Part 4
Mata keriput Raja Penyamar menyipit. Keningnya langsung berkerut.
“Itu ‘Air Sari Buana’...,” desah Raja Penyamar.
“Jadi kau tahu soal air ini?”
Kepala Raja Penyamar menggeleng-geleng.
“Anak Muda.... Anak Muda. Apa kau tahu, kau telah menemukan air mukjizat yang begitu sulit dicari. Karena, sumbernya selalu berpindah-pindah tak menentu. Itu pun dalam waktu puluhan tahun sekali...,” papar Raja Penyamar.
Mulut Andika menganga.
“Jadi, aku tak akan bisa kembali ke dalam lorong untuk mengambilnya?”
“Pada saat kau kembali nanti, mungkin sumber air itu sudah berpindah kembali, entah ke mana...,” tambah Raja Penyamar.
“Ah, sayang...,” sesal si pemuda gondrong. Diliriknya gagang pedang milik Purwasih.
“Aku hanya dapat sedikit....”
“Lalu, apa maksudmu dengan ‘Air Sari Buana’ itu?” tanya Raja Penyamar.
“O, iya! Bukankah dulu kau katakan, kalau kau mati karena suatu penyakit yang tak bisa disembuhkan? Kau mati. Sementara itu, jasadmu tak kunjung membusuk di Kampung Kelelawar....” (Untuk lebih jelasnya, bacalah episode : “Manusia Dari Pusat Bumi”).
“Jadi maksudmu”
“Kuyakin, penyakit itu bukannya tidak bisa disembuhkan. Ini hanya masalah penawarnya. Selama ini, kau belum sekali pun menemukan obat untuk penyakitmu itu, Pak Tua. Kalau Tuhan mengizinkan, dengan air ini, kerusakan jaringan dalam jasadmu akan pulih kembali. Dengan pulihnya jasadmu, maka jiwamu kuyakin bisa menempatinya kembali....”
Si tua berwajah teduh ini kembali menggeleng-geleng.
“
Kurasa memang sudah takdirku untuk mati, Anak Muda....”
“Aaa! Kalau begitu, kenapa jasadmu belum juga kunjung membusuk? Bukankah itu artinya Tuhan mengizinkan kau kembali ke jasadmu? Jadi, ini hanya masalah waktu. Kalau suatu saat kau berhasil menemukan obat untuk jasadmu itu, maka....”
Andika tak melanjutkan kalimatnya ketika tiba-tiba sebuah tangan halus menjewer telinganya hingga merah matang.
“Aku tak peduli dedemit mana yang kau ajak bicara!” omel Purwasih disampingnya.
“Yang pasti, kau harus menepati janjimu untuk mencarikan kelinci!”
”Ya, ya, ya! Kelinciii! “Yang gemuk!”
“Yang gemuuuk!”
***
Tak pernah mudah untuk menduga, apa yang bakal terjadi nanti. Hidup sepertinya selalu mempunyai tali kendali sendiri, menggiring manusia ke arah tertentu. Dikehendaki atau tidak dikehendaki manusia, tetap berjalan seperti itu.Pertemuan juga sebagai dari arah hidup yang sulit diduga. Seperti halnya Andika. Setelah menerima pesan Walet yang disampaikan melalui Raja Penyamar, Andika segera mencoba menghubunginya melalui batin. Dia amat tahu, bagaimana kuatnya batin Walet. Dengan semadi, Pendekar Slebor yakin akan berhasil menghubungi batin bocah tanggung itu.
Dalam semadi, Andika merasakan tubuhnya me-layang kehamparan ruang tanpa tepi Tak terang, tak juga gelap. Tubuhnya terus melayang dan melayang, melanglangi ruang dan waktu yang tak terbatas. Sepasang tangannya terkembang ke depan, seolah hendak menggapai sesuatu yang belum terlihat.
“Walet! Walet!” panggil Andika. Suaranya bergema tak terputus, seolah menelusuri ruang tanpa batas.
