Part 2
Dari jarak tujuh belas tombak yang memisahkan dirinya dengan lawan, Anggraini menatap nanar binatang langka itu. Pandangannya mengabur. Namun di balik itu, seberkas pijar kegusaran mulai terbetik.
” Jangan senang dulu, Binatang Laknat! Kau pikir aku akan mudah dilumat!” geram Anggraini bersama rahang yang mengejang.
Di lain sisi, si ular raksasa mulai merayap menuju diri gadis itu kembali. Lidahnya menjulur-julur bagaikan mengejek. Mata merahnya mencorong penuh ancaman. Sambil mendesis mengguntur, taring besarnya diperlihatkan.
“Kau rasakan ini!” rutuk Anggraini.
Begitu selesai kata-katanya bergegas gadis ini meloloskan sebatang anak panah dari sarangnya. Busur yang masih tergenggam erat di tangan kanan, segera diacungkan ke muka. Senjata itu pun meregang, siap melepas anak panah yang dibidikkan tepat ke kepala si ular raksasa.
Srat!
Anak panah bermata baja merangsek udara. Begitu deras meluncur ke arah sasaran....
Tak!
Mata Anggraini dipaksa mengerjap-ngerjap tak percaya dengan apa yang terlihat. Anak panah bermata baja itu ternyata seperti terhadang tembok kukuh tak tertembus. Bahkan malah patah menjadi dua! Entah terbuat dari apa kulit kepala binatang itu....
Disertai rasa penasaran membludak, Anggraini meloloskan lagi anak panah. Kali ini tak tanggung-tanggung, tiga anak panah akan langsung ditujukan pada beberapa bagian tubuh si hewan raksasa. Mungkin ada bagian-bagian tertentu tubuh hewan itu yang berkulit rapuh.
Srat!
Siing...
Tak-tak-tak!
“Astaga! Betul-betul gila!” seru Anggraini, begitu mengetahui kalau tiga batang anak panahnya mengalami nasib sama dengan anak panah sebelumnya. Padahal dia sudah mencoba mendaratkannya di bagian tubuh yang diperkirakan lemah!
Tinggal tersisa satu kesempatan lagi bagi gadis itu untuk melepas anak panah selanjutnya, sebelum ular raksasa benar-benar tiba di dekatnya. Maka kini dua anak panah pun diloloskan. Kali ini Anggraini yakin benar sasarannya akan membawa hasil. Yang akan ditujunya sepasang mata merah darah milik si ular raksasa.
Srat! Si ing...!
Ketika dua batang anak panah Anggraini yang melesat cepat nyaris mencapai biji matanya, si ular raksasa tiba-tiba membuat satu sabetan dengan lidahnya. Sungguh sebuah kemampuan tempur yang sulit dipercaya, bisa dilakukan oleh semacam hewan seperti itu. Seakan-akan makhluk mengerikan ini memiliki kecerdasan seorang pendekar tangguh.
Bet!
Dengan lidahnya, hewan berdarah dingin ini menjerat dua batang anak panah bermata perak itu. Secepat kilat, lidah lenturnya menghempas balik ke arah Anggraini. Hasilnya, kini senjata itu mengancam tuannya sendiri. Kalau saja Anggraini tak cepat menghindar, tentu sepasang anak panahnya akan menyantap tubuh sendiri. Meski bisa melepaskan diri dari maut, Anggraini tetap tak bisa melepaskan diri dari keterkejutan atas tindakan ular aneh ini tak biasanya.
“Benar-benar sulit dipercaya,” gumam gadis itu dengan wajah sedikit terlipat.
Baru saja gumamannya selesai Anggraini harus sungsal-sumbel menghindari terjangan liar si ular raksasa yang semakin kerasukan. Kepalanya mematuk-matuk hebat, sedangkan ekornya menyabet-nyabet menggiris nyali. Karena berkali-kali gadis itu bisa menyelamatkan diri, maka bukit karang di sekitar pertempuran yang menjadi sasaran. Bongkahan-bongkahan batu terus berguguran. Sehingga, tempat itu lebih berantakan daripada sebelum terjadi pertarungan. Butiran-butiran yang lebih kecil berhamburan ke segala arah. Tempat itu kian porak-poranda.
Sampai saatnya, Anggraini merasa harus melakukan bela diri. Tubuhnya tentu akan cepat kelelahan, jika terus diburu seperti itu. Makanya, kini mulai dikerahkannya ilmu pukulan ‘Kekuatan Kembar’ pada kedua tangannya. Suatu ketika, tangan kanannya mendapat kesempatan untuk mendaratkan pukulan tingkat kelima, setengah dari kemampuan ilmu pukulan ‘Kekuatan Kembar’. Yang menjadi sasaran adalah moncong hewan langka ini.
