Kaskus

Story

uclnAvatar border
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR
PENDEKAR SLEBOR


Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta



Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.

Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).

Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.

Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan

Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.

Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..

Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.

Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..

And Here We Go.....

I N D E K S


Spoiler for Indeks 1:



TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya


GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
anasabilaAvatar border
regmekujoAvatar border
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
uclnAvatar border
TS
ucln
#158
Part 7

Ketika pengadilan pada purnama ketiga akhirnya tiba, bulan bulat tepat menggantung bebas diangkasa raya. Seluruh tawanan Pengadilan Perut Bumi digiring ke sebuah ruang besar. Tangan mereka dibelenggu menjadi satu dengan rantai-rantai baja. Dari sebuah lorong gelap tak berpelita tak seperti tempat lain dalam Pengadilan Perut Bumi, para tawanan tiba di ruang besar tersebut. Suara tumbukan rantai di tangan mereka berpantulan pada dinding ruang, menciptakan bunyi menggema yang mendirikan bulu roma.

Ruang itu seluas alun-alun keraton. Sisi dan atasnya berupa dinding batu bergigi-gigi kasar, membentuk kubah raksasa. Di tengah ruangan, terdapat meja besar berukir yang bentuknya melengkung setengah lingkaran. Di ujung depan meja, terdapat sebuah tengkorak manusia untuk menempatkan lilin berwarna merah sebesar lengan manusia. Api di atas lilin bergerak-gerak kecil.

Sinarnya menerangi ukiran bergambar para algojo berjubah sedang memancung, menggantung, atau menyiksa korbannya. Di sekeliling dinding ruangan, terdapat ratusan pelita kecil. Seolah, puluhan pasang mata yang siap menyaksikan jalannya pengadilan si Hakim Gila. Tepat di depan meja, terdapat tungku api besar menyala-nyala. Lidah apinya bergerak menjilat-jilat bagai gapaian tangan-tangan dari neraka. Di depan tungku api sekitar empat tombak, berdiri panggung besar dari batu berbentuk persegi. Permukaan panggung terlihat kasar, bahkan tajam. Andai seseorang terjatuh di sana, tentu kulit tubuhnya akan langsung terkelupas.

Para tahanan dijajarkan di kedua sisi panggung dalam dua barisan. Ada sekitar sepuluh orang setiap baris. Di sebelah kiri adalah tokoh-tokoh aliran sesat. Sedangkan sebelah kanan aliran lurus. Tak lama mereka menunggu, Hakim Tanpa Wajah memasuki ruangan dari sebuah pintu kecil, tak jauh di belakang meja. Tubuhnya tidak dibungkus kain kafan lusuh seperti biasa. Kini dia mengenakan jubah hitam panjang, sampai menutupi seluruh kakinya.

Dengan langkah-langkah angkuh, laki-laki itu menghampiri meja, lalu duduk di sebuah bangku besar yang sandarannya lebih tinggi dari kepalanya.

“Pengadilan dimulai.”

Hakim Tanpa Wajah membuka sidang dengan suara berat. Tanpa hendak melaksanakan tuntutan dan pembelaan lagi, Hakim Tanpa Wajah langsung menjatuhkan hukuman.

“Dengan ini, kalian semua dihukum mati dengan cara bertarung satu lawan satu, hingga ada yang menemui ajal!” ujar Hakim Tanpa Wajah.

Bersamaan ketukan palu, beberapa orang tawanan berseru. Ada yang memaki atau bergumam kaget. Sebagian di antara mereka hanya diam tegang memandangi wajah buruk Hakim Tanpa Wajah.

Duk! Duk! Duk!

Palu diketuk Hakim Tanpa Wajah berkali-kali.

“Diam!” bentak Hakim Tanpa Wajah kasar. Suara Hakim Tanpa Wajah bergema memadati ruangan.

“Sang Penuntut! Bawa dua terhukum ke depan!” lanjut hakim gila ini.

