Part 8
“Tak perlu dijelaskan!” terabas seseorang, memenggal ucapan Andika.
Rase Tua Kembar muncul pula di sana.
“Kau pikir, kami tak memperhatikan segala gerak-gerikmu, Pendekar Slebor. Sejak semula kami curiga. Kami, terus memperhatikanmu. Sampai kau mendatangi Purwasih dan membebaskannya. Kami juga tahu tentang topeng jelekmu itu!” semprot si nenek berkaki kutung.
“Maksudmu, pemuda gundul ini adalah Pendekar Slebor yang sedang menyamar?” selak si Perut Gendang.
“Ya! Apa kau meletakkan otakmu di dengkul, Buncit?! Masa’ kau sama sekali tak curiga sewaktu dia mengalahkan kita, saat adu tenaga dengan sabuk mu!” si nenek buta ikut ambil bagian.
“Jadi kalian waktu itu membantuku? Dan, kita dikalahkan?” tanya si Perut Gendang lagi, meminta kejelasan.
“Ah, sudah! Jangan banyak tanya lagi, Buncit! Sekarang kita harus membabat habis manusia yang menjadi penghalang besar usaha kita!” putus si kutung.
“Ya! Akan kita habisi riwayat Pendekar Slebor!”
Seseorang ikut pula melontarkan ucapan. Dari kejauhan, terlihat sosok Manusia Dari Pusat Bumi. Manusia jelmaan siluman itu berjalan menghampiri dengan langkah-langkah lambat, namun penuh ancaman. Setibanya di dekat Rase Tua Kembar, pemuda bertaring itu menghentikan langkah. Dilemparnya pandangan menusuk ke arah Andika.
“Untuk apa lagi topeng busuk itu?!” sentak Manusia Dari Pusat Bumi.
Andika tak bisa berbuat lain. Kedoknya sudah terbuka. Karena itu, sudah tak ada gunanya lagi menggunakan topeng Gulili.
Srat!
Andika melepas topeng, sekaligus melorotkan baju putih serta selendang di lehernya. Dengan baju itu, Andika kemudian menyapu tangan dan lehernya yang dihitamkan dengan sejenis getah. Dan kini, Andika berdiri dengan penampilan aslinya.
“Sekarang, kalian bisa melihat ketampanan asliku, bukan?” seloroh Andika. Maksudnya, sekadar memancing kejengkelan para lawan.
Keempat tokoh sesat itu tidak tampak gusar. Mereka terlalu banyak makan asam-garam dunia persilatan untuk cepat terpancing hanya oleh perkataan seperti tadi. Pada Rase Tua Kembar dan si Perut Gendang, mata Manusia Dari Pusat Bumi melempar isyarat. Diperintahnya mereka untuk segera menghabisi Pendekar Slebor. Untuk menghadapi seorang pendekar yang diyakini sebagai penghalang utama, Rase Tua Kembar dan si Perut Gendang tak mau lagi main-main. Mereka langsung saja mengeluarkan ilmu andalan masing-masing.
Rase Tua Kembar mengerahkan ajian ‘Rambut Liang Lahat’. Yang akan mampu melepaskan ulat-ulat ganas dan rakus berukuran sangat halus. Keganasan ulat-ulat kecilnya, sanggup menembus tubuh seseorang seperti percikan bara api menembus lilin. Semakin banyak ulat itu mengenai tubuh, maka semakin hancur tubuh yang terkena. Seperti ulat-ulat di liang kubur yang memakan jasad mayat dengan amat rakus!
Sedangkan si Perut Gendang mengerahkan ajian ‘Hawa Neraka’. Disebut begitu, karena ajian ini sanggup menghasilkan gelombang panas luar biasa yang tercipta dari perut besarnya. Gelombang panas tersebut mampu membuat tubuh seseorang kering dalam setarikan napas, seperti keringnya daun di musim kemarau.
“Hiiiaaah!”
Wrrr!
