- Beranda
- Stories from the Heart
PENDEKAR SLEBOR
...
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR

Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.
Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).
Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.
Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan
Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.
Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..
Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.
Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..
And Here We Go.....
I N D E K S
Spoiler for Indeks 1:
TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya
GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ucln
#135
Part 8
“Sudah kukatakan, jangan coba pengaruhi aku, Chin Liong,” tepis Chin Chung, tak lagi sekeras sebelumnya.
Dalam hati, dia tidak bisa memungkiri kalau dirinya pun rindu pada saudara kembarnya
“Kenapa kita tak rukun lagi seperti dulu saja, Chin Chung? Sadarlah. Dan, kembalilah kepada kebenaran. Aku akan memintakan ampunan pada Putri Ying-lien, agar kau bisa diberikan kesempatan memperbaiki kesalahanmu,” bujuk Chin Liong halus.
Chin Chung menggeleng lembut.
“Tidak bisa, Chin Liong,” sanggah Chin Chung, bergetar.
“Aku sudah telanjur basah. Aku tidak bisa lagi mundur. Dan aku harus membalas jasa Si Pembawa Badai yang telah memelihara dan mendidikku. Kini, diriku adalah bagian dari mereka.”
“Cobalah, Chin Chung. Demi aku! Demi kita...,” bujuk Chin Liong, lebih halus. Suaranya pun kini ikut bergetar diguncang kehilangan saudaranya yang kini bagai begitu jauh.
“Jangan paksa aku, Chin Liong!” bentak Chin Chung, dalam satu kalimat tersekat-sekat.
“MenyingkirIah dari jalanku!”
Chin Liong menggeleng tegas.
“Menyingkir kataku, Chin Liong!” ulang Chin Chung.
Saudara kembarnya itu tetap menggeleng.
“Baik! Jangan salahkan aku jika di antara kita ada yang terbunuh,” ucap Chin Chung, nyaris terdengar seperti terisak.
“Maafkan aku, Saudaraku.”
Setelah itu Chin Chung mengayunkan pedang pusaka di tangannya ke depan. Dan....
“Hiaaa!”
Pertarungan antara dua saudara kembar memang sudah tidak terelakkan lagi. Dan Chin Chung memang terlalu keras kepala untuk mengalah, apalagi menyadari kesalahannya. Sedangkan Chin Liong tidak akan sudi membiarkan kemungkaran terjadi di depan hidungnya, meski dilakukan oleh saudara kembarnya sendiri. Kini terputuslah jalinan darah satu sama lain dalam satu kancah pertarungan berbaumaut. Mereka bertukar jurus untuk mempertahankan sikap masing-masing dengan taruhan nyawa.
Chin Liong yang memiliki ketangguhan sebagaimana orang-orang tenggara, mengerahkan kelebihan ilmu ‘Ginkang’nya. Sebuah ilmu yang mengandalkan kecepatan dan meringankan tubuh. Sementara, Chin Chung di satu pihak mengerahkan seluruh kemampuan ‘Kun Twa’nya yang mengandalkan kekuatan totokan jari tangan warisan Si Pembawa Badai yang digabungkan dengan permainan pedang.
Telah empat puluh tiga jurus dilalui, namun sejauh itu tak ada tanda-tanda yang terdesak. Mereka masih sama-sama tangguh. Masih sama-sama mencoba berada di atas angin.
“Haih!”
Zeb! Zeb!
Pada satu kesempatan, jari kiri Chin Chung mencoba menembus tenggorokan Chin Liongyang saat ini berada dalam keadaan tak menguntungkan. Rasanya, ia tak mungkin bisa memapak tusukan jari lawan. Di daratan Tiongkok, ilmu ‘Kun Taw’ terkenal mampu menembus batu cadas paling keras sekalipun. Memapakinya, berarti membiarkan tangan tercedera berat. Makanya, Chin Liong memilih menghindar.
Untungnya, kemampuan ‘Ginkang’ Chin Liong cukup mampu diandalkan dalam keadaan seperti saat itu. Terbukti, dia mampu melompat ke samping dengan kecepatan luar biasa!