Dugh!
Kontan saja kepala besar sang ular tersurut mundur. Tubuhnya tampak menggelepar sesaat, sebagai tanda mengalami siksaan rasa sakit. Ketika tubuhnya menggelepar, kepala ular raksasa itu menggeleng-geleng liar dengan cepat. Anggraini yakin, pukulannya akan segera membinasakan ular raksasa itu. Atau paling tidak, binatang itu akan terluka dalam dengan tulang moncong remuk redam. Menurutnya, tulang tengkorak ular itu pasti tidak sekeras cadas. Pada tingkat pukulan ketiga saja, cadas sekeras apa pun bisa dibuat hancur oleh pukulannya. Apalagi pada tingkat kelima seperti diterima si ular raksasa.
Tapi jauh di luar perkiraan, si ular raksasa ternyata tidak mengalami luka berarti. Dengan amat gusar, kepalanya ditegakkan ke arah Anggraini. Tubuhnya terlihat mengejang, pertanda siap melabrak lawannya yang kecil dengan kemarahan berkobar.
“Astaga.... Tingkat kelima pukulan mautku tidak membuatnya terkapar!” desis Anggraini takjub, sekaligus bingung.
Bagaimana tidak bingung kalau ilmu andalannya yang sudah dikerahkan setengah bagian, tak juga sanggup melumpuhkan lawan?
Sadar kalau binatang raksasa itu akan menerjangnya habis-habisan, Anggraini tak punya pilihan lain. Satu-satunya jalan terbaik adalah mengerahkan seluruh ilmu pukulan andalannya. Maka dengan sigap, pukulan pamungkas yang baru berhasil dicapai dua hari lalu dikerahkan. Sebuah pukulan yang mengandung dua kekuatan hebat, seperti sebutannya. Tenaga luar akan sanggup melantakkan karang menjadi debu, sedangkan kekuatan dalamnya akan mampu meluluhkan baja karena panas yang demikian tinggi. Tidak hanya itu. Panasnya pun memiliki kekuatan untuk menyebar sampai jarak tertentu, seperti kobaran api yang menyambar ke mana-mana, memangsa apa saja.
“Zzz! Zzz!”
“Haaah... hsssh!”
Berbareng desisan menggelegar si ular raksasa, Anggraini mulai menghempos tenaga pada kedua tangannya yang terentang ke depan dengan telapak terbuka. Sementara si ular raksasa menerjang dengan mulut menganga, tepat ketika gadis dari Tanah Buangan itu melepas tenaga sakti melalui sepasang telapak tangannya.
Weeesss! Das!
“Bgrrrzzz!”
Terjangan si ular raksasa langsung terhadang ditengah jalan. Kepalanya memantul kebelakang, diterjang pukulan pamungkas jarak jauh lawan kecilnya. Sehimpun rasa panas bagai terjangan puluhan lidah petir kontan mendera hebat dari dalam. Sementara rasa sakit luar biasa akibat hantaman di pelipisnya, seakan membelah tengkoraknya dari dalam.
Bagai gempa, gelepar ular itu menggetarkan bukit karang. Keadaan tempat ini semakin parah. Batu-batu sebesar kerbau melayang ke segala arah tersampok gerak tubuhnya. Kepalanya mengeruk-ngeruk dataran karang seakan hendak membuat lobang raksasa.
Di suatu celah bukit cadas yang cukup terlindung, Anggraini memperhatikan amukan sang hewan raksasa dengan mata menyipit-nyipit ngeri. Lama Hal itu berlangsung, sampai akhirnya si ular raksasa tak bergerak lagi. Getaran hebat pun Ienyap ditelan bumi. Batu besar tak lagi terlempar. Dan suasana pun senyap.
Anggraini lega. Didekatinya badan binatang yang tergolek lemah itu. Pikirnya, binatang itu pasti sudah mati. Namun tatkala sampai di dekatnya, nyatanya si ular raksasa masih hidup. Denyut di satu bagian tubuhnya jelas terlihat, walaupun sudah lemah. Anggraini siaga kembali. Apalagi, ketika si ular raksasa mulai beringsut perlahan. Kepalanya merambat setapak demi setapak menuju Anggraini. Tepat satu tombak di depan gadis itu, ular raksasa ini menjatuhkan kepala, diam dengan mata menatap pasrah. Sinar mata yang merah darah, tak lagi buas mengancam. Malah kini memperlihatkan bias kekalahan. Lama Anggraini menatap tegang. Sampai akhirnya, kakinya melangkah mendekat ke kepala si ular karena rasa iba yang mengusik nurani kewanitaannya.
