Kaskus

Story

uclnAvatar border
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR
PENDEKAR SLEBOR


Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta



Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.

Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).

Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.

Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan

Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.

Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..

Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.

Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..

And Here We Go.....

I N D E K S


Spoiler for Indeks 1:



TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya


GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
anasabilaAvatar border
regmekujoAvatar border
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
uclnAvatar border
TS
ucln
#141
Part 2

Tanpa mau mengambil bahaya sedikit pun, Andika melempar tubuhnya jauh-jauh ke belakang. Namun begitu, masih juga dirasakannya rasa pedih berdenyar pada bagian tubuh yang sempat tersambar angin pukulan lawan.

“Apa kau sudah sinting, Perempuan Cantik?! Kenapa kau tiba-tiba hendak membunuhku?!”

Wanita cantik itu tertawa renyah menanggapi kebingungan Andika.

“Jangan heran, Anak Muda. Sebenarnya aku hanya ingin mengenal Pendekar Slebor. Aku ingin tahu, apakah nama besarmu benar-benar bukan sekadar bungkus bubur nasi!”

“Jadi, sebenarnya kau telah tahu tentang diriku?” tanya Pendekar Slebor.

“Hi... hi... hi. Siapa yang tak kenal ciri-ciri pemuda sakti kesohor seperti kau, Pendekar Slebor! Pemuda tampan yang selalu berpakaian hijau-hijau dengan kain bercorak catur tersampir di bahu. Dan, satu lagi yang tidak mungkin kau lepaskan dari tubuhmu.... Tanda bintang berwarna hijau kebiru-biruan yang kau bawa dari lahir di tangan kananmu!” urai Juwita.

“Tampaknya aku sedang berhadapan dengan orang yang tak bisa dibuat main-main,” gumam Pendekar Slebor.

Entah bagaimana Andika jadi menduga kalau wanita ini adalah tokoh jajaran atas yang lebih dulu malang melintang dalam dunia persilatan ketimbang dirinya. Memang menurut cerita dari mulut rakyat, Andika mendapat kabar kalau setiap pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan yang juga buyutnya, pasti memiliki tanda seperti terdapat di tangan kanannya. Namun sejauh itu, orang-orang hanya tahu tentang tanda khusus yang menjadi ciri khas pewaris pendekar panutan itu.

Sedangkan bentuk dan letaknya tak pernah ada yang tahu. Jika ada seorang yang tahu tentang bentuk dan letak tanda lahir itu, bisa jadi dia adalah tokoh tua yang cukup akrab dengan Pendekar Lembah Kutukan itu sendiri.

“Tapi, apa mungkin dia salah seorang sahabat buyutku, Pendekar Lembah Kutukan? Bukankah buyutku itu hidup lebih dari seratus tahun lalu? Sementara wanita ini mungkin baru berusia antara dua puluh tujuh sampai dua puluh sembilan tahun,” bisik Andika, mulai ragu dengan dugaannya.

“Kenapa kau bengong seperti kambing masuk angin?” sentak Juwita membuyarkan dugaan-dugaan Andika.

“Siapa kau sebenarnya, Perempuan Cantik?” tanya Andika, hati-hati.

Bukan apa-apa. Pendekar Slebor hanya tak mau berbuat kurang ajar jika wanita itu benar-benar sahabat buyutnya. Siapa tahu, dia memiliki ilmu awet muda! Wanita cantik ini menggoyang-goyangkan kepala ke kiri dan kanan. Dan kerudungnya yang tembus pandang itu ikut bergerak lemah gemulai.

“O, o! Belum waktunya kau mengenalku, Anak Muda Menggemaskan!” tandas Juwita seraya
memainkan jari telunjuk di depan kepala.

“Suatu saat, kau akan tahu siapa aku. Sekarang ini, kau cukup kubiarkan dongkol dan penasaran saja. Hi... hi... hi!”

Selesai berkata demikian perempuan mempesona itu berpindah tempat, tanpa menggerakkan badan sedikit pun. Dari satu jarak, ke jarak lain. Sehingga, akhirnya dia menghilang tanpa jejak. Sungguh satu unjuk kebolehan ilmu meringankan tubuh yang mungkin hanya dimiliki oleh dua atau tiga orang di dunia persilatan. Bahkan Andika sendiri pun tak sanggup melakukannya.

