- Beranda
- Stories from the Heart
LA CHANDELIER (HORROR STORY)
...
TS
dianmaya2002
LA CHANDELIER (HORROR STORY)
Cuma mau berbagi cerita buatan ane yang absurd bin ngarang
butuh saran dan kritiknya...
Cerita yang ini udah rada mendingan lah daripada cerita Biro Detektif Supranatural PSYCH: PIECES #case1 yang kemaren..
Cerita ini genre-nya one shot story, jadi satu chapter selesai. Paling kalo bersambung jadinya maks dua chapter gakan lebih.
Lebih ringan daripada cerita BDS lah
Kayak biasa! Komen + Rate Wajib yakkk
butuh saran dan kritiknya...
Cerita yang ini udah rada mendingan lah daripada cerita Biro Detektif Supranatural PSYCH: PIECES #case1 yang kemaren..
Cerita ini genre-nya one shot story, jadi satu chapter selesai. Paling kalo bersambung jadinya maks dua chapter gakan lebih.
Lebih ringan daripada cerita BDS lah
Kayak biasa! Komen + Rate Wajib yakkk
Quote:
Darren Pradipta remaja berusia 19 tahun yang patah hati karena perceraian kedua orang tuanya. Ia memutuskan untuk pergi ke Paris menjauhi orang - orang yang menatapnya dengan tatapan iba. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya ia bekerja sebagai seorang pengawas CCTV di sebuah hotel megah berbintang lima bernama La Chandelier.
Pekerjaannya sebagai pengawas CCTV membawanya kedalam tragedi dan sejarah kelam yang pernah terjadi di hotel itu. Akankah Darren sanggup menghadapi kemistisan hotel ini??
-Cerita ini mengandung konten dewasa dengan bahasa kasar, sexual harrasement dan segala hal yang memang harus disingkapi dengan pemikiran yang dewasa-
Spoiler for Prolog:
PROLOG
Sorot matanya menatap tajam hamparan gedung – gedung pencakar langit yang dilengkapi dengan cahaya gemerlapan dari atas sebuah rooftop gedung tertinggi di Metropolis. Sejenak ia menutup kedua matanya mencoba menikmati hembusan angin malam berhawa panas. Tidak ada kesejukan di kota ini kecuali penemuan brilian yang dinamakan Air Conditioning (AC). Sumpek satu kata yang melintas dibenaknya.
Rambutnya telah memanjang, terakhir ia memangkasnya adalah sehari sebelum kelulusan SMA-nya. Masa – masanya sebagai remaja bengal langganan guru BP telah berakhir. Sekarang ia bingung dengan masa depan dihadapannya.
‘Apa yang harus aku lakukan?’
Pertanyaan itu seakan – akan selalu saja menganggunya. Memaksa untuk dijawab seolah – olah tidak akan ada hari esok. Realita seakan mengejarnya seperti seorang polisi mengejar penjahat. Dunia cukup kejam, huh?!
Seharusnya saat ini ia sedang duduk disofa rumahnya sambil meminum segelas susu cokelat hangat ditemani sosok ayah dan ibu. Membagi keluh kesahnya akan masa depan. Masa dimana ia harus berdiri dibawah kakinya sendiri. Masa dimana ia harus mulai menyadari tanggung jawabnya sebagai pria dewasa. Tapi semua itu hanya menjadi impian fana seorang Darren Pradipta yang takkan pernah terwujud. Orang tuanya bercerai dua hari setelah hari kelulusan dan setelah itu mereka sibuk dengan diri mereka sendiri.
Apa kau baik – baik saja?
Orang – orang disekitarnya tak berhenti menanyakan hal itu hingga Darren sampai pada limit dimana dirinya sudah tak mampu lagi menerima pertanyaan simple itu. Ingin sekali ia berteriak dengan kencang tepat didepan wajah orang – orang sok peduli itu.