Krsk!
Maka dinding Goa Sejuta Lintah pun menjadi sasaran empuk jari kiri Chin Chung. Layaknya sebatang tombak baja menembus batang pohon pisang. Untuk membayar serangan, Chin Liong melancarkan tinju ganda ke dua sisi rusuk Chin Chung.
“Hih!”
Deb! Deb!
Di tengah jalan, tinju ganda Chin Liong harus segera dihentikan. Jika tidak, tangannya tentu akan terputus sebatas siku, karena pada saat yang bersamaan, Chin Chung dengan sigap membabatkan Pedang Pusaka Langit ke bawah.
Wut!
Babatan ke bawah tadi, diteruskan Chin Chung dengan putaran pedang sedemikian rupa untuk
memenggal leher Chin Liong.
“Heaaa!”
Sing!
Kali ini Chin Liong dipaksa menguras seluruh kemampuan “Ginkang’nya. Tubuhnya langsung dihentakkan sepenuh tenaga ke belakang, untuk mematahkan babatan pedang lawan. Pada saat rawan seperti itu, mata jelinya masih sempat menangkap satu bagian kosong pada tubuh Chin Chung. Sabetan yang bernafsu tadi, membuat saudara kembarnya luput membentengi dadanya yang terbuka. Begitu tubuhnya dilempar ke belakang, kaki Chin Liong naik ke atas berbarengan. Kesempatan yang amat tipis itu digunakan Chin Liong secara cerdik untuk mendepak dada Chin Chung.
Bukh!
“Akh!”
Kontan saja tubuh Chin Chung terlempar ke atas, kemudian meluncur deras ke belakang. Rasa sesak di dadanya yang terasa hampir jebol, membuat saudara kembar Chin Liong itu tak sempat berteriak, kecuali satu erangan pendek tertahan.
Byur!
Begitu tubuhnya terjerembab, air sebatas lutut di bawahnya pun tersibak kacau ke segala arah. Sesaat tubuhnya tertelan aliran sungai kecil. Dan saat berikutnya, dia bangkit dengan seluruh badan basah kuyup. Bibirnya tampak mengeluarkan darah yang terbawa tetesan air dari wajahnya.
“Aku belum kalah, Chin Liong,” kata Chin Chung seraya mengacungkan Pedang Pusaka Langit pada Chin Liong.
“Sudahlah, Chin Chung.... Sadarlah,” bujuk Chin Liong sekali lagi.
“Tidak! Kita harus menuntaskan urusan ini,” tandas Chin Chung, sungguh-sungguh
Begitu selesai kata-katanya, Chin Chung mulai mengatur napas. Tangannya bergerak teratur.
Tampaknya, dia mulai menantang Chin Liong untuk bertanding tenaga dalam. Sementara itu, Chin Liong menyipit. Seluruh saraf di tubuhnya sudah menegang. Inilah yang amat dikhawatirkannya. Dengan pengerahan tenaga dalam penuh, kekuatan Pedang Pusaka Langit bisa membantu Chin Chung melipat gandakan tenaga dalam, tiga belas kali lebih kuat!
Sementara di luar seorang pemuda berpakaian serba hijau dengan perasaan tak menentu di luar Goa Sejuta Lintah. Menunggu seperti saat ini membuat pemuda yang tak lain Pendekar Slebor itu begitu gelisah. Dia khawatir, terjadi hal-hal yang tak diharapkan pada diri Chin Liong di dalam sana. Untuk menyusul, Andika’ mesti berpikir ulang. Bisa jadi, dia malah merusak rencana yang telah tersusun. Bukankah selama ini Chin Chung tak pernah terlihat bersama orang asing seperti dirinya? Sedangkan Chin Liong justru hendak menyamar sebagai Chin Chung, saudara kembarnya. Kalau Tua Bangka Tangan Api curiga, semuanya bisa kacau!
Akhirnya, Andika hanya bisa duduk gelisah di atas tonjolan besar batu cadas.
“Sialan! Kenapa aku tadi tak memikirkan kapan waktunya untuk masuk ke sana,” gerutu Andika pada diri sendiri, menyesali keteledoran.