Tanpa sadar, mulut Andika berdecak. Sementara itu matanya terbuka lebar tanpa berkedip. Dan ada satu lagi, hidungnya mencium aroma bunga sedap malam, sepeninggalan wanita genit tadi.

***


Hakim Tanpa Wajah membawa mayat wanita hamil yang ditemukannya di danau, ke sebuah rawa penuh buaya buas. Dia menyelam tanpa kesulitan ke dasar rawa berlumpur seperti seekor katak besar. Anehnya, tak ada seekor buaya pun yang berani mengusik. Kehadirannya bagi binatang peninggalan zaman purba itu, seperti raja diraja yang ditakuti. Binatang-binatang berdarah dingin itu langsung saja menyingkir ketakutan, manakala Hakim Tanpa Wajah lewat.

Setelah menyelami sekian depa kedalaman rawa, Hakim Tanpa Wajah tiba di sebuah lubang besar menganga. Dimasukinya lubang di dasar rawa itu. Lorong panjang berliku-liku dalam lubang bukan sesuatu yang sulit buatnya, tanpa perlu mengambil napas.

Beberapa lama kemudian, laki-laki tua ini muncul di sebuah kubangan air dalam sebuah ruang besar di perut bumi, yang memiliki beberapa lorong lain. Tempat itulah yang beberapa puluh tahun lalu, dijadikan sebagai penjara, pengadilan, sekaligus tempat bagi orang-orang persilatan yang diculiknya menjalani hukuman. Dan tempat itu dinamakan: Pengadilan Perut Bumi.

“Kita sudah tiba, Bocah Bagus!” kata Hakim Tanpa Wajah pada si Jabang Bayi dalam perut mayat wanita hamil yang dipondongnya.

“Sebentar lagi kau akan kukeluarkan dari perut ibumu. He... he... he!”

Hakim Tanpa Wajah memasuki sebuah lorong yang di dalamnya hanya diterangi obor-obor dari gas alami. Diletakkan mayat yang dibawanya di lantai sebuah ruangan yang tak begitu luas sebesar gubuk. Telinganya lantas didekatkan ke perut besar mayat wanita itu, seakan ingin meyakinkan kalau si Jabang Bayi masih hidup.

“He... he... he. Kau benar-benar bocah kuat!” puji Hakim Tanpa Wajah seraya menepuk-nepuk kandungan.

“Bagaimana cara mengeluarkan kau, ya? Aku jadi bingung juga. Kau tahu sendiri bukan, kalau aku bukan dukun beranak. He... he... he!”

Layaknya orang kebingungan, Hakim Tanpa Wajah mondar-mandir di dekat mayat wanita hamil ini. Namun jalannya sungguh aneh. Dia seperti melompat-lompat! Kini dia berpikir untuk menemukan cara, bagaimana mengusahakan si Jabang Bayi hadir di alam yang baru, tanpa harus mencelakakannya. Tentu saja Hakim Tanpa Wajah tak ingin si Jabang Bayi mendapat celaka. Hasratnya untuk menjadikan si Jabang Bayi menjadi muridnya, telah membuatnya bertindak hati-hati.

Kebingungan laki-laki tua ini terjegal mendadak, saat matanya menangkap satu gerakan ganjil dalam perut mayat wanita itu.

“Ei, apa itu?” tanya Hakim Tanpa Wajah ingin tahu.

Didekatinya perut buncit mayat wanita ini.

“We... we... we. Rupanya kau sudah tak sabar lagi, Bocah Bagus!” kata Hakim Tanpa Wajah sewaktu melihat kandungan tersentak-sentak dari dalam.

“Kau tentunya sudah penat di dalam sana. Tapi, tampaknya kau ingin keluar sendiri tanpa ingin dibantu.... Weee, begini saja. Biar kau kuberi sedikit pertolongan.”

Dengan kuku runcing jari telunjuknya, Hakim Tanpa Wajah menusuk hati-hati perut besar mayat si Wanita. Maka lubang sebesar jari pun tercipta, tanpa mengeluarkan darah. Tak ada lima kerdipan mata, lubang kecil itu mulai melebar, merobek kulit perut wanita si Wanita. Penyebab robekan yang kian besar itu tentu saja geliatan liar si Jabang Bayi di dalamnya. Kemudian disusul menyembulnya sepotong kaki mungil, namun kokoh. Dan sebelah kaki yang lain, membuat kulit perut ibu sang Bayi jadi terkuak makin lebar. Maka sebagian jaringan rahim yang sudah agak liat pun terlihat.

