Part 3
Purwasih menuruti ucapan Andika. Diperhatikannya bagian pinggul yang dimaksud pemuda itu. Ternyata, memang benar. Tepat seperti uraian Andika.
“Lalu?” tanya gadis itu kemudian, ingin tahu pen-dapat Andika tentang semua ini.
Andika terdiam sesaal. Matanya bergerak-gerak, seperti mencari-cari sesuatu. Tak lama berikutnya, matanya melirik langit-langit lorong berbatu runcing yang terus meneteskan air pada tiap ujungnya.
“Menurut dugaanku, air ini bukan air biasa.”
“Bukan air biasa bagaimana? Kulihat warna dan rasanya seperti air pada umumnya....”
Dengan sudut matanya, Andika menatap Purwasih lekat-lekat.
“Bagaimana kalau kita buktikan dugaanku itu?” tantang Pendekar Slebor.
“Kau mau bertaruh?” Purwasih balik menantang.
“Kalau kau benar, aku boleh menciummu,” tutur Andika setengah menggoda, membuat warna air muka Purwasih berubah lagi.
“Dan kalau aku keliru, kau boleh mencium dengkulku. Hua... ha... ha!”
Tawa pemuda urakan itu meledak. Lalu tanpa mempedulikan perubahan wajah Purwasih, Andika mengangsurkan tangannya ke bawah letesan air, tepat pada luka goresannva. Air dari langit-langit lorong itu jatuh setetes demi setetes, sampai luka itu pun mulai basah.
Keanehan pun mulai terjadi. Perlahan-lahan luka memanjang di tangan Andika mengering. Kulit yang tersobek, merapatdan merapat. Darah di sekitarnya menjadi coklat, lalu terkelupas sendiri. Kini kulit yang semula tergores pun sembuh seperti takpernah terjadi apa-apa. Sama seperti pinggul Purwasih. Hanya ada bekas menghitam.Bibir Andika tersungging lebar
.
“Aku yakin dalam beberapa hari, bekas hitam ini pun akan menghilang” kata Pendekar Slebor mantap.
Sementara Purwasih masih terpaku, belum sempat berucap apa-apa.
“Dan.... kita telah menemukan ‘Air Kehidupan’ Purwasih!” sentaknya tiba-tiba, seraya melompat kegira ngan tak bedanya bocah kecil diberi hadiah.
Purwasih masih tetap diam saja. Hanya saja, bibir ranumnya terlihat tersenyum kecil. Rupanya, dia tak tahan melihat tingkah pemuda idaman di depannya
“Purwasih! Cepat beri sarung pedangmu!” ujar Andika
Andika mengisi sarung pedang milik Purwasih dengan ‘Air Kehidupan’. Sementara, Purwasih terus memperhatikannya.
“Untuk apa sebenamya kau bawa air itu, Andika?” tanya Purwasih, tidak mengerti.
“Aku punya rencana bagus. Kau lihat saja nanti,” sahut Pendekar Slebor santai.
”Untuk apa?”
“Aku punya rencana bagus. Kau lihat saja nanti. Kita tak mungkin mengambil air ini dengan menyimpannya di dalam rongga mulut, bukan?”
“Ooe....”
“Satu pertanyaan lagi boleh?”
Andika mengangguk.
“Dari mana kau tahu kalau nama air itu ‘Air Kehidupan’?”
Andika meringis kebodoh-bodohan.
“Aku tak pernah tahu, apa nama air ini. Ke tempat ini pun, baru kali ini. Tapi daripada aku sebut ‘Air Anu kan lebih baik kukarang satu nama..., ‘Air Kehidupan’ Hua... ha... ha!”
***
Di tepi sebuah sungai, Lelaki Berbulu Hitam duduk termenung di atas sebatang pohon besar yang lumbang. Di tengah sungai berair jernih sampai dasar wngai berbatu-batu terlihat, Pendekar Dungu tengah mandi. Sekujur tubuhnya yang penuh lumpur, digosok-gosoknya.
