Part 6
Uji tanding yang diberlakukan Manusia Dari Pusat Bumi telah selesai. Rase Tua Kembar maupun si Perut Gendang dapat bertahan dalam sepeminunan teh. Dan itu berarti, mereka dinyatakan pantas untuk bergabung dengan si manusia jelmaan siluman. Meski merasa telah dihina oleh seorang pemuda bau kencur yang baru dikenal, tiga tokoh sesat kawakan itu tak bisa menolak rencana Manusia Dari Pusat Bumi. Mereka toh, harus mengakui hebatnya kepandaian pemuda bertaring itu. Dengan kenyataan ini, mereka berpikir tentu akan mendapat banyak keuntungan jika bergabung, walaupun harus berada di bawah perintahnya.
Satu orang lagi yang tersisa, juga lolos dari uji tanding. Dialah pemuda hitam berkepala gundul yang sama sekali tidak dikenal. Namun begitu, suatu kejutan sempat dibuat pemuda berkulit hitam itu. Sebelum waktu yang ditentukan Manusia Dari Pusat Bumi habis saat uji tanding, dia sempat memasukkan sebuah hantaman telak kedada lawan. Padahal, Rase Tua Kembar maupun si Perut Gendang belum bisa melakukannya. Hal itu cukup membuat ketiga tokoh sesat itu agak terperangah. Sekaligus pula, memancing pertanyaan dalam diri masing-masing. Siapa sesungguhnya pemuda berkulit hilam itu? Hanya karena kesombongan sebagai tokoh jajaran atas, yang membuat mereka menyimpan saja rasa penasaran masing-masing.
“Di bawah perintahku, kalian akan menemukan kekuasaan. Bahkan harta yang melimpah,” kata Manusia Dari Pusat Bumi, sesuai uji tanding.
“Ini bukan sekadar janji. Karena dalam waktu dekat, semua itu akan kalian peroleh. Mengabdilah padaku!”
Keempat tokoh sesat yang mengelilingi Manusia Dari Pusat Bumi memperhatikan setiap kata yang diucapkannya bagai tertenung. Ada semacam daya cengkeram yang kuat dalam ucapan si manusia jelmaan siluman itu. merasuk langsung ke dalam nafsu masing-masing.
Mata harimau Manusia Dari Pusat Bumi menatap mereka satu persatu, menusuk dan bengis.
“Aku akan memberi pilihan pada kalian. Kekuasaan dan harta melimpah seperti kukatakan tadi, atau kalian mati mempertahankan harga diri!” tandas Manusia Dari Pusat Bumi seperti ingin memastikan kehendak orang-orang taklukannya. Bisa jadi, juga hanya. karena ingin menunjukkan kalau dirinya tak bisa ditentang.
Rase Tua Kembar, si Perut Gendang, dan si pemuda hitam tak bicara apa-apa. Sudah jelas bagi mereka, apa yang lebih penting dalam hidup ini. Menurut orang-orang zalim seperti mereka, harga diri tak lebih berharga dari kekuasaan atau harta. Jika mereka punya kekuasaan serta harta sekaligus, harga diri orang lain pun akan mudah diinjak-injak.
Manusia Dari Pusat Bumi menyeringai. Dari pita tenggorokannya tercipta suara tawa tertahan.
“Aku tahu, kalian tak akan memilih harga diri.Sebab. Jika kalian lebih mementingkan itu, sudah sejak dulu kalian meninggalkan dunia hitam!”
Lelaki berjiwa iblis itu kemudian mengangkat sebelah tangannya. Seperti terjadi sebelumnya, dari tangan itu mendadak muncul Cermin Alam Gaib. Seolah-olah, benda itu telah jadi bagian dari dirinya. Cahaya matahari menerjang permukaan cermin, lalu terpantul tajam ke wajah-wajah empat manusia sesat taklukan Manusia Dari Pusat Bumi.
“Demi kekuatan alam kegelapan cermin ini, kalian kuangkat menjadi pengikutku! Kalianlah kaki tangan Sang Angkara!” teriak Manusia Dari Pusat Bumi mengguntur.