Tak begitu lama, Pendekar Slebor melihat titik cahaya putih di kejauhan yang kemudian berpendar, mekar membesar. Andika sendiri tak bisa memastikan, dirinya yang mendekati cahaya itu atau justru sebaliknya. Ketika cahaya itu kian membesar dan nyaris menelan tubuhnya, Andika melihat dari pusat cahaya muncul perlahan-lahan seorang tampan perkasa. Tubuhnya tinggi tegap, terbungkus pakaian kebesaran seorang pangeran. Wajahnya begitu menawan tanpa kumis atau cambang penghias. Lelaki pun akan sempat terpana mendapati ketampanan wajah sosok itu.
“Siapa kau?” sapa Andika.
“Aku tak memanggilmu. Yang kupanggil Walet. Bukan kau, tapi Walet!”
Sang Pangeran tersenyum amat ramah.
“Akulah Walet!”sambut sosok tampan itu, lembut.
“Kau tak bisa membohongiku. Aku kenal Walet. Dia seorang bocah kecil,” sangkal Andika.
“Ini memang salahku, Andika. Boleh kupanggil kau Andika, bukan? Selama ini, aku memang merahasiakan jati diriku sesungguhnya. Kau pernah kuceritakan tentang asal-usul Mustika Putri Terkutuk. Tentang seorang pangeran dan putri yang saling mencintai, namun kedua orangtua masing-masing tak menyetujui hubungan itu. Mereka lari. Dan kedua orangtua merekapun mengutuk anak muda itu. Sang putri menjad Mustika Putri Terkutuk dan Sang Pangeran menghilang bagai ditelan bumi....” (Baca Pendekar Slebor dalam episode: “Mustika Putri Terkutuk”).
“Tunggu! Kau ingin katakan kalau kau adalah pangeran itu, bukan?” sergah Andika.
“Ya, memang begitu. Aku menitis pada rahim seorang ibu. Sampai lahirlah Walet, bocah kecil yang kau kenal....” Sang Pangeran mengakhiri cerita.
Mulut Andika membulat.
“Ooo, pantas saja kalau bocah kecil itu memiliki kekuatan batin yang luar biasa...,” gumam Pendekar Slebor.
“Jadi, apa pesan yang kau maksudkan untukku?”
“Aku ingin menyampaikan padamu kalau kau harus memiliki sesuatu yang bisa menandingi kekuatan sihir sebuah benda....”
“Kekuatan sihir sebuah benda? Benda apa yang kau maksud?”
“Cermin Alam Gaib....”
“Tuhan.... Jadi benar kata Raja Penyamar tentang bahaya Cermin Alam Gaib,” desis Andika.
Andika terdiam sesaat. Ditatapnya sepasang bola mata Sang Pangeran dengan sinar mata berharap.
“Jadi, apa yang harus kumiliki?”
“Kalbumu...,” sahut Sang Pangeran, singkat.
Andika dipaksa tertawa dengan pertanyaan tadi.
“Kalau soal itu, dari dulu aku telah memiliki,” kelakar Pendekar Slebor.
”Kau memang memiliki kalbu. Tapi belum memiliki kesempurnaannya. Kau harus melakukan pencucian melalui pengasingan diri secara menyeluruh. Bebaskan dirimu dari keduniawian untuk sementara. Lalu, menyatulah dengan Sang Maha Besar yang menduduki kursi semesta....”
Petuah Sang Pangeran itu melembut. Sampai suara jernihnya menghilang, seiring menguncupnya cahaya putih. Dan Pendekar Slebor membuka kelopak matanya. Dan didepannya langsung ditemukan Raja Penyamar.
“Kau mau menjelaskan padaku, siapa sesung-guhnya anak kecil itu, Andika?” tanya Raja Penyamar.
Sejak berjumpa dengan Walet, rasa ingin tahu Raja Penyamar tak kunjung redup. Semakin hari, makin penasaran. Maka secara jelas dan singkat, Andika pun menceritakan jati diri Walet sesungguhnya, yang baru saja diketahuinya sendiri.
“Pantas...,” bisik Raja Penyamar, menanggapi seluruh cerita Andika tentang si bocah ajaib itu.
Dari silanya, pemuda tampan yang disegani dalam dunia persilatan itu berdiri. Kini dia berhadapan dengan arwah Raja Penyamar di dalam sebuah gubuk terbengkalai di Kampung Kelelawar. Di gubuk itulah, Raja Penyamar mati beberapa puluh tahun silam. Jasad Raja Penyamar masih terduduk bisu, di satu sudut ruangan.