Disertai jeritan berbarengan, Rase Tua Kembar melepas ikatan rambut masing-masing. Rambut putih mereka tergerai cepat. Meski tak ada angin cukup kencang, namun rambut putih yang kenyal dan gempal itu tampak bergerak-gerak. Ratusan binatang kecil yang menempatinya, tentu menjadi penyebab. Setiap delapan purnama, ulat-ulat kecil itu berkembang biak menjadi dua kali lipat. Untuk kelangsungan hidup binatang-binatang kecil ganas itu, Rase Tua Kembar memberi makan dengan darah bayi yang baru saja dilahirkan. Itu sebabnya, banyak terdengar dukun tua buta melarikan bayi dari rahim seorang ibu yang dibunuhnya dengan keji. Pelakunya
tentu saja si nenek buta, saudara kembar nenek berkaki kutung.
Selanjutnya, si nenek berkaki kutung di atas bahu saudara kembarnya memutar-mutar rambut. Dengan cara itu, dia sedang menghimpun tenaga. Jika rambutnya nanti dilecutkan, maka tenaga yang terpusat di bagian kepala akan melontarkan ulat-ulat ganas yang lebih kuat menembus daripada belati! Sementara si nenek kutung memutar-mutar rambut, saudara kembarnya maju selangkah demi seIangkah. Telinganya yang tajam mampu menangkap dengus napas Andika, hingga mampu menentukan letak lawan berada.
Di bagian lain kancah, si Perut Gendang sudah siap dengan ‘Hawa Neraka’nya. Setelah mengatur napas, dan dia menyalurkan udara ke dalam perut, lalu menghemposnya perlahan. Kedua tangannya menekan kedua sisi perutnya yang besar dengan jari-jari terkepal kuat. Setelah beberapa kali mengatur napas, kulit perutnya mulai mengepulkan asap putih tipis. Itulah tanda kalau ajian sesatnya telah waktunya untuk dihentakkan keluar, membentuk angin pukulan panas dari lobang pusatnya.
Karena lawan mendekat dari arah berbeda, Andika dan Purwasih pun menyatukan punggung. Pendekar Slebor siap dengan kuda-kudanya menghadap Rase Tua Kembar. Sedangkan, Purwasih menghadap si Perut Gendang. Jarak antara mereka dengan lawan makin dekat. Saat tinggal empat tombak lagi jarak mereka, seseorang tiba-tiba meluncur turun ke tengah-tengah arena. Dan orang itu langsung berdiri di sisi Andika dan Purwasih.
Purwasih cepat menoleh ke arah orangyang baru datang. Betapa terkejut gadis ini. Ternyata orang yang datang sulit dibedakan dengan pemuda yang berdiri membelakanginya. Amat mirip Andika! Tak hanya gadis itu yang mengalami keterkejutan. Rase Tua Kembar, si Perut Gendang dan Manusia Dari Pusat Bumi pun begitu.
“Aku tak mengerti,” desis Purwasih, terheran-heran.
“Kau tak perlu mengerti sekarang ini, Purwasih,” kataAndika yang baru datang.
“Karena, kita harus menghadapi manusia-manusia busuk ini.”
Andika yang kedua lalu tersenyum penuh arti pada Andika pertama. Lambat laun, Manusia Dari Pusat Bumi menyadari kalau di antara dua Pendekar Slebor, salah satunya adalah yang asli. Persoalannya kini, siapa di antara mereka yang asli?
“Kenapa kau jadi terdiam seperti itu, Manusia Dari Pusat Bumi?” usik Andika kedua, mengejek.
Manusia Dari Pusat Bumi menggeram. Sebagai seorang setengah siluman, dia pun sulit membedakan, mana Pendekar Slebor yang sesungguhnya.
“Baik! Kau akan kuberi kemudahan untuk menentukan, siapa di antara kami yang asli,” kata Andika pertama.
Seraya berkata, tangan Pendekar Slebor menarik rambut panjangnya ke depan. Lalu terkelupaslah topeng yang dikenakan.Ternyata, dia adalah Raja Penyamar! Jadi selama ini, Purwasih telah terpedaya oleh kehebatan menyamar Raja Penyamar. Juga keempat tokoh sesat yang ditipunya dengan topeng Gulili. Dengan begitu, Raja Penyamar memakai dua topeng sekaligus.