I’m not fucking okay! I’m broken…
Tentu saja hal itu urung dilakukan. Buat apa ia harus buang energi untuk menceritakan isi hatinya pada orang – orang tak jelas seperti itu. Jadi disinilah ia! Rooftop sebuah gedung pencakar langit. Mencoba menjauh dari semua orang yang menatapnya dengan pandangan kasihan dan menghakiminya sebagai sosok broken home. Tak terlintas sedikit pun dipikirannya untuk menjadi anak emo yang akan menyayat pergelangan tangannya dengan silet tajam untuk mencari perhatian. Atau seorang junkies yang dengan tololnya menjatuhkan diri di kubangan obat – obatan terlarang hingga mati. Atau menggantung dirinya di langit – langit kamar hingga tewas dan akhirnya menjadi headline di koran kriminal.
I’m in pain but I’m not that stupid!
I just wanna be alone FOR A WHILE!
I just wanna be alone FOR A WHILE!
Ditengah – tengah renungannya, Darren dikejutkan dengan suara yang memang sudah familiar ditelinganya.
“Ternyata kau ada disini.”
Suara familiar itu milik sahabatnya Erick Alcander, anak si pemilik gedung pencakar langit. Seulas senyuman tercetak jelas diwajahnya. Darren pun berbalik dan melihatnya berdiri tak jauh di belakangnya.
“Rokok?”
Tanpa aba – aba ia melempar sebungkus rokok menthol kearahnya. Tangan kanannya menangkap sebungkus rokok menthol yang isinya sudah berkurang satu itu. Ia mengambil sesebatang rokok lalu menyelipkannya disela – sela sebelum menyalakannya dengan pemantik berwarna silver berlogo kuda yang selalu dibawanya disaku jeans-nya. Pemantik itu pemberian Donny Geraldine, anak angkat seorang mafia Italia yang juga sahabat baiknya.
“Waktu berlalu sangat cepat.” Ujar Erick setelah menghembuskan gumpalan asap putih dari mulutnya. “Aku masih merasa jika kemarin baru saja di MOS.”
Darren masih saja diam tak menanggapi perkataan Erick yang menurutnya terlalu sentimental. Ia menyibukkan dirinya dengan menghisap rokok putih itu hingga asap memenuhi paru – parunya lalu menghembuskannya dengan ekspresi nikmat tiada tara. Rokok memang membuatnya melupakan kesuraman hidupnya walau untuk sejenak.
“Apa rencanamu setelah ini?”
Ia mengedikkan bahunya karena tidak tahu harus menjawab apa. Mungkin didunia ini cuma dirinya saja yang tidak punya rencana masa depan.
“Keichiro dan Donny telah memilih pilihan hidup mereka. Sekarang giliranmu Darren.”
Kali ini perkataan Erick benar – benar menohok ulu hatinya. Keichiro, pria keturunan Jepang yang penakut itu telah kembali ke Jepang untuk mengambil alih posisinya sebagai ketua Yakuza dari Klan Yamaguchi. Sedangkan Donny ditugaskan ayahnya, Don Geraldine, dalam misi penaklukan Golden Triangle dimana ia harus membangun kerajaan bisnis narkotiknya di perbatasan Thailand, Filipina dan Myanmar. Ia benar – benar merasa jika dirinya adalah seorang pecundang sejati yang tak punya masa depan.
“Ikutlah denganku ke Paris.”
Darren tersenyum kecut. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia terdiam cukup lama, berusaha untuk fokus mencari jawaban yang pas untuk menanggapi perkataan Erick.
“Dengan satu syarat.” Jawabnya dengan suara bariton yang selalu membuat lawan jenis terpesona. “Aku akan mencari pekerjaan. Tinggal di flat kecil dan menikmati waktuku sendiri. Intinya aku butuh waktu untukku sendiri Erick.”
“Baiklah kalau begitu!”
Dua hari kemudian, Darren berangkat ke Paris bersama Erick dan keluarga besar Alcander. Sementara itu Rafael Pradipta sang ayah mendengar kabar keberangkatan putra sulungnya dari Anthony Alcander, sahabat baik yang juga ayah dari Erick.
***
INDEX
NEW
Komen +Ratting + Cendol
Diubah oleh dianmaya2002 11-11-2016 21:01
aripinastiko612 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
34.4K
Kutip
197
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.6KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dianmaya2002
#87
(7) Lantunan Sendu Tengah Malam #1
Spoiler for read:
Seperti malam – malam biasanya, Miccah dan Darren menatap layar – layar monitor yang terpampang dihadapannya. Beberapa bungkus keripik yang telah habis tampak teronggok di tong sampah kecil yang terletak disudut ruangan. Kopi yang mereka minum seakan tidak berefek apa pun. Sepertinya tubuh mereka sudah kebal dengan kafein. Kini kantuk datang melanda membuat Darren menguap dan Miccah pun mulai menyangga kepalanya dengan kedua tangan.