Karena terbengkalai begitu saja selama ini, tak heran kalau sudah banyak sarang laba-laba menggerayangi sekitar jasadnya. Pakaian coklat berkerah pendekserta penutup kepala seperti blangkon dari batik pun sudah mulai rapuh. Serat-seratnya melebar di sana-sini. Di luar semua itu, jasad Raja Penyamar seperti tak termakan waktu. Paras wajahnya tetap tak berubah, memperlihatkan kesejukan dengan sebaris senyum tipis. Kematian seperti tak pernah terjadi, layaknya seorang yang tertidur pulas saat bersila.
Di sudut yang berseberangan dengan jasad Raja Penyamar, tergolek tubuh Purwasih. Memang tanpa permisi lagi, Andika telah menotoknya di tepi sungai. Menurut pertimbangannya, akan banyak makan waktu jika menjelaskan perihal Raja Penyamar pada Purwasih. Termasuk menceritakan rencananya untuk memberikan ‘Air Sari Buana’ pada jasad lelaki tua itu.
“Sebenarnya, aku lebih setuju kalau kau menyimpan saja air mukjizat itu, Anak Muda,” cetus Raja Penyamar, membuka percakapan kembali.
“Kupikir, suatu saat kau pasti memerlukannya.”
Andika menggeleng tegas, untuk memperlihatkan kemantapan keputusannya.
“Selama masih bisa, kau harus berikhtiar menuntaskan masalahmu, Pak Tua. Lagi pula, aku membutuhkan kehadiranmu selaku manusia. Tak sekadar arwah tanpa jasad.”
“Kenapa begitu?”
“Nanti kau pun segera tahu. Yang jelas, ini berkaitan erat dengan usaha kita memerangi kejahatan Manusia Dari Pusat Bumi. Dengan air ini, kita punya kesempatan lebih banyak. Itu kalau kau setuju memanfaatkan ‘Air Sari Buana’ bagi jasadmu. Kalau menolak, berarti kau menutup kesempatan untuk memerangi kezaliman yang bakal disebar manusia siluman itu dengan Cermin Alam Gaibnya...,” jelas Pendekar Slebor.
“Tampaknya aku tak punya pilihan?” ujar Raja Penyamar, masih saja agak berat dengan keputusan pemuda di hadapannya.
Selaku tokoh yang sudah berkubang lama di dunia persilatan, Raja Penyamar sangat tahu bagaimana sulitnya seseorang mendapatkan ‘Air Sari Buana’. Usaha mencarinya saja, sama dengan kemustahilan. Hanya orang-orang yang kebetulan berjodoh saja bisa mendapatkan. Seperti Andika, misalnya.
Kalau ‘Air Sari Buana’ itu kini dimanfaatkan untuk dirinya, berarti sampai mati nanti pun Andika tak akan punya kesempatan memilikinya kembali. Padahal, sebagai ksatria penegakpanji-panji kebenaran, ‘Air Sari Buana’ amat dibutuhkan dalam perjuangannya.
“Aku tak akan menanyakan kau setuju atau tidak, Pak Tua. Sebab yang kumau, kau setuju. Jika tidak, air ini akan kucampakkan begitu saja. Jadi, sama saja bukan? Aku tetap tak akan memiliki air mukjizat ini, dimanfaatkan untuk kepentinganmu atau tidak,” papar pemuda dari Lembah Kutukan keras kepala. setengah mengancam.
“Baiklah,” putus Raja Penyamar akhirnya.
***
Peringatan Walet alias Sang Pangeran tampaknya beralasan. Demikian juga kekhawatiran Andika, Manusia Dari Pusat Bumi belum mati. Jelmaan siluman itu terlalu tangguh untuk mati. hanya karena adu tenaga dengan Hakim Tanpa Wajah. Meski. si tua itu adalah gurunya sendiri. Suara ancaman yang terakhir kali didengar Andika sewaktu Pengadilan Perut Bumi hancur pun, adalah suara Manusia Dari Pusat Bumi
Apa yang sesungguhnya terjadi pada diri manusia jelmaan siluman itu?