Ketika lubang di perut sang Ibu makin melebar, tampaklah seorang bayi. Mungil, sehat, dan masih merah seperti layaknya bayi lain. Namun ada yang berbeda dengan bayi satu ini. Gusinya telah ditumbuhi dua gigi runcing, berbentuk taring yang menyembul di sudut-sudut bibirnya!

***


Puluhan tahun yang lalu, ada seorang pemuda digdaya yang selalu muncul bersama monyet kecilnya. Bentuk tubuhnya gagah. Wajahnya tampan, hingga mampu menggoyahkan hati setiap wanita yang melihatnya. Meski tindak-tanduknya lebih tepat disebut tingkah orang tak punya otak, toh, tetap saja puluhan wanita kalangan dunia persilatan mengejar-ngejarnya. Otak pemuda itu memang bebal seperti kerbau. Cara berpikirnya memang tak lebih daripada bocah ingusan berumur enam tahun. Tapi untuk urusan kedigdayaan, jangan coba-coba menjajalnya. Begitulah pendapat umum dunia persilatan kala itu, mengenai dirinya.

Sementara monyet kecilnya yang seringkali justru lebih cerdik dari pemuda itu sendiri. Baginya, binatang peliharaannya itu adalah sahabat, sekaligus teman mengambil keputusan. Bila ada orang-orang yang berurusan dengannya, maka hewan yang memiliki naluri kuat itu akan memberinya pertimbangan. Apakah orang itu akan dibunuh, atau dibiarkan hidup. Sesakti apa pun seseorang, jika si Kera Kecil itu sudah berjingkat-jingkat liar seraya menampakkan wajah beringas, maka akan digasak habis oleh pemuda tampan ini. Sejauh itu, tak ada seorang pun yang bisa lepas dari tangan mautnya, kalau sudah mendapat isyarat dari hewan peliharaannya.

Hampir semua yang dihabisinya adalah orang-orang dari golongan hitam. Karena itu, dia amat dimusuhi habis-habisan oleh datuk-datuk sesat di empat penjuru angin. Apalagi, kera kecilnya yang selalu saja bisa mencium sifat-sifat busuk seseorang. Sebaliknya, jika si Kera Kecil itu mulai melompat berputaran sambil bertepuk tangan, maka orang itu akan dibiarkannya hidup. Meskipun, orang tersebut sudah nyaris melemparnya ke liang kubur sekali pun.

Kini, setelah sekitar delapan puluh tahun berlalu, pendekar itu tidak lagi gagah. Wajahnya pun sudah diramaikan kerutan di sana-sini. Tubuhnya yang dulu kekar berisi, kini hanya seonggok tulang berbalut kulit keriput. Kalaupun ada yang tidak berubah, hanya pakaiannya yang berwarna-warni, penuh tambalan di sana-sini. Meski tubuhnya sudah melengkung seperti tongkat, dia masih bisa berjalan cukup gagah tanpa perlu penyangga. Matanya kelabu, tapi tetap berbinar riang. Rambutnya memutih rata dan ditutupi selembar topi pandan. Tanpa jenggot dan kumis, dia seperti lebih muda daripada usia sebenarnya. Kalau laki-laki itu cengengesan sendiri sesekali, maka tampaklah gusi yang hanya memiliki tiga batang gigi kuning langsat. Ketuaan usianya mungkin hanya bisa ditaksir dari panjang alis mata berwarna putih, yang menjuntai menutupi kelompak matanya yang sayu.

Tokoh inilah yang dulu kesohor dengan julukan Pendekar Dungu! Tua bangka itu kini tengah berjalan melenggang di sebuah pematang sawah. Sayang, monyet kecil sahabat setianya tak seberuntung dirinya diberi usia panjang. Binatang itu telah mati sekitar enam puluh tahun lalu. Kini, tidak ada lagi yang bisa memberi pertimbangan padanya untuk bertindak pada orang-orang yang berurusan dengannya. Bahkan dia tidak bisa lagi membedakan, mana orang-orang dari golongan lurus dan mana yang dari golongan sesat.

