Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.
Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).
Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.
Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan
Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.
Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..
Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.
Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..
“Manusia bernyali sebesar apa yang nekat mengundang kita hingga harus menempuh gurun keparat ini,” gerutu si buta.
Perkataan itu bukan main-main. Kebiasaan keji mereka memang membunuh, tanpa pandang bulu setiap kali melihat manusia. Mereka seperti mendapat kepuasan kala mencium anyir darah korban.
“Ah! Ini tak seberapa panas dibanding neraka!” sergah sikutung, melecehkan gerutuan si buta.
“Ya! Kau bisa bilangbegitu! Terang saja, kau hanya mendompleng di bahuku. Coba kalau kau
merasakan panas pasir ini!”
“Kalau aku punya kaki, aku akan jalan!”
“Dan kau baru tahu rasa panas pasir di sini!”
“Tapi, aku toh tak bakal punya kaki!”
“Dan, kau tak akan pernah merasakan panas pasir di sini! Makanya, jangan bicara seenak dengkul!”
“Heeeh! Apa kau lupa aku tak punya dengkul!”
Keduanya lalu tertawa berbarengan. Terkikik- kikik, mengalahkan deru angin di permukaan pasir. Perdebatan keduanya seakan tidak pernah terjadi.
“Menurut undangan dalam mimpi, kita harus menunggu dimana?” tanya si buta.
“Kau lupa?”
“Yaaa Kau tahu sendiri aku sudah tua!” sentak si buta.
“Memang kau sendiri yang tua! Aku juga begitu!” sergah si kutung tak mau kalah.
“Kau lupa apa tidak?!” tandas si buta.
‘Tidak.”
“Kalau begitu, kau belum tua!”
Kembali mereka terkikik-kikik ramai. Tak lama kemudian, mereka berhenti di bawah kaki sebuah pohon kaktus setinggi atap rumah dengan duri-durinya yang besar.
“Seingatku, kita disuruh menunggu di sini oleh pemuda dalam mimpi kita,” tandas si kutung.
Tangan keriput si buta mencari-cari. Ketika menemukan duri-duri pohon kaktus raksasa, baru bibirnya tersenyum buruk.
“Ya ya ya. Aku baru ingat sekarang. Memang di sini tempatnya....”
Mereka menunggu. Sementara itu, tampak lagi pendatang lain di kejauhan. Semakin dekat, semakin terlihat seorang laki-laki berperut sebesar tong. Sulit menilai, berapa usianya. Karena wajah lelaki buncit itu sungguh ganjil. Wajah sebelah kanan tampak begitu tua dipenuhi keriput. Alis di belahan itu pun memutih, di atas sebelah matanya yang kelabu. Sebaliknya, bagian wajah sebelah kiri tampak demikian muda. Pipi di belahan itu terlihat agak kemerahan, bagai kulit bayi. Perut yang demikian besar seperti tak menghendaki baju. Si lelaki buncit berwajah ganjil malah lebih suka mengenakan ikatan kain yang hanya menutupi bagian terlarangnya. Bagaimana dia akan suka berpakaian, kalau tubuhnya saja selalu dibasahi keringat. Kaum rimba persilatan mengenal lelaki itu sebagai si Perut Gendang. Di samping karena perutnya mirip gendang besar, juga karena setiap kali berjalan perut itu selalu menimbulkan bunyi bertabuh-tabuh. Persis bunyi gendang! dung dung
Si Perut Gendang berjalan kian dekat ke arah pohon kaktus besar.Sementara Rase Tua Kembar semakin memperlihatkan wajah tak bersahabat. Bibir keriput mereka menyeringai-nyeringai seraya memperdengarkan gemelutuk gigi.
“Si Perut Gendang minta dibunuh!” geram si buta. Meski tak melihat, telinganya masih bisa mengenali bunyi perut lelaki pendatang baru tadi.
“Menurutmu, apa dia orangnya yang mengundang kita?” tanya si kutung.
“Mana aku tahu!”
“Kalau dia orangnya yang hendak mempermainkan kita....”