Sementara di atasnya, burung-burung wallet tampak berkejaran. Sesekali cicitnya terdengar ramai. Sambil mengulum-ngulum rumput, Andika memperhatikan binatang-binatang mungil yang cantik itu. Sekadar untuk melepas rasa bosan dan gelisah. Tak lama kemudian terdengar senandungnya.
O, walet kecil di atas sana.
Kau bawa ceria di angkasa
Tak mau tahu pada dunia,
yang kerap begitu durjana
O, walet kecil di atas sana
Kau bawa kehangatan pada alam
Kau bawa kehangatan pada mayapada
Kau bawa kehangatan pada....
Dan tiba-tibasaja...
Prot!
Sesuatu yang lembek dan hangat tahu-tahu menimpa kening Andika dengan telak.
“Sial! Kau boleh bawa banyak kehangatan! Tapi, jangan kasih yang hangat satu ini ke mukaku!” maki pemuda itu sewot ketika menyadari kalau baru tertimpa rejeki nomplok.
“Andika....”
Sedang seru-serunya pendekar urakan itu mencak-mencak dengan kepala menengadah, terdengar panggilan lemah di belakangnya. Saat melayang menoleh, tampak Chin Liong keluar tertatih-tatih dari bibir goa. Di tangannya, tergenggam Pedang Pusaka Langit.
“Kau mendapatkannya, Chin Liong?!” sambut Andika gembira.
“Ya,” jawab Chin Liong tersendat.
Lelaki bermata sipit itu terlihat begitu lemah dan lusuh. Di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka memar serta noda-noda darah. Demikian juga di mulutnya.
“Kenapa kau?” tanya Andika, tergesa-gesa meng hampiri kawannya. Chin Liong yang menyender pada dinding goa segera dipapahnya.
“Apa ada rintangan dari si Pandai Besi itu?”
Chin Liong menggeleng berat.
“Chin Chung,” desak Chin Liong.
“Chin Chung?”
“Ya! Dan aku terpaksa membunuhnya. Dia terlalu memaksa aku melakukannya. Padahal..., padahal aku tetap menyayanginya,” keluh Chin Liong lirih.
Kepalanya tertunduk dalam, memperlihatkan rasa penyesalan yang menyesaki dada.
“Aku turut menyesal,” tutur Andika.
“Tapi kebenaran memang tidak mengenal ikatan darah. Kau tak perlu menyesali perbuatanmu. Dia telah menentukan pilihannya sendiri.”
Perlahan-lahan keduanya mulai melangkah meniti lereng berliku. Belum begitu lama kedua orang itu pergi, tahu-tahu seseorang muncul pula di bibir Goa Sejuta Lintah. Keadaannya sungguh mengenaskan. Tubuhnya bermandikan darah dan rupanya sudah tak karuan. Wajahnya pucat dan kotor oleh lumpur. Seperti wajahnya, rambut panjangnya pun dipenuhi lumpur hitam.
Laki-Iaki itu berusaha menyeret tubuhnya, untuk keluar dari goa itu. Kira-kira tiga langkah dari bibir goa, terdengar dia memanggil-manggil seseorang. Dua kali dia memanggil, kemudian matanya menjadi nanar. Diawali getaran kecil sesaat, kepalanya pun roboh ke tanah. Dia tak mampu lagi merayap. Seluruh kesadarannya lerbang.
Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Tak seorang pun tahu. Kecuali, dirinya dan lelaki Tiongkok yang kini berjalan bersama Andika jauh di sana.
Pada dasarnya sebagian rencana yang disusun Andika telah berubah. Semula, setelah mendapat Pedang Pusaka Langit, dia dan Chin Liong bermaksud akan menemui pimpinan pemberontak wilayah utara kota Yingtienfu. Tujuannya, untuk menyampaikan pesan
mengenai pertukaran Putri Ying-lien dengan Pedang Pusaka Langit pada Chin Chung.
Tapi kini, hal itu tidak perlu lagi dilaksanakan. Karena setahu Andika, Chin Chung selaku orang yang menyandera Putri Ying-lien, telah tewas di tangan Chin Liong. Dan kini mereka harus menyusun rencana baru.
