- Beranda
- Stories from the Heart
PENDEKAR SLEBOR
...
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR

Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.
Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).
Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.
Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan
Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.
Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..
Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.
Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..
And Here We Go.....
I N D E K S
Spoiler for Indeks 1:
TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya
GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ucln
#150
Part 2
Waktu itu, si Raja Penyamar menceritakan bagaimana mengerikannya si Manusia Dari Pusat Bumi. Juga, tentang kemungkinan kekuatan-kekuatan alam gaib milik para siluman yang bisa membantunya. Karena keterangan itu, Andika jadi terlalu berhati-hati semenjak keluar dari Kampung Kelelawar. Dalam bayangannya, Manusia Dari Pusat Bumi tentu bisa saja tiba-tiba muncul tanpa diketahui, lalu membedol jantungnya dengan kekuatan siluman.
“Kau sendiri siapa?!” balas orang di balik pohon.
Suaranya lantang, namun berkesan halus. Tepatnya, suara itu milik wanita. Andika mengernyitkan alis rapat-rapat. Dia berpikir sejenak. Seingatnya, Manusia Dari Pusat Bumi yang diceritakan Raja Penyamar bukan wanita. Kalau begitu, orang di balik pohon ini tentu bukan manusia jelmaan siluman yang dimaksudkan.
“Tapi...,” bisik Pendekar Slebor kemudian.
”... bisa saja siluman congek yang sedang menyamar jadi wanita....”
“Hey! Apa kau bilang tadi?! Kau menyebut aku siluman congek?!”
Terdengar dampratan gusar dari balik sebatang pohon.
“O, jadi kau bukan siluman congek? Lalu kau siluman apa? Apa sejenis siluman kibul?” tanya Andika, tanpa maksud meledek sedikit pun. Pertanyaan itu terlontar begitu saja, karena sedang was-was.
“Diam kau!” bentak orang di balik pohon, makin tersinggung.
“Wait! Apa aku menyinggungmu? Kau tentu bukan siluman kibul, ya? Pas... ti, kau siluman...,”
Andika mengurut-urut kening.
“Siluman apa, ya? Hey! Lebih baik kau saja yang memperkenalkan padaku, siluman jenis apa kau! Aku tak begitu tahu soal siluman-siluman!”
“Manusia tak tahu adat!”
Selesai terdengarnya hardikan itu, kembali terdengar suara pakaian yang menggelepar di udara. Orang di balik pohon itu rupanya melompat ke atas dahan pohon beringin. Tampaknya dia sudah tidak sabar lagi. Mendengar bunyi itu, Andika dengan sigap memasang kuda-kuda siap tempur. Kepalanya mendongak tegang ke atas pohon, langsung melihat seorang wanita yang sudah amat dikenalnya dulu!
“Brengsek kau!” maki sebuah suara wanita dari atas pohon beringin.
Selincah dan seanggun burung manyar, wanita itu melompat turun. Lalu dia berdiri tepat di depan pemuda yang baru saja dimakinya. Tangannya cepat terangkat, siap mendaratkan tamparan ke pipi pemuda di depannya.
Plak!
Tamparan itu pun benar-benar jatuh pada pipi kiri pemuda berpakaian hijau-hijau yang memang Andika. Sementara Pendekar Slebor itu sendiri masih terpana-pana melihat wanita yang baru saja muncul. Tak ada akibat yang parah dari tamparan itu. Di pipinya, Andika malah merasakan satu kehangatan serta kemanjaan.
“Kenapa jadi bengong begitu? Apa kau sudah tak kenal lagi padaku?” sentak wanita itu seraya menyusul satu cubitan gemas ke perut Andika.
Pendekar Slebor meringis. Perutnya jadi begitu pedas.
“Purwasih...?” gumam Andika.
Purwasih, seorang gadis cantik putri Raja Alengka. Tubuhnya yang berkulit agak kecoklatan agak mungil ditutup ketat oleh pakaian hijau lumut. Begitu menggemaskan. Dia tampak lebih muda daripada usia yang sebenarnya dengan rambut dikepang ekor kuda. Wajahnya mungil, dengan mata bulat yang dihiasi bulu lentik. Hidungnya tipis dan mancung, membatasi sepasang matanya. Semuanya makin sempurna dengan bentuk bibirnya yang menantang.
Sebagai seorang pendekar wanita yang cukup kondang dengan julukan Naga Wanita, kehadirannya selalu ditemani pedang bergagang kepala naga yang tergantung di punggung. (Tentang Purwasih, baca episode : “Dendam dan Asmara”).
Sebenarnya antara Purwasih dengan Andika masih ada pertalian darah. Buyut Andika yang bergelar Pendekar Lembah Kutukan, adalah salah seorang keluarga istana juga.
“Ya, aku memang Purwasih. Tapi, kenapa kau memandangku seperti melihat hantu?” tanya Purwasih.
“A..., aku hanya hampir pangling,” Andika ter-gagap.
“Tak kusangka setelah sekian lama berpisah, kau kian cantik mempesona.”
“Gombal!”
“Sungguh!” tegas Andika sambil meraba dadanya.
“Kenapa?” tanya Purwasih lagi.
“Hanya memeriksa jantungku. Aku takut, jantung ini tahu-tahu berhenti karena begitu kaget melihat kecantikanmu....”
“Kau makin gombal!”
Andika tertawa berderai. Saat itulah Purwasih yang begitu rindu, menubruknya. Bahu kekar Andika dirangkul, seperti sikap seorang kakak yang bertemu adik lelakinya setelah terpisah bertahun-tahun. Tawa Andika terpenggal mendadak. Sementara akar pohon beringin di bawahnya tersangkut di kaki. Sedangkan tubuhnya sudah telanjur terdorong oleh rangkulan Purwasih.
“E... e-e-e!” teriak Andika. Lalu....
Bruk!
