Part 1
Tanah Buangan. Sebuah daerah terpencil, jauh dari kehidupan manusia. Sulit dicapai, karena dibentengi pegunungan karang terjal di sebelah utara yang membentang hingga ke barat. Juga dikurung oleh hutan belantara berlumpur pasir yang dalam, dari selatan hingga timur. Sulitnya mendapatkan makanan dan banyaknya binatang buas, membuat daerah itu tak begitu diminati untuk dijadikan tempat tinggal. Meski begitu, tetap saja ada satu gubuk kecil di sana, yang dibangun sejak dua puluh satu tahun lalu ketika dua orang wanita penghuninya menempati. Semenjak mulai membangun kehidupan di sana, mereka pun menyebutnya sebagai Tanah Buangan. Di satu ketinggian bukit karang, kedua wanita itu kini tampak sedang berlatih ilmu olah kanuragan.
Matahari telah sepenggalan naik, mengintip dari lebatnya dedaunan hutan. Sinarnya menerobos ubun-ubun setiap pohon besar, dan menerangi semacam karang datar cukup luas tempat mereka berlatih. Yang muda bernama Anggraini. Wajahnya cerah dan cantik mempesona. Rambutnya panjang hingga sebatas lutut. Tubuhnya yang sintal kuning langsat, terbungkus pakaian merah-merah yang menebarkan wangi harum semerbak. Matanya agak sayu menantang, serta berhidung bangir. Di atas bibirnya yang merah merekah, terdapat tahi lalat kecil. Maka semakin manislah wajahnya. Kendati demikian, tahi lalat kecil tadi juga memberi kesan sedikit judes.
Sementara Anggraini memainkan jurus-jurus silat penuh gelora di bawah siraman sinar mentari hangat, seorang perempuan tua memperhatikan dari jarak tak begitu jauh. Walaupun usianya sudah tujuh puluhan, tapi wajahnya masih tergolong muda. Kalau diperhatikan, mungkin orang akan menyangka wanita itu berumur tiga puluhan. Wajahnya tak jauh beda dengan Anggraini. Sama-sama cantik dan sama-sama mempesona. Bedanya, hanya pada sinar mata. Wanita yang lebih tua tampak lebih tenang dan berwibawa. Tubuhnya pun masih tetap ramping mengagumkan, terbalut pakaian ungu berbentuk jubah dengan sabuk kain pada bagian pinggang. Rambut yang hitam digelung tanggung di bawah leher.
“Hiaaa!”
Pekikan lantang Anggraini menerabas dinding karang. Begitu menggebu seakan siap merobek langit. Di bawah pengawasan wanita tua sekaligus guru tunggalnya yang duduk tenang, gadis dua puluh empat tahun itu menusuk udara dengan senjata ditangan kanan. Sekejap itu pula tercipta desis keras membahana, pertanda kalau tenaga dalam gadis ini sudah mencapai tingkat tinggi. Angin pukulannya kemudian meluncur lurus ke arah dinding cadas. Berikutnya, dinding cadas itu sudah berantakan. membentuk lobang besar yang dalam. Siapa pun bisa berdecak kagum bila mengetahui hasil angin pukulan perempuan muda yang tampak lemah gemulai itu. Terlebih jika memperhatikan senjatanya, yang hanya berupa busur kayu. Tampak rapuh, namun bisa begitu berbahaya di tangannya.
“Cukup, Anakku!” seru wanita tua itu. yang ternyata ibu dari Anggraini. Dan di dalam rimba persilatan dia dikenal sebagai Kupu-kupu Merah.
“Kulihat pukulan ‘Kekuatan Kembar’-mu sudah cukup sempurna. Kini tinggal mencari tahu, apakah inti pukulanmu sudah sempurna pula.”
Kupu-kupu Merah segera bangkit dari bersilanya. Lalu dihampirinya karang berlobang tadi. Dari jarak dekat wanita awet muda itu meneliti beberapa saat. Dengan hati-hati, tangan kanannya dijulurkan ke bagian dalam lobang. Dan tiba-tiba ditariknya kembali tangan cepat-cepat. Sepertinya dia baru saja merasakan sengatan halilinlar. Dengan wajah terpana, ditatapnya Anggraini.
“Anggraini! Kau telah berhasil mencapai tingkatan puncak ilmu pukulan itu, Anakku!” seru perempuan tua itu, girang.