Manusia Dari Pusat Bumi melepas dua lelaki di barisan kiri. Digiringnya mereka ke atas panggung. Lelaki pertama adalah seorang berusia sekitar tiga puluh tahunan. Badannya tinggi besar, dihiasi otot kenyal menonjol dan gambar rajahan di seluruh badan. Kepalanya gundul penuh cacat bekas luka, serta berwajah seram dan kasar. Dia hanya mengenakan celana pendek merah yang digabung selempang bersilang di dada dari kulit ular. Di tangannya tergenggam dua golok besar. Di dunia persilatan, lelaki itu dikenal sebagai Sepasang Golok Angin.

Lelaki kedua bertubuh lebih kecil. Di lain sisi, tingginya malah melebihi si Gundul. Itu sebabnya, dia tampak kurus. Wajahnya cukup tampan, namun dingin dan bermata tajam. Rambutnya yang pendek diikat kain berwarna merah. Pakaiannya pun sewarna dengan ikat kepala. Bila diperhatikan, tangannya tampak lebih panjang dari biasa. Kedua tangan itulah senjata maut si Lelaki jangkung yang berjuluk si Tangan Ular.

Keduanya kini berdiri berhadapan, di atas panggung batu. Masing-masing menatap tajam pada calon lawan, seakan dua hewan buas. Tangan lelaki jangkung itu mengepal keras, lalu meremas-remas. Lawannya di depan, memainkan gagang golok dengan jari-jarinya. Sesaat kemudian....

Tak! Tak!

Dua totokan jarak jauh dilepas Hakim Tanpa Wajah. Dengan begitu, mereka terbebaskan dari kuncian tenaga. Tapi kini keadaan mereka diganti dengan penguncian pikiran. Ya! Tepat dugaan Kamajaya waktu itu, Hakim Tanpa Wajah memang menotok jalan kesadaran orang-orang yang hendak disabung. Pikiran mereka kini terkunci dalam nafsu membunuh yang liar!

“Hiaaakh!”

Kancah pertarungan maut pecah. Sepasang Golok Angin menerjang lebih dulu. Sepasang golok besarnya berputar di kedua sisi tubuh bagai dua kincir setan.

Wuk! Wuk! Wuk!

Setibanya di depan lawan, satu golok di tangan kanan Sepasang Golok Angin menebas deras ke depan. Kepala lawan hendak dibelah menjadi dua bagian. Tapi si Tangan Ular menyelamatkan kepalanya yang kecil dengan merunduk sigap dengan tubuh tetap tegak. Gerakannya seperti tiang bambu runtuh. Tubuh Sepasang Golok Angin disambut dengan sodokan dua tangan lurus ke depan. Arahnya, tepat kedua sisi dada bidang lawan.

Bet!

Mengetahui ada sepasang tangan hendak men-jebol dadanya, Sepasang Golok Angin menghentikan putaran golok di tangan kiri dan dengan tangkas dihadangnya tohokan si Tangan Ular dengan membentang sisi golok di depan dada.

Tang! Tang!

Tangan sekeras baja milik si Tangan Ular bertumbukan dengan senjata Sepasang Golok Angin. Kekuatan tenaga dalam mereka seketika menimbulkan percikan api meskipun yang berbenturan hanya golok dengan tangan.

Luputnya serangan, mendorong Tangan Ular melepas satu serangan susulan yang cepat. Dengan jari menegang lurus seperti kepala seekor ular sendok disambarnya wajah Sepasang Golok Angin dalam pergantian arah serangan secepat kilat.

Bet!

Tangan si Tangan Ular begitu cepat menyambar. Tapi gerakan Sepasang Golok Angin rupanya tak kalah cepat. Dalam kecepatan, kedua tokoh aliran sesat itu tampaknya cukup berimbang. Seperti mematahkan leher, Sepasang Golok Angin menggeleng cepat, menyelamatkan wajahnya dari patukan lawan. Namun Tangan Ular seperti tak memberi kesempatan pada Sepasang Golok Angin untuk sekadar bernapas lega. Sekali lagi, tangan yang lain mematuk deras ke wajah Sepasang Golok Angin.