Pendekar tanah Jawa Dwipa itu sekarang sedang berdiri diam memikirkannya, di bawah sebuah pohon besar di pekarangan Kuil Peraduan Bulan. Dari wajahnya, tampak jelas kalau sedang berpikir keras. Tak dipedulikannya angin kecil mengusik pakaian morat-marit yang belum diganti sejak bertempur dengan Si Pembawa Badai.
Sementara itu, Chia-ceng tengah pergi dengan Chin Liong ke pusat kota Yingtienfu untuk mencari keperluan sehari-hari. Dengan begitu, mereka bisa tetap tinggal di Kuil Peraduan Bulan, khususnya Andika. Ini terpaksa dilakukan, menimbang Putri Ying-lien belum lagi diketahui nasibnya. Apalagi, Empat Penguasa Penjuru Angin yang begitu dekat dengan Chin Chung, tentu tak senang jika Andika terlihat berkeliaran. Mereka bisa saja meneruskan niat jahat Chin Chung untuk menghabisi Putri Ying-lien.
Sedang keras-kerasnya Andika berpikir, tiba-tiba Chin Liong datang tergopoh-gopoh. Badannya dibanjiri keringat dan napasnya memburu.
“Ada apa, Chin Liong?” tanya Andika cepat.
“Chia-ceng....”
“Kenapa dengan dia?”
“Seseorang telah membunuhnya!” lapor Chin liong.
Andika terkesiap. Wajahnya mengeras.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Pendekar Slebor gusar.
Usai mengatur napas, Chin Liong mulai bercerita.
“Di pusat kota, aku dan Chia-ceng berpisah dalam mencari segala kebutuhan kita. Lalu kami sepakat untuk bertemu di satu tempat. Setelah aku kembali ke tempat yang telah disepakati, ternyata Chia-ceng tak kunjung muncul. Aku menjadi was-was. Lalu dia segera kucari kesekitar pusat kota. Sampai akhirnya aku temui orang-orang berkerumun. Ternyata, mereka mengerumuni tubuh Chia-ceng yang sudah menjadi mayat.”
Chin Liong mengakhiri ceritanya bersama wajah geram. Tak cuma lelaki Tiongkok tampan itu. Andikapun ikut geram atas peristiwa yang menimpa Chia-ceng pengikut setia kerajaan.
“Menurut beberapa orang saksi mati, pembunuhnya adalah seorang lelaki berkaki baja runcing,” sambung Chin Liong menambahkan.
“Hantu Bisu Kaki Baja,” simpul Andika berdesis.
“Ya! Aku pikir juga begitu,” timpal Chin Liong.
“Tampaknya, anak buah Si Pembawa Badai itu ingin menuntut balas atas kematian Chin Chung,” gumam Andika.
“Tapi, bagaimana dia bisa tahu kalau Chin Chung sudah mati. Padahal, dia terbunuh di tempat tersembunyi?” tanya Chin Liong, heran.
“Mungkin saja Chin Chung telah bercerita sebelumnya kalau hendak mengambil Pusaka Langit ke Goa Sejuta Lintah,” duga Andika.
“Tak mungkin,” kata Chin Liong, setengah bergumam.
“Kenapa tak mungkin?”
“Aku tahu, siapa Chin Chung. Dia orang yang begitu bernafsu. Dengan memberitahu tentang Goa Sejuta Lintah, berarti ada kemungkinan benda pusaka itu akan diminta Si Pembawa Badai. Dan dia tak akan sudi menyerahkan benda yang begitu berharga itu,” papar Chin Liong datar.
“Lalu, apa mungkin Chin Chung masih hidup? Atau malah sempat kembali pada rekan-rekannya, untuk melaporkan tentang perbuatanmu padanya?”
“Entahlah. Tapi, aku yakin dia telah mati. Karena jelas sekali aku menusukkan Pedang Pusaka Langit ketubuhnya.”
“Kau benar-benar yakin? Apa kau telah memeriksa mayatnya?” tanya Andika, sedikit menyudutkan.
