Kaskus

Story

uclnAvatar border
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR
PENDEKAR SLEBOR


Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta



Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.

Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).

Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.

Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan

Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.

Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..

Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.

Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..

And Here We Go.....

I N D E K S


Spoiler for Indeks 1:



TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya


GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
anasabilaAvatar border
regmekujoAvatar border
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
uclnAvatar border
TS
ucln
#146
Part 7

Laki-laki berbulu itu, tak mau Pendekar Dungu lebih banyak bertanya lagi. Dari wajahnya yang biasa berang, terlihat pancaran rasa senang. Entah kenapa, sifatnya jadi demikian. Padahal, itu sangat jarang terjadi pada dirinya.

“Akhirnya kau ditemukan di sini, ‘Tuan Penolong’!” sapa Lelaki Berbulu Hitam begitu tiba di depan lelaki gembrot tadi, cukup ramah. Lagi-lagi hal yang amat jarang muncul dalam dirinya.

Si Gembrot menoleh sejenak seperti sebelumnya. Lalu dia mulai acuh lagi.

“Aku tak tahu, siapa yang kau maksud,” ucap si Gembrot datar.
“Aaah! Jangan begitu, ‘Tuan Penolong’. Meski kau menyamar menjadi seekor katak sekalipun, penciuman serigalaku tak akan dapat tertipu....”

“Apa maksudmu? Aku tak mengerti?”
“Sudahlah. Apa kau tak tahu, kalau aku adalah manusia berdarah serigala? Aku memiliki penciuman yang amat tajam seperti serigala. Sehingga, aku dapat membedakan bau tubuh seseorang....”

Si Gembrot menampakkan kekecewaan pada wajahnya. Dihelanya napas beberapa kali.

“Baiklah. Aku menyerah,” desah si Gembrot.

Segera laki-laki bertubuh subur ini menanggalkan penambal wajahnya yang ternyata terbuat dari getah suatu pohon. Dari getah itu bisa dibentuk dan diwarnai sedemikian rupa, sehingga mirip pipi manusia. Tubuhnya yang dibuntal kain yang cukup banyak, mulai dilolosi. Sehingga dia tak lagi Nampak gembrot. Rambut palsu yang panjang pun ikut ditanggalkan. Kini terlihatlah wajah tampan aslinya. Wajah seorang pemuda yang lebih dikenal sebagai Pendekar Slebor.

Sesungguhnya, kitab tua yang diberikan Raja Penyamar pada Andika beberapa hari lalu, adalah kitab pelajaran ilmu menyamar yang begitu sempurna. Jika hanya dengan mata dan telinga, orang akan tertipu. Sebab dari kitab itu bisa dipelajari bagaimana seseorang bisa mengubah wajah dan penampilan, sekaligus suara.

Kecerdasan dan kemauan kuat Andika, membantunya menyelesaikan kitab itu hanya dalam beberapa hari. Sebelumnya, Andika tak begitu tertarik. Baginya, ilmu itu seperti merupakan perisai orang-orang pengecut yang ingin bersembunyi di balik topeng. Atau, orang-orang bejad yang ingin lari dari tanggung jawab. Namun Pendekar Slebor butuh pendukung agar tak lagi dikuntit oleh Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu, akhirnya kitab itu dipelajari juga.

Andika memang tidak mau urusannya diganggu kedua orang itu. Lagi pula, tak ada salahnya mempelajari satu ilmu. Toh, baik buruknya satu ilmu, tergantung manusia yang mempelajarinya. Harapannya untuk bisa mengelabui dua penguntit tadi, kini hancur seketika ketika dengan mudah lelaki seram yang mengaku sebagai keturunan serigala ini mengetahui penyamarannya.

“Bagaimana, Tuan Penolong’? Apakah kau sudah bersedia membantu masalah kami?” desak Lelaki Berbulu Hitam.