Tak lama setelah melabrak habis ruang besar Pengadilan Perut Bumi. Manusia Dari Pusat Bumi menyeruak di antara timbunan bebatuan dan sisa genangan air bah. Himpitan hebat bebatuan raksasa serta genangan yang menenggelamkannya, seakan hanya bongkahan tepung terigu yang menimbun. Sama sekali tak berarti apa-apa. Manusia Dari Pusat Bumi kemudian keluar melalui sebuah pintu rahasia. Timbunan batu penghalangnya dijebol, tanpa kesulitan berarti untuk bisa mencapai pintu rahasia.
Selang beberapa saat kemudian. Hakim Tanpa Wajah menyusul keluar melalui jalan yang sama. Ketika muncul di ujung jalan rahasia, kebetulan sekali ada Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu. Waktu itulah Pendekar Dungu sempat melihat pantulan wajah hakim gila itu melalui permukaan sungai.
Hari berlari seiring garis edar bumi, meningkahi mentari yang mengapung angkuh di persemayaman angkasa luas.Tiga hari sejak kejadian tersebut, Manusia Dari Pusat Bumi tampak berada di kediaman barunya Sebuah goa di puncak Gunung Kapur. Selama tiga hari itu, Manusia Dari Pusat Bumi melakukan tapa pemulih kekuatan setelah tenaganya banyak terkuras dalam pertarungan hebat dengan gurunya sendiri Hakim Tanpa Wajah.
Pulihnya tenaga serta kembalinya kesegaran, membuat si manusia jelmaan siluman ini menyudahi tapanya. Dari silanya dia bangkit. Dilepasnya pandangan jauh-jauh ke depan, melampaui mulut goa yang menganga lebar. Sinar siang menyapa wajah hengisnya. Tampak membersit sinar keangkuhan di bola mata lelaki itu , yang bisa diartikan sedang menantang dunia dan mengancamnya.
“Saatnya aku kembali, keangkaramurkaan akan bergelora,” desis Manusia Dari Pusat Bumi memastikan.
Puas melontar ancaman, manusia siluman itu menyatukan kedua telapak tangannya. Sesaat, digesek-geseknya telapak tangan itu satu dengan yang lain. Dari sela-selanya, muncul perlahan ujung tumpul sebuah benda. Makin nampak. sampai akhirnya tergenggam utuh cermin yang tak lain Cermin Alam Gaib.
“Sudah waktunya aku menguji keampuhan cermin ini,” kata manusia Dari Pusat Bumi.
Bagai sudah kerap kali mempergunakannya, Manusia Dari Pusat Bumi mengadukan sepasang matanya pada sepasang mata pantulannya di cermin. Kelopak matanya membesar dan meredup, melepas sehimpun tenaga hitam hingga warnanya berubah merah. Lama kelamaan, dari manik mata seperti milik harimau itu mengalir cairan kemerahan-merahan. Darah hidup yang bergerak-gerak kecil! Perlahan tapi pasti, cairan itu merambati pipi kasar Manusia Dari Pusat Bumi.
Darah dari bola mata kiri dan kanan pun bertemu di ujung dagunya. Tangan Manusia Dari Pusat Bumi lantas membawa Cermin Alam Gaib ke bawah dagu. Ketika itulah gerak kecil darah yang menggelantung di ujung dagu terhenti.
Tes!
Hanya dalam sebentuk tetesan, darah itu menetes kepermukaan cermin pembawa bencana. Cermin Alam Gaib berpendar semerah darah yang membasahinya, tepat pada saat keduanya menyatu. Bersamaan dengan itu, tetesan darah menghilang bagai terserap cermin.
“Diriku kini telah benar-benar menyatu denganmu, wahai Cermin Alam Gaib. Kini, kehendakku adalah kehendakmu. Keinginanku, juga keinginanmu,” ucap Manusia Dari Pusat Bumi seperti jalinan mantera.
Sebentar manusia siluman itu menghentikan kata-katanya. Ditatapnya Cermin Alam Gaib tajam-tajam.
“Kumau, sekarang juga kau perlihatkan keampuhanmu,” kata Manusia Dari Pusat Bumi lagi.
Berat dan pasti.Perlahan-lahan dia mengacungkan kepala cermin ke atas bibir goa. Dan....
“Hancur!” seru Manusia Dari Pusat Bumi lantang membahana.
Blarrr!