Tepat pada akhir kalimat, petir mendadak menyalak di angkasa, menerobos langit yang sebenarnya tak mengizinkan hadirnya petir. Mungkin alam sedang mengutuk kejadian itu, atau para makhluk durjana sedang berseru gembira.
“Jadi, apa yang mula-mula akan kita lakukan...?” tanya si Perut Gendang.
“Panggil aku Sang Angkara!” hardik Manusia Dari Pusat Bumi.
“Apa yang akan kita lakukan, Sang Angkara?” ulang si lelaki berperut buncit, menyadari kesalahan.
Manusia Dari Pusat Bumi mengedarkan pandangan kembali.
“Selaku kaum sesat, kita selalu memiliki musuh. Mereka yang mengaku dirinya sebagai abdi Sang Kebenaran, selalu berdiri menghadang gerak kita...,” sahut Manusia Dari Pusat Bumi.
Manusia Dari Pusat Bumi terdiam sesaat.
“Di antara mereka, ada satu orang yang benar-benar akan menjadi penghalang besar!” lanjut tokoh yang ingin dipanggil Sang Angkara berapi-api.
“Seorang pemuda yang memiliki ‘bakat suci’ dalam dirinya, lahir di dunia persilatan lalu membuat kegemparan....”
Ketika memenggal untuk kedua kali ucapannya, keempat tokoh sesat yang lain sudah bisa menduga siapa yang sedang dibicarakan manusia jelmaan siluman itu.
“Aku rasa, aku tahu siapa yang kau maksud, Sang Angkara,” selak si perempuan berkaki kutung.
“Aku tahu, kau tahu. Aku pun tahu, jika kalian tahu siapa orang yang kumaksud. Dia memang tak asing lagi bagi kaum sesat. Karena, dialah tombak besar yang menancap tepat di dada kita.... Pendekar Slebor!” sentak Manusia Dari Pusat Bumi, sarat kegeraman.
Keempat tokoh sesat yang kini telah menjadi pengikut Manusia Dari Pusat Bumi ikut terdiam sekian lama. Mata masing-masing seperti langsung disuguhkan semua sepak terjang pendekar yang menggemparkan selama ini.
“Lalu, apa rencanamu terhadap Pendekar Slebor, Sang Angkara Murka?” tanya si pemuda hitam, memecah keheningan mereka.
Manusia Dari Pusat Bumi melepas pandangan ke arah hamparan pasir panas di sepanjang lembah. Panasnya, membuat permukaan pasir seperti dilapisi lelehan lilin bening.
“Percayalah... tak akan mudah menaklukkan dia dengan kesaktian kita. Manusia keparat itu sepertinya memang dilahirkan untuk menjadi musuh besar kaum sesat...,” urai Manusia Dari Pusat Bumi kembali.
“Untuk itu, kita harus menjalankan semua cara untuk menghancurkannya!”
“Apa dia memiliki kelemahan, Sang Angkara?” si buta yang sejak tadi bungkam, ikut berbicara. “Tapi sepanjang pengetahuanku, dia belum pernah mem-perlihatkan kelemahan....”
“Tak ada manusia sempurna. Dia pasti memiliki kelemahan. Dan kalau pun tak bisa mengetahui kelemahannya, maka kita bisa memanfaatkan orang-orang yang dekat dengannya. Bukankah rasa sayang yang besar terhadap orang-orang yang terdekat bisa dianggap sebagai kelemahan?” tutur si Perut Gendang, seolah seorang penasihat raja sedang memberi saran.
Bibir bertaring Manusia Dari Pusat Bumi lagi-lagi menyeringai.
“Kau tampaknya mulai cocok denganku, Buncit. Aku pun mempunyai pemikiran yang sama. Kita harus memanfaatkan orang-orang yang dekat dengan Pendekar Slebor.”
“Aku tahu orang yang dekat dengannya. Dia seorang wanita,” ujar kutung bersemangat.