Manakala melihat wajah orang di balik topeng, Rase Tua Kembar dan si Perut Gendang tak bisa lagi menyembunyikan ketakutan mereka. Raja Penyamar, bagi mereka adalah salah seorang sesepuh golongan putih yang telah lama menghilang. Sebelum mereka bisa menempati jajaran atas golongan sesat, Raja Penyamar sudah lama malang melintang membabati tokoh-tokoh atas golongan sesat.
Bagi Rase Tua Kembar atau si Perut Gendang, hanya cari mati jika harus berhadapan dengan lelaki tua sesepuh golongan putih itu. Bisa selamat dalam pertarungan dengannya saja, sudah terlalu bagus.
“Ada apa, Kutung? Kenapa kau tampak begitu bergetar?” tanya si buta pada saudara kembarnya. Dia belum mengetahui wajah di balik topeng pemuda tampan selama ini.
“Kau tentu tahu seorang yang menjadi malaikat maut bagi tokoh golongan sesat saat kita masih hijau?” bisik si nenek kutung.
“Ra.... Raja Penyamar?” desis si nenek buta tergagap.
“Ya! Dialah orang yang menyamar menjadi Pendekar Slebor! Pantas saja waktau itu kita dapat mudah dikalahkan saat membantu si Perut Gendang mengadu kekuatan....”
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya si nenek buta, bimbang.
“Kau pikir, kita harus menghadapinya?!” hardik si kutung tertahan.
“Itu sama saja cari mampus. Lebih baik, kita cepat menyingkir!”
“Tapi bagaimana dengan Sang Angkara?”
“Peduli setan dengan dia. Kita pun belum tentu bisa mengandalkan kehebatannya, agar bisa selamat dari tangan Raja Penyamar! Bukankah kita belum tahu, apa dia lebih hebat daripada Raja Penyamar?!”
“Jadi kita lari?”
“Ayo, tunggu apa lagi?!”
Dan tanpa ada perintah dari siapa pun, Rase Tua Kembar membuat langkah seribu. Tak dipedulikannya lagi Manusia Dari Pusat Bumi yang telah mengangkat mereka menjadi pengikut. Mereka lebih gentar pada nama besar Raja Penyamar.
Melihat Rase Tua Kembar melarikan diri, si Perut Gendang kehilangan keberanian. Tak ada tiga tarikan napas, lelaki berperut boros itu pun ikut buron. Seperti juga Rase Tua Kembar, si Perut Gendang amat tahu kehebatan Raja Penyamar.
“Kalian manusia bodoh!” maki Manusia Dari Pusat Bumi, amat geram.
Tak dibiarkannya para pengikut berkhianat begitu saja. Baginya hal itu merupakan penghinaan teramat besar. Maka tanpa banyak tindak lain, tangan Manusia Dari Pusat Bumi terangkat tinggi-tinggi lebih cepat dari gerak lari para pengikut pengkhianatnya. Dalam sekejap, muncul cermin yang begitu diandalkannya.
Slash!
Seberkas cahaya merah bara berkelebat dan langsung menyelubungi Rase Tua Kembar dan si Perut Gendang. Kekuatan gaib yang terkandung di dalamnya membuat tokoh-tokoh sesat itu mematung seketika!
“He he he! Sang Angkara tidak mau ditinggal para patihnya!” cemooh Andika.
Pendekar Slebor baru tiba, setelah melaksanakan petuah Sang Pangeran jelmaan Walet beberapa hari belakangan. Semuanya memang telah diatur Andika. Raja Penyamar setuju, agar jasadnya disiram air mukjizat yang ditemukan Andika. Setelah itu, penyakit yang merusak jasad Raja Penyamar cepat menghilang. Raja Penyamar pun dapat kembali menempati raganya yang telah pulih. Dengan seizin Sang Penguasa Makhluk, lelaki tua itu bisa hidup kembali! Dengan hidupnya Raja Penyamar, Andika memintanya untuk menyamar agar bisa mengawasi setiap gerak-gerik Manusia Dari Pusat Bumi. Sementara itu, Andika mencoba menjalani semadi ‘penyempurnaan kalbu’ sesuai petuah Sang Pangeran. Rencananya memang membawa hasil. Mereka bisa menggagalkan niat busuk Manusia Dari Pusat Bumi yang hendak menjadikan Purwasih sandera!