“Hoiii, Dungu!”

Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang, saat Pendekar Dungu sampai di ujung pematang. Langkah kakinya seketika tertahan, tapi tak segera menoleh ke asal suara.

“Oooi, Bodoh! Lagakmu masih tetap menjengkelkan seperti dulu!”

Terdengar teriakan kembali. Kali ini terdengar agak kalap. Jauh di belakang Pendekar Dungu, tampak seseorang berlari ringan mengejarnya. Cara larinya bagai kesetanan. Blingsatan dengan langkah-langkah ngawur seperti anak kecil baru bisa berlari. Penampilannya membuat siapa pun merinding. Seluruh badannya yang besar kelebihan lemak, ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat. Bahkan sampai ke wajahnya. Kalau dilihat sekilas, laki-laki yang baru datang ini mirip seekor kera. Namun begitu, wajahnya tidak seburuk itu. Untuk orang kebanyakan, dia masih termasuk tampan. Sayang, pipinya agak tebal oleh lemak. Bulu-bulu hitam lebat di badannya, membuatnya tak membutuhkan baju untuk melindungi diri dari sengatan sinar matahari. Hanya bagian bawahnya saja yang ditutupi celana panjang hitam.

Tokoh ini salah satu yang tak tertandingi pada puluhan tahun yang lalu. Julukannya, Lelaki Berbulu Hitam. Tak seperti Pendekar Dungu, lelaki itu tak nampak dimakan usia. Walau berusia seratus tahun lebih, namun tak membuatnya menjadi renta. Padahal dia sama sekali tidak memiliki ilmu awet muda. Bisa saja dia tetap muda seperti berusia empat puluhan, karena konon dalam tubuhnya mengalir darah keturunan serigala. Dan lelaki berbulu itu memang lahir dengan cara di luar kebiasaan alam, yakni dari perut seekor serigala betina jejadian. Mulanya, wanita itu adalah penuntut ilmu hitam serigala siluman. Habisnya batas waktu ilmu hitam itu, menyebabkan si Wanita berubah wujud menjadi serigala.

Pada masa jayanya, Lelaki Berbulu Hitam dikenal sangat beringas. Wajar saja, darahnya memang panas layaknya serigala. Dalam membunuh, dia tak pernah mengenal batas-batas kekejian. Merencah- rencah lawan baginya merupakan hal biasa. Namun begitu, sesungguhnya Lelaki Berbulu Hitam tetap memiliki hati nurani. Kerap kali dalam dirinya terasa ada hembusan kuat, yang mencoba menyadar-kannya dari kebuasan seekor binatang. Saat seperti itulah, akan terjadi pertarungan batin antara dua kehendak yang saling bertentangan. Yang satu ingin memperturutkan naluri kebuasan, sedang yang lain ingin mengikuti hati nurani.

Pernah, Lelaki Berbulu Hitam berurusan dengan Pendekar Dungu. Penyebabnya, hanya karena Lelaki Berbulu Hitam merasa iri terhadap Pendekar Dungu yang memiliki seekor kera berkemampuan mengagumkan. Menurut Lelaki Berbulu Hitam, dengan bantuan kera kecil cerdik itu, tentu dirinya bisa mulai menghilangkan sikap buas pada setiap orang. Tentu saja Pendekar Dungu tidak ingin binatang kesayangannya direnggut Lelaki Berbulu Hitam. Karena, dia pun amat memerlukan kecerdikan binatang kecil itu. Maka pertentangan itu pun menyulut
pertarungan seru dan habis-habisan.

Setelah pertarungan dahsyat habis-habisan itu, mereka tidak pernah lagi muncul di dunia persilatan. Keduanya seperti disadarkan oleh sebuah kekuatan suci, bahwa mereka tidak bisa bergantung dengan seekor hewan kecil. Mereka harus bisa mengatasi masalah sendiri. Untuk itulah, mereka lalu mengasingkan diri, meminta petunjuk sang Penguasa Jagad agar bisa mengenyahkan kekurangan diri masing-masing.

***


Lelaki Berbulu Hitam telah sampai di dekat Pendekar Dungu.