Mengapa mereka bisa sampai ada si sini? Rupanya, arus bah telah menyeret mereka keluar dari aliran sungai bawah tanah, ke sungai terbuka yang membelah sepasang bukit tempat mereka berada.
“Hitam! Apa kau tak berniat membersihkan tubuhmu?!” sapa Pendekar Dungu seraya menyibak-nyibak arus kecil sungai.
“Kira-kira, apakah Tuan Penolong kita masih hidup, Dungu?” tanya Lelaki Berbulu Hitam, tak mempedulikan ajakan Pendekar Dungu.
“Kalau dia mati, siapa yang akan membantu menyelesaikan persoalan kita? Padahal aku begitu mengidam-idamkan bisa membuang sifat beringasanku. Apa kau tak mau membuang kebodohanmu, Dungu?”
“Ngomong-ngomong soal membuang, tiba-tiba aku jadi kepingin ‘membuang’ juga, nih!” cetus si tua bergigi ompong.
Pendekar Dungu segera lari ke balik batu besar. Tak lama kemudian, tercium bau busuk seperti bau seribu setan belang. Juga terdengar bunyi kecil nan merdu....
Plung..., piung!
“Hitam! Kira-kira, apa membuang sifat beringasanmu semudah membuang ‘ampas’ ini, ya?!” oceh Pendekar Dungu.
Lelaki berbulu lebat keturunan serigala tak menyahut. Biasanya, hatinya langsung kalap kalau ada kata-kata ngawur Pendekar Dungu yang menyinggung perasaannya. Mungkin dia sudah mulai terbiasa dengan kebodohan bangkotan bebal itu. Atau mungkin sedang memikirkan nasib Andika yang diyakini sebagai Tuan Penolongnya.
Sementara kepala Pendekar Dungu muncul dari balik batu besar.
“Hitam! Hitam!” panggil Pendekar Dungu, makin banyak mulut.
“Hey, kau masih memasang telingamu, bukan?”
Lelaki Berbulu Hitam tetap duduk bertopang dagu. Tak dipedulikannya segala kicauan Pendekar Dungu. Lalu, tergopoh-gopoh Pendekar Dungu menghampiri kawan senasib sepenanggungannya yang selalu jadi lawan dalam perang mulut.
“Menurutmu apa hakim sial itu masih hidup?” kata Pendekar Dungu, sambil menaikkan celana.
Lelaki Berbulu Hitam menaikkan kepala. Dilepasnya pandangan ke mata kelabu tua bangka di depannya.
“Rasanya, aku barusan melihat bayangan hakim sial itu dipermukaan air sungai...!,” sambung Pendekar Dungu, memberitahu.
Tiba-tiba Lelaki Berbulu Hitam tersentak.
“Bodoh!” maki laki-laki keturunan serigala itu.
Lalu, Lelaki Berbulu Hitam mengedarkan pandangan dengan sinar mata liar ke sepasang bukit berbatu-batu di kanan dan kiri sungai.
“Ada apa?!” tanya Pendekar Dungu tak mengerti.
Rahang Lelaki Berbulu Hitam mengeras.
“Mungkin tadi kau tak sengaja melihat bayangan si Hakim Tanpa Wajah mengintai kita!” bentak Lelaki Berbulu Hitam geiam.
“Jadi, orang jelek itu masih hidup?”
***
Alunan senandung seruling mendayu, menjamah angkasa bebas. Siraman gencar sinar matahari jadi tampak bersahabat, diapit nada-nada yang mengusik buluh perindu itu. Siang yang garang berubah menjadi bersahabat oleh tiupan seruling seorang anak lelaki berusia sekitar empat belasan tahun. Rambutnya kusut masai seperti bulu domba sepanjang bahu. Pakaian yang dikenakan compang-camping berwarna kusam. Namanya Walet.
Bocah tanggung itu kini berjalan santai melenggak-lenggok menembus lembah luas berhias bunga-bunga rumput liar. Beberapa waktu lalu, bocah kecil berjiwa kukuh ini sempat bekerjasama dengan Pendekar Slebor dalam membongkar kepalsuan seorang pejabat. Mereka bahkan sempat pula bersahabat. (Tentang anak ini, bacalah episode: “Mustika Putri Terkutuk”).