Anggraini melenggak. Sesaat dia terpaku, seakan tidak percaya dengan ucapan ibunya sendiri.
“Apa kau tak mendengarku? Kau berhasil, Anakku! Berhasil!”
Kupu-kupu Merah Jangsung menghambur ke arah Anggraini. Dipeluknya anak gadis satu-satunya yang masih terpana dengan rangkulan kelewat hangat. Sehingga menyebabkan tubuh Anggraini sedikit terguncang-guncang.
“Ibu tak sedang menghiburku, bukan?” tanya Anggraini masih tak bisa mempercayai kata ibunya barusan.
Tingkat puncak ilmu pukulan ‘Kekuatan Kembar’ memang begitu sulit. Bahkan hampir tidak mungkin didapatkan oleh seorang wanita seperti Anggraini. Bahkan ibunya sendiri sebagai guru tunggalnya tak bisa mencapai taraf itu. Lantas bagaimana gadis ini bisa cepat percaya kalau kini ibunya tiba-tiba berkata kalau tingkatan itu telah berhasil diraihnya?
“Aku tahu kau tak mempercayainya, Anakku. Tapi itu memang terjadi. Selama beberapa keturunan, tak pernah ada orang yang berhasil mencapai tingkatan itu. Baik diriku, kakekmu, atau guru kakekmu. Kecuali, buyut guru yang menciptakan ilmu pukulan itu...,” papar Kupu-kupu Merah bangga tanpa melepaskan rangkulan.
“Tapi, Bu...,” Anggraini coba membantah.
“Tak ada tapi-tapian! Kau telah berhasil, Anakku! Aku patut bangga padamu. Juga kakekmu, ya juga buyut guru,” sergah si ibu menggebu. Segera digandengnya Anggraini, untuk meninggalkan tempat ini.
“Kita harus merayakan keberhasilan ini!” tambahnya sambil mencubit pipi Angraini yang bersemu merah.
Sepeninggalan ibu dan anak itu, dinding karang yang menjadi korban pukulan pamungkas Anggraini tadi mendadak bergetar seperti dilabrak gempa. Bongkahan-bongkahan batu mulai berhamburan jatuh. Lalu retakan-retakan besar tercipta, menyusul sebuah suara desisan amat keras bagai suara jutaan ular yang tergabung menjadi satu, mengiringi merekahnya bagian datar bukit karang di dekat lobang pukulan Anggraini
***
“Ada yang perlu kau ketahui mengenai ilmu pukulan ‘Kekuatan Kembar’. Anggraini,” kata Kupu-kupu Merah membuka percakapan ketika mereka sudah berada dalam gubuk.
“Apa, Bu?” tanya Anggraini meminta jawaban.
Wanita tua tapi masih kelihatan muda itu terdiam, seperti mengingat-ingat sesuatu yang terkubur begitu lama dalam benaknya.
“Sewaktu ilmu itu diwariskan padaku, kakekmu pernah menyebutkan satu pesan yang datang secara turun-temurun dari buyut guru. Katanya, ilmu pukulan itu memiliki suatu ‘kelebihan yang tak pernah terbayangkan oleh pemiliknya jika sudah mencapai taraf puncak. Karena kau telah mencapai taraf itu, kupikir sudah sepantasnya kau mengetahui,” papar Kupu-kupu Merah.
“Kelebihan apa kira-kira, Bu?”
Kupu-kupu Merah menggeleng.
“Aku tak tahu. Dan aku juga tidak bisa menduga,” jawab sang ibu, sedikit pun tak memuaskan anaknya.
“Tapi kau akan segera mengetahuinya nanti. Bersabarlah....”
Wanita tua yang awet muda itu lalu bangkit. Dihampirinya satu sudut ruangan. Di sana, diambilnya sebuah peti kecil yang terkunci rapat.
“Sekarang pula waktunya aku menceritakan padamu tentang suatu hal,” ujar wanita tua ini seraya membawa peti tadi ke dekat Anggraini.
Peti itu diletakkan di lantai gubuk, tepat di depan Anggraini yang tetap duduk bersimpuh. Lalu dengan sebuah kunci, dibukanya kotak berwarna hitam kusam itu. Peti terbuka. Maka terlihatlah seutas cemeti didalamnya. Juga sebuah kalung bermata kepingan perak berbentuk kepala rajawali. Kupu-kupu Merah mengeluarkan kedua benda kuno, dan meletakkannya di pangkuan Anggraini.