“Kenapa kau dungu sekali, Dungu?!” tegur Lelaki Berbulu Hitam dengan wajah memerah kesal.
“Kau bilang aku dungu?” tanya Pendekar Dungu, ketolol-tololan.
“Ya!”
“Kenapa kau katakan begitu?”
“Karena kau dungu, Dungu!”

Pendekar Dungu mengangguk-angguk dengan alis mata berkerut.

“Ya, ya.... Aku memang dungu. Betapa dungunya aku...,” gumam Pendekar Dungu.

“Ah, sudah! Kalau terus meributkan kedunguanmu, kita tak akan selesai-selesai sampai seratus abad lagi! Jadi, ke mana saja kau selama ini?” tanya Lelaki Berbulu Hitam, seperti seorang sahabat yang lama tak bersua.

“Aku? Kalau tidak salah, aku menyembunyikan diri di Gunung Gangginggung. Aku bertapa di sana.... Itu kalau tidak salah.”

“Kalau tidak salah? Kau masih saja dungu seperti dulu.”
“Ya, dasar dungu....”

“Sama seperti kau, aku juga mengucilkan diri. Dan aku juga bertapa untuk memohon wangsit dari Yang Kuasa.”

Pendekar Dungu mengupil hidung.

“Kalau tak salah, aku tidak bertanya soal itu,” gumam Pendekar Dungu santai.
“Kau menjengkelkan, Dungu! Hih!”

Lelaki Berbulu Hitam melayangkan cakar panjangnya yang berwarna hitam ke perut Pendekar Dungu. Suara mendesau tajam terdengar menggiriskan saat tangan itu menyambar. Dan udara pun terasa seperti bergetar tersambar kuku-kukunya.

Bet!

Sementara itu, jari tangan kanan Pendekar Dungu segera menjentik kotoran hidungnya yang menempel ke arah sambaran Lelaki Berbulu Hitam. Maka desir angin yang tak kalah santer pun terdengar. Tahi hidung itu terus melesat, lalu menghantam kuku kelingking Lelaki Berbulu Hitam.

Tak!

Seperti sebuah bangunan beton amat tebal, secuil tahi hidung milik lelaki tua berotak bebal itu sanggup menahan laju sambaran cakar Lelaki Berbulu Hitam. Lelaki Berbulu Hitam jadi mendengus gusar.

“Kau hendak menghinaku, Dungu?!” bentak laki-laki seram ini setengah bertanya.

Rupanya Lelaki Berbulu Hitam tak mau kalah unjuk kebolehan. Satu gerakan tangan dibuat. Maka seketika beberapa lembar bulu hitam di punggung jarinya terlepas, lalu melesat deras ke sepasang mata Pendekar Dungu.

Wesss!

Sementara itu Pendekar Dungu mendadak menguap lebar-lebar. Setelah itu napasnya dihempas-kan.

“Hoaaah... huuuhhh!”

Semua itu dilakukan seperti di luar kesadaran. Namun hasil yang terjadi sungguh luar biasa! Lembaran-lembaran bulu berkekuatan hebat itu langsung terhambat di udara. Dan begitu hembusan napasnya, terpenggal, bulu-bulu maut itu pun meng-gelepar turun di udara kehilangan seluruh kekuatan seperti lembaran kapas. Namun beberapa lembar di antaranya sempat tersangkut di lubang hidung Pendekar Dungu. Dan sebentar kemudian....

“Aaa... aaa... haaachiiihhh!”

Orang tua berpakaian tambalan ini mendadak membersin keras. Lendir kental dari hidungnya langsung terlontar menuju Lelaki Berbulu Hitam dengan kecepatan angin topan. Sewaktu bergesekan dengan udara, lendir menjijikkan itu mengepulkan asap tipis. Mungkin lubang hidung yang tak pernah dibersihkan selama puluhan tahun itu, telah menyebabkannya beracun.

Mata Lelaki Berbulu Hitam kontan mendelik. Secepat dadanya disingkirkan ke samping. Maka lendir si Pendekar Dungu pun meluncur ke sasaran lain, seekor ular sawah besar yang naas. Batok kepala binatang melata itu terhajar lendir tadi. Maka sekejap saja kepala ular itu berhamburan. Sedangkan bekas hantaman lendir mengeluarkan asap tipis, mengambang lamban di antara puncuk padi yang masih berwarna hijau.