Andika membayar kopi serta kerusakan bangku pada si Gadis pemilik warung. Kalau tadi matanya melirik nakal pada gadis itu, sekarang giliran mata gadis itu yang melirik nakal padanya. Meskipun pada saat ini, gadis itu masih belum percaya kalau penampilan buruk Andika tadi sekadar penyamaran.

Dengan kedongkolan menggelantung di tenggorokan, Andika memasukkan alat-alat menyamarnya ke dalam buntalan kain. Termasuk baju besar berisi kain-kain yang dilapisi kapuk. Dia harus mencari akal lain agar bisa meloloskan diri dari dua manusia merepotkan ini. Belum sempat Andika menemui akal, mendadak saja....

“Pengadilan menanti!”

Tiba-tiba terdengar satu teriakan menggelegar merambah angkasa. Mendengar teriakan tadi, Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu menoleh paling cepat di antara pengunjung lainnya. Keduanya begitu terkejut, begitu mengenali jenis suara dan kata-kata tadi, sebuah teriakan yang ditakuti oleh orang-orang persilatan delapan puluhan tahun lampau.

“Hakim Tanpa Wajah?” desis lelaki Berbulu Hitam nyaris tak percaya.

Mata laki-laki berbulu itu menatap lurus ke asal suara, di mana dua orang berbeda usia berdiri mengancam. Yang satu adalah si Hakim Tanpa Wajah. Sedang yang lain tentu saja Manusia Dari Pusat Bumi.

“Hakim Tanpa Wajah,” bisik Pendekar Dungu, tolol sekali.

“Jadi si Manusia Sialan itu benar-benar masih hidup seperti kita juga?” tanya Lelaki Berbulu Hitam

“Jadi manusia sialan itu benar-benar masih hidup, ya?” ulang Pendekar Dungu. Padahal, justru dia yang tadi ditanya oleh Lelaki Berbulu Hitam.

“Dungu! Apakah kau percaya kalau manusia itu akan bertingkah lagi mengadili orang-orang persilatan?” susul Lelaki Berbulu Hitam, bertanya lagi pada Pendekar Dungu.

“Ya! Apakah aku percaya?” Sementara dua lelaki aneh itu berdiri tegang, menatap dua titik yang mulai bergerak ke arah mereka dikejauhan.

Andika sudah tidak ada lagi di tempatnya. Sewaktu Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu lengah karena mendengar teriakan Hakim Tanpa Wajah, Pendekar Slebor langsung memanfaatkan kesempatan untuk mengerahkan seluruh kemampuan ilmu lari cepatnya. Dalam sekejap, dia sudah jauh dari warung kopi. Tujuannya jelas, ke Kampung Kelelawar seperti pesan Raja Penyamar. Sayang, kalau saja pemuda sakti itu bisa sedikit lama tinggal, tentu akan mendengar Lelaki Berbulu Hitam menyebutkan nama Hakim Tanpa Wajah, orang yang sedang dicarinya karena berhubungan dengan peristiwa di Bukit Cadas. Di mana si Lelaki Pincang dari Lima Gembel Busuk pernah menyebut-nyebut namanya, sebelum tewas.

***


Pertarungan besar sepanjang abad ini siap terjadi. Bagaimana tidak? Dua tokoh tua tak tertandingi delapan puluh tahun yang lalu akan berbaku jurus dengan seorang tokoh tua tak tertandingi pula pada zamannya, didukung oleh pemuda keturunan siluman! Kesaktian mereka tak diragukan lagi, dan pasti akan segera memporak-porandakan tempat sekitarnya. Lelaki Berbulu Hitam, Pendekar Dungu, dan Hakim Tanpa Wajah pasti menggunakan ilmu-ilmu puncaknya. Belum lagi kesaktian milik si Pemuda Keturunan Siluman yang selama ini belum diperlihatkan seluruhnya pada sang Guru.