***
Debu meraksasa ke angkasa, ketika sebuah kereta kuda meluncur dengan kecepatan gila di jalan berbatu. Sepasang kuda penariknya meringkik-ringkik bagai kerasukan. Kaki kokoh binatang-binatang perkasa itu meninju permukaan jalan serta bebatuan yang berserakan. Dengan napas berdengus memburu, mereka terus melarikan kereta dalam kecepatan tinggi. Dari bentuk serta hiasannya, menunjukkan kalau kereta tersebut milik seorang priyayi. Atau paling tidak, seorang saudagar kaya. Kayunya dari jati berukir indah. Memiliki dua pintu berlapis ukiran perak. Dua lentera terpancang di kedua sisi kursi kusir. Itu pun berlapis ukiran perak. Anehnya, di kursi itu tak terlihat kusir seorang pun.
Di bagian lain jalan, seorang wanita tampak berjalan tenang, meski suara liar yang diciptakan kereta kuda terdengar di kejauhan. Sikapnya tetap tanpa terusik ketika kereta kuda kian dekat dan dekat. Pada saatnya, kereta kuda tinggal melabrak wanita itu. Dua kuda liar pembawa kereta seperti tidak peduli kalau ada orang di depan. Seakan binatang itu akan menerjang tanpa ampun, walau di depannya adalah sebuah bukit karang.
“Ngi ingi i!”
Sepasang binatang perkasa berwarna hitam berkilat itu meringkik keras. Tepat beberapa tombak lagi kereta kuda melabrak tubuh si wanita, tali kekangnya ditarik tiba-tiba oleh seseorang. Si wanita berpakaian merah-merah menoleh acuh ke belakang, melihat sekilas kendaraan yang hendak melabraknya barusan. Setelah itu, kakinya melanjutkan langkah bagai tak pernah terjadi apa-apa.
Wanita itu tenyata Anggraini. Sementara dari jendela kereta kuda, munculah kepala seorang pemuda tampan menawan, berkesan perkasa. Garis rahangnya begitu keras. Matanya berbinar menggetarkan. Rambutnya ditata rapi, serta ditutupi kain sutera kuning bersulam benang emas. Rupanya, dialah yang telah menarik tali kekang. Yang patut dikagumi, bukan hanya ketampanannya, tapi juga kepandaiannya. Tanpa menyentuh tali kekang yang terikat di luar, pemuda itu sanggup menariknya dari dalam.
“Aku bersedia memberi tumpangan padamu, Nisanak!” sapa pemuda itu pada Anggraini, ramah.
“Terimakasih. Aku rasa, aku lebih suka berjalan kaki seperti ini, ketimbang harus duduk bersama seorang yang suka pamer kekuatan dan kekayaan sepertimu,” jawab Anggraini datar tanpa menoleh.
Sementara Anggraini melangkah, pemuda itu mengikutinya dengan kereta di belakang.
“Hey! Mestinya kau berterimakasih, karena aku baru saja menyelamatkanmu. Kalau tali kekangnya tidak kutarik, kau tentu akan hancur,” ujar si pemuda, masih dari jendela keretanya.
“Aku tak melihat ada yang menarik tali kekang,” sergah Anggraini, berpura-pura tak tahu kalau si pemuda melakukannya dengan tenaga dalam yang bisa dibilang tingkat tinggi.
Si pemuda tertawa.
“Dengan busur di punggungmu dan cemeti melingkar di pinggang, kupikir kau orang persilatan yang tak begitu asing dengan permainan tenaga dalam,” kata pemuda itu setengah meledek.
“Justru itu, aku menyebutmu telah pamer kekuatan!” selak Anggraini mendadak. Tetap tak menoleh. Dan langkahnya dipancung saat itu juga.
“O, jadi kau tadi hanya pura-pura tak tahu, rupanya?” kata pemuda itu seperti bertanya.
Si pemuda keluar dari keretanya. Kini terlihatlah penampilan keseluruhan pemuda tampan itu. Tubuhnya yang tinggi tegap, terbungkus pakaian hitam-hitam dengan kain batik terikat dipinggang hingga ke lutut. Pakaiannya seperti para ningrat kalangan istana. Lengkap dengan kancing-kancing dan rantai emas.
“Kalau begitu, aku akan meminta maaf dengan penuh rasa hormat. Itu kalau perbuatanku dianggap lancang, Nisanak,” sambung si pemuda seraya menghampiri Anggraini.
Anggraini hanya melirik dingin.
“Kini kau mulai pamer kekayaan padaku dengan pakaian mewahmu. Apa dipikir aku akan silau dengan pakaian itu, lalu menghormati karena kau seorang ningrat?”
Si pemuda tersenyum lepas.
