Andika,” sahut pemuda berpakaian hijau yang memang Andika atau lebih terkenal sebagai
Pendekar Slebor.
“Tapi kalau perkara enyah dari sini, aku tak mau meluluskan permintaanmu. Apa kau membiarkan seseorang begitu saja, yang telah membuat jari halusmu itu nyeri?”
“Itu artinya kau menantangku! Dasar tak tahu diri! Mestinya, kau berterimakasih karena aku telah mengampunimu!”
Pendekar muda urakan itu tak menggubris semprotan Anggraini. Santai saja, didekatinya kereta kuda. Diamatinya kaki-kaki kuda yang masih kaku.
“Totokan yang bagus. Agak sulit membebaskannya, karena ditempatkan demikian rapi di satu urat saraf tersembunyi...,” kata Pendekar Slebor sambil berjongkok dan mengorek-ngorek telinga.
Andika mengalihkan pandangan pada Anggraini.
“Tapi itu bukan perkara yang terlalu sulit bagiku.” ujar Pendekar Slebor menyombong.
Sambil berkata, alis mata sayap elang Pendekar Slebor terungkit-ungkit Benar-benar memancing kegusaran Anggraini.
“E-e! Sebelum kau marah, biar aku bertanya dulu. Kau menotok kuda ini tidak dengan jari, bukan?” tahan Andika saat wajah jelita Anggraini memerah mangkel.
“Bagaimana kau tahu?!” tanya Anggraini. Kelopak matanya agak membesar, karena terkejut.
“Seperti kubilang tadi, totokanmu terlalu tersembunyi pada satu bagian urat saraf. Jika menggunakan jari, pasti akan menyebabkan luka di bagian luar kulit kuda ini. Jadi menurut perkiraanku...,” Andika menjentikkan jarinya dengan mengaliri tenaga dalam.
Tik!
Saat itulah kaki sepasang kuda hitam itu dapat bergerak kembali seperti semula.
“Kau telah menotok kuda-kuda ini dengan suaramu yang dialiri tenaga dalam pada batas gelombang tertentu. Seperti juga aku membebaskannya,” sambung Andika.
“Bukan begitu?”
***
Kereta kuda yang mirip kereta kencana milik pemuda bangsawan itu melintasi jalan kembali. Seperti sebelumnya, kereta ini berlari dengan keriuhannya, meninggalkan kepulan debu serta ringkikan kuda yang tinggi mengoyak langit. Dalam melanjutkan perjalanan kali ini, si pemuda tampan tidak sendiri dalam kendaraannya. Ada dua orang lain yang ikut bersama, yakni Andika dan Anggraini
Gadis jelita berkesan judes itu sempat mengamuk karena ilmu totokan warisan buyut guru yang dibanggakannya ditelanjangi mentah-mentah oleh Pendekar Slebor. Mereka pun sempat bertukar beberapa jurus. Namun manakala melihat cemeti yang melilit pinggang Anggraini, Andika langsung meminta gadis itu menghentikan serangan. Semula, memang agak sulit karena kemarahannya pada Pendekar Slebor sudah begitu meluap. Akhirnya, sewaktu Andika mengatakan kalau mengenal pemilik cemeti itu, barulah gadis ini menghentikan serangan.
“Tahu apa kau dengan cemetiku ini?!” tanya Anggraini waktu itu.
Andika tak cepat menjawab. Dia sedang mengingat-ingat.
“Cepat jawab! Atau, kau hanya tak ingin melanjutkan pertarungan denganku? Kau takut dipecundangi perempuan, bukan?” desak Anggraini, sekaligus mengejek.
“Kenapa mulutmu tak bisa diam sebentar saja?! Aku sedang mengingat-ingat, tahu! Kalau kau tak, berhenti berkoar, kau tak akan mendapat keterangan lentang cemeti itu!” ancam Andika.
Tak lama kemudian, barulah Pendekar Slebor ingat. Cemeti itu adalah cemeti musuh pertamanya, Begal Ireng (Untuk mengetahui kisah tokoh ini, bacalah episode: “Lembah Kutukan” berikut “Dendam Dan Asmara”).
Saat itu Anggraini ingin meminta keterangan lebih rinci dari Pendekar Slebor tentang Begal Ireng. Andika bersedia meluluskan permintaan itu, asal mereka mau berdamai. Dengan wajah berlipat, Anggraini terpaksa menyetujui syarat yang diajukan.
Mereka kini telah bersama-sama di dalam kereta kuda milik si pemuda bangsawan. Kebetulan arah perjalanan yang ditempuh sama. Lagi pula, untuk menceritakan banyak hal tentang Begal Ireng pada Anggraini, Andika membutuhkan waktu banyak. Maka gadis itu pun terpaksa menyetujui. Toh tujuan utamanya turun ke dunia persilatan adalah mencari tahu tentang ayahnya yang berhubungan erat dengan cemeti serta kalung pemberian Kupu-kupu Merah, ibunya.