“Kitapecahkan perut buncitnya itu!” terabas si buta
Lagi-lagi keduanya terkikik.
“Kalian rupanya, Nenek-nenek Jelek!” tegur si Perut Gendang begitu telah tiba di hadapan Rase Tua Kembar. Suaranya sama sekali tak ramah.
“Berani-beraninya kalian mengundangku!”
“Heeeh! Berani-beraninya dia membentak-bentak!” balas si kutung sewot.
“Makan, nih!” sentak si buta. Seketika dijentiknya butiran pasir di sela-sela jari kaki yang tak beralas.
Wes wes!
Butiran pasir putih halus itu berkelebat tanpa terlihat, mengancam udel si lelaki buncit yang mengintip malu-malu dari permukaan perutnya. Kecepatan dan kekuatan kelebatan pasir demikian hebat. Menurut perhitungan mata tokoh kelas atas, kelebatan benda-benda kecil itu tak akan menemui kesulitan menembus kulit perut. Bahkan kulit sepuluh ekor badak sekali pun!
Tapi, jangan sekali-kali mengira perhitungan itu berlaku bagi perut si Lelaki Buncit. Tahu ada orang yang hendak pamer kekuatan, si Perut Gendang membiarkan saja pasir-pasir itu meluruk deras.
Bleng!
Perut si Perut Gendang mendadak meliuk dari bawah ke atas, seperti permukaan tikar yang digebah. Hasilnya, berupa tenaga sedotan luar biasa yang berasal dari bagian pusatnya. Pasir-pasir berkekuatan hebat itu dipaksa masuk ke dalam lobang pusat, namun tak begitu lama kemudian perutnya meliuk lagi. Maka, kini pasir-pasir tadi terhembus keluar. Tak kalah cepat dan berbahaya, benda-benda halus itu kembali ke arah si buta. Tak hanya itu. Panas tubuh si Perut Gendang telah membuat pasir menjadi merah membara!
“Permainan anak-anak kalian pamerkan!” makisi kutung gusar. Langsung diludahinya semburan pasir yang melesat tadi.
“Chuih!”
Psss....
Merah menyala pada butiran pasir kontan meredup, meninggalkan asap tipis yang terpenggal di udara. Sedangkan terjangan pasir berkekuatan lima ekor kuda, sampai tak berdaya menerima beban air ludah si buta. Semuanya jatuh sebelum tiba di dada si kutung.
“Jawab pertaryaanku, Buncit! Kau yang mengundang kami ke tempat ini?!” tanya si kutung, membentak.
“Aku juga punya pertanyaan yang sama untuk kalian!” balik si Perut Gendang tak mau kalah.
“Kau mengundang kami atau tidak?!” si buta ikut campur.
“Kalian mengundang aku atau tidak?!”
Ketiganya serempak terdiam. Bukan karena menyadari kekeliruan masing-masing, tapi terusik oleh suara senandung yang menyakitkan telinga. Tanpa diberi aba-aba, ketiganya serempak menoleh ke asal suara. Jauh di sana pendatang lain rupanya telah sampai pula. Mereka terpaksa menautkan alis rapat-rapat karena tak mengenalnya.
Kalau dalam jarak jauh saja senandung Cumiakkan si pendatang baru sudah begitu menusuk telinga, apalagi kalau telah tiba di dekat ketiga orang yang sampai lebih dahulu ilu. Ketiganya meringis-ringis. Ingin rasanya mereka segera menutup telinga dengan tangan. Nama besar yang tersandang, membuat mereka malu melakukannya. Jadi, ketiga tokoh sesat itu hanya bisa menyalurkan hawa murni agar gendang telinga tak pecah.
“Nyanyian gagak buduk apa pula ini?!” gerutu si buta.
Orang yang baru datang tak mempedulikan gerutuan itu. Dia berjalan terus lenggak-lenggok tanpa rasa bersalah.
“Aaa! Sudah ada yang kumpulll!” seru si pendatang baru dengan wajah riang bukan main.