“Apa maksud Ibu dengan semua ini?” tanya Anggraini agak terdengar lirih.
Tampaknya gadis itu mulai bisa menduga maksud ibunya dengan semua itu. Kalaupun dia bertanya, sekadar mengungkap ketidak setujuannya.
“Aku telah menurunkan semua ilmu-ilmuku padamu, Anakku....”
“Karena itu Ibu memberikan padaku benda-benda ini?” selak Anggraini, menyampaikan dugaan
kuatnya.
Kupu-kupu Merah mengangguk Iamat. Sebenarnya bukan hanya Anggraini yang tak setuju atas semua hal itu. Dia pun begitu. Tapi, perpisahan bukanlah waktu yang bisa dihindari setiap orang. Sudah waktunya bagi Anggraini untuk merambah dunia persilatan, mengamalkan seluruh kepandaian yang telah dimilikinya untuk kepentingan orang banyak. Dan Kupu-kupu Merah yakin, itu adalah jalan terbaik bagi anak tunggalnya.
“Aku tak mau berpisah dari Ibu,” gumam Anggraini berat.
“Aku tahu, Anakku. Siapa manusia yang sudi berpisah dari orang-orang yang dicintai? Aku pun
sesungguhnya berat berpisah denganmu, darah dagingku. Tapi kau harus menjalani sesuatu yang lebih baik daripada hanya di tempat terpencil ini. Banyak hal menunggumu di luar sana. Banyak orang menanti uluran tanganmu. Juga, banyak pengalaman yang akan memperkaya dirimu agar kau bisa memahami apa arti hidup ini.”
Anggraini mulai terseguk kecil. Sang ibu menjadi trenyuh. Dengan penuh kasih, dirangkulnya gadis ini erat-erat.
“Hidupmu tetap akan berlanjut tanpa aku, Anakku. Jadi, janganlah menjadi takut menghadapinya hanya karena aku tak ada...,” tutur wanita tua itu arif.
“Aku bukan takut menjalani hidup, Bu. Aku hanya takut tidak akan bertemu lagi denganmu...,” keluh Anggraini, di antara isak yang menyentak kecil.
“Sudahlah.... Aku tak mau anakku menjadi gadis rapuh. Kau tak mau mengecewakan ibumu, bukan?”
Anggraini menggeleng dalam pelukan Kupu-kupu Merah.
“Nah! Kalau begitu, tegakkan kepala dan mantapkan tekad. Kau harus jadi gadis berjiwa karang!” ujar sang ibu memberi kekuatan seraya melepas pelukan.
Sementara Anggraini menyeka air mata yang melembapi kedua sisi pipi halusnya, sang ibu diam menunggu. Setelah itu, dia mulai berbicara kembali.
“Dua benda ini ada hubungannya dengan ayahmu. Selama ini, kau selalu menanyakan tentang beliau, bukan? Aku tak bisa menceritakan tentangnya. Dengan benda-benda ini, carilah keterangan tentang ayahmu di luar sana. Apa pun yang kau dapat tentang diri ayahmu, terimalah dengan hati lapang....”
“Kenapa bukan Ibu saja yang menceritakan tentang ayah padaku?” cetus Anggraini.
“Tidak. Itu terlalu sulit bagiku. Kau nanti akan tahu, kenapa aku berkata seperti itu. Hanya, aku hanya bisa mengatakan kalau ayahmu sangat sayang padamu...,” lanjut Kupu-kupu Merah dengan suara melemah.
Dijemputnya cemeti dan kalung perak dari pangkuan Anggraini.
“Bawalah benda ini. Sekali lagi kukatakan. dengan benda ini carilah segala hal tentang ayahmu.”
Anggraini menerima dua benda pemberian ibunya dengan garis-garis bening di mata.
***
Dua hari kemudian, gadis yang beranjak matang itu telah berdiri mematung di bukit karang, tempatnya biasa latihan bersama sang ibu. Untuk yang terakhir kalinya, dinikmatinya tempat yang menyimpan kenangan bertahun-tahun ini. Sebuah tempat di mana dirinya dibesarkan. Tempat yang penuh tantangan hidup, namun sudah menjadi bagian dari dirinya sendiri.