O, bunga rumpul liar
Kalau saja kalian dengar
Sehimpun mata hati basah dalam tangis
Kuluhi dunia bengis
Terkangkangi angkara
Dilindas jejak-jejak murka....
Mulut mungil bocah itu melepas senandung berlirikgelisah. Seolah, dalam dirinya dibebani mendung alas tabiat buruk manusia di atas buana. Tak berapa lama, Walet tiba di dekat pohon besar tempat Raja Penyamar bersemadi. Saat itu, Raja Penyamar baru saja memutuskan untuk beranjak pergi. Hendak disatroninya Pengadilan Perut Bumi, setelah yakin tak ada lagi benteng gaib penyelubungnya.
Tanpa menggerakkan kaki, lelaki tua berwujud toh halus itu melintas cepat di depan Walet. Tak dipedulikannya si bocah, mengingat hal genting yang harus dikerjakan.
“Pak Tua! Kenapa begitu tergesa-gesa?! Meski aku hanya bocah, tak ada salahnya kau bersikap sopan sedikit melintas di depanku,” tegur Walet, acuh tak acuh. Dimainkannya seruling dari tangan satu ke tangan yang lain.
Demi mendengar teguran menyindir bocah langguh itu, Raja Penyamar langsung saja menghentikan laju tubuhnya. Sungguh sebuah kejutan baginya, menyadari si bocah tahu kalau dirinya melintas di depannya. Percaya tak percaya. Raja Penyamar menoleh ke arah Walet. Diperhatikannya wajah lugu anak gondrong itu teliti sekali. Seakan, dia hendak meyakinkan diri.
“Anak ini menegurku atau menegur orang lain?” pikir Raja Penyamar. Tapi selama berada di sana, tidak dilihatnya seorangpun. Kecuali, dirinya dan si bocah.
“Kenapa kau jadi terlihat lucu seperti itu, Pak Tua?” tegur Walet lagi.
“Kau..., bisa melihatku?” tanya Raja Penyamar, digelitik rasa penasaran.
“Apa salahnya aku bisa melihatmu? Apa tindakanku adalah dosa?” Walet balik bertanya dengan nada lugu.
“Siapa kau sebenarnya, Bocah?” selidik Raja Penyamar.
“Aku, ya aku. Aku bukan dia. Bukan mereka, dan juga bukan kau, Pak Tua,” jawab Walet berputar-putar.
Dengan langkah berkesan riang, anak muda tanggung itu menghampiri pohon besar lalu duduk bersandar di bawah naungannya.
“Silakan kalau ingin melanjutkan perjalananmu, Pak Tua. Tak mengapa kalau aku menempati tempatmu, bukan? Udara siang benar-benar membuatku penat...,” lanjut Walet.
Raja Penyamar mengurungkan niatnya. Malah, dihampirinya Walet bersama gumpalan tanda tanya dalam benak. Kalau seseorang sudah bisa menembus alam halus dengan matanya, sudah pasti bukan orang sembarangan. Namun begitu, Raja Penyamar agak ragu bila menilik usia si bocah. Sepanjang hidup, tak pernah ditemui tokoh sakti berusia begitumuda.
“Kau masih bau kencur. Tapi, matamu setara dengan penglihatan tokoh-tokoh sesepuh dunia per- silatan. Kurasa ada sesuatu yang kau sembunyikan. Maukah menjelaskan padaku?” tanya Raja Penyamar.
“Eh! Kenapa kau tahu aku menyembunyikan sesuatu?!” kata Walet. Matanya membulat penuh. Sambil tertawa-tawa, dikeluarkannya dua butir telur rebus dari balik baju rombengnya.
“Maksudmu bukan telur-telur itu,” sergah Raja Penyamar.
“Kalau bukan telur ini, aku memang masih menyembunyikan telur yang lain...,” oceh Walet sekena-kenanya.