Ternyata dia adalah seorang lelaki muda berkepala botak. Kulitnya hitam, wajahnya berkesan khas orang-orang India. Hidungnya mancung, seperti paruh burung. Matanya bulat dan agak menonjol keluar. Dengan baju panjang putih serta selendang dileher, kulit hitamnya jadi tampak makin kelam.
“Aaa, sudah ada yang kumpulll!” sapa orang itu kembali, sambil menggaruk-garuk kepala. Maka ber- hamburanlah kulit kering yang mengelupas dari kepalanya.
“Kau yang mengundang kami?!” sambut Rase Tua Kembar bersamaan.
“Kau yang mengundang aku?!”Saat yang sama pula, si Perut Gendang melepas pertanyaan serupa.
Pemuda hitam gundul itu tentu saja tertawa dituduh demikian rupa. Bagi setiap orang, pasti tak nyaman mendapat perlakuan kasar begitu tiba di tempat yang menyiksa ini. Nampaknya, sipemuda berkulit arang berbeda. Dengan riang semuanya ditanggapi dengan tawa sambil menggoyang-goyangkan kepala. Sikapnya benar-benar membuat jengkel Rase Tua Kembar dan si Perut Gendang.
“Chuah! Tingkahmu memuakkan!” semprot si kutung.
“Apa yang diperbuatnya?” Wanita buta di bawah nya ingin pula tahu.
“Nanti kau jadi ikut muak!”
“Aku dengar suara orang menggaruk, tadi,” kata sibuta penasaran.
“Orang baru ini menggaruk-garuk kepalanya yang gundul dan beruntusan itu!” si Perut Gendang memberitahu.
Entah dedemit mana yang mengilik si Perut Gendang untuk menjawab perkataan si perempuan buta Kalau itu semacam kebaikan, mungkin itu adalah ke baikan pertamanya sepanjang hidup.
“Idih! Aku suka kepala gundul. Mengingatkanku pada....”
“Jangan berpikiran kotor!” potong si kutung pada ucapan saudara kembarnya. Kemudian perhatian nya di arahkan pada pemuda gundul itu.
“Sekarang jawab pertanyaanku pemuda ‘keling’! Apa keperluanmu datang ke tempat ini?!”
“Aku diundang seseorang,” sahut si pemuda hitam disertai sebaris senyum.
“Kami diundang, si Perut Gendang diundang. Kalau kau juga diundang, lantas siapa yang mengundang?!” tanya perempuan berkaki kutung. Cara ber tanyanya seperti hendak menyalahkan pemuda berkulit hitam ini.
“Apa aku harus mengaku kalau aku yang mengundang?” ucap si pemuda gundul.
“Sebaiknya begitu!” serobot si buta cepat.
“Kalau misalnya aku yang mengundang, lalu siapa yang mengundangku?” tanya pemuda berkulit hitam, kebingungan sendiri.
“Hey?! Kenapa kalian jadi seperti orang dungu semua!” bentak lelaki berperut buncit, tak sabar melihat tingkah mereka.
“Kalau semuanya diundang, artinya, kita harus menunggu orang yang mengundang kita. Menunggu.... Huh! Menyebalkan!”
Perdebatan mungkin akan berlanjut sampai kiamat, kalau saja seseorang tak datang. Orang itu adalah Manusia Dari Pusat Bumi, yang telah mengundang mereka semua.
“O, jadi manusia jelek ini yang mengundang kita.’”sambut si perempuan kutung.
“Kau yakin dia orangnya?” tanya saudara kembarnya.
“Peduli apa? Aku yakin kek, tidak kek! Pokoknya, aku sudah gatal ingin mengaduk-aduk isi perut orang usil itu!”
Belum lagi dua wanita renta itu memperpanjang kemarahan, Manusia Dari Pusat Bumi tiba dan langsung mengacungkan Cermin Alam Gaib di tangan kanan.
“Suka tidak suka, kalian akan diam dan mendengarkan perkataanku!” seru Manusia Dari Pusat Bumi dengan suara berat.