Chin Liong menggeleng ragu.
“Entahlah,” desah pemuda Tiongkok itu
“Sudah kukatakan, jangan coba pengaruhi aku, Chin Liong,” tepis Chin Chung, tak lagi sekeras sebelumnya.
Dalam hati, dia tidak bisa memungkiri kalau dirinya pun rindu pada saudara kembarnya
“Kenapa kita tak rukun lagi seperti dulu saja, Chin Chung? Sadarlah. Dan, kembalilah kepada kebenaran. Aku akan memintakan ampunan pada Putri Ying-lien, agar kau bisa diberikan kesempatan memperbaiki kesalahanmu,” bujuk Chin Liong halus.
Chin Chung menggeleng lembut.
“Tidak bisa, Chin Liong,” sanggah Chin Chung, bergetar.
“Aku sudah telanjur basah. Aku tidak bisa lagi mundur. Dan aku harus membalas jasa Si Pembawa Badai yang telah memelihara dan mendidikku. Kini, diriku adalah bagian dari mereka.”
“Cobalah, Chin Chung. Demi aku! Demi kita...,” bujuk Chin Liong, lebih halus. Suaranya pun kini ikut bergetar diguncang kehilangan saudaranya yang kini bagai begitu jauh.
“Jangan paksa aku, Chin Liong!” bentak Chin Chung, dalam satu kalimat tersekat-sekat.
“MenyingkirIah dari jalanku!”
Chin Liong menggeleng tegas.
“Menyingkir kataku, Chin Liong!” ulang Chin Chung.
Saudara kembarnya itu tetap menggeleng.
“Baik! Jangan salahkan aku jika di antara kita ada yang terbunuh,” ucap Chin Chung, nyaris terdengar seperti terisak.
“Maafkan aku, Saudaraku.”
Setelah itu Chin Chung mengayunkan pedang pusaka di tangannya ke depan. Dan....
“Hiaaa!”
***
Pertarungan antara dua saudara kembar memang sudah tidak terelakkan lagi. Dan Chin Chung memang terlalu keras kepala untuk mengalah, apalagi menyadari kesalahannya. Sedangkan Chin Liong tidak akan sudi membiarkan kemungkaran terjadi di depan hidungnya, meski dilakukan oleh saudara kembarnya sendiri. Kini terputuslah jalinan darah satu sama lain dalam satu kancah pertarungan berbaumaut. Mereka bertukar jurus untuk mempertahankan sikap masing-masing dengan taruhan nyawa.
Chin Liong yang memiliki ketangguhan sebagaimana orang-orang tenggara, mengerahkan kelebihan ilmu ‘Ginkang’nya. Sebuah ilmu yang mengandalkan kecepatan dan meringankan tubuh. Sementara, Chin Chung di satu pihak mengerahkan seluruh kemampuan ‘Kun Twa’nya yang mengandalkan kekuatan totokan jari tangan warisan Si Pembawa Badai yang digabungkan dengan permainan pedang.
Telah empat puluh tiga jurus dilalui, namun sejauh itu tak ada tanda-tanda yang terdesak. Mereka masih sama-sama tangguh. Masih sama-sama mencoba berada di atas angin.
“Haih!”
Zeb! Zeb!
Pada satu kesempatan, jari kiri Chin Chung mencoba menembus tenggorokan Chin Liongyang saat ini berada dalam keadaan tak menguntungkan. Rasanya, ia tak mungkin bisa memapak tusukan jari lawan. Di daratan Tiongkok, ilmu ‘Kun Taw’ terkenal mampu menembus batu cadas paling keras sekalipun. Memapakinya, berarti membiarkan tangan tercedera berat. Makanya, Chin Liong memilih menghindar.
Untungnya, kemampuan ‘Ginkang’ Chin Liong cukup mampu diandalkan dalam keadaan seperti saat itu. Terbukti, dia mampu melompat ke samping dengan kecepatan luar biasa!
Krsk!