"Hey! Jangan tidur! Jika Mr. Lumiere melihatmu seperti ini maka kau akan kena teguran dan gajimu akan dipotong." Tegur Miccah pada partner kerjanya yang mulai memejamkan mata.
"Kau benar Miccah. Entah mengapa hari ini mataku tidak dapat berkompromi sama sekali."
Darren menyetujui perkataan Miccah. Perbincangan mereka terhenti karena deringan telepon yang cukup keras. Darren mengangkat gagang telepon itu setengah malas. Telepon itu berasal dari Jason yang bekerja dibagian sekuriti hotel. Ia meminta salah satu dari mereka untuk memperbaiki cctv yang tiba – tiba saja konslet tanpa diketahui penyebabnya. Sambungan telepon itu diakhiri setelah Darren menyanggupi bahwa dirinya sendiri yag akan segera kesana. Itung – itung menghilangkan kantuk yang melanda. Sementara itu Miccah bernapas lega karena bukan dirinya yang harus melakukan maintenance. Siapa juga yang mau berkeliaran di malam yang dingin seperti sekarang. Ditambah lagi keangkeran hotel yang sering ia dengar dari Paquito.
Malam itu Darren menembus dinginnya malam. Berjalan melewati taman bunga yang begitu luas yang diterangi oleh lampu – lampu taman yang menyala. Angin dingin berhembus pelan menerpa kulit wajahnya. Seandainya boleh memilih, ia ingin pulang ke flatnya. Minum secangkir cokelat panas dengan taburan marsmallow. Setelah itu membenamkan dirinya kedalam selimut tebal dan tidur hingga pagi menjelang.
Dari kejauhan ia melihat Jason yang melambaikan tangannya tepat didepan pintu pos keamanan. Sebenarnya ia ingin membalas lambaian tangan Jason, hanya saja kotak perkakas dan tangga alumunium ringan yang ia bawa mempersulitnya.
"Masuklah sebentar Darren! sepertinya kau kedinginan."
Darren langsung menaruh dua alat tempur yang ia bawa disebuah bangku panjang yang terletak didepan pos keamanan sebelum masuk dan menghangatkan dirinya. Disana ada Marc dan Rufus yang sedang sibuk menonton siaran langsung Liga champion yang menampilkan Lyon vs AC Milan. Sesekali mereka mengerang karena striker Lyon gagal memasukkan bola ke gawang lawan. Jason menyodorkan satu sloki vodka murni pada Darren.
"Minumlah! Untuk menghangatkan tubuhmu."
Darren pun menerimanya dan menenggaknya hingga tandas. Minuman beralkohol memang diperlukan untuk menghangatkan tubuh saat cuaca dingin seperti ini. Lima menit kemudian, Darren dan Jason pamit kepada Rufus dan Marc untuk mengecek cctv yang tiba – tiba saja rusak.
Mereka berdua berjalan menembus dingin malam dengan salju yang mulai turun perlahan. Jaket tebal berlapis yang mereka kenakan seakan tidak berarti apa – apa. Yah disinilah alam menunjukkan kekuatannya walaupun hanya skala kecil.
Setelah berjalan sekitar 10 menit, akhirnya mereka sampai di taman bagian barat yang dilengkapi dengan danau buatan yang tengah membeku. Di siang hari banyak tamu hotel yang menggunakannya untuk bermain ice skating. Beberapa batang pohon besar tegak berdiri dengan beberapa bagian dahan yang membeku. Rerumputan tertutup oleh tumpukan salju. Mereka tidak mati hanya menunggu musim semi yang hangat datang.
"Darren kamera cctvnya ada di gazebo itu. Coba kau cek!"
Darren mengarahkan pandangannya ke sebuah gazebo yang ditunjuk oleh Jason. Lalu Jason pamit untuk pergi ke kamar kecil karena perutnya terus menerus bergejolak. Mungkin pengaruh cuaca malam yang sangat dingin. Darren hanya mengangguk lalu berjalan kearah gazebo yang diterangi oleh hiasan lampu berwarna – warni yang indah.