Rase Tua Kembar kontan tak bisa menggerakkan mulut. Kecerewetan mereka seakan-akan terkunci mendadak. Bukan hanya itu. Mereka juga tak bisa menggerakkan apa-apa. Demikian pula yang terjadi pada si Perut Gendang dan pemuda hitam.
“Dengar! Akulah orangyang mengundang kalian untuk datang ke sini melalui gelombang mimpi yang hanya bisa ditangkap oleh orang-orang sakti yang bejat! Di tempat ini, kalian harus bertarung denganku dalam sepeminuman teh. Siapa yang selamat, harus bergabung di bawah panjiku!”
Inilah ujian yang diberlakukan Manusia Dari Pusat Bumi bagi keempat undangannya. Manusia jelmaan siluman itu tak mau scmbarangan mengambil sekutu sesatnya. Baginya, yang tak banyak membantu, lebih baik cepat dibunuh!
Yang pertama mendapat giliran diuji adalah si Perut Gendang. Sementara, Rase Tua Kembar dan si pemuda hitam masih terdiam di bawah pengaruh sihir Manusia Dari Pusat Bumi.
Kini si Perut Gendang berdiri di tengah-tengah lembar pasir tandus, menghadapi sang pengundangnya, setelah terlebih dulu dibebaskan dari pengaruh sihir.
“Apa maumu sebenarnya, Pemuda Jelek?! Baru sekali ini ada orang yang nekat menghina si Perut Gendang!” mulai si lelaki buncit.
“Tak perlu kau tahu, siapa aku. Karena belum tentu kau berusia panjang. Yang perlu kau lakukan hanyalah mengerahkan seluruh kesaktian yang kau miliki untuk menghadapiku. Jika berhasil bertahan dalam waktu sepeminuman teh, maka bersenanglah. Karena, kau akan bergabung dengan ‘Raja Diraja Kejahatari’!”
Si Perut Gendang tertawa mengejek.
“Sombong sekali ucapanmu, Pemuda Jelek! Tampangmupun baru sekali ini kulihat. Itu tandanya kau masih terlalu bau kencur untuk menantangku berkelahi. Apalagi, untuk menguji kesaktianku....’”
Manusia Dari Pusat Bumi yang pada dasarnya memiliki sitat tak banyak mulut, tak merasa perlu mengindahkan cemoohan calon lawan. Tanpa banyak omong lagi, langsung saja dibukanya sebuah jurus.
”Kau sungguh-sungguh, rupanya? Ya, sungguh-sungguh mencari mampus!” hardik si Perut Gendang mulai gusar.
Deb! Deb!
Belum sempat lelaki berperut tong itu menarik napas, Manusia Dari Pusat Bumi sudah melabraknya dengan satu rentetan patukan tangan secepat kilat. Agak aneh. Karena, tangannya sama sekali tak mematuk langsung ke tubuh lawan. Di balik itu, hasilnya sungguh sempat memukau si Perut Gendang. Tangan pemuda bertaring ini ternyata mengeluarkan bayangan memanjang, yang langsung menyambar deras ke kening.
“Gila! Ini sihir!” seru si Perut Gendang, setelah menghindar sebisa-bisanya.
Meski hanya sebentuk bayangan tangan, si Perut Gendang bisa merasakan angin pukulan maut dari serangan yang luput. Seolah-olah, bayangan itu lebih kuat berlipat ganda dari tangan
sesungguhnya.
Kini si Perut Gendang tidak bisa lagi memandang remeh lawannya. Masih dengan hati bertanya-tanya, tentang lawan sesungguhnya, si Perut Gendang terpaksa membuka jurus. Pertahanan penuh dibentuknya, sekaligus mempersiapkan satu rencana serangan balasan. Muncullah gerakan aneh milik si Perut Gendang. Tangannya tak bergerak di kedua sisi tubuh. Sebaliknya, perut besarnya meliuk-liuk seperti gelombang. Setiap satu gelombang, tercipta bunyi yang mememakkan telinga.