Sementara pemuda bangsawan di dalam kereta memperkenalkan diri sebagai Agung Cakra. Seorang bangsawan muda dari wilayah selatan.
“Apa aku perlu memanggilmu ‘Raden’? Raden Agung cakra?” goda Andika.
‘Tak perlu. Aku tak begitu suka dengan sebutan itu,” tolak Agungcakra, merendah.
Anggraini yang sejak tadi hanya memasang wajah asam, tiba-tiba menyelak.
“Munafik! Itu kata mulutmu. Aku yakin, dalam hati kau ingin sekali menerima sebutan itu! Raden.... Hm, membanggakan bukan? Tak setiap orang bisa memakai gelar itu, bukan?”
Andika melirik gadis ketus itu, lalu beralih pada pemuda di sisinya yang sedang menyentak-nyentak tali kekang. Tak terlihat ada perubahan di wajahnya mendengar cemoohan pedang Anggraini. Bahkan ditanggapinya dengan senyum tipis.
“Hey? Apa tujuanmu ke barat?” cetus Andika, menghanguskan suasana tak nyaman tadi.
“Aku mencari bibiku,” jawab Agungcakra singkat, sementara tangannya sibuk menyentak tali kekang kuda.
“Kenapa dengan dia sebenarnya? Apakah kau .ada keperluan dengannya atau bagaimana?” susul Andika.
Tapi setelah itu, Pendekar Slebor jadi tak enak sendiri dengan kelancangan mulutnya.
“Ah, maafkan aku, Saudara Agung. Kenapa aku jadi usil pada urusan orang Iain....”
“Tak apa-apa. Lagi pula, aku memang membutuhkan bantuan orang lain dalam perkara ini,” kata Agungcakra.
“Begitukah? Kau bisa cerita tentang bibimu?”
“Tentu....”
Lalu, pemuda bangsawan itu pun memulai ceritanya.
***
Tak ada seorang pun berani melewati daerah yang bernama Pintu Sorga dan Neraka Dunia sejak tiga tahun lalu. Sesungguhnya, tak ada yang perlu ditakuti dengan keadaannya. Bahkan Bisa dibilang suasana dan pemandangannya begitu memikat. Jalan setapak yang membelah padang bunga matahari, bukit dikejauhan yang mengelilingi, sekumpulan kupu-kupu warna-warni yang berkejaran di pucuk-pucuk bunga mekar, serta sebuah kolam alam kecil penuh teratai jingga, adalah keindahan yang bisa ditemui setiap hari.
Namun memang bukan itu yang menjadi penyebab, kenapa tempat itu dihindari banyak orang, khususnya yang memiliki ilmu olah kanuragan tanggung. Sejak tiga tahun lalu, tempat itu kerap kali menjadi ladang pembantaian keji. Beberapa orang diantaranya malah menjadi mayat tanpa kepala. Maka sejak tiga tahun lalu pula, orang-orang dunia persilatan menyebutnya Pintu Sorga dan Neraka Dunia.
Sebutan angker yang kemudian menyebar cepat, ditiup desas-desus ke segenap penjuru dunia persilatan. Kalau ada orang yang masih juga mendatangi tempat itu, maka ada tiga kemungkinan baginya. Orang itu sudah kurang waras, orang itu pendekar tangguh yang mau menjajal ilmunya, atau seorang yang sudah jemu hidup di dunia.
Yang jelas, hari itu ada dua lelaki mengatur langkah di jalan setapak Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Keduanya mengenakan pakaian seperti biksu berwarna putih. Kepala mereka gundul klimis, memantulkan cahaya matahari. Dari mata yang sipit serta kulit yang berwarna pucat, mudah diduga kalau mereka adalah orang-orang Tiongkok.
Si Kembar Dari Tiongkok, adalah julukan mereka di dunia persilatan. Beberapa waktu lalu, mereka menjadi kaki tangan pemberontak besar Kerajaan Alengka, Begal Ireng. Setelah Pendekar Slebor mampu menggagalkan rencana jahat Begal Ireng, keduanya melarikan diri, tanpa bermaksud untuk kembali ke negeri mereka sedikit pun (Untuk mengetahui lebih jelas, bacalah serial Pendekar Slebor dalam rpisode : “Lembah Kutukan” berikut “Dendam dan Asmara”).
Karena bersembunyi sekian lama dari kejaran hamba hukum kerajaan Alengka, mereka jadi tak begitu mengikuti perkembangan dunia persilatan. Termasuk, tak mengetahui desas-desus tentang tempat yang dilewati kini.