Maka dinding Goa Sejuta Lintah pun menjadi sasaran empuk jari kiri Chin Chung. Layaknya sebatang tombak baja menembus batang pohon pisang. Untuk membayar serangan, Chin Liong melancarkan tinju ganda ke dua sisi rusuk Chin Chung.
“Hih!”
Deb! Deb!
Di tengah jalan, tinju ganda Chin Liong harus segera dihentikan. Jika tidak, tangannya tentu akan terputus sebatas siku, karena pada saat yang bersamaan, Chin Chung dengan sigap membabatkan Pedang Pusaka Langit ke bawah.
Wut!
Babatan ke bawah tadi, diteruskan Chin Chung dengan putaran pedang sedemikian rupa untuk
memenggal leher Chin Liong.
“Heaaa!”
Sing!
Kali ini Chin Liong dipaksa menguras seluruh kemampuan “Ginkang’nya. Tubuhnya langsung dihentakkan sepenuh tenaga ke belakang, untuk mematahkan babatan pedang lawan. Pada saat rawan seperti itu, mata jelinya masih sempat menangkap satu bagian kosong pada tubuh Chin Chung. Sabetan yang bernafsu tadi, membuat saudara kembarnya luput membentengi dadanya yang terbuka. Begitu tubuhnya dilempar ke belakang, kaki Chin Liong naik ke atas berbarengan. Kesempatan yang amat tipis itu digunakan Chin Liong secara cerdik untuk mendepak dada Chin Chung.
Bukh!
“Akh!”
Kontan saja tubuh Chin Chung terlempar ke atas, kemudian meluncur deras ke belakang. Rasa sesak di dadanya yang terasa hampir jebol, membuat saudara kembar Chin Liong itu tak sempat berteriak, kecuali satu erangan pendek tertahan.
Byur!
Begitu tubuhnya terjerembab, air sebatas lutut di bawahnya pun tersibak kacau ke segala arah. Sesaat tubuhnya tertelan aliran sungai kecil. Dan saat berikutnya, dia bangkit dengan seluruh badan basah kuyup. Bibirnya tampak mengeluarkan darah yang terbawa tetesan air dari wajahnya.
“Aku belum kalah, Chin Liong,” kata Chin Chung seraya mengacungkan Pedang Pusaka Langit pada Chin Liong.
“Sudahlah, Chin Chung.... Sadarlah,” bujuk Chin Liong sekali lagi.
“Tidak! Kita harus menuntaskan urusan ini,” tandas Chin Chung, sungguh-sungguh
Begitu selesai kata-katanya, Chin Chung mulai mengatur napas. Tangannya bergerak teratur.
Tampaknya, dia mulai menantang Chin Liong untuk bertanding tenaga dalam. Sementara itu, Chin Liong menyipit. Seluruh saraf di tubuhnya sudah menegang. Inilah yang amat dikhawatirkannya. Dengan pengerahan tenaga dalam penuh, kekuatan Pedang Pusaka Langit bisa membantu Chin Chung melipat gandakan tenaga dalam, tiga belas kali lebih kuat!
***
Sementara di luar seorang pemuda berpakaian serba hijau dengan perasaan tak menentu di luar Goa Sejuta Lintah. Menunggu seperti saat ini membuat pemuda yang tak lain Pendekar Slebor itu begitu gelisah. Dia khawatir, terjadi hal-hal yang tak diharapkan pada diri Chin Liong di dalam sana. Untuk menyusul, Andika’ mesti berpikir ulang. Bisa jadi, dia malah merusak rencana yang telah tersusun. Bukankah selama ini Chin Chung tak pernah terlihat bersama orang asing seperti dirinya? Sedangkan Chin Liong justru hendak menyamar sebagai Chin Chung, saudara kembarnya. Kalau Tua Bangka Tangan Api curiga, semuanya bisa kacau!
Akhirnya, Andika hanya bisa duduk gelisah di atas tonjolan besar batu cadas.
“Sialan! Kenapa aku tadi tak memikirkan kapan waktunya untuk masuk ke sana,” gerutu Andika pada diri sendiri, menyesali keteledoran.