Dung! Dung...!
Ketika suara perut laki-laki buncit itu kian memuncak, berhembuslah angin amat kuat hasil dari gelombang kulit perutnya. Angin yang cukup untuk membentengi diri dari lerjangan sepuluh gajah jantan sekali pun!
Deb, deb, deb,!
Sekali lagi Manusia Dari Pusat Bumi melancarkan patukan bayangan tangan. Berlapis-lapis bayangan bagai bentuk kepala ular kini meluruk ganas. Di udara, gerak bayangan tangan Manusia Dari Pusat Bumi terhambat oleh benteng angin dari perut siPerut Gendang. Tapi bukannya tak bisa ditembus. Setelah geraknya melambat, bayangan tangan itu kembali meluruk dalam kecepatan semula. Dan memang, benteng angin lawan yang tangguh berhasil ditembus!
Wesss!
“baik!” maki si Perut Gendang, gusar bukan main.
Tubuh laki-laki yang kelebihan beban cepat dilempar jauh-jauh dari jarakjangkau bayangan tangan Manusia Dari Pusat Bumi. Setelah berhasil berdiri kukuh, si Perut Gendang sadar kalau harus melepas serangan balasan. Terlalu berbahaya baginya jika hanya bertahan mengandalkan benteng angin perutnya, sementara pertahanan itu sudah berhasil diperdaya lawan.
“Kau telan rasa panas ini, Pemuda Jelek!”
Diiringi teriakan mengancam, si Perut Gendang menepuk-nepuk permukaan perutnya. Mula-mula pergantian tepukan antara kedua telapak tangannya lambat saja. Kemudian, makin cepat dan cepat.
Prak, prak, prak...!
Pada puncak tepukan, sepasang telapak tangan si Perut Gendang jadi membara. Tampaknya ancaman tadi bukan sekadar pepesan kosong. Perut buncit lelaki itu memang begitu terkenal didunia persilatan, karena sanggup menghasilkan panas luar biasa. Panas itulah yang kini diserap sepasang telapak tangan si Perut Gendang.
“Hiaaa!”
Whuuusss!
Tubuh si Perut Gendang berputar bagai gasing tambun raksasa. Kedua tangannya yang membara, terbentang lebar-lebar membentuk kincir tegak lurus. Dengan tetap berputar, diterjangnya Manusia Dari Pusat Bumi. Pada setiap pergeseran tubuh si Perut Gendang yang berputar, mengepul asap putih tebal di udara. Asap putih tebal itu membentuk angin putingbeliung kecil, akibat putaran tubuhnya.Manusia Dari Pusat Bumi hanya menatap dingin Tak tampak rasa ngeri di wajahnya.
Saat tubuh si Perut Gendang kian dekat seperti badai dari tengah laut hendak menyinggahi pantai, kaki Manusia Dari Pusat Bumi membentang tinggi ke atas.
Plakk!
Sekejap saja, putaran tubuh laki-laki berperut buncit itu terjegal. Tangannya yang terbentang dan membara tiba-tiba telah ditahan oleh patok kuat yang dibentuk bentangan kaki Manusia Dari Pusat Bumi.
‘Cukup! Kau telah lolos dari ujianku!” seru Manusia Dari Pusat Bumi.
Si Perut Gendang tak mau begitu saja dihentikan. Harga dirinya sudah telanjur diinjak-injak pemuda bercaling itu. Dan dia merasa terhina. Dengan tiba-tiba, arah putaran tangannya berubah. Siap mengibas kepala lawan didepan.
Plak!
Sekali lagi, Manusia Dari Pusat Bumi menjegal putaran itu tanpa kesulitan.
“Kalau kubilang cukup, kau harus berhenti!” bentak Manusia Dari Pusat Bumi menggetarkan nyali.
Pada saat yang sama, tangan Manusia Dari Pusat Bumi tahu-tahu sudah menggenggam Cermin Alam Gaib. Ketika cermin petaka itu diarahkan ke sasaran.si lelaki berperut buncit langsung mengejang.