“Ya! Aku pun tahu. Namanya Purwasih. Dia berjuluk Naga Wanita...,” Manusia Dari Pusat Bumi memutus ucapan.
Dikembangkannya dada sarat keangkuhan.
“Rencana pertama kita adalah....”
***
“Andika! Andika...!”
Seseorang memanggil-manggil nama Pendekar Slebor. Bila ditilik, suaranya jelas milik seorang wanita. Sewaktu orang itu muncul dari rerimbunan semak di sisi jalan setapak, maka jelaslah siapa dia. Purwasih.
“Dasar pemuda brengsek!” maki sang dara.
Wajah cantiknya yang berhias kulit kecoklatan tampak demikian jengkel. Apa yang sesungguhnya telah dilakukan Andika, sehingga wanita yang masih memiliki hubungan darah dengannya itu demikian kesal?
Sewaktu bertemu Raja Penyamar di mulut goa sebelah barat Pengadilan Perut Bumi, Andika telah mempunyai rencana. Purwasih ditotok saat sedang asyik menikmati daging kelinci yang didapat Andika waktu itu. Maksud pemuda itu menotok Purwasih, tentu saja karena tak ingin dianggap gila kalau berbicara dengan Raja Penyamar. Ada hal penting yang harus dibahas tokoh sakti yang telah lama mati itu. Tentang air mukjizat yang dibawa dalam sarung pedang Purwasih.
“Kau akan kujotos habis-habisan kalau kutemukan, Andika,” ancam Purwasih menggerutu.
Bagaimana gadis itu tak jadi jengkel setengah modar? Selama sehari semalam, dia tak berkutik seperti bangkai karena totokan Andika. Untuk mencoba membebaskan diri, tokoh si pemuda slebor itu ternyata terlalu hebat. Suka tak suka, akhirnya ditunggunya sampai totokan itu terbebas sendiri. Dia tahu, totokan itu hanya untuk sementara waktu. Karena, sebelum pergi meninggalkannya, Andika sempat berbisik penuh sopan santun bahwa totokan itu akan terbebas sendiri, setelah sehari semalam. Dasar pemuda brengsek!
“Kau pikir enak tergolek begitu saja di semak-semak. Untung saja tak ada binatang lapar yang lewat. Huh! Apa aku mau dijadikan umpan binatang buas oleh pemuda konyol itu?!” gerutuan Purwasih tersambung.
Sambil menggerak-gerakkan persendian yang linu karena tak bergerak-gerak, Purwasih memungut pedang bergagang kepala naga yang masih tergeletak di tanah.
“Mana sarung pedangku dibawanya lagi! Apa maunya pemuda itu? Padahal aku tidak begitu berminat pada air di dalam sarung pedang,” gumam Purwasih.
Setelah itu, gadis ini menepis udara di depan.
“Ah! Kenapa aku harus memikirkan tindak-tanduknya! Bisa sinting jadinya. Tahu sendiri, pemuda itu memang sulit ditebak,” kata Purwasih berbicara sendiri.
Purwasih baru hendak beranjak kelika suara lantang berguruh menahannya.
“Kau pikir, kau mau ke mana, Nisanak?!”
Purwasih menoleh cepat. Dari suara tadi, dapat ditebak kalau orang yang menahannya punya maksud tak baik. Karena itu, dengan serta merta pedangnya diacungkan.
“Siapa kau?!” tanya Purwasih manakala menyaksikan dua nenek peot yang mirip satu sama lain. Yang satu digendong oleh yang lain di bahu.
“Sepertinya aku pernah mendengar tentang kalian.”
Sambil berkata, kelopak mata lentik Purwasih menyempit. Ada rasa berdesir dalam dadanya setelah tahu siapa yang dihadapi.
“Kalian Rase Tua Kembar?” tanya Purwasih. hendak meyakinkan diri.
“Hee... he he! Anak cantik yang pintar!” sergah si perempuan buta.
“Dari mana kau tahu dia cantik?” Masih sempat-sempatnya saudara kembar berkaki kutungnya bertanya.