“Kalau begitu, untuk yang kedua kalinya aku memohon maaf. Bagaimana? Kalau perlu, aku akan mengganti pakaianku ini, jika kau tak suka....”
“Tak perlu,” sahut Anggraini seraya melanjutkan langkahnya.
“Kau akan kehilangan harga dirimu, kalau melepas pakaianmu. Bukankah pakaianmu itu adalah lambang, siapa dirimu sesungguhnya?”
“Nisanak..., Nisanak. Kau menyindirku,” desah si pemuda disertai hembusan napas seraya mengedikkan bahu.
“Baiklah. Kalau kau tak mau menerima tawaran baikku, sudikah kau sedikit memberi jalan agar kereta kudaku dapat lewat?”
Pemuda itu lantas membuka pintu kereta, lalu masuk ke dalam.
“Kenapa kau tak mencoba menyingkirkanku dari jalan ini? Terus terang, aku tak menepi hanya karena kau seorang bangsawan,” tandas Anggraini, sinis.
“Baik, kalau itu maumu, Nisanak...,” sahut pemuda itu.
Lalu, si pemuda bersiul keras, memberi aba-aba pada sepasang kuda agar segera berlari lagi. Tapi meski sudah mengulangi siulan, binatang-binatang itu tetap tak bergerak. Hanya kepalanya saja yang melengos dan mengangguk-angguk seperti meronta dari sebuah ikatan.
Barulah si pemuda sadar kalau wanita yang ditemuinya telah melepas totokan pada kaki kedua binatang itu. Dalam hati, mau tak mau si pemuda memuji. Tanpa tertangkap oleh mata tajamnya sendiri, ternyata wanita ini sudah menotok kuda-kudanya. Mungkin pula lebih dulu dibanding tindakannya saat menarik tali kekang dengan tenaga dalam.
“Sekarang, tampaknya justru kau yang hendak pamer kekuatan, Nisanak...,” ujar si pemuda tanpa terlihat gusar.
“Itu hanya untuk membalas tantangan pamer kekuatanmu!”
“Karena kau sudah membalasnya. kurasa persoalan kita sudah selesai bukan?”
“Apa kau yakin begitu?”
Anggraini melanjutkan langkahnya dengan amat tenang. Dari caranya berjalan, tampaknya dia amat yakin kalau si pemuda akan menahannya kembali. Setelah melangkah cukup jauh, ternyata pemuda bangsawan itu memang benar menahannya.
“Nisanak, tunggu!”
Anggraini tersenyum menyambut kemenangannya. Totokan pada kaki kuda tadi memang tergolong sulit dibebaskan. Sudah puluhan tahun jenis totokan itu tak muncul, semenjak buyut gurunya meninggal. Sebagai ahli warisnya, kini Anggraini bisa memanfaatkannya kembali.
“Nisanak, bukankah persoalan kita sudah selesai? Maukah kau melepaskan totokan pada kuda-kudaku ini?!” pinta si pemuda.
“Kalau aku tak mau, apakah kau akan memaksa?!”
“Aku rasa tidak. Aku terpaksa akan menempuh perjalanan jauhku dengan jalan kaki. Tapi, apa kau tak kasihan dengan kuda-kuda ini? Tentu mereka akan mati perlahan, karena kelaparan dan kehausan....
“Apa peduliku?!” dengus Anggraini ketus. Kembali langkahnya dilanjutkan.
Si pemuda bergegas mengejarnya dari belakang. Sampai di depan Anggraini, dia berusaha menahan dengan mencoba memegang bahu wanita berpakaian merah-merah itu. Tapi tindakannya malah di salah artikan oleh Anggraini. Dengan gerakan cepat, ditangkisnya tangan si pemuda, lalu melancarkan tusukan dua jari ke leher.
Jep!
Tentu saja pemuda tampan ini terkesiap bukan main. Sama sekali tak diduga kalau wanita mempesona yang sifatnya dianggap ketus itu melancarkan serangan hanya karena ditahan langkahnya. Malah bisa cepat diduga kalau wanita itu tentu salah paham. Sebab itu si pemuda bangsawan ini berusaha menghindar tanpa membalas serangan. Tapi serangan pertama yang luput. Membuat Anggraini jadi penasaran. Segera serangannya dilanjutkan dengan sodokan dengkul ke perut.
Suka tak suka, si pemuda melayani serangan Anggraini. Setelah menangkis sodokan kaki, jari telunjuknya ditusukkan ke satu bagian tubuh Anggraini. Dia tak bermaksud membalas Anggraini, hanya untuk melumpuhkannya. Tapi terlalu cepat jika Anggraini bisa dilumpuhkan hanya dalam segebrakan. Sewaktu jari pemuda itu melunc ur Iurus, Anggraini malah melayaninya dengan tusukan jari pula.