Tak berapa lama kemudian, gadis ini menghampiri dataran cadas yang membentang di balik bongkahan karang raksasa. Ketika tiba di pelataran latihan alam itu, Anggraini menjadi terkejut. Tampak tempat tersebut dalam keadaan porak poranda. Batu-batu besar berserakan tak menentu. Dinding cadas dilantak retakan-retakan besar.
“Mungkinkah ada gempa?” bisik gadis itu.
Tapi, tak mungkin gempa. Gempa tak mungkin menciptakan lobang seperti galian sumur dengan garis lingkaran yang begitu bulat, seperti dilihatnya pada pelataran latihan, tepat di bawah bagian dinding cadas yang terkena pukulannya beberapa hari lalu.
“Ada apa ini sebenarnya?” gumam Anggraini kembali.
Saat selanjutnya, naluri gadis ini mcmperingati. Bahaya besar akan dalang! Sekilas dari peringatan nalurinya, terdengar sebentuk desisan mengerikan yang demikian santer....
“Zzz...!”
Anggraini tercekat. Dengan serta merta, tubuhnya berbalik ke arah suara tadi. Matanya tiba-tiba membesar, bibirnya ternganga dan wajahnya berubah memucat manakala menyaksikan sesuatu di belakangnya. Sesuatu yang ‘tak pernah terbayangkan!.
***
Siapa pun akan terperangah menyaksikan dengan mata kepala sendiri suatu yang tak pernah terlintas dalam benak. Persis keadaan Anggraini saat ini. Apa yang disaksikan gadis itu adalah seekor ular raksasa! Besar tubuhnya dua kali ukuran kerbau dewasa. Dan panjangnya, lebih dari dua puluh tombak! Sisiknya kasar bagai serpihan karang, berwarna hitam keperakan serta berlendir. Hanya pada bagian kepalanya saja bebas dari cairan kental menjijikkan itu. Jika dilihat sekilas, kepala ular raksasa itu mirip kepala seekor naga. Pada bagian telinganya terdapat sebentuk sirip tajam. Mulutnya pun besar bertaring. Sedangkan matanya berwarna merah tua.
Tepat sekali pesan dari Kupu-kupu Merah pada saat hendak melepas anaknya dua hari lalu, bahwa pencapaian tingkat pamungkas ilmu pukulan ‘Kekuatan Kembar’ yang dicapai Anggraini akan membuahkan sesuatu yang tak pernah terbayangkan! Ular raksasa itu memang muncul, karena pengaruh kekuatan pamungkas ilmu pukulan milik Anggraini. Binatang raksasa ini adalah makhluk tua berusia ratusan tahun. Kekuatan pukukan Anggraini, telah mengusik tidurnya dalam perut bumi setelah seratus lima puluh tahun. Dulu, manakala buyut guru Anggraini menciptakan ilmu pukulan ‘Kekuatan Kembar’, si ular raksasa pun tiba-tiba muncul di luar perhitungannya.
Entah karena tak ingin dimangsa atau karena begitu terkejut, buyut Anggraini melepas pukulan ciptaannya ke tubuh binatang langka itu. Tak ayal lagi, terjadilah pertarungan amat dahsyat antara dua makhluk berbeda. Berhari-hari mereka bernafsu hendak saling menjatuhkan. Sampai akhirnya si ular raksasa dapat ditundukkan lelaki sakti buyut Anggraini.
Sepeninggalan lelaki itu, si ular raksasa menghilang kembali ke dalam perut bumi. Bersemadi kembali seperti seorang pertapa tua. Kalau ada seorang yang sanggup mengusiknya kini, itu karena pengaruh ilmu pukulan ‘Kekuatan Kembar’ yang sampai padanya jauh di bawah bumi.
Jika begitu, mungkin si ular raksasa akan segera jinak pada Anggraini karena sama-sama memiliki ilmu pukulan ‘Kekuatan Kembar’ seperti buyut gurunya. Kemungkinan lain pun bisa saja terjadi. Biar bagaimanapun, hewan tetaplah hewan. Memiliki naluri yang begitu peka, sehingga mampu membedakan sang tuan atau bukan.
Dengan amat mengerikan, binatang raksasa itu mulai merayap menuju Anggraini. Gesekan kulitnya yang tebal dengan dataran karang, menimbulkan bunyi keras. Mulut bertaringnya tak henti-henti mendesis. Sesekali lidahnya terjulur keluar seperti hendak langsung menyambar tubuh Anggraini, lalu menyeretnya mas uk ke dalam mulut sebesar goa itu.