Bet!

Kembali si Lelaki Gundul itu melempar wajah ke lain arah. Usahanya kedua berhasil, disusul satu tebasan dua golok berbarengan untuk menggunting leher si Tangan Ular yang masih meluncur turun.

Set!

Mana mau Tangan Ular menyerahkan lehernya untuk ditebas. Maka dengan cerdik otot perut hingga badannya dikencangkan cepat ke depan. Secepat itu pula tubuhnya berguling ke depan, menerobos benteng pertahanan lawan. Kakinya kini begitu bebas, tidak di dekat perut si Lelaki Gundul. Akibatnya....

Duk!

Sepasang Golok Angin langsung terjengkang ke belakang. Tubuhnya yang besar melayang menuju permukaan tajam panggung. Tak dinyana lagi kepala Sepasang Golok Angin terjerembab lebih dahulu ke permukaan panggung. Tangannya yang sebelumnya sibuk menggerakkan senjata, tak sempat lagi menjadi topangan. Seketika wajah kasar lelaki itu terbentur....

Duk!

Lolongan menyayat terdengar. Wajah Sepasang Golok Angin tercabik-cabik bermandikan darah. Golok di tangannya sudah dilepas, lalu didekapnya wajah sambil meraung-raung. Saat itulah Tangan Ular menghadiahinya satu patukan maut, sebagai pengantar menuju kematian.

Bet! Bles!

Ulu hati si Gundul naas itu langsung jebol. Tangan kanan si Tangan Ular tembus satu jengkal ke dalam. Setelah mengaduk bagian dalam tubuh lawan, barulah tangan mautnya ditarik keluar. Berbarengan dengan itu, tubuh Sepasang Golok Angin pun ambruk.

***


Panggung kematian sunyi kembali. Tangan Ular berdiri kaku bagai mayat hidup pemakan bangkai. Di dekatnya, tubuh Sepasang Golok Angin tergeletak tanpa nyawa. Darah pertama pada purnama ini, membasahi panggung. Seperti terjadi delapan puluh tahun yang silam.

Purwasih yang berada di barisan kanan tak kuasa menyaksikan kejadian itu. Hanya dia satu-satunya wanita dalam jajaran para korban. Selaku wanita, hatinya tetap lembut, sehingga tak bisa menelan mentah-mentah peristiwa kejam itu. Tak seperti para tawanan lain yang hanya menatap dengan mata menyipit.

“He... he... he! Sebuah pelaksanaan hukuman yang memuaskan!” puji Hakim Tanpa Wajah.

Bibir laki-laki tua itu tak kunjung henti melempar seringai haus darah. Kegilaannya membuatnya merasakan satu kepuasan tersendiri manakala menyaksikan orang lain saling membunuh.

“Sang Penuntut! Lemparkan mayat tak berguna itu ke lubang menuju rawa. Biar dia jadi makanan buaya peliharaanku! He-he-he!” perintah Hakim Tanpa Wajah pada Manusia Dari Pusat Bumi.

Manusia Dari Pusat Bumi menuruti apa kata sang Guru. Mayat Sepasang Golok Angin segera dibawanya keluar ruangan. Dari pintu kecil tempat Hakim Tanpa Wajah masuk tadi, dia keluar. Disusurihya lorong kecil yang lurus menuju sebuah lubang air seperti sumur. Lubang itu bersambungan langsung dengan rawa-rawa di mana ratusan buaya setiap purnama ketiga delapan puluh tahun silam, menanti-nanti mayat yang akan diumpankan.