“Kau akan mampus di tanganku, Pendekar Slebor. Jangan kau harap aku akan lari setelah berhadapan denganmu. Meskipun, aku belum lagi tahu kelemahanmu!” ancam Manusia Dari Pusat Bumi.
“Kau jujur rupanya. Mau-maunya mengaku belum mengetahui kelemahanku,” ledek Andika lagi.
“Tak usah banyak mulut. Hiaaa!”
Seiring satu teriakan tinggi membelah langit, Manusia Dari Pusat Bumi langsung melancarkan serangan membabibuta ke arah Pendekar Slebor. Seluruh kekuatan yang dibekali dari alam kegelapan dikerahkannya saat itu juga.
Deb!
Tubuh Sang Angkara melayang dengan kaki lurus ke depan, mengancam leher Pendekar Slebor. Tapi, dengan satu gerak ke samping, Andika berhasil mengelitkan serangan. Satu tinju berisi kekuatan warisan Pendekar Lembah Kutukan dilancarkan ke selangkangan Manusia dari Pusat Bumi. Dengan tubuh masih di udara, Sang Angkara memapak tinju Pendekar Slebor dengan sepasang telapak tangan.
Tagh!
Saat itulah, Andika merasakan sebagian kekuatannya terserap. Rupanya Sang Angkara telah memulai sebentuk ilmu hitam dari alam siluman. Ilmu yang mampu menyedot tenaga tempur lawan, yang mampu membuat lawan perlahan-lahan terisap habis tiap kali satu pukulan atau serangan bersentuhan dengan tubuhnya. Ilmu itu, pernah pula ditumpangi ke dalam goa garba Andika saat tak sadarkan diri. Lelaki Berbulu Hitam, Pendekar Dungu serta Purwasih yang berusaha menyadarkan Andika, menjadi tersedot tenaganya saat itu (Untuk lebih jelasnya, baca episode : “Pengadilan Perut Bumi”).
Sebelum Andika sempat menyadari apa yang terjadi, Manusia Dari Pusat Bumi telah menyusul satu keprukan telapak tangan ke masing-masing telinga. Mau tak mau, Pendekar Slebor mengangkat tangan ke sisi telinga.
Prak!
Terjadi kembali benturan tangan. Dan itu justru yang diharapkan Manusia Dari Pusat Bumi. Dengan bertemunya tangan mereka kembali, tenaga Andika tersedot pula. Maka, keadaan itu jelas amat menguntungkan Manusia Dari Pusat Bumi. Di samping kekuatan lawan melemah, dia justru mendapat tambahan tenaga.
Sadar Sang Angkara mengeluarkan ilmu hitam yang terus menyedot tenaga setiap kali pertumbukan bagian tubuh, Andika segera mengubah siasat tarungnya. Tubuhnya segera berputar ke belakang. Sekitar tujuh tombak dari tempat semula, putaran tubuhnya dihentikan. Lalu kakinya menjejak kukuh di muka bumi. Dan....
“Heaaa!”
Serangkai gerakan ganjil dan tampak tak beraturan pun diperlihatkan Pendekar Slebor. Itulah kekhasan jurus-jurus yang tercipta di Lembah Kutukan selama menjalani penyempurnaan. Jurus yang lahir begitu saja karena tuntunan sambaran lidah petir! Siasat apa yang sesungguhnya akan dijalankan Pendekar Slebor untuk menghadapi ilmu sesat lawan?
Disiapkannya jurus ‘Mengubak Hujanan Petir’. Sebuah jurus yang mengandalkan kecepatan gerak. Pada puncak jurus, kecepatannya bahkan membuat tubuh Pendekar Slebor sudah seperti bayangan yang berkelebat ngawur. Dengan jurus itu, Pendekar Slebor akan terus menghindari pertumbukan dengan tubuh lawan. Sementara itu mengadakan penyerangan, senjata pusaka yang berbentuk kain bercorak catur akan dipergunakan.