Keduanya langsung terjatuh. Beruntung bagi Purwasih karena jatuhnya di atas tubuh Andika. Sebaliknya, naas bagi Andika. Kepalanya langsung dikecup sebongkah batu sebesar kepalan tangan yang memaksanya harus meringis-ringis berkepanjangan....
Sekarang giliran Purwasih melepas tawa kecilnya. Sebelum terlalu lama, Andika cepat menekan bibir gadis jelita itu dengan jari telunjuk. Lama, ditatapnya Purwasih. Sehingga, membuat gadis ini merasakan debaran-debaran tak beraturan di dada.
“Apakah Andika akan berbuat yang macam-macam?” tanya Purwasih membatin.
Sebenarnya sudah terlalu lama Purwasih berharap Andika memiliki perasaan yang sama seperti dirinya. Kalau hari ini harus menerima pernyataan perasaan itu dari Andika, betapa berbunga-bunga hatinya. Mata sarat bulu lentik milik Purwasih perlahan terpejam.
“Kenapa kau seperti orang mengantuk?” tanya Andika, mengejutkan Purwasih.
Dara cantik ini sama sekali tak menduga Andika akan membisiki kalimat itu.
“Aku pikir....”
Kalimat Purwasih terpenggal, tak sanggup dilanjut-kannya. Sebab dia yakin, Andika pasti menemukan rona merah di kedua belah pipi halusnya.
“Ah! Kau ini kenapa jadi berpikir macam-macam,” bisik Andika lagi.
“Aku tadi mendengar suara men-curigakan.”
Perlahan Andika bangkit, diikuti Purwasih. Sesaat kemudian mereka sudah mengedarkan pandangan ke segenap penjuru. Tak ada seorang pun yang terlihat.
“Aku tak melihat seorang pun,” kata Purwasih.
“Bahkan aku tak juga mendengar suara mencurigakan seperti katamu tadi.”
Tapi....
“Andika.... Temui aku di Sungai Mati sebelah utara.”
Andika mendadak saja mendengar bisikan halus singgah ke dalam liang telinganya. Begitu halus, hingga hanya dia sendiri yang bisa menangkapnya. Dari warna suara tadi, Andika segera bisa menduga siapa sesungguhnya orang yang telah mengirim bisikan jarak jauh tersebut. Suara yang belum lama dikenalnya. Raja Penyamar.
“Purwasih.... Menyesal sekali aku harus pergi,” pamit Andika.
Pendekar Slebor sadar, Raja Penyamar tentu hendak menyampaikan sesuatu yang penting.
“Aku ikut Andika,” pinta Purwasih.
Wajahnya menampakkan sinar kekecewaan. Bagaimanapun juga, rindunya belum lagi tuntas.
“Bukan aku tak mau mengajakmu. Tapi tampaknya urusan ini harus kulakukan sendiri,” cegah Andika sungguh-sungguh.
Purwasih memain-mainkan jemarinya. Wajahnya tertunduk dalam.
“Kalau begitu, kapan kita bisa berjumpa lagi?” ungkap gadis itu agak melemah.
Andika berpikir sejenak.
“Bagaimana kalau di pura tua sebelah timur kaki Gunung Sumbing?” tawar Andika.
“Aku berjanji akan menemuimu di sana, pada hari ke tiga setelah purnama.”
Purwasih mengangguk lamban dan berat.
“Kalau begitu, aku pergi dulu,” pamit Andika sekali lagi diiringi sebaris senyum menawan. Senyum yang mampu meruntuhkan hati gadis mana pun juga.
Baru saja Andika hendak berangkat....
“Andika tunggu!” sentak Purwasih, menahan langkah Pendekar Slebor.
Andika menoleh. Mimik wajahnya seolah hendak bertanya kenapa Purwasih masih juga menahannya.
“Hati-hatilah,” pesan gadis itu sendu.
Andika menarik napas sejenak, lalu melangkah pergi. Bukannya dia tak tahu, bagaimana perasaan Purwasih terhadapnya. Hanya saja, Andika tak pernah memiliki perasaan yang sama. Tinggallah Purwasih menatapi kepergian Pendekar Slebor.
“Aku masih rindu padamu, Andika..,” bisik gadis itu, sendu sekali.
Purwasih memang tak bisa berbuat apa-apa. Gadis ini amat tahu pribadi Andika. Kalau pemuda itu berkata hendak menyelesaikan urusan sendiri, maka akan dilakukannya sendiri. Hitam baginya harus hitam. Putih baginya harus putih. Berkeras bagi Purwasih pun, sama sekali tak berguna.
Jika dengan berkuda, jarak yang harus ditempuh Andika ke Sungai Mati di sebelah utara akan memakan waktu setengah hari. Maka paling tidak Pendekar Slebor bisa tiba di sana menjelang malam nanti. Lain lagi kalau ditempuhnya dengan berlari. Pengerahan ilmu meringankan tubuh warisan Pendekar Lembah Kutukan cukup untuk mempersingkat waktu hingga tiba lebih awal.
Kala ini matahari mulai terpuruk di kaki langit sebelah barat. Sinar Jingganya memulas permukaan Sungai Mati yang tak lagi mengalir sejak beberapa puluh tahun belakangan ini. Terpaan angin mengusili permukaannya, membuat cahaya pantulan matahari menjadi terencah-rencah menjadi sinar kecil-kecil.
Tak lama berselang setelah Andika sampai, Raja Penyamar pun muncul dalam penampilan aslinya. Seorang kakek tua berjenggot putih yang menguncup di ujungnya. Kepalanya berambut putih pendek, dibelit kain batik, seperti bentuk blangkon Parahiangan. Wajahnya dipenuhi kerutan yang berkesan berwibawa. Sinar mata tuanya pun begitu sejuk. Dia mengenakan baju coklat rapat berkerah pendek, serta bercelana pangsi hitam.