Sementara itu di ruang Pengadilan Perut Bumi, acara dilanjutkan kembali. Hakim Tanpa Wajah tak sabar menunggu muridnya kembali. Dia terlalu berselera untuk melihat kembali satu adu nyawa yang akan menumpahkan darah di atas panggung, di depan matanya.

Dari kursi kebesarannya, Hakim Tanpa Wajah bangkit. Dihampirinya jajaran tawanan di sebelah kanan. Bibirnya tetap menyeringai ketika kakinya melangkah angkuh seraya memandangi para tawanan satu demi satu. Tiba di dekat Andika, mata pemuda itu ditatapnya tajam-tajam. Dan Andika membalasnya tak kalah tajam.

“He-he-he! Pendekar muda kesohor yang bikin geger dunia persilatan belakangan ini sungguh sayang, kau harus mengalami nasib sial di pengadilanku,” ujar Hakim Tanpa Wajah memuakkan.

“He-he-he,” Andika tertawa meledek dengan bibir mencibir.
“Lelaki jelek bangkotan yang hebat delapan puluh tahun lalu, sungguh disayangkan akan kubuat terkencing-kencing di ‘kandang’nya sendiri....”

Wajah si Bangkotan itu mendekat pada Andika. Bibirnya tetap memamerkan seringai. Dari mimik wajahnya, tak tampak kalau dia terpancing ucapan Andika barusan.

“Bagaimana cara kau membuktikan hal itu, Anak Muda Tolol?” desis Hakim Tanpa Wajah.

“Bagiku amat mudah, Orang Tua Jelek! Kita lihat saja nanti!” ancam Andika, tepat di wajah buruk si Hakim Tanpa Wajah.

Hakim Tanpa Wajah tergelak. Lalu langkahnya dilanjutkan.

“Mudah? He-he-he! Lihat saja nanti? He-he-heee-hek!” kata Hakim Tanpa Wajah sambil mendekati Pendekar Dungu.

Kini laki-laki bangkotan itu tiba di depan Pendekar Dungu.

“Dungu.... Dungu.... Akhirnya kau harus menyerah juga di tanganku,” kata Hakim Tanpa Wajah
penuh kemenangan.

“Apa?!”

Pendekar Dungu melotot. Mata sayu si Bangkotan Ompong itu seperti hendak keluar mendadak.

“Kau bilang apa? Mana tanganmu? Coba kulihat. Apa iya aku ada di sana?” kata Pendekar Dungu dengan wajah terlolong-lolong keheranan.

“Kau masih tetap bodoh seperti dulu, Dungu!”

Selesai memaki, Hakim Tanpa Wajah melangkah ke samping Lelaki Berbulu Hitam kini dihadapinya.

“Kau... he-he-he! Kenapa dari tadi mulutmu bungkam? Sudah bosan membeberkan makian-makian memuakkanmu itu?!” ledek Hakim Tanpa Wajah.

“Diam kau, Manusia Jelek Sejagad! Lepaskan belengguku. Dan bebaskan totokanku! Ayo kita bertarung untuk membuktikan, siapa di antara kita yang lebih hebat!” maki Lelaki Berbulu Hitam terus menerus.

“Tarik napas, Hitam.... Tarik napas,” selak Pendekar Dungu.
“Kalau kau tak tarik napas, kau bisa mati karena terlalu panjang memaki....”

“Diam kau, Bangkotan Dungu! Aku tak perlu pendapatmu yang menjengkelkanku. Apa kau pikir aku tak bisa menghadapi lelaki sok besar ini?! Aaah, sial-sial-sial!”

“Hey-hey! Kenapa kau jadi sewot padaku?” jawab Pendekar Dungu, tanpa rasa salah sedikitpun.

“Kalian benar-benar sinting!” hardik Hakim Tanpa Wajah, terpancing tingkah kedua lelaki yang pernah menjadi saingan utamanya dulu.

Sebelum melanjutkan langkah, kembali Hakim Tanpa Wajah menatap Pendekar Dungu dan Lelaki Berbulu Hitam.