Raja Penyamar tersenyum lebar. Wajah berwibawa yang memancarkan pendaran cahaya, tampakmemperlihatkan binar bersahabat
.
“Kau mengingatkan aku pada seseorang, Bocah,” kata Raja Penyamar. Masih tetap beriring senyum, matanya menerawang membayangkan seseorang.
“Ah! Kalau dia orangnya, aku sudah kenal...,” terabas Walet, seperti bisa mengamali gambaran seseorang yang dibayangkan Raja Penyamar.
Sekali lagi Raja Penyamar dipaksa terkejut.
“Dia siapa maksudmu?” pancing orang tua itu, berpura-pura.
“Kang Andika. Si Pendekar Slebor dari Lembah Kutukan yang mulutnya bawel seperti perempuan. He he he!”
“Kau...,” desis Raja Penyamar takjub.
Setelah itu, Raja Penyamar tak tahu lagi hendak mengatakan apa.
“Apa kau sejenis anak siluman golongan putih?” lanjut orang tua ini selang beberapa lama.
“Ha ha ha!” Tawa Walet kontan meledak berderai-derai. Sampai-sampai, dia merasa harus memegangi perutnya sendiri. Mungkin takut ada yang terlepas dari ‘bawah’.
“Kenapa kau tertawa?” sela Raja Penyamar.tampak kegusaran di wajah tenang Raja Penyamar mendapat perlakuan seperti itu.
Dia sendiri tak tahu, kenapa tak terbetik ketersinggungan di hatinya. Padahal menurut adat yang berlaku, sikap bocah ini sudah keterlaluan. Seperti ada semacam pengaruh batin dari diri si bocah yang membuatnya senang dan langsung merasa akrab dengan Walet.
“Pak Tua..., Pak Tua. Kau pikir siluman mana yang mau mengakui aku sebagai anaknya? Ha ha ha! Kurasa, aku ini lebih jelek daripada anak siluman mana pun!”
Tak lama. Raja Penyamar pun jadi tersadar. Bukankah dia harus segera pergi ke Pengadilan Perut Bumi?
“Baik, Bocah. Kalau Tuhan mengizinkan, mudah-mudahan kita bisa berjumpa lagi. Pada saat itu, kau tentu tak keberatan menjelaskan padaku tentang dirimu, bukan?” pamit Raja Penyamar.
“Hm, Pak Tua! Sebaiknya kau tak pergi ke tempat yang kau tuju. Pergilah ke sebelah barat dari tempat itu. Di sana ada goa di kaki bukit...,” kata Walet, sebelum lelaki berwujud roh itu menghilang.
“Kenapa begitu?”
“Kurasa nanti pun kau akan tahu. Dan, kalau kau berjumpa Kang Andika, katakan padanya dia membutuhkan ‘sesuatu yang bisa menandingi’ kekuatan sihir senjata lawan!”
Meski digelayuti keheranan, Raja Penyamar beranjak juga dari tempat itu. Tubuh halusnya melayang cepat, kemudian menghilang.
“Terimakasih banyak, Pak Tua!” seru Walet.
Di goa kaki bukit seperti ucapan Walet, Raja Penyamar bertemu Andika dan Purwasih. Goa itu pula yang menjadi penghubung aliran sungai bawah tanah dengan sungai terbuka tempat Lelaki Berbulu Hitam serta Pendekar Dungu terdampar waktu itu.
Sambil bergandengan tangan, Andika dan Purwasih muncul di mulut goa. Pakaian mereka masih kuyup dengan lumpur coklat di sana-sini. Sementara Purwasih menenteng pedang bergagang kepala naganya di satu tangan, Andika justru memegang warangkanya dengan hati-hati. Andika hanya takut ‘Air Kehidupan’ di dalamnya tertumpah. Padahal mereka sudah susah payah membawanya keluar dengan berjalan terseret-seret di sepanjang sungai bawah tanah. Malah mereka harus tertunduk-tunduk kalau kebetulan langit-langit lorong begitu pendek. Terkadang pula harus sungsang-sumbel menghindari gigi langit- langit yang runtuh menghujam akibat getaran suara. Semua itu harus ditempuh selama setengah harian yang melelahkan.