Raja Penyamar muncul begitu saja di atas permukaan air sungai. Jika ditilik dari caranya berdiri, sehelai bulu pun mungkin kalah ringan dibanding tubuhnya. Bisa dimaklumi, sehab wujud sebenarnya dari lelaki itu sudah berupa roh.
“Ada apa memanggilku, Raja Penyamar?” tanya Andika.
“Terus terang saja, sebenarnya aku enggan bertemu denganmu. Aku masih jengkel oleh semua ulahmu padaku beberapa waktu lalu.”
“Ah! Anak Muda..., Anak Muda. Apa kau tak memiliki sedikit kesabaran dalam menghadapi tingkah si Tua Bangka ini?” gurau Raja Penyamar, tokoh tua yang amat disegani pada masa jayanya delapan puluh tahun silam.
Beberapa tahun lalu. Raja Penyamar telah mati karena penyakit yang tak bisa disembuhkan. Berkat kuasa Tuhan Penguasa Alam, rohnya masih tetap hidup untuk menjalani tugas mulia, menyelamatkan manusia dari tangan biadab Manusia Dari Pusat Bumi. Walaupun upaya penyelamatan itu dibantu orang.
“Ah, sudahlah! Tak perlu lagi berbasa-basi, Orang Tua!” sergah Andika.
“Katakan saja, apa kepentinganmu memanggilku ke tempat ini?”
Raja Penyamar mengangguk-angguk sebentar. Sementara bibirnya tetap tersenyum.
“Aku tahu, baru kali ini kau menghadapi persoalan yang berkaitan dengan dunia siluman...,” kata Raja Penyamar lagi.
“Ya, kuakui masalah baru ini membuatku mendadak jadi orang jantungan. Kau tahu, betapa tak enaknya berjalan di atas bumi dengan perasaan waswas karena khawatir siluman-siluman bisul segala macam seperti yang kau sebutkan, akan mencekik leherku tiba-tiba?” cerocos Andika bernafsu.
“Ha... ha... ha!” Raja Penyamar tertawa.
“Kenapa tertawa?!”
“Kini aku baru percaya, bahwa setiap manusia sesungguhnya pasti memiliki rasa takut juga....”
“Hey?! Tapi itu bukan berarti aku pengecut!” sentak Andika tersinggung.
“Ya..., ya. Apa pun namanya itu....”
“Pokoknya aku bukan pengecut!” tandas Andika tak peduli.
“Sekarang, katakan saja. Apa maksudmu?”
“Aku tadi baru hendak menjelaskan, tapi kau menyelak...,” sindir Raja Penyamar.
“Baik..., baik. Aku tak akan menyelak lagi! Ayo katakan!”
Raja Penyamar diam sesaat.
“Sekarang aku sudah boleh bicara?” usik Raja Penyamar.
“Dari tadi juga sudah kutunggu!”
Akhirnya pembicaraan yang sungguh-sungguh bisa berlanjut juga.
“Karena aku tahu, kau harus menghadapi seperti ini. Maka kau membutuhkan sesuatu yang bisa membantumu,” papar Raja Penyamar.
“Apa itu?”
“Sebuah Cermin Alam Gaib. Dengan benda itu, kau akan dapat mengetahui setiap kehadiran siluman-siluman itu. Meskipun, mereka makhluk-makhluk halus....”
“Di mana bisa kudapat benda itu?” tanya Andika bersemangat.
“Di Rimba Slaksa Mambang....”
Kalau ada tempat yang paling menggidikkan dan tak seorang pun mau mendekati, maka salah satunya adalah Rimba Slaksa Mambang. Sesuai sebutannya, konon hutan belantara itu adalah tempat bersemayamnya para makhluk halus. Tepat di jantung Rimba Slaksa Mambang, tumbuh pohon amat besar berusia ratusan tahun. Di sanalah terletak pintu penghubung dari alam nyata, menuju alam gaib.
Pohon itu sangat besar seperti pohon beringin. Batangnya saja sebesar tiga atau empat ekor kerbau tua. Warnanya hitam kusam kehijauan, karena diselimuti lumut liar. Di sana-sini merangas oyot pohon yang menjulur dari atas ke bawah, seolah tangan-tangan bisu dari dunia lain. Akarnya sudah meninggi seperti sekat-sekat ruangan pemandian mayat. Daunnya begitu lebat, tak memberi kesempatan secercah pun bagi cahaya untuk masuk.
Bagi manusia waras, merambah tempat ini adalah tindakan gila yang paling gila. Tapi, tidak bagi seorang pemuda berambut gondrong berpakaian hijau-hijau dengan selembar kain bercorak catur tersampir di bahu. Tak ada hal yang terlalu gila untuk dilakukan pemuda itu, selama menyangkut keadilan dan kebenaran. Terkadang, kegilaan baginya adalah sekadar cara mencapai tujuan tadi. Lalu, pendekar mana lagi yang kerap bermain-main dengan tindakan gila kalau bukan si Pendekar Slebor?
Seperti petunjuk Raja Penyamar, Andika telah tiba di Rimba Slaksa Mambang. Setelah menerobos onak berduri, semak belukar dan simpang siurnya batang pepohonan. Pendekar Slebor akhirnya tiba pula di dekat pohon angker tadi. Dari jarak dua puluh tombak, Pendekar Slebor memandangi pohon raksasa itu dengan pandangan takjub. Bila dibanding-banding, tubuhnya hanya seperti kuku dengan pohon itu.
Beberapa kali kepala Andika mendongak, untuk menatap ubun-ubun tumbuhan raksasa itu. Dan beberapa kali pula kepalanya harus digeleng-gelengkan. Orang lain mungkin akan berpikiran yang bukan-bukan saat itu. Andika sendiri justru sedang menyadari bahwa keberadaan manusia seperti dirinya di alam semesta ini, sebenarnya terlalu kecil. Mungkin hanya sekadar debu di antara debu yang lebih besar.