Cletar! Wush!
Pada saat Manusia Dari Pusat Bumi merangsek ganas, Pendekar Slebor pun meluncur dengan kecepatan warisan Pendekar Lembah Kutukan yang amat disegani di seantero dunia persilatan. Keduanya meluruk pesat dalam arah berlawanan.
“Khiaaah!”
Cletar! Srel!
Bagai dua kelebat bayangan, kedua tubuh itu menyatu di satu titik. Sekejap dua bayangan itu tampak menyatu dalam pusaran angin puting beliung yang menerbangkan dedaunan, kerikil, bahkan batu-batu sebesar kepalan tangan. Lewat dari kejapan itu, sesosok bayangan tiba-tiba mencelat keluar berkawal erangan menggiris.
“Wuaaa!”
Siasat Pendekar Slebor membawa hasil. Tenaganya tak lagi dibiarkan tersedot. Sebaliknya, kain pusaka bercorak catur di tangannya telah pula membabat dada Manusia Dari Pusat Bumi, hingga terpaksa harus melompat jauh-jauh ke belakang.
“Ini belum berarti kemenangan, Pendekar Slebor!” desis Manusia Dari Pusat Bumi dalam jarak delapan tombak dari tempat Andika.
Usai berkata penuh tekanan, Sang Angkara mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
“Andika! Dia hendak mengeluarkan Cermin Alam Gaibnya!” seru Raja Penyamar, memperingati.
Sesungguhnya, saat seperti itulah yang ditunggu-tunggu Pendekar Slebor. Dia tak akan bisa memusnahkan tugas membangun angkara murka yang diemban Manusia Dari Pusat Bumi, selama senjata andalannya masih utuh. Untuk itu, dia bertekad menghancurkannya!
Benar saja peringatan Raja Penyamar. Dalam sekejap, tangan kanan Sang Angkara sudah menggenggam sebuah cermin bulat yang dikenal sebagai Cermin Alam Gaib.Kesempatan itu ditangkap mata jeli Andika. Jarak delapan tombak, tergolong tak jauh dijangkau jika dikerahkannya seluruh kecepatan puncak warisan Pendekar Lembah Kutukan. Sebelum sempat menyadari, Manusia Dari Pusat Bumi tentu akan kehilangan cerminnya. Begitu kira-kira pertimbangan Andika. Dan....
Wusss!
Tanpa perlu berteriak yang dapat mengundang perhatian lawan, Pendekar Slebor menggenjot puncak kecepatannya. Tubuhnya melesat lebih cepat daripada angin, menuju Manusia Dari Pusat Bumi.
“Andika! Jangan!” seru Raja Penyamar untuk kedua kalinya.
Peringatannya kali ini rupanya terlambat. Kecepatan Pendekar Slebor mungkin lebih cepat daripada kata-katanya sendiri. Lalu....
Blarrr!
Sebentuk medan kekuatan berbentuk lingkaran api kontan menghadang usaha Pendekar Slebor merebut Cermin AJam Gaib. Dari cermin itu pula medan kekuatan lingkaran api bersumber.
“Waaa!”
Pendekar Slebor kali ini telah salah perhitungan. Begitu membentur medan kekuatan lawan, lesatan tubuh pemuda itu langsung berbalik arah. Teriakan menyayatnya tercipta, menyusul bunyi ledakan. Pendekar Slebor jatuh meninju bumi di dekat Raja Penyamar.
“Andika! Kau salah langkah! Cermin itu tak bisa dikalahkan dengan nafsu! Apa kau lupa petuah...,” kata Raja Penyamar menasihati tanpa mendekat.
“Petuah Sang Pangeran...,” desis Pendekar Slebor, menyambung kalimat Raja Penyamar. Barulah pemuda itu tersadar, telah melakukan kesalahan.