“Ngomong-ngomong, apa yang kau dapat waktu bertapa?” Pendekar Dungu melontarkan pertanyaan sambil menghindari tendangan kasar musuh lamanya.

“Kalau tidak salah..., sial! Kenapa aku jadi melatahimu! Maksudku, aku mendapat wangsit. Masalah kita bisa diatasi dengan bantuan seseorang.... Hiaaat!” jawab Lelaki Berbulu Hitam, masih terus menggempur liar.

“Lho? Kenapa bisa sama, ya?! Haih!”
“Jadi, kau mendapat wangsit seperti itu juga?!”
“Ya, ya! Kalau tidak salah..., hiaaah!”

Kedua tokoh itu bertukar jurus kian panas. Gerakan mereka membongkar habis pematang sawah di bawah. Angin pukulan dan tendangan satu sama lain menyapu bulir-bulir padi hijau hingga berterbangan ke segenap penjuru.

“Lalu, apa kau mendapatkan ciri-ciri orang yang bakal bisa membantu kita untuk mengenyahkan kekurangan diri kita?” tanya Lelaki Berbulu Hitam yang dibarengi susulan terjangan.

“Kau sendiri?! Hey, jangan menyerang jidatku! Otakku bisa jadi tambah bebal!” hardik Pendekar Dungu kalap.

“Ada bintang....”
“Di langit?!” selak Pendekar Dungu.

“Dungu! Heaaa!”
“Memang! Aiiit!”

“Maksudku, orang itu memiliki tanda bintang di tangan kanannya!” teriak Lelaki Berbulu Hitam, sampai urat-urat di tenggorokannya membengkak.

“Lho? Kenapa bisa sama lagi dengan wangsitku, ya?!”

Srat! Prat!

Pada saat yang bersamaan, telapak tangan Pendekar Dungu menyerempet bulu dada laki-laki berpakaian tambalan. Sebaliknya cakar Lelaki Berbulu Hitam menyambar pakaian di bagian dada si Tua Bangkotan. Sejengkal bulu dada lelaki keturunan serigala itu tercukur gundul. Sementara, pakaian Pendekar Dungu koyak lebar.

“Kau merusak bajuku!” maki Pendekar Dungu kalap.

“Hanya baju dekil dan bau! Tapi, kau malah merontoki bulu dadaku! Kau merusak penampilanku!” sentak Lelaki Bertubuh Hitam tak kalah kalap.

“Bulu-bulumu mestinya memang harus dirontokkan semua! Aku geli melihatnya! Memandang bulumu, seperti melihat setumpuk lalat jamban!” ejek Pendekar Dungu sambil memajukanwajah keriputnya, menantang Lelaki Berbulu Lebat.

Lelaki Berbulu Lebat jadi latah. Kepalanya ikut-ikutan dijulurkan. Kini keduanya saling berhadap- hadapan wajah. Jidat keduanya bertemu, seperti sepasang domba tua sedang bersabung.

“Kau yang mestinya menanggalkan pakaian rombengmu itu! Pakaianmu hanya membawa penyakit kudis saja!” balas Lelaki Berbulu Hitam.

“Ngomong-ngomong, apa kau berniat mencari orang bertanda bintang itu?” tanya Pendekar Dungu sungguh-sungguh, seperti tak pernah terjadi apa-apa pada dirinya.

“Aku pikir begitu.”
“Kalau kupikir..., ng.... Apa iya aku bisa berpikir?” gumam Pendekar Dungu menyebalkan.

“Jadi kau akan mencari dia juga, apa tidak?!” bentak Lelaki Berbulu Lebat ngotot sekali.
“Hayo! Hayo!”

Keduanya seketika menyudahi pertarungan. Dan seperti tak pernah terjadi apa-apa, mereka berjalan bersisian ke arah timur. Matahari saat ini menggelantung dengan warna Jingga dibelakang. Cara jalan mereka seperti dua orang sahabat kental. Tak beberapa jauh berjalan, mulut Pendekar Dungu mulai berkicau lagi.

“Kau punya murid? Muridmu apa sejelek kau juga?”

Tak lama kemudian kembali keduanya bertengkar. Suara teriakan kasar seketika terdengar ke mana-mana


0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.