Tak ada sekerdipan mata, bagian atas bibir goa bertaburan menjadi debu yang tak berdaya digiring angin ke segenap penjuru, seperti hantaman pukulan dahsyat yang kasat mata. Perlahan-lahan Manusia dari Pusat Bumi mengacungkan kepala cermin ke atas bibir goa. Dan....
“Hancur!” serunya lantang membahana.
Blarrr!
Tak ada sekerdipan mata, bagian atas bibir goa bertaburan menjadi bongkahan-bongkahan batu yang tak berdaya digiring angin ke segenap penjuru! Bibir bertaring Manusia Dari Pusat Bumi menyembulkan seringai. Namun begitu, dia belum lagi puas atas hasil.yang dilihatnya.Matanya kemudian menemukan bongkahan batu kapur sebesar pendopo istana jauh di bawah sana, tepat menghadap mulut goa.
“Kini, angkat batu itu ke arahku!” perintah Manusia Dari Pusat Bumi pada Cermin Alam Gaib.
Begitu kata-katanya selesai, Manusia Dari Pusat Bumi mengarahkan kepala cermin pembawa bencana pada benda yang dituju. Maka batu kapur besar pun melayang, seolah tak memiliki bobot lebih dari selembar bulu!
Blam! Grrr....
Entah tenaga sesat dari mana. sehingga mampu menghempas kuat batu raksasa itu sampai menghantam bibir goa. Debu putih bertaburan memenuhi ruang goa. Butir-butiran kecil menerpa tubuh Manusia Dari Pusat Bumi, seakan memusuhi dan mengutukinya.
***
Ada pepatah lama yang berbunyi, ‘Lidi yang rapuh akan memiliki kekuatan jika dihimpun menjadi satu’. Untuk tujuan-tujuan tertentu, menyatukan kekuatan memang kadang sangat diperlukan. Bersatu mencapai tujuan, ternyata tak hanya berlaku untuk niat-niat terpuji. Para pembangun kejahatan pun tampaknya menyadari pentingnya hal itu. Jadi, tak akan heran bila suatu kali Manusia Dari Pusat Bumi mengundang tokoh-tokoh jajaran atas dunia hitam ke sebuah lembah terbuka yang tersembunyi, sebab dibentengi rapat-rapat oleh jajaran pegunungan.
Lembah itu bernama Lembah Pasir Tungku. Dinamakan begitu, karena tempatnya hanya berupa hamparan pasir yang begitu panas menyengat bagaikan tungku. Menilik warna pasir yang putih, Lembah Pasir Tungku lebih pantas disebut gurun. Di Lembah Pasir Tungku itulah, Manusia Dari Pusat Bumi merencanakan akan menghimpun tokoh sesat kelas atas dalam satu panji angkara murka!
Siang yang memanggang hari ini seperti tak dipedulikan dua wanita tua cacat. Yang seorang buta, sedang yang lain berkaki kutung. Perempuan tua berkaki kutung, dibopong si buta di bahunya. Wajah mereka sama-sama keriput. Pertanda kalau usia mereka tak jauh berbeda. Layaknya orang tua, rambut mereka pun telah memutih. Seluruh giginya nyaris tanggal, membuat bibir mereka cekung ke dalam. Dengan begitu dagu mereka tampak lebih menjorok keluar.
Tak ada perbedaan wajah keduanya. Karena dua perempuan tua itu memang kembar. Demikian pula pakaian yang dikenakan, sama-sama berbebat kain hitam sepanjang dada hingga lutut. Dengan usia renta dan pakaian yang begitu tampak ketat, sepertinya mereka tak bisa bergerak lincah. Padahal jika keduanya sudah berlaga di medan tempur, kecepatan sepasang perempuan renta itu selincah rase muda betina. Karena itu pula, menjelang usia uzur, mereka mendapat julukan Rase Tua Kembar.
Kehebatan yang paling ditakuti setiap lawan adalah rambut mereka. Pada saat-saat tertentu, sanggul rambut mereka bisa terlepas. Maka saat itulah akan melesat ulat-ulat halus beracun yang sanggup memanggang daging siapa pun. Daya tembus binatang melata kecil pun luar biasa. Sekali melesak ke dada lawan, maka ulat-ulat kecil itu akan tembus keluar sampai punggung.
“Manusia bernyali sebesar apa yang nekat mengundang kita hingga harus menempuh gurun keparat ini,” gerutu si buta.