Ia melihat kabel cctv yang memang mengelupas dibeberapa bagian hingga memperlihatkan serabut tembaga yang ada didalamnya. Jika hal ini dibiarkan maka bisa terjadi konsleting yang mengakibatkan hubungan arus pendek. Tangannya telah ditutupi sebuah sarung tangan hitam khusus yang berguna agar tidak tersengat arus listrik. Akhirnya Darren pun mulai larut dalam pekerjaanya.
Malam itu sepi dan cukup hening. Binatang malam pun sepertinya enggan bersuara dan memilih untuk tetap berada disarangnya. Hanya suara hembusan angin yang terdengar dari segala penjuru arah. Sampai terdengar sebuah senandung lirih yang cukup sendu dan sedih. Membuat bulu kuduk siapa pun yang mendengarnya meremang.
Mama...
Just killed a man
Put a gun against his head
Pull my trigger now his dead
Mama...
Life had just begun
But now I've gone and thrown it all away
Mama uuuuu....
(Queen – Bohemian Rhapsody)
Just killed a man
Put a gun against his head
Pull my trigger now his dead
Mama...
Life had just begun
But now I've gone and thrown it all away
Mama uuuuu....
(Queen – Bohemian Rhapsody)
Darren menghentikan pekerjaannya sejenak, merasa ada sebuah senandung lirih yang terdengar sayup – sayup. Ia mencoba menajamkan indera pendengarannya tapi suara senandung itu tidak terdengar lagi. Ragu dengan apa yang ia dengar, maka Darren kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Selang beberapa menit kemudian, senandung lirih itu kembali terdengar lebih jelas dari sebelumnya.
Open you're eyes
Look up to the sky and see
No escape from reality
I need no sympathy
(Queen – Bohemian Rhapsody)
Look up to the sky and see
No escape from reality
I need no sympathy
(Queen – Bohemian Rhapsody)
Sehingga membuat Darren kembali menghentikan pekerjaannya dan berusaha menajamkan indera pendengarannya tapi senandung lirih itu menghilang lagi. Ia pun kembali fokus berkutat pada kabel – kabel dihadapannya. Suara senandung itu tak terdengar lagi sampai pada akhirnya ia dapat menyelesaikan masalah konsleting kabel.
Ia meraih walkie talkie yang terselip dipinggangnya. Sekedar memberitahu Miccah bahwa pekerjaannya telah selesai. Jason yang sedari tadi ke toilet belum kembali menjemputnya, padahal ia ingin mengajaknya ke kafetaria hotel menikmati secangkir cokelat panas dan sepotong roti bagel hangat untuk menghalau rasa laparnya dimalam hari.
Tiba – tiba ia dikagetkan oleh sapaan seorang pria dengan suara bariton yang dalam.
"Bonsoir."(Selamat malam)
Darren masih terdiam. Bukan bermaksud untuk tidak sopan tapi ia heran darimana pria asing ini muncul. Pria itu berambut emas dengan rahang yang kuat. Mata biru langit yang cerah. Kulitnya sangat pucat. Ia mengenakan mantel panjang dan sepatu boots hitam. Kedua tangannya ditutupi oleh sarung tangan hitam. Pria asing itu terus memperhatikan Darren yang tidak menjawab sapaanya. Tatapannya membuat Darren tersadar dan membalas sapaan pria asing itu.
"Bonsoir Monsieur!" (Selamat malam pak)
"Je peux me asseoir ici?" (Bolehkah saya duduk disini?)
"S'il vous plaît."(silahkan)
Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Aldric Barthelemy. Seorang pengusaha dibidang property yang sedang mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat wali kota Paris. Kebetulan saat ini ia tengah menginap di La Chandelier untuk membahas tentang program kerja dan masalah lainnya yang berkaitan dengan pencalonan wali kota bersama dengan tim suksesnya.
Darren sendiri hanya mendengarkan celotehan Aldric mengenai program kerjanya untuk Paris jika nantinya ia terpilih sebagai walikota. Entah mengapa ada keganjilan yang terbersit dibenaknya. Selama di Paris ia tidak pernah mendengar gembar – gembor media soal pemilihan wali kota baru. Apa dirinya yang