Di kedai kopi saat ini juga telah ditinggali pengunjung maupun pemiliknya. Mereka semua tahu gelagat bahwa akan ada sebuah bentrokan dahsyat, yang bisa saja menjadikan nyawa melayang. Manakala angin dingin dari kaki gunung merayapi tanah lapang dekat warung kopi, empat orang lelaki yang siap bertarung berdiri tegang tanpa gerak. Dua orang pada satu sisi, sedang dua orang lain delapan tombak pada sisi lain. Rambut dan pakaian mereka tampak bergeletar diusuk angin, seolah menjadi panji yang menandai dimulainya pertarungan maut!

Lama mereka saling menusuk dengan tatapan. Sampai akhirnya, terdengar ledakan suara melompat dari mulut salah seorang. Suara itu begitu melengking menjotos langit, bagai tetabuhan dalam upacara para siluman sesat. Dari rongga mulut siapa lagi jenis teriakan itu tercipta, kalau bukan milik Manusia Dari Pusat Bumi....

“Eaaa...!”

Manusia Dari Pusat Bumi membuka jurus awal. Serangan pembuka yang langsung masuk ke satu dari sekian jurus pamungkas, ‘Tenaga Sakti Pembelah Bumi’. Tak ada perintah dari Hakim Tanpa Wajah padanya untuk langsung mengerahkan jurus ini. Tindakannya semata didorong oleh naluri makhluk halus dalam dirinya yang memberitakan bahwa lawan tidak bisa dihadapi dengan jurus-jurus tanggung.

Menyambut gerakan pemuda Manusia Dari Pusat Bumi, Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu tidak mau diam. Mereka cepat pula membuka jurus, memainkan kembangan jurus-jurus tangguh masing-masing.

Deb, deb, wuk, zes!

Laksana tiga pusat gelombang samudera, gerak ketiga orang itu menciptakan terpaan kekuatan ke segenap penjuru mata angin. Debu langsung menghambur tinggi-tinggi, kerikil terhempas deras-deras, bebatuan berguliran kencang, dan bumi pun bagai diamuk badai!

“Heaaa!”

Manusia Dari Pusat Bumi memulai serangan. Diterjangnya dua lawan dengan hentakan-hentakan kaki berdebam ke bumi.

Blam, blam, blam!

Pada jarak tiga depa dari kedua lawan, pemuda keturunan siluman itu cepat mengangsurkan sepasang kepalannya ke kepala masing-masing sasaran. Seketika terdengar bunyi menderu, membarengi hantaman dahsyat yang siap meremukkan.

Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu tentu saja tak sudi membiarkan kepala mereka dijadikan sasaran empuk. Mereka langsung berkelit berbarengan ke samping kanan, sehingga luput dari hantaman. Sambil tetap memiringkan tubuh, Lelaki Berbulu Hitam mendepak perut Manusia Dari Pusat Bumi. Sedangkan Pendekar Dungu melepas tusukan jari tangan ke dada. Namun, serangan balasan mereka dengan mudah dimentahkan. Manusia Dari Pusat Bumi dengan mengangkat satu kaki tinggi-tinggi dan menekuknya di depan dada dan perut. Alhasil, depakan dan tusukan kedua lawan hanya sempat memakan kakinya yang memang sudah dipersiapkan untuk membentengi.

Sebagai tokoh tua yang sudah terlalu kenyang makan asam garam, serangan yang mudah dimentahkan itu sebenarnya hanya siasat. Tak mungkin serangan bersama itu dibuat, sehingga begitu mudah diduga lawan. Maka pada saat yang demikian tipis dari serangan pertama, dua tokoh bangkotan itu membuat satu gerakan tak terduga. Lelaki Berbulu Hitam menanduk Manusia Dari Pusat Bumi dengan kepalanya. Di lain pihak, Pendekar Dungu menjatuhkan diri lantas menyapu kaki pemuda siluman itu demikian cepat.

Dak! Sret!