“Zzz! Zzz...!”
“Ya, Tuhan.... Makhluk apa ini?” gumam Anggraini nyaris mendesis karena begitu bergidik.
Namun kengerian gadis ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut, kalau tidak ingin menjadi sasaran empuk si ular raksasa. Karena, saat itu juga ular ini menyerang dengan ganas. Kepala ular raksasa itu membuat gerakan mematuk. Bersamaan dengan itu, mulutnya menganga lebar, memperlihatkan rongganya yang berlendir. Disertai seruan kaget, Anggraini melenting gesit ke udara. Tindakan itu cukup mampu menyelamatkan dirinya. Nyatanya, kepala ular raksasa ini hanya lewat sekian jengkal di bawah kakinya. Luputnya serangan pertama. kembali dating serangan susulan. Tubuh lentur hewan ini meliuk. Dan ekornya pun menyabel deras kedepan. menyerbu tubuh Anggraini di udara.
Wuk!
“Aaaih!”
Penggodokan selama bertahun-tahun di bawah bimbingan ibunya, tak sia-sia. Tanpa banyak berpikir lagi, Anggraini membuat putaran darurat dengan menggulung tubuhnya. Sekali lagi, terjangan ganas binatang mengerikan ini dapat dilumpuhkan. Untuk kali ini, Anggraini tak puas hanya mementahkan serangan. Dia pun merasa harus membalas. Itu jalan terbaik baginya. Karena pada saat itu, hanya ada dua pilihan bagi gadis itu. Membunuh atau dibunuh!
“Hiaaa!”
Srat-wut!
Satu gerakan gesit dibuat Anggraini. Busur yang sejak tadi hanya menggelantung di bahu, langsung diloloskan. Secepatnya pula senjata itu dihantamkan ke belakang kepala si ular raksasa.
Prak!
Besarnya tubuh hewan itu membuat Anggraini bisa telak mendaratkan hantaman busurnya. Tapi walau tindakan itu dilakukan dengan satu pengerahan tenaga dalam, nyatanya si ular raksasa tak mengalami akibat yang berarti. Ular besar itu hanya menggeliat sekali, lalu membalikkan kepalanya ke arah Anggraini. Seolah-olah pukulan tadi hanya berupa gigitan seekor nyamuk baginya. Kenyataan itu benar-benar sempat mengecutkan nyali gadis dari Tanah Buangan.
“Tuhan.... Apakah aku benar-benar mampu menghadapi binatang mengerikan ini?” keluh Anggraini, setelah mencoba membuat jarak yang cukup aman dari lawan anehnya.
Belum lagi puas mengambil napas, ular raksasa itu mulai lagi mematuk deras. Karena begitu besar, patukannya menimbulkan angin kuat. Untuk kesekian kalinya, Anggraini berkelit jauh-jauh. Tak seperti sebelumnya, patukan kali ini rupanya dilandasi kemarahan ular raksasa atas tindakan Anggraini yang menghajar bagian belakang kepalanya. Dengan begitu, kekuatan serangan pun makin berlipat ganda.
Akibatnya, angin deras yang tercipta pun kian besar. Meski Anggraini berhasil luput dari terjangan kepala, tak urung angin hasil gerakan buas si ular raksasa menerpanya. Keseimbangannya jadi hilang. Pada saat kakinya berusaha mencari pijakan yang kuat, ekor hewan itu melepas lecutan secepat kilat.
Wuk! Des!
Tak ayal lagi tubuh Anggraini terlontar ke belakang, seperti sebongkah batu yang dilemparkan sepenuh tenaga! Kalau saja tak memiliki ketahanan luar biasa, saat itu juga tubuhnya akan remuk-redam. Atau, paling tidak akan kehilangan kesadarannya. Untunglah hal itu tidak terjadi.
Meski dengan dada terasa dihantam godam ratusan kali, gadis putrid tunggal Kupu-kupu Merah itu masih mampu membuat putaran tubuh di udara, agar kepalanya tak hancur dilantak dinding karang. Setelah menahan luncuran tubuh dengan kakinya, Anggraini mendarat agak payah. Sebelah tangannya memegangi dada. Sementara dari kedua sudut bibirnya, mengalir cairan merah.