Puas menghela napas, Andika mulai memusatkan perhatian kembali pada tugasnya untuk menemukan Cermin Alam Gaib yang menurut Raja Penyamar, tergolek dalam salah satu lubang pohon raksasa.
Pendekar Slebor mendekati pohon raksasa itu. Makin dekat, makin terlihat jelas bagaimana rupa tumbuhan ini. Ternyata di batangnya, banyak terdapat lubang dalam berukuran sebesar kepala manusia. Kesulitan pertama bagi Andika adalah, bagaimana cara menemukan satu lubang yang di dalamnya terdapat Cermin Alam Gaib? Sementara, Raja Penyamar tak pernah menyinggung-nyinggung soal itu.
“Jempol kerbau! Bagaimana aku bisa menemukan benda itu kalau lubangnya saja begitu banyak,” rutuk Andika.
“Kalau aku rogoh setiap lubang, bisa saja ada binatang berbisa di dalamnya. Apa si Tua Brengsek ini menganggapku sudah kebal racun?”
Sesaat dipandanginya lagi batang pohon. Sampai akhirnya, diputuskannya untuk memeriksa setiap lubang dengan ranting kering. Setelah didapatinya ranting kering, Andika pun mulai melakukan pemeriksaan. Satu persatu, disodoknya. lubang-lubang itu dengan hati-hati. Pada lubang kelima, tiba- tiba saja seekor ular pohon berbisa mematuk keluar.
Andika tercekat. Wajahnya pasti akan langsung jadi santapan empuk bisa ular itu kalau tak cepat berkelit. Dengan ranting kayu di tangan kanannya, kepala ular berbisa tadi langsung dihantamnya, dengan telak.
Prak!
Tanpa sempat berdesis lagi, binatang itu menemui ajal. Pendekar Slebor menarik napas lega. Lubang-lubang di bagian paling bawah telah selesai diperiksa. Tak ada satu tanda pun didapat untuk menunjukkan kalau Cermin Alam Gaib berada di dalamnya. Dengan begitu, Pendekar Slebor harus memeriksa lebih ke atas.
Masih tetap berhati-hati, Andika mulai merayapi kulit pohon. Tonjolan-tonjolan keras dimanfaatkannya untuk pijakan dan pegangan. Lalu sebagian demi sebagian batang pohon dirayapinya. Sementara itu, tangannya terus memasukkan ranting kayu ke setiap lubang.
Ketika hari mulai terjebak dalam kegelapan, Andika baru bisa memeriksa sampai di tengah batang pohon. Sungguh sebuah pekerjaan yang tak ringan, nilainya. Sampai pada lubang keseratus tiga puluhan, barulah Pendekar Slebor mendapat satu keganjilan. Ranting kayu di tangannya bertumbuk dengan suatu benda hingga menimbulkan bunyi yang lain dari sebelumnya.
Krang!
“Nah! Kalau aku beruntung, pasti di lubang ini Cermin Alam Gaib terdapat. Kalau apes, paling-paling aku hanya menemukan piring kaleng rombeng bekas kenduri para dedemit,” gurau Pendekar Slebor menghibur diri.
Paling tidak, dengan begitu dia lebih yakin untuk memasukkan tangannya ke dalam lubang. Dengan tetap berpegangan erat pada satu tonjolan kulit pohon, Andika memasukkan satu tangan ke dalam lubang tadi. Mulanya sebatas pergelangan tangan. Lalu, lebih dalam sampai sebatas siku. Sampai akhirnya, sebatas bahu. Tapi sejauh itu, tangannya tidak menemukan apa-apa.
“Aneh...,” bisik Andika.
Diperhatikannya ranting kayu yang sebelumnya diselipkan di balik baju.
“Padahal ranting kayu ini tidak lebih panjang dari tanganku.”
Memang, kalau ranting itu tadi menyentuh sesuatu, tangan Andika justru tak menyentuh apa-apa. Bahkan dasar lubang itu sekali pun. Sementara, tangannya sudah tidak bisa dijulurkan lebih dalam lagi. Untuk meyakinkan diri. Andika mengeluarkan tangannya. Kembali lubang itu disodoknya dengan ranting kayu.
Tring!
Sekarang terdengar lagi suatu bunyi. Namun suaranya lebih tinggi dari yang pertama. Andika meringis. Benar-benar dia tak habis pikir.
“Ada yang aneh dengan lubang ini,” simpul Pendekar Slebor kemudian. Hanya itu yang bisa diperbuat.
Selebihnya, dia masih tetap bingung. Sementara itu, matahari sudah tenggelam seluruhnya di kaki langit barat. Sisa sinar Jingga pun terkubur gelap. Hari telah berganti, dan waktu para makhluk halus untuk bergentayangan di mayapada telah tiba.
Dalam kepekatan suasana Rimba Slaksa Mambang, berpasang-pasang mata bermunculan satu persatu. Dari semak, dari kulit pohon, dari ranting besar, bahkan dari dedaunan. Wujud-wujud asing menyusul muncul tanpa pernah disadari Pendekar Slebor. Satu, dua, tiga, dan seterusnya. Mereka menampakkan diri dengan bentuk masing-masing. Benar-benar suasana yang menyeramkan.
Saat yang sama, kesusah payahan Andika menggapai dasar lubang tiba-tiba hilang sama sekali. Mendadak saja, tangannya menyentuh sesuatu. Seolah, benda itu datang dengan sendirinya.
Sementara itu bulu-bulu halus di sekujur tengkuk Andika meremang. Dia sama sekali tak bisa mengerti, apa yang terjadi. Dan ketika tangannya ditarik untuk melihat benda yang dipegangnya, sehimpun suara menggidikkan memadati tempat itu. Tak seperti tawa. Tak juga seperti tangis. Tak seperti jeritan. Tak juga seperti gumaman. Semuanya begitu asing....