Berbarengan dengan mendaratnya kepala Lelaki Berbulu Hitam ke kening pemuda itu, kaki Pendekar Dungu pun berhasil mengait kuda-kuda Manusia Dari Pusat Bumi yang hanya mengandalkan satu kaki. Maka tak dapat ditahan lagi, Manusia Dari Pusat Bumi terlempar deras ke belakang. Begitu dahsyat penggabungan serangan dua tokoh tua itu, sehingga Manusia Dari Pusat Bumi terpental bagai kerikil sembilan belas tombak jauhnya! Tubuh kekar berotot menonjol pemuda siluman itu pun meninju tanah berbatu.

Siapa pun manusia yang menerima hantaman keras dari kepalan Lelaki Berbulu Hitam sudah bisa dipastikan akan terlempar ke neraka. Jangan lagi kening, lempeng baja setebal dua jengkal saja, bisa mencekung dalam. Tapi, Manusia Dari Pusat Bumi bukan sekadar manusia. Dia adalah gabungan keturunan antara manusia dengan siluman! Tanpa luka berarti, pemuda menyeramkan itu bangkit. Bibirnya menyeringai penuh ejekan. Matanya berbinar, membersitkan cahaya haus darah....

Sementara itu, jauh di balik gunung berapi, Pendekar Slebor telah memasuki wilayah Kampung Kelelawar. Seperti namanya, kampung itu memang menjadi tempat bersemayamnya jutaan kelelawar sebesar kera. Mereka menggelantung di pohon dan atap-atap rumah terbengkalai.

Seratus dua puluh tahun yang lalu, desa itu pernah dihuni para penduduk asli. Namun sewaktu jutaan kelelawar menyerbu, banyak di antara mereka yang mati terisap darahnya. Dan hanya segelintir orang saja yang sanggup menyelamatkan diri.

Betapa bergidik Andika, menyaksikan ratusan tubuh hitam memenuhi sebatang pohon tua besar. Mereka bagai buah-buahan dari neraka, menjijikkan dan membuat bulu kuduk merinding. Kedatangan Pendekar Slebor tampak tak mengusik kenyenyakan tidur mereka. Namun sewaktu kaki pemuda itu melintasi satu garis dari bercak-bercak darah, mata mengancam makhluk-makhluk itu mulai terbuka. Ratusan pasang mata bersinar merah muncul di sana-sini. Makin lama makin banyak. Di dahan-dahan kering merangas, di puncak-puncak atap rumah tua, di atas daun pintu, di daun jendela, di tiang-tiang kayu, juga di nisan-nisan batu besar.

Kini tampaklah pemandangan berjuta pasang bola merah menyala mengawasi si Pendatang, bagai para pemakan bangkai menatapi hidangan mayat. Pada saatnya, satu kelelawar memperdengarkan jeritan menyayat.

“Kiiikkk!”

Seekor di antaranya mulai mengepakkan sayap kuat-kuat, lalu terbang menuju Andika. Seperti mendapat aba-aba, ratusan kelelawar lain mengikuti! Maka terciptalah tumpang-tindih bunyi kepakan sayap mengerikan. Sekujur otot di tubuh Pendekar Slebor kini menegang. Tak pernah diduga akan menghadapi lawan macam ini. Ratusan kelelawar pengisap darah besar yang. kemudian menjadi ribuan, siap memperebutkan darah Pendekar Slebor! Langit mendadak seperti diselubungi warna-warni gelap dari tubuh para kelelawar. Dari utara hingga selatan, dari barat hingga timur. Mereka menjerit-jerit Cumiakkan, dalam serbuan besar-besaran.

“Gila!” desis Andika. Sebelum sempat memaki lagi, beberapa sambaran menukik dari belakang.

“Kiiikkk!”

Secepat kilat Pendekar Slebor menjatuhkan badan ke tanah. Maka sambaran-sambaran berbau maut itupun hanya sempat menderu di atasnya. Selagi di tanah, tanpa sengaja Andika dihadapkan pada tumpukan kerangka manusia, korban para makhluk haus darah!

“Mereka benar-benar hewan dari dasar neraka!” rutuk Andika.
“Aku harus berbuat sesuatu kalau tak ingin bernasib sama dengan kerangka-kerangka ini.”