“Kukira, setelah aku menjalani semadi, aku akan bisa langsung merebut cermin itu,” kata Andika.
“Tapi, rupanya aku salah paham. Semadi itu justru untuk melatih bertahan menghadapi serangan Manusia Dari Pusat Bumi. Bukan melakukan serangan....”
Dengan cepat Andika memperbaiki sikap tubuhnya. Pendekar Slebor bangkit dengan darah membanjiri pakaian, yang keluar dari mulut dan hidungnya. Dengan kaki agak terentang, kedua telapak tangannya disatukan di depan dada. Matanya terpejam. Perlahan sinar wajahnya menjadi begitu teduh dan damai.
Pendekar Slebor telah mencapai taraf ‘Menyucikan Kalbu’ dalam semadi singkatnya. Seluruh keinginan telah pupus. Indranya bahkan tak menangkap isyarat apa-apa, kecuali keheningan yang maha luas. Dirinya telah menyatu dengan alam.
Saat itulah Manusia Dari Pusat Bumi yang begitu bernafsu menghabisi Pendekar Slebor, melepas sehimpun kekuatan hitam dari cerminnya.
Siiing!
Bunyi tinggi berdengung meluruk cepat menuju Andika. Ketika bunyi itu tiba di sasaran, terbentuklah sebuah lingkaran cahaya warna-warni menyilaukan. Mata Raja Penyamar dan Purwasih yang menyaksikan kejadian, tak kuat menahan silaunya cahaya itu. Dari serat-serat cahaya warna-warni itu, bermunculanlah tangan-tangan besar berbulu. Semuanya menghantam Andika dari berbagai penjuru. Sehingga memaksa tubuh tegap perkasa pemuda itu terhempas kian kemari.
Pendekar Slebor sendiri seperti tak merasakan seluruh hantaman bertubi-tubi yang dahsyat itu. Tubuhnya masih tetap dalam keadaan semula, meski terseret ke mana-mana. Sementara wajahnya tetap membersitkan keteduhan dan kedamaian.
Manakala hantaman ratusan tangan ganjil itu makin gencar merejam tubuh Pendekar Slebor, langit di atasnya tiba-tiba ditutup mega mendung yang pekat. Lalu....
Slat... glar!
Lidah api menyilaukan mendadak menerabas lingkaran serat warna-warni melebur. Bunga api raksasa seketika membersit. Lidah api alam itu pun menghujam tubuh Andika. Mendadak tubuh Pendekar Slebor bergetar hebat, seperti tak kuasa menerima satu bentuk siksaan amat kejam. Sepasang tangannya yang semula menyatu, kini menghentak-hentak ke depan. Dan....
“Aaa...!”
Blasss!
Desis petir tersembul dari sepasang telapak tangan Pendekar Slebor, menyambar langsung kearah Cermin Alam Gaib yang sedang teracung tinggi-tinggi di tangan Sang Angkara.
Ctarrr!
Bumi tiba-tiba hening. Awan gelap bergulung di atas Andika telah sirna. Ratusan tangan ganjil itu pun menghilang ditelan kelengangan. Delapan-sembilan tombak di depan Andika yang masih berdiri bisu, terdapat setumpuk abu hitam yang mengepulkan asap tipis. Kekuatan petir yang terserap tubuh Pendekar Slebor, telah memanggang tubuh Manusia Dari Pusat Bumi.
Tapi tak ditemukan bekas-bekas sebuah cermin di sana. Lantas, ke mana cermin terkutuk itu sebenarnya?
Di langit, seberkas cahaya merah darah melayang cepat bagai bintang jatuh. Sayup-sayup, masih terdengar suara menggema yang timbul tenggelam di langit bebas, mengancam Pendekar Slebor!
Menyusul hancurnya Manusia Dari Pusat Bumi, Rase Tua Kembar serta si Perut Gendang kontan tertebas dari belenggu tanpa wujud. Mereka melanjutkan niat untuk melarikan diri. Bahkan kali ini jauh lebih terbirit-birit manakala mereka menyaksikan tubuh pemimpin baru mereka tinggal berwujud setumpuk debu.
S E L E S A I