Waktu itu, si Raja Penyamar menceritakan bagaimana mengerikannya si Manusia Dari Pusat Bumi. Juga, tentang kemungkinan kekuatan-kekuatan alam gaib milik para siluman yang bisa membantunya. Karena keterangan itu, Andika jadi terlalu berhati-hati semenjak keluar dari Kampung Kelelawar. Dalam bayangannya, Manusia Dari Pusat Bumi tentu bisa saja tiba-tiba muncul tanpa diketahui, lalu membedol jantungnya dengan kekuatan siluman.
“Kau sendiri siapa?!” balas orang di balik pohon.
Suaranya lantang, namun berkesan halus. Tepatnya, suara itu milik wanita. Andika mengernyitkan alis rapat-rapat. Dia berpikir sejenak. Seingatnya, Manusia Dari Pusat Bumi yang diceritakan Raja Penyamar bukan wanita. Kalau begitu, orang di balik pohon ini tentu bukan manusia jelmaan siluman yang dimaksudkan.
“Tapi...,” bisik Pendekar Slebor kemudian.
”... bisa saja siluman congek yang sedang menyamar jadi wanita....”
“Hey! Apa kau bilang tadi?! Kau menyebut aku siluman congek?!”
Terdengar dampratan gusar dari balik sebatang pohon.
“O, jadi kau bukan siluman congek? Lalu kau siluman apa? Apa sejenis siluman kibul?” tanya Andika, tanpa maksud meledek sedikit pun. Pertanyaan itu terlontar begitu saja, karena sedang was-was.
“Diam kau!” bentak orang di balik pohon, makin tersinggung.
“Wait! Apa aku menyinggungmu? Kau tentu bukan siluman kibul, ya? Pas... ti, kau siluman...,”
Andika mengurut-urut kening.
“Siluman apa, ya? Hey! Lebih baik kau saja yang memperkenalkan padaku, siluman jenis apa kau! Aku tak begitu tahu soal siluman-siluman!”
“Manusia tak tahu adat!”
Selesai terdengarnya hardikan itu, kembali terdengar suara pakaian yang menggelepar di udara. Orang di balik pohon itu rupanya melompat ke atas dahan pohon beringin. Tampaknya dia sudah tidak sabar lagi. Mendengar bunyi itu, Andika dengan sigap memasang kuda-kuda siap tempur. Kepalanya mendongak tegang ke atas pohon, langsung melihat seorang wanita yang sudah amat dikenalnya dulu!
***
“Brengsek kau!” maki sebuah suara wanita dari atas pohon beringin.
Selincah dan seanggun burung manyar, wanita itu melompat turun. Lalu dia berdiri tepat di depan pemuda yang baru saja dimakinya. Tangannya cepat terangkat, siap mendaratkan tamparan ke pipi pemuda di depannya.
Plak!
Tamparan itu pun benar-benar jatuh pada pipi kiri pemuda berpakaian hijau-hijau yang memang Andika. Sementara Pendekar Slebor itu sendiri masih terpana-pana melihat wanita yang baru saja muncul. Tak ada akibat yang parah dari tamparan itu. Di pipinya, Andika malah merasakan satu kehangatan serta kemanjaan.
“Kenapa jadi bengong begitu? Apa kau sudah tak kenal lagi padaku?” sentak wanita itu seraya menyusul satu cubitan gemas ke perut Andika.
Pendekar Slebor meringis. Perutnya jadi begitu pedas.
“Purwasih...?” gumam Andika.
Purwasih, seorang gadis cantik putri Raja Alengka. Tubuhnya yang berkulit agak kecoklatan agak mungil ditutup ketat oleh pakaian hijau lumut. Begitu menggemaskan. Dia tampak lebih muda daripada usia yang sebenarnya dengan rambut dikepang ekor kuda. Wajahnya mungil, dengan mata bulat yang dihiasi bulu lentik. Hidungnya tipis dan mancung, membatasi sepasang matanya. Semuanya makin sempurna dengan bentuk bibirnya yang menantang.
Sebagai seorang pendekar wanita yang cukup kondang dengan julukan Naga Wanita, kehadirannya selalu ditemani pedang bergagang kepala naga yang tergantung di punggung. (Tentang Purwasih, baca episode : “Dendam dan Asmara”).
Sebenarnya antara Purwasih dengan Andika masih ada pertalian darah. Buyut Andika yang bergelar Pendekar Lembah Kutukan, adalah salah seorang keluarga istana juga.
“Ya, aku memang Purwasih. Tapi, kenapa kau memandangku seperti melihat hantu?” tanya Purwasih.
“A..., aku hanya hampir pangling,” Andika ter-gagap.
“Tak kusangka setelah sekian lama berpisah, kau kian cantik mempesona.”
“Gombal!”
“Sungguh!” tegas Andika sambil meraba dadanya.
“Kenapa?” tanya Purwasih lagi.
“Hanya memeriksa jantungku. Aku takut, jantung ini tahu-tahu berhenti karena begitu kaget melihat kecantikanmu....”
“Kau makin gombal!”
Andika tertawa berderai. Saat itulah Purwasih yang begitu rindu, menubruknya. Bahu kekar Andika dirangkul, seperti sikap seorang kakak yang bertemu adik lelakinya setelah terpisah bertahun-tahun. Tawa Andika terpenggal mendadak. Sementara akar pohon beringin di bawahnya tersangkut di kaki. Sedangkan tubuhnya sudah telanjur terdorong oleh rangkulan Purwasih.
“E... e-e-e!” teriak Andika. Lalu....
Bruk!
Keduanya langsung terjatuh. Beruntung bagi Purwasih karena jatuhnya di atas tubuh Andika. Sebaliknya, naas bagi Andika. Kepalanya langsung dikecup sebongkah batu sebesar kepalan tangan yang memaksanya harus meringis-ringis berkepanjangan....
Sekarang giliran Purwasih melepas tawa kecilnya. Sebelum terlalu lama, Andika cepat menekan bibir gadis jelita itu dengan jari telunjuk. Lama, ditatapnya Purwasih. Sehingga, membuat gadis ini merasakan debaran-debaran tak beraturan di dada.
“Apakah Andika akan berbuat yang macam-macam?” tanya Purwasih membatin.
Sebenarnya sudah terlalu lama Purwasih berharap Andika memiliki perasaan yang sama seperti dirinya. Kalau hari ini harus menerima pernyataan perasaan itu dari Andika, betapa berbunga-bunga hatinya. Mata sarat bulu lentik milik Purwasih perlahan terpejam.
“Kenapa kau seperti orang mengantuk?” tanya Andika, mengejutkan Purwasih.
Dara cantik ini sama sekali tak menduga Andika akan membisiki kalimat itu.
“Aku pikir....”
Kalimat Purwasih terpenggal, tak sanggup dilanjut-kannya. Sebab dia yakin, Andika pasti menemukan rona merah di kedua belah pipi halusnya.
“Ah! Kau ini kenapa jadi berpikir macam-macam,” bisik Andika lagi.
“Aku tadi mendengar suara men-curigakan.”
Perlahan Andika bangkit, diikuti Purwasih. Sesaat kemudian mereka sudah mengedarkan pandangan ke segenap penjuru. Tak ada seorang pun yang terlihat.
“Aku tak melihat seorang pun,” kata Purwasih.
“Bahkan aku tak juga mendengar suara mencurigakan seperti katamu tadi.”
Tapi....
“Andika.... Temui aku di Sungai Mati sebelah utara.”
Andika mendadak saja mendengar bisikan halus singgah ke dalam liang telinganya. Begitu halus, hingga hanya dia sendiri yang bisa menangkapnya. Dari warna suara tadi, Andika segera bisa menduga siapa sesungguhnya orang yang telah mengirim bisikan jarak jauh tersebut. Suara yang belum lama dikenalnya. Raja Penyamar.
“Purwasih.... Menyesal sekali aku harus pergi,” pamit Andika.
Pendekar Slebor sadar, Raja Penyamar tentu hendak menyampaikan sesuatu yang penting.
“Aku ikut Andika,” pinta Purwasih.
Wajahnya menampakkan sinar kekecewaan. Bagaimanapun juga, rindunya belum lagi tuntas.
“Bukan aku tak mau mengajakmu. Tapi tampaknya urusan ini harus kulakukan sendiri,” cegah Andika sungguh-sungguh.
Purwasih memain-mainkan jemarinya. Wajahnya tertunduk dalam.
“Kalau begitu, kapan kita bisa berjumpa lagi?” ungkap gadis itu agak melemah.
Andika berpikir sejenak.
“Bagaimana kalau di pura tua sebelah timur kaki Gunung Sumbing?” tawar Andika.
“Aku berjanji akan menemuimu di sana, pada hari ke tiga setelah purnama.”
Purwasih mengangguk lamban dan berat.
“Kalau begitu, aku pergi dulu,” pamit Andika sekali lagi diiringi sebaris senyum menawan. Senyum yang mampu meruntuhkan hati gadis mana pun juga.
Baru saja Andika hendak berangkat....
“Andika tunggu!” sentak Purwasih, menahan langkah Pendekar Slebor.
Andika menoleh. Mimik wajahnya seolah hendak bertanya kenapa Purwasih masih juga menahannya.
“Hati-hatilah,” pesan gadis itu sendu.
Andika menarik napas sejenak, lalu melangkah pergi. Bukannya dia tak tahu, bagaimana perasaan Purwasih terhadapnya. Hanya saja, Andika tak pernah memiliki perasaan yang sama. Tinggallah Purwasih menatapi kepergian Pendekar Slebor.
“Aku masih rindu padamu, Andika..,” bisik gadis itu, sendu sekali.
Purwasih memang tak bisa berbuat apa-apa. Gadis ini amat tahu pribadi Andika. Kalau pemuda itu berkata hendak menyelesaikan urusan sendiri, maka akan dilakukannya sendiri. Hitam baginya harus hitam. Putih baginya harus putih. Berkeras bagi Purwasih pun, sama sekali tak berguna.
***
Jika dengan berkuda, jarak yang harus ditempuh Andika ke Sungai Mati di sebelah utara akan memakan waktu setengah hari. Maka paling tidak Pendekar Slebor bisa tiba di sana menjelang malam nanti. Lain lagi kalau ditempuhnya dengan berlari. Pengerahan ilmu meringankan tubuh warisan Pendekar Lembah Kutukan cukup untuk mempersingkat waktu hingga tiba lebih awal.
Kala ini matahari mulai terpuruk di kaki langit sebelah barat. Sinar Jingganya memulas permukaan Sungai Mati yang tak lagi mengalir sejak beberapa puluh tahun belakangan ini. Terpaan angin mengusili permukaannya, membuat cahaya pantulan matahari menjadi terencah-rencah menjadi sinar kecil-kecil.
Tak lama berselang setelah Andika sampai, Raja Penyamar pun muncul dalam penampilan aslinya. Seorang kakek tua berjenggot putih yang menguncup di ujungnya. Kepalanya berambut putih pendek, dibelit kain batik, seperti bentuk blangkon Parahiangan. Wajahnya dipenuhi kerutan yang berkesan berwibawa. Sinar mata tuanya pun begitu sejuk. Dia mengenakan baju coklat rapat berkerah pendek, serta bercelana pangsi hitam.
Raja Penyamar muncul begitu saja di atas permukaan air sungai. Jika ditilik dari caranya berdiri, sehelai bulu pun mungkin kalah ringan dibanding tubuhnya. Bisa dimaklumi, sehab wujud sebenarnya dari lelaki itu sudah berupa roh.
“Ada apa memanggilku, Raja Penyamar?” tanya Andika.
“Terus terang saja, sebenarnya aku enggan bertemu denganmu. Aku masih jengkel oleh semua ulahmu padaku beberapa waktu lalu.”
“Ah! Anak Muda..., Anak Muda. Apa kau tak memiliki sedikit kesabaran dalam menghadapi tingkah si Tua Bangka ini?” gurau Raja Penyamar, tokoh tua yang amat disegani pada masa jayanya delapan puluh tahun silam.
Beberapa tahun lalu. Raja Penyamar telah mati karena penyakit yang tak bisa disembuhkan. Berkat kuasa Tuhan Penguasa Alam, rohnya masih tetap hidup untuk menjalani tugas mulia, menyelamatkan manusia dari tangan biadab Manusia Dari Pusat Bumi. Walaupun upaya penyelamatan itu dibantu orang.
“Ah, sudahlah! Tak perlu lagi berbasa-basi, Orang Tua!” sergah Andika.
“Katakan saja, apa kepentinganmu memanggilku ke tempat ini?”
Raja Penyamar mengangguk-angguk sebentar. Sementara bibirnya tetap tersenyum.
“Aku tahu, baru kali ini kau menghadapi persoalan yang berkaitan dengan dunia siluman...,” kata Raja Penyamar lagi.
“Ya, kuakui masalah baru ini membuatku mendadak jadi orang jantungan. Kau tahu, betapa tak enaknya berjalan di atas bumi dengan perasaan waswas karena khawatir siluman-siluman bisul segala macam seperti yang kau sebutkan, akan mencekik leherku tiba-tiba?” cerocos Andika bernafsu.
“Ha... ha... ha!” Raja Penyamar tertawa.
“Kenapa tertawa?!”
“Kini aku baru percaya, bahwa setiap manusia sesungguhnya pasti memiliki rasa takut juga....”
“Hey?! Tapi itu bukan berarti aku pengecut!” sentak Andika tersinggung.
“Ya..., ya. Apa pun namanya itu....”
“Pokoknya aku bukan pengecut!” tandas Andika tak peduli.
“Sekarang, katakan saja. Apa maksudmu?”
“Aku tadi baru hendak menjelaskan, tapi kau menyelak...,” sindir Raja Penyamar.
“Baik..., baik. Aku tak akan menyelak lagi! Ayo katakan!”
Raja Penyamar diam sesaat.
“Sekarang aku sudah boleh bicara?” usik Raja Penyamar.
“Dari tadi juga sudah kutunggu!”
Akhirnya pembicaraan yang sungguh-sungguh bisa berlanjut juga.
“Karena aku tahu, kau harus menghadapi seperti ini. Maka kau membutuhkan sesuatu yang bisa membantumu,” papar Raja Penyamar.
“Apa itu?”
“Sebuah Cermin Alam Gaib. Dengan benda itu, kau akan dapat mengetahui setiap kehadiran siluman-siluman itu. Meskipun, mereka makhluk-makhluk halus....”
“Di mana bisa kudapat benda itu?” tanya Andika bersemangat.
“Di Rimba Slaksa Mambang....”
***
Kalau ada tempat yang paling menggidikkan dan tak seorang pun mau mendekati, maka salah satunya adalah Rimba Slaksa Mambang. Sesuai sebutannya, konon hutan belantara itu adalah tempat bersemayamnya para makhluk halus. Tepat di jantung Rimba Slaksa Mambang, tumbuh pohon amat besar berusia ratusan tahun. Di sanalah terletak pintu penghubung dari alam nyata, menuju alam gaib.
Pohon itu sangat besar seperti pohon beringin. Batangnya saja sebesar tiga atau empat ekor kerbau tua. Warnanya hitam kusam kehijauan, karena diselimuti lumut liar. Di sana-sini merangas oyot pohon yang menjulur dari atas ke bawah, seolah tangan-tangan bisu dari dunia lain. Akarnya sudah meninggi seperti sekat-sekat ruangan pemandian mayat. Daunnya begitu lebat, tak memberi kesempatan secercah pun bagi cahaya untuk masuk.
Bagi manusia waras, merambah tempat ini adalah tindakan gila yang paling gila. Tapi, tidak bagi seorang pemuda berambut gondrong berpakaian hijau-hijau dengan selembar kain bercorak catur tersampir di bahu. Tak ada hal yang terlalu gila untuk dilakukan pemuda itu, selama menyangkut keadilan dan kebenaran. Terkadang, kegilaan baginya adalah sekadar cara mencapai tujuan tadi. Lalu, pendekar mana lagi yang kerap bermain-main dengan tindakan gila kalau bukan si Pendekar Slebor?
Seperti petunjuk Raja Penyamar, Andika telah tiba di Rimba Slaksa Mambang. Setelah menerobos onak berduri, semak belukar dan simpang siurnya batang pepohonan. Pendekar Slebor akhirnya tiba pula di dekat pohon angker tadi. Dari jarak dua puluh tombak, Pendekar Slebor memandangi pohon raksasa itu dengan pandangan takjub. Bila dibanding-banding, tubuhnya hanya seperti kuku dengan pohon itu.
Beberapa kali kepala Andika mendongak, untuk menatap ubun-ubun tumbuhan raksasa itu. Dan beberapa kali pula kepalanya harus digeleng-gelengkan. Orang lain mungkin akan berpikiran yang bukan-bukan saat itu. Andika sendiri justru sedang menyadari bahwa keberadaan manusia seperti dirinya di alam semesta ini, sebenarnya terlalu kecil. Mungkin hanya sekadar debu di antara debu yang lebih besar.
Puas menghela napas, Andika mulai memusatkan perhatian kembali pada tugasnya untuk menemukan Cermin Alam Gaib yang menurut Raja Penyamar, tergolek dalam salah satu lubang pohon raksasa.
Pendekar Slebor mendekati pohon raksasa itu. Makin dekat, makin terlihat jelas bagaimana rupa tumbuhan ini. Ternyata di batangnya, banyak terdapat lubang dalam berukuran sebesar kepala manusia. Kesulitan pertama bagi Andika adalah, bagaimana cara menemukan satu lubang yang di dalamnya terdapat Cermin Alam Gaib? Sementara, Raja Penyamar tak pernah menyinggung-nyinggung soal itu.
“Jempol kerbau! Bagaimana aku bisa menemukan benda itu kalau lubangnya saja begitu banyak,” rutuk Andika.
“Kalau aku rogoh setiap lubang, bisa saja ada binatang berbisa di dalamnya. Apa si Tua Brengsek ini menganggapku sudah kebal racun?”
Sesaat dipandanginya lagi batang pohon. Sampai akhirnya, diputuskannya untuk memeriksa setiap lubang dengan ranting kering. Setelah didapatinya ranting kering, Andika pun mulai melakukan pemeriksaan. Satu persatu, disodoknya. lubang-lubang itu dengan hati-hati. Pada lubang kelima, tiba- tiba saja seekor ular pohon berbisa mematuk keluar.
Andika tercekat. Wajahnya pasti akan langsung jadi santapan empuk bisa ular itu kalau tak cepat berkelit. Dengan ranting kayu di tangan kanannya, kepala ular berbisa tadi langsung dihantamnya, dengan telak.
Prak!
Tanpa sempat berdesis lagi, binatang itu menemui ajal. Pendekar Slebor menarik napas lega. Lubang-lubang di bagian paling bawah telah selesai diperiksa. Tak ada satu tanda pun didapat untuk menunjukkan kalau Cermin Alam Gaib berada di dalamnya. Dengan begitu, Pendekar Slebor harus memeriksa lebih ke atas.
Masih tetap berhati-hati, Andika mulai merayapi kulit pohon. Tonjolan-tonjolan keras dimanfaatkannya untuk pijakan dan pegangan. Lalu sebagian demi sebagian batang pohon dirayapinya. Sementara itu, tangannya terus memasukkan ranting kayu ke setiap lubang.
Ketika hari mulai terjebak dalam kegelapan, Andika baru bisa memeriksa sampai di tengah batang pohon. Sungguh sebuah pekerjaan yang tak ringan, nilainya. Sampai pada lubang keseratus tiga puluhan, barulah Pendekar Slebor mendapat satu keganjilan. Ranting kayu di tangannya bertumbuk dengan suatu benda hingga menimbulkan bunyi yang lain dari sebelumnya.
Krang!
“Nah! Kalau aku beruntung, pasti di lubang ini Cermin Alam Gaib terdapat. Kalau apes, paling-paling aku hanya menemukan piring kaleng rombeng bekas kenduri para dedemit,” gurau Pendekar Slebor menghibur diri.
Paling tidak, dengan begitu dia lebih yakin untuk memasukkan tangannya ke dalam lubang. Dengan tetap berpegangan erat pada satu tonjolan kulit pohon, Andika memasukkan satu tangan ke dalam lubang tadi. Mulanya sebatas pergelangan tangan. Lalu, lebih dalam sampai sebatas siku. Sampai akhirnya, sebatas bahu. Tapi sejauh itu, tangannya tidak menemukan apa-apa.
“Aneh...,” bisik Andika.
Diperhatikannya ranting kayu yang sebelumnya diselipkan di balik baju.
“Padahal ranting kayu ini tidak lebih panjang dari tanganku.”
Memang, kalau ranting itu tadi menyentuh sesuatu, tangan Andika justru tak menyentuh apa-apa. Bahkan dasar lubang itu sekali pun. Sementara, tangannya sudah tidak bisa dijulurkan lebih dalam lagi. Untuk meyakinkan diri. Andika mengeluarkan tangannya. Kembali lubang itu disodoknya dengan ranting kayu.
Tring!
Sekarang terdengar lagi suatu bunyi. Namun suaranya lebih tinggi dari yang pertama. Andika meringis. Benar-benar dia tak habis pikir.
“Ada yang aneh dengan lubang ini,” simpul Pendekar Slebor kemudian. Hanya itu yang bisa diperbuat.
Selebihnya, dia masih tetap bingung. Sementara itu, matahari sudah tenggelam seluruhnya di kaki langit barat. Sisa sinar Jingga pun terkubur gelap. Hari telah berganti, dan waktu para makhluk halus untuk bergentayangan di mayapada telah tiba.
Dalam kepekatan suasana Rimba Slaksa Mambang, berpasang-pasang mata bermunculan satu persatu. Dari semak, dari kulit pohon, dari ranting besar, bahkan dari dedaunan. Wujud-wujud asing menyusul muncul tanpa pernah disadari Pendekar Slebor. Satu, dua, tiga, dan seterusnya. Mereka menampakkan diri dengan bentuk masing-masing. Benar-benar suasana yang menyeramkan.
Saat yang sama, kesusah payahan Andika menggapai dasar lubang tiba-tiba hilang sama sekali. Mendadak saja, tangannya menyentuh sesuatu. Seolah, benda itu datang dengan sendirinya.
Sementara itu bulu-bulu halus di sekujur tengkuk Andika meremang. Dia sama sekali tak bisa mengerti, apa yang terjadi. Dan ketika tangannya ditarik untuk melihat benda yang dipegangnya, sehimpun suara menggidikkan memadati tempat itu. Tak seperti tawa. Tak juga seperti tangis. Tak seperti jeritan. Tak juga seperti gumaman. Semuanya begitu asing....
0