Sementara di atasnya, burung-burung wallet tampak berkejaran. Sesekali cicitnya terdengar ramai. Sambil mengulum-ngulum rumput, Andika memperhatikan binatang-binatang mungil yang cantik itu. Sekadar untuk melepas rasa bosan dan gelisah. Tak lama kemudian terdengar senandungnya.
O, walet kecil di atas sana.
Kau bawa ceria di angkasa
Tak mau tahu pada dunia,
yang kerap begitu durjana
O, walet kecil di atas sana
Kau bawa kehangatan pada alam
Kau bawa kehangatan pada mayapada
Kau bawa kehangatan pada....
Dan tiba-tibasaja...
Prot!
Sesuatu yang lembek dan hangat tahu-tahu menimpa kening Andika dengan telak.
“Sial! Kau boleh bawa banyak kehangatan! Tapi, jangan kasih yang hangat satu ini ke mukaku!” maki pemuda itu sewot ketika menyadari kalau baru tertimpa rejeki nomplok.
“Andika....”
Sedang seru-serunya pendekar urakan itu mencak-mencak dengan kepala menengadah, terdengar panggilan lemah di belakangnya. Saat melayang menoleh, tampak Chin Liong keluar tertatih-tatih dari bibir goa. Di tangannya, tergenggam Pedang Pusaka Langit.
“Kau mendapatkannya, Chin Liong?!” sambut Andika gembira.
“Ya,” jawab Chin Liong tersendat.
Lelaki bermata sipit itu terlihat begitu lemah dan lusuh. Di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka memar serta noda-noda darah. Demikian juga di mulutnya.
“Kenapa kau?” tanya Andika, tergesa-gesa meng hampiri kawannya. Chin Liong yang menyender pada dinding goa segera dipapahnya.
“Apa ada rintangan dari si Pandai Besi itu?”
Chin Liong menggeleng berat.
“Chin Chung,” desak Chin Liong.
“Chin Chung?”
“Ya! Dan aku terpaksa membunuhnya. Dia terlalu memaksa aku melakukannya. Padahal..., padahal aku tetap menyayanginya,” keluh Chin Liong lirih.
Kepalanya tertunduk dalam, memperlihatkan rasa penyesalan yang menyesaki dada.
“Aku turut menyesal,” tutur Andika.
“Tapi kebenaran memang tidak mengenal ikatan darah. Kau tak perlu menyesali perbuatanmu. Dia telah menentukan pilihannya sendiri.”
Perlahan-lahan keduanya mulai melangkah meniti lereng berliku. Belum begitu lama kedua orang itu pergi, tahu-tahu seseorang muncul pula di bibir Goa Sejuta Lintah. Keadaannya sungguh mengenaskan. Tubuhnya bermandikan darah dan rupanya sudah tak karuan. Wajahnya pucat dan kotor oleh lumpur. Seperti wajahnya, rambut panjangnya pun dipenuhi lumpur hitam.
Laki-Iaki itu berusaha menyeret tubuhnya, untuk keluar dari goa itu. Kira-kira tiga langkah dari bibir goa, terdengar dia memanggil-manggil seseorang. Dua kali dia memanggil, kemudian matanya menjadi nanar. Diawali getaran kecil sesaat, kepalanya pun roboh ke tanah. Dia tak mampu lagi merayap. Seluruh kesadarannya lerbang.
Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Tak seorang pun tahu. Kecuali, dirinya dan lelaki Tiongkok yang kini berjalan bersama Andika jauh di sana.
***
Pada dasarnya sebagian rencana yang disusun Andika telah berubah. Semula, setelah mendapat Pedang Pusaka Langit, dia dan Chin Liong bermaksud akan menemui pimpinan pemberontak wilayah utara kota Yingtienfu. Tujuannya, untuk menyampaikan pesan
mengenai pertukaran Putri Ying-lien dengan Pedang Pusaka Langit pada Chin Chung.
Tapi kini, hal itu tidak perlu lagi dilaksanakan. Karena setahu Andika, Chin Chung selaku orang yang menyandera Putri Ying-lien, telah tewas di tangan Chin Liong. Dan kini mereka harus menyusun rencana baru.