“Sial! Kenapa kau tak urus gadis itu saja!” bentak si perempuan tua buta gusar.
“Heee, saudara kembarku benar. Aku harus mengurusmu, Nisanak yang cantik...,” ujar si nenek berkaki kutung, mengalihkan ucapan pada Purwasih.
“Rasanya aku tak punya urusan dengan kalian,” ucap Purwasih.
“O, ada! Tentu saja ada. Bukan begitu?” terabas si buta.
“Bagaimana aku punya urusan dengan kalian, sementara bertemu pun baru kali ini,” sangkal Purwasih.
“Urusan seseorang dengan orang lain, tak selalu harus tercipta setelah pertemuan, Nisanak,” tutur si kutung, sok berkata bijak.
“Kau tahu, seseorang bisa tiba-tiba bisa membunuh orang lain, padahal baru pertama kali bertemu. Artinya, urusan tercipta karena satu alasan, Nisanak....”
“Aku tak paham maksudmu. Ucapanmu terlalu berbelit-belit.”
“Alasan orang yang kuceritakan membunuh hanya sepele, Nisanak. Dia ingin memiliki pakaian bagus seperti milik orang kedua. Ketika diminta, orang yang memiliki pakaian bagus tak memberi. Paksaan pun harus muncul. Maka keributan tak terelakkan....”
“Aku tak paham. Ucapanmu berbelit-belit!” sergah Purwasih untuk kedua kali. Tapi, si nenek berkaki kutung tak peduli.
“Lalu, terjadilah pembunuhan. Sementara, mereka sama sekali tak pernah bertemu sebelumnya....”
“Apa maksudmu sebenarnya!” bentak Purwasih, mulai tak sabar. Sebagai pendekar wanita, tentu saja dia tak sudi dipermainkan.
“Maksudnya, kami pun mempunyai satu alasan, sehingga kau harus berurusan dengan kami....,” timpal si buta, kembarnya.
“Kenapa kau tak cepat katakan!” sentak Purwasih.
“Kami akan menjadikanmu tameng hidup terhadap Pendekar Slebor. Jelas?”
Mata Purwasih berubah nyalang. Dugaannya kini terbukti. Dua tokoh sesat kembar itu memang berniat tak baik.
“Kalian kira akan mudah membuatku bertekuk lutut pada kalian?” kata Purwasih penuh tekanan.
”Nama besar kalian tak cukup membuatku mengemis-ngemis minta dikasihani!”
“Bagus! Kalau begitu, kami bisa sedikit mengendurkan urat-urat. He he he! Mari kita serang dia, Kutung!” ujar si tua buta bersemangat.
“Ya! Tunggu apa lagi?!” timpal saudara kembar di bahunya.
“Bersiaplah, Nisanak yang cantik!” geram si buta.
“Sejak dulu, aku selalu siap menghadapi manusia busuk macam kalian!” tantang Purwasih.
Mereka mulai membuka jurus masing-masing. Rase Tua Kembar bersatu memperlihatkan kembangan jurus yang terlihat kompak. Tangan si kutung bergerak, membuat persiapan serangan di bagian atas. Sedangkan si buta membuat persiapan serangan khusus bagian bawah.
Purwasih tak kalah sigap. Pedang besar berga gang kepala naga di tangannya terayun kian kemari. Kelebatan sinar pedangnya berseliweran di sekitar tubuhnya, sehingga bagai terselimuti cahaya.
“Maju empat langkah, Buta!” seru si kutung memberi perintah.
Si nenek buta bergerak maju empat langkah ke muka, memperpendek jarak dengan lawan.
“Hiaaa!”
Teriakan amat berisi, tercipta dari kerongkongan keriput si nenek berkaki kutung. Lazimnya, teriakan itu adalah pertanda awal serangan. Tapi yang dilakukan Rase Tua Kembar sama sekali tidak menunjukkan hendak melakukan serangan. Mereka tetap di tempat, meski Purwasih sudah bersiaga sepenuhnya menanti terjangan.Rupanya Rase Tua Kembar hendak menyerang dengan cara pertarungan tak lazim. Dengan memperpendek jarak, mereka sengaja hendak menyerang dengan kekuatan suara. Terbukti, Purwasih langsung merasakan seluruh urat di tubuhnya bagai dibetot secara paksa, saat teriakan lawan berkumandang.