“Setelah kalian berdua menemui ajal, akan kucari si Raja Penyamar Keparat! Tinggal dia saingan beratku, setelah kalian berdua, Manusia Sinting!”

Sementara itu, tanpa diketahui siapa pun, seseorang memasuki salah satu ruangan dalam Pengadilan Perut Bumi. Ruangan itu terletak di antara kamar-kamar tahanan. Cara berjalannya amat ringan dan pasti. Tatkala satu obor menerangi wajahnya, maka tampaklah mimic menyeramkan. Bertaring, berambut merah bara bagai kayu bakar neraka dan bermata seekor macan hutan. Dia memang si Manusia Dari Pusat Bumi. Mestinya, setelah melempar mayat Sepasang Golok Angin tadi, dia kembali ke ruang pengadilan. Tapi, itu tidak dilakukannya. Seakan, dia memiliki rencana sendiri di luar rencana sang Guru.

Di dalam ruangan, matanya mencari-cari sebentar Di dinding batu, matanya tertumbuk pada lubang kecil yang langsung didekati. Dari lubang itu, dikeluarkannya sebuah benda. Tepatnya, sebuah cermin bulat berbingkai kayu hitam. Cermin Alam Gaib yang direbutnya dari tangan Andika. Sebuah cermin yang dikhususkan untuknya, datang dari alam siluman sebagai bekal dari para makhluk kegelapan, untuk mendukung tugasnya menjadi sang Pengacau Dunia!

Dengan menggenggam pegangan cermin, Manusia Dari Pusat Bumi duduk bersila. Matanya terpejam dan bibirnya bergerak-gerak merapalkan mantera. Bisikannya terdengar naik turun, seperti irama nyanyian upacara-upacara gaib. Sewaktu bisikan mantera makin menurun dan menurun, timbul selubung cahaya kemerahan di sekitar tubuhnya. Dalam kegelapan ruang, cahaya itu berpendar memenuhi tempat ini. Sampai akhirnya, seluruh ruangan dipadati cahaya merah berasal dari tubuh Manusia Dari Pusat Bumi.

Tak lama, seberkas sinar lain keluar perlahan dari permukaan cermin. Bentuknya memanjang, seperti serat berpendar. Warnanya lebih merah dari sinar yang keluar dari tubuh Manusia Dari Pusat Bumi. Serat cahaya merah pekat itu membesar perlahan, membentuk suatu wujud menyeramkan. Sesosok siluman tinggi besar! Kepalanya besar, bermata satu serta berperut buncit. Mulut bertaring besar bergerak-gerak, menciptakan lendir-lendir pucat kental yang
memanjang.

“Ini purnama yang kau janjikan, Eyang. Saatnya aku menerima petunjuk darimu,” desis Manusia Dari Pusat Bumi. Matanya tetap terpejam rapat.

Diawali denting panjang, siluman tadi menggeram!

“Benar! Ini purnama yang ditentukan bagimu. Tugas besar dari seluruh makhluk alam kegelapan harus kau emban...,” kata makhluk yang dipanggil Eyang.

“Apa itu, Eyang?”

“Buat kekacauan di muka bumi! Tapi, kau tak akan bebas bergerak untuk melakukan hal itu, selama masih ada seseorang....”

“Siapa dia?”

“Seseorang yang dimanfaatkan kaummu untuk menyampaikan Cermin Alam Gaib. Namanya Andika yang berjuluk Pendekar Slebor. Salah seorang keturunan manusia ksatria berjuluk Pendekar Lembah Kutukan....”

“Kenapa dia begitu berbahaya bagiku?” susul Manusia Dari Pusat Bumi, ingin tahu lebih jelas.

“Karena, dia adalah satu dari manusia yang memiliki bakat suci dalam dirinya sepanjang satu abad terakhir. Orang seperti itu, akan menghambat usaha kita menguasai dunia dan mengubahnya menjadi alam kegelapan....”