“Andika!” sambut Raja Penyamar di permukaan arus sungai di depan bibir goa. Roh lelaki tua itu mengapung, tanpa dihela arus.
“Raja Penyamar?” gumam Pendekar Slebor sedikit ragu.
Pengalaman ditipu mentah-mentah oleh siluman yang menyerupai Raja Penyamar, membuat Pendekar Slebor berhati-hati. Maka begitu teringat kalau Raja Penyamar asli selalu muncul disertai wangi bunga sedap malam, hidung Andika segera mengendus- endus seperti seekor kucing lapar mencari makan. Namun hawa dingin membuat hidungnya agak tersumbat. Sehingga tampaknya kurang peka terhadap bebauan. Untung, akhirnya wangi kembar sedap malam itu bisa tercium juga.
”Ah, syukurlah. Ternyata kau memang Raja Penyamar,” kata Andika lega.
Suara Pendekar Slebor yang agak keras, kali ini ditangkap telinga Purwasih. Dara itu terheran-heran melihat tindak-tanduk pemuda pujaannya yang entah berbicara pada siapa.
“Kau bicara padaku, Andika?” tanya Purwasih.
“Tidak. Aku bicara dengan kawan tuaku,” sahut Andika.
Dengan isyarat mata, ditunjuknya tempat Raja Penyamar berdiri.
“Kau sinting, ya? Aku tak melihatsiapa-siapa di sana!” omel Purwasih.
“Sini. kau! Biar matahari siang menghangatkan otakmu yang mulai beku!”
Purwasih segera menarik Andika ke tepi sungai.
“Hey, jangan menarikku seperti ini! Aku harus berbicara dengan....”
Andika cepat tersadar.
“Slompret! Aku saja yang tolol! Ya. jelas Purwasih tak melihat Raja Penyamar...,” gerutu pemuda itu pada diri sendiri yang seraya menepuk kening keras-keras.
“Nah! Sekarang kau mulai sadar kalau otakmu sudah beku bukan?” cemooh Purwasih tak tahu-menahu.
“Ah, iyalah!”
Andika pasrah ditarik-tarik Purwasih seperti kambing congek. Harus dicarinya akal, agar bisa berbicara dengan Raja Penyamar tanpa membuat bingung dara itu. Raja Penyamar sendiri hanya bisa tersenyum-senyum melihat tingkah dua anak muda itu.
“Purwasih! Bagaimana kalau kau membuat api unggun didekat pohon nyiur itu, sementara aku akan mencari kelinci? Kau tentu sudah lapar dan mau menyantap daging kelinci hangat bukan?” usul Pendekar Slebor.
Sebenarnya, Pendekar Slebor hanya mencari alasan agar bisa pergi untuk sementara.
“Usul bagus! Kalau begitu, cepat!”
Andika pergi dengan senyum lebar. Ditemuinya kembali Raja Penyamar di tempat semula.
“Kebetulan sekali kau datang, Pak Tua! Aku punya sesuatu untukmu!” ujar pemuda dari Lembah Kutukan itu.
“Sebelum kau lanjutkan, apa yang terjadi dengan Pengadilan Perut Bumi?”
Andika menaikkan kedua tangannya dengan telapak tangan membuka lebar-lebar.
“Blar!” seru Pendekar Slebor dengan mimik wajah seru pula.
“Tempat itu hancur. Guru dan murid brengsek itu yang menjadi penyebabnya. Mereka jotos-jotosan.... Nah sekarang, kau mau dengar berita gembira untukmu?”
“Apa?”
“Tanpa sengaja, aku menemukan air ajaib?” sambung Andika menggebu-gebu.
”Air ajaib apa?”
“Ah! Aku tak tahu, apa namanya. Maka kukarang satu nama ‘Air Kehidupan’! Bagus, bukan? Nah! Yang jelas, air itu bisa membuat tubuh yang luka atau masak menjadi pulih kembali. Ajaib!”