Andika pun segera melepas kain bercorak catur dengan hati-hati. Dia tahu, gerakan kecil tubuhnya akan segera memancing ratusan kelelawar lain untuk menyambar dari udara. Ketika kain pusakanya sudah tergenggam kuat di tangan, Pendekar Slebor menghentakkan kakinya dengan tenaga penuh. Sekejap berikut, tubuhnya sudah bangkit kembali dengan kuda-kuda siap menanti serbuan. Benar saja dugaan Andika, gerakannya tadi ternyata langsung membuat para kelelawar merangseknya. Dari udara, kuku-kuku tajam mereka mengancam setiap bagian tubuh Pendekar Slebor.

“Kiiikkk!”

Puluhan kelelawar datang. Tubuh-tubuh mereka menukik tajam.

Wuk! Wuk! Ctar! Ctar!

Pendekar Slebor langsung menyambut mereka dengan hadiah perkenalan. Sabetan tajam kain pusakanya, membabat belasan ekor kelelawar, membuat kepala binatang itu hancur. Bahkan ada pula yang sayapnya tersayat lebar. Tubuh mereka yang terluka parah, langsung berjatuhan meninju tanah bergantian. Sebagian di antaranya kehilangan nyawa saat itu juga. Sementara, yang lain meng-gelepar- gelepar hebat.

Kejadian yang tak kalah menggidikkan pun terjadi. Kelelawar-kelelawar yang tak terluka di atasnya, menyerbu tubuh kawan mereka sendiri yang terjatuh di tanah. Satu kelelawar luka dirubungi puluhan kelelawar lain. Daging dan kulit mereka dikoyak-koyak tanpa ampun. Kelelawar-kelelawar yang mendapat keratan daging atau isi perut kawannya, langsung melayang kembali ke angkasa. Seolah mereka gembira dan bangga dengan apa yang didapatnya. Di luar itu, yang paling diincar adalah darah kawan naas mereka. Dalam waktu tak begitu lama, mereka sanggup mengeringkan darah satu ekor kelelawar!

Meski memperhatikan dengan bergidik, Andika tak kehilangan akal sehatnya sedikit pun. Kini, Pendekar Slebor punya cara menghadapi kelelawar-kelelawar buas itu, tanpa harus menguras tenaga. Sejenak dikerahkannya tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan pada sepasang telapak tangan. Lalu....

“Hiaaa!”

Teriakan mengguntur Pendekar Slebor mengejutkan puluhan kelelawar yang sedang berpestapora menikam tubuh kawannya. Mereka hendak mengepak sayap untuk melesat ke angkasa, tapi sudah terlambat. Pukulan jarak jauh Andika sudah berpentalan gencar dari sepasang telapak tangannya.

Deb! Deb! Prak-prak!

Kerumunan kelelawar itu buyar. Tubuh mereka berpentalan terhantam pukulan jarak jauh Pendekar Slebor. Tanah pun makin diramaikan oleh geleparan tubuh-tubuh hitam. Kala itulah, kelelawar- kelelawar lain di angkasa menyambut gembira dengan teriakan kema-tian. Semuanya menyerbu kebawah, bagai hujan bongkahan benda hitam!

Kesempatan bagus itu dipergunakan Andika untuk segera melesat ke rumah-rumah yang terbengkalai. Menurut perkiraannya, tentu orang yang dimaksud si Raja Penyamar bisa ditemukan. Satu demi satu, rumah kotor dan keropos itu diperiksa dengan perasaan was-was. Andika khawatir, makhluk-makhluk buas di luar selesai dengan pestanya, sementara dia sendiri belum selesai meneliti seluruh rumah.