Pendekar tanah Jawa Dwipa itu sekarang sedang berdiri diam memikirkannya, di bawah sebuah pohon besar di pekarangan Kuil Peraduan Bulan. Dari wajahnya, tampak jelas kalau sedang berpikir keras. Tak dipedulikannya angin kecil mengusik pakaian morat-marit yang belum diganti sejak bertempur dengan Si Pembawa Badai.
Sementara itu, Chia-ceng tengah pergi dengan Chin Liong ke pusat kota Yingtienfu untuk mencari keperluan sehari-hari. Dengan begitu, mereka bisa tetap tinggal di Kuil Peraduan Bulan, khususnya Andika. Ini terpaksa dilakukan, menimbang Putri Ying-lien belum lagi diketahui nasibnya. Apalagi, Empat Penguasa Penjuru Angin yang begitu dekat dengan Chin Chung, tentu tak senang jika Andika terlihat berkeliaran. Mereka bisa saja meneruskan niat jahat Chin Chung untuk menghabisi Putri Ying-lien.
Sedang keras-kerasnya Andika berpikir, tiba-tiba Chin Liong datang tergopoh-gopoh. Badannya dibanjiri keringat dan napasnya memburu.
“Ada apa, Chin Liong?” tanya Andika cepat.
“Chia-ceng....”
“Kenapa dengan dia?”
“Seseorang telah membunuhnya!” lapor Chin liong.
Andika terkesiap. Wajahnya mengeras.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Pendekar Slebor gusar.
Usai mengatur napas, Chin Liong mulai bercerita.
“Di pusat kota, aku dan Chia-ceng berpisah dalam mencari segala kebutuhan kita. Lalu kami sepakat untuk bertemu di satu tempat. Setelah aku kembali ke tempat yang telah disepakati, ternyata Chia-ceng tak kunjung muncul. Aku menjadi was-was. Lalu dia segera kucari kesekitar pusat kota. Sampai akhirnya aku temui orang-orang berkerumun. Ternyata, mereka mengerumuni tubuh Chia-ceng yang sudah menjadi mayat.”
Chin Liong mengakhiri ceritanya bersama wajah geram. Tak cuma lelaki Tiongkok tampan itu. Andikapun ikut geram atas peristiwa yang menimpa Chia-ceng pengikut setia kerajaan.
“Menurut beberapa orang saksi mati, pembunuhnya adalah seorang lelaki berkaki baja runcing,” sambung Chin Liong menambahkan.
“Hantu Bisu Kaki Baja,” simpul Andika berdesis.
“Ya! Aku pikir juga begitu,” timpal Chin Liong.
“Tampaknya, anak buah Si Pembawa Badai itu ingin menuntut balas atas kematian Chin Chung,” gumam Andika.
“Tapi, bagaimana dia bisa tahu kalau Chin Chung sudah mati. Padahal, dia terbunuh di tempat tersembunyi?” tanya Chin Liong, heran.
“Mungkin saja Chin Chung telah bercerita sebelumnya kalau hendak mengambil Pusaka Langit ke Goa Sejuta Lintah,” duga Andika.
“Tak mungkin,” kata Chin Liong, setengah bergumam.
“Kenapa tak mungkin?”
“Aku tahu, siapa Chin Chung. Dia orang yang begitu bernafsu. Dengan memberitahu tentang Goa Sejuta Lintah, berarti ada kemungkinan benda pusaka itu akan diminta Si Pembawa Badai. Dan dia tak akan sudi menyerahkan benda yang begitu berharga itu,” papar Chin Liong datar.
“Lalu, apa mungkin Chin Chung masih hidup? Atau malah sempat kembali pada rekan-rekannya, untuk melaporkan tentang perbuatanmu padanya?”
“Entahlah. Tapi, aku yakin dia telah mati. Karena jelas sekali aku menusukkan Pedang Pusaka Langit ketubuhnya.”
“Kau benar-benar yakin? Apa kau telah memeriksa mayatnya?” tanya Andika, sedikit menyudutkan.
Chin Liong menggeleng ragu.
“Entahlah,” desah pemuda Tiongkok itu
0