Andai gadis itu terpengaruh dan menutup sepasang telinganya, tentu si Rase Tua Kembar seketika akan merangseknya. Jarak yang sudah demikian dekat, tentu akan mempermudah keduanya mengirim terjangan dahsyat.
Purwasih sadar akan hal itu. Karenanya, telinganya tak segera ditutup. Sepenuh kekuatan, dikerahkannya hawa murni ke gendang telinga. Untuk lebih membentengi diri dari serangan tak berwujud tersebut, disalurkannya tenaga dalam pada ayunan pedang.
Wuk, wuk, wuk!
Kini terciptalah bunyi ayunan pedang yang tak kalah kuat dibanding teriakan lawan. Dengan begitu, teriakan Rase Tua Kembar pun dapat sedikit teredam.
Seperti merasa dipancing untuk melakukan adu tenaga dalam, Rase Tua Kembar serta merta memperkuat teriakan. Kalau sebelumnya hanya kerongkongan si nenek berkaki kutung yang mengeluarkan teriakan, kini keduanya bersama-sama melakukannya. Suara mereka menyatu di udara, memadati tempat sekitarnya, bagai ribuan gagak yang berteriak serempak.
“Hiaaakkk!”
Tenaga suara mereka menerjang benteng bunyi pedang Purwasih. Maka, dua kekuatan suara tingkat tinggi berbenturan saat itu juga. Purwasih mengejang, sementara tangannya mati-matian berusaha memutar terus senjatanya. Wajahnya tampak menegang. Bagian pipi dan keningnya berubah menjadi merah matang. Sementara peluh sebesar biji jagung mulai bersembulan.
Kekuatan suara Rase Tua Kembar yang tak sempat tersaring bunyi ayunan pedang, merangsek masuk dari sela-sela lowong menuju tubuh Purwasih. Pakaian si gadis yang memang sudah koyak moyak semenjak keluar dari Pengadilan Perut bumi. makin dibuat berantakan. Seiring koyaknya pakaian, Purwasih merasakan semacam sayatan sembilu menggerayangi kulitnya.
“Aaa.!” pekik Purwasih, didera pedih luar biasa.
Yang menjadi korban adu tenaga dalam tingkat tinggi itu ternyata tak hanya Purwasih. Dedaunan semak dan pohon-pohon tinggi menjadi berguguran, seakan dihujam kemarau panjang! Hujan dedaunan melingkupi arena pertarungan. Dalam jarak sepuluh tombak di sekitarnya, tak ada lagi tumbuhan berdaun. Semuanya telah telanjang dalam sekejap!
Dalam hal tingkat tenaga dalam, Purwasih memang tergolong hijau dibanding kedua tokoh bangkotan itu. Itu sebabnya, kian lama pertahanannya makin melemah. Kakinya mulai kehilangan kekukuhan. Dara cantik itu mulai melorot, tapi masih berusaha tegak pada kedua lututnya. Usaha untuk bertahan makin tak banyak memberi harapan, mana kala suara lain muncul memasuki arena pertarungan.
Dung, dung, dung!
Seorang berperut buncit muncul, tanpa terusik oleh benturan dahsyat suara orang-orang yang sedang terlibat adu tenaga dalam. Dari perut sebesar tong itulah, suara bertabuh-tabuh keluar.
Purwasih makin payah. Suara perut yang ganjil itu ternyata ikut mengeroyoknya, bersama teriakan Rase Tua Kembar. Tak lama berselang, pertahannya sudah tak mungkin lagi dipertahankan. Tubuh sintal gadis itu tersentak. Dari hidung dan mulutnya tersembur darah kental kehitaman. Sesaat berikutnya, Purwasih ambruk.