Sesaat sang Siluman menunjuk pada cermin di tangan Manusia Dari Pusat Bumi. Tangannya bergetar kuat, seolah benda itu memiliki pengaruh hebat.

“Pergunakan benda itu! Hanya ada satu-satunya Cermin Alam Gaib di alam kami. Benda itu adalah tiang Istana Kerajaan Siluman. Jika kau tak menjaganya, berarti membiarkan kaummu hancur...,” tandas makhluk itu amat berat. Suaranya seolah dibebani ratusan gunung.

“Lalu, apa manfaatnya yang hebat bagiku?”

“Nanti kau akan segera tahu. Yang jelas, kini kau harus melepaskan diri dari keinginan Hakim Tanpa Wajah. Kau bukan berada di bawah pengaruhnya. Kau berada di bawah pengaruh kami! Khianati dia! Karena, pengkhianatan adalah salah satu kerja terbaik bagi kaum kita!”

***


Pertarungan maut kedua di ubun-ubun panggung kematian akan dimulai lagi. Dua petarung telah dipilih dari barisan kanan. Purwasih harus berhadapan dengan pemuda yang amat dicintainya. Andika!

Dua anak itu sudah berdiri diam di atas panggung. Tak ada sepatah kata pun yang terucap. Mereka terpaku bisu digerayangi ketegangan hebat. Andika menatap mata berbulu legam milik wanita di depannya dengan sinar mata kekhawatiran. Begitu juga Purwasih. Sedang sekitar dahi, mulai berpeluh. Tak ada yang bisa diperbuat, kecuali menunggu Hakim Tanpa Wajah melepas totokan rahasianya yang akan membuat keduanya kehilangan kesadaran sama sekali. Lalu, mereka berubah seperti hewan buas tak kenal kasihan.

“Apa yang bisa kuperbuat?” tanya batin Andika.

Tak beda dengan para tawanan lain, kekuatan Pendekar Slebor sudah tidak bisa lagi diandalkan. Tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan terkunci, tanpa daya dalam dirinya. Begitupun ilmu peringan tubuhnya. Kalaupun ada yang bisa diandalkan, hanya kecerdasan otaknya. Tapi apa lacur?

Sampai saat gawat ini, dia pun tak menemukan akal. Pikirannya buntu, akibat cekaman rasa tegang. Tak salah perkataan siluman yang menyamar sebagai Raja Penyamar dulu. Setiap manusia memang memiliki rasa takut. Kecuali, orang itu memang sudah tidak waras. Apalagi, ini menyangkut kematian yang sudah begitu dekat. Sebagai seorang lumpuh yang bertahan di ujung jurang. Dan Andika mau tak mau kehilangan akal sehatnya juga.

“Tiba saatnya hukuman dijatuhkan,” sentak Hakim Tanpa Wajah dari belakang meja kebesarannya.

“Tunggu!” tahan Andika, di antara kecamuk pikiran untuk mencegah pertarungan membabibuta dengan Purwasih.

Hakim Tanpa Wajah menunggu ucapan Andika, bibirnya terus menyeringai.

“Apa tak bisa aku meminta sesuatu, sebagai permintaan terakhir?” usul Pendekar Slebor pada Hakim Tanpa Wajah, setelah berpikir keras sesaat.

Hanya itu yang sempat terbetik di benaknya. Sekadar mengulur waktu.

“Heee... he he heeek! Kau masih sempat juga bercanda saat menjelang kematianmu, Anak Muda!” kata Hakim Tanpa Wajah, sekaligus menertawai usulan calon korbannya.

Dari balik meja, tangan si Tua Bangka muncul lalu menggoyang-goyangkannya sebagai isyarat penolakan.

“Sudah tak ada waktu lagi bagimu, Anak Muda. Terima saja nasibmu. Hih!”


0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.