“Apa kau yakin orang-orang Kerajaan Alengka lak memburu kita lagi?” tanya salah seorang dalam bahasa Tiongkok kental.
“Aku yakin begitu,” sahut lelaki yang lain.
“Mereka mungkin berpikir kita sudah kembali ke Tiongkok.”
“Bagaimana kalau suatu saat nanti kita dipergoki?”
“Kau mulai jadi pengecut?” sindir lelaki yang memiliki tahi lalat besar di bawah telinga kiri. Namanya, Chia Jui.
“Bukan begitu. Aku hanya khawatir kita bertemu pemuda itu lagi,” sergah kembarannya, Chia Kuo.
“Pendekar Slebor?”
“Ya.”
“Apa kau tak yakin pada latihan keras kita selama hampir tiga tahun ini?”
“Entahlah. Anak muda keparat itu menurutku memiliki kesaktian yang begitu hebat.”
“Sudahlah! Kalau kau nanti tak mau menghadapinya, lebih baik lari saja seperti perempuan!” putus Chia Jui agak kesal.
“Jadi kau berani menghadapi dia sendiri, Chia Jui?” tanya Chia Kuo agak terkejut.
“Aku tak bilang begitu, Bodoh!” Chia Kuo mengangkat bahu.
“Kalau begitu, tak ada bedanya aku denganmu, Chia Jui! Sama-sama gentar. Bedanya, aku lebih jujur ketimbang kau!” gerutu Chia Kuo.
Keduanya terus melanjutkan langkah menyusuri jalan setapak. Tiba di suatu tikungan yang berbatasan dengan kolam alam kecil, sesosok tubuh mendadak menghadang di depan.
“Siapa kau?!” bentak Chia Jui gusar, melihat seorang wanita cantik berpakaian merah-merah Mengganggu perjalanan mereka.
Wanita itu berambut panjang tergerai. Meski cantik menggoda, matanya tampak menyiratkan kekejaman. Bibirnya merah dan tipis. Wanita itu sepertinya tak kalah tajam dengan dua tokoh sesat dari Tiongkok yang dihadangnya.
“Apa kau orang Kerajaan Alengka?!” timpal Chia Kuo, tak kalah berang.
Orang yang ditanya tidak menjawab. Bahkan sekadar mengangguk atau menggeleng. Hanya matanya yang terus menghujam bengis pada Kembar Dari Tiongkok, seolah memendam dendam. Padahal, baru kali itu mereka bertemu.
“Kalian telah mengusik istanaku!” hardik si perempuan, tiba-tiba.
Chia Jui maupun Chia Kuo tak mengerti. Istana? Istana apa, pikir mereka. Selama memasuki wilayah itu, mereka tak pernah menjumpai sebuah bangunan pun. Lebih-lebih, sebuah istana.
“Kau keluarga Istana Alengka?” tanya Chia Kuo menebak-nebak.
Biar bagaimanapun, Chia Kuo maupun saudara kembarnya masih tetap menyimpan rasa was-was pada pihak musuh lama. Mungkin saja, mereka masih memburu. Satu hal yang paling dikhawatirkan adalah jika berurusan kembali dengan Pendekar Slebor selaku seorang yang memiliki pertalian darah dengan keluarga istana.
“Ini istana! Apa kalian buta?! Aku tak punya nama untuk istana ini. Tapi, orang-orang dungu di luar sana menyebutnya Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Nama yang buruk, tapi aku cukup menyukainya...,” ujar si perempuan berpakaian merah meledak-ledak.
Chia Jui mulai melangkah lagi.
“Peduli setan dengan istanamu! Kami akan lewat! Kalau kau ingin selamat, menyingkirlah!” bentak Chia Jui.
“Biar kalian mampus!” terabas si perempuan sambil mengirim satu sambaran cakar ke wajah Chia Jui.
Bet!
“Perempuan keparat!” maki Chia Jui dengan logat Tiongkok.
Sebelumnya, dia pun bersusah payah menghindari lehernya dari kuku-kuku panjang lawan yang berwarna keunguan. Dibalasnya salam perkenalan lawan dengan sebuah layangan tinju geledek.
Deb!
Pukulan Chia Jui begitu bertenaga, mengarah ke dada si wanita yang memiliki dua bukit padat. Tapi dengan enteng wanita itu menggeser badan sedikit ke samping Begitu tangan wanita itu lewat sejengkal, dua tangannya terangkat. Lalu, disergapkan ke lengan lelaki Tiongkok itu. Chia Kuo baru hendak memperingati, tapi terlambat. Tangan si perempuan sudah tiba di tangan kembarnya.
Chia Kuo yakin, sedikit saja si perempuan cantik memutar kuku-kuku tangannya seperti gerakan memeras, maka tangan Chia Jui akan langsung terkoyak. Atau, lebih parah dari itu... terputus!