Pada salah satu rumah paling besar seperti istana kecil dengan tembok kusam penuh lumut, Andika menemukan juga manusia di sana. Tampak seorang lelaki tua tengah duduk bersila di satu sudut ruangan dengan wajah tenang serta sejuk. Bajunya putih, seperti pakaian para biksu. Di sekitar badan lelaki tua itu merangas sarang laba-laba tebal. Yang membuat Andika agak terkejut, ternyata wajah lelaki tua itu milik si Raja Penyamar!

“Raja Penyamar...,” tegur Andika sambil mendekatinya.

Tak ada jawaban. Si Tua itu tetap diam, seperti arca.

“Sebenarnya apa yang kau rencanakan padaku, Raja Penyamar?” lanjut Andika, penasaran.

Tapi tetap tak ada sahutan meski Andika sudah tetap bersimpuh di depannya.

“Percuma kau menegurnya, Anak Muda....”

Tiba-tiba terdengar sahutan dari orang lain, di belakang Andika. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja orang itu muncul. Telinga Andika yang terlatih pun, bahkan tak menangkap suara kedatangannya. Andika cepat menoleh, dan hampir saja terlonjak manakala menangkap siapa orang yang baru saja datang. Ternyata, orang itu Raja Penyamar juga!

“Apa-apaan ini?” tanya Andika tak mengerti.

Wajah Pendekar Slebor kontan tertekuk. Dia merasa telah dipermainkan Raja Penyamar.

“O, aku tahu! Lelaki yang duduk ini tentu bukan kau. Dia hanya kau dandani hingga mirip denganmu, begitu bukan?” sodor Andika, mengajukan kesimpulan.

“Kau salah,” sahut Raja Penyamar yang baru datang, sambil menggeleng.
“Salah? Salah bagaimana? Aku jadi bingung,” gerutu Andika sambil menepak kening.

“Yang duduk itu memang aku....”

“Apa maksudmu?! Apa kau sudah ikut-ikutan sinting seperti lelaki yang terus menguntitku?!”

Raja Penyamar yang baru datang hanya menggeleng lambat. Senyumnya yang sejuk tersembul, menawarkan keramahan.

“Yang di dekatmu itu adalah jasadku, Anak Muda,” jalas Raja Penyamar.

“Jadi?” Andika terbengong.
“Kau telah mati?”

“Ya.... Empat puluh tahun yang lalu.”
“Apa?!”

Kali ini Andika benar-benar terlonjak. Tubuhnya bangkit dengan wajah sulit dijabarkan. Dihampirinya lelaki yang baru tiba.

“Kau tidak sedang bergurau, bukan?!” desak Andika sungguh-sungguh.

Sekali lagi, Raja Penyamar menggeleng. Tetap perlahan dan tetap dengan senyum sejuk.

“Jadi yang selama ini kutemui adalah rohmu?” susul Andika, tak percaya.

“Benar. Tak seperti tiga orang seangkatanku yang beruntung memiliki umur panjang hingga hari ini, aku justru lebih dulu mati. Aku dulu mengidap penyakit yang tak ada obatnya. Aku tak menyesal, karena itu adalah kehendak Yang Maha Esa. Namun tugasku dariNya, rupanya belum selesai. Maka meski aku sudah mati, tapi masih diberi kesempatan untuk menitipkan amanat....”

“Amanat?”

“Ya! Amanat pada seorang berjiwa ksatria, berhati sekeras baja dan sebening pualam, berakal seterang kilau berlian. Seorang yang hanya bisa menyelamatkan dunia persilatan dari tangan lalim manusia jelmaan siluman....”

“Siapa orang itu?”
“Manusia Dari Pusat Bumi.”
“Bukan.... Maksudmu, siapa orang yang akan diberi amanat itu?”
“Kau....”

***


Bagaimana Andika bisa menerima amanat itu?

Apakah demikian berbahayanya Manusia Dari Pusat Bumi, sehingga roh Raja Penyamar pun belum juga kembali ke alam terakhirnya? Lalu, bagaimana pula nasib Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu menghadapi Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi?

Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode : PENGADILAN PERUT BUMI

SELESAI
Diubah oleh ucln 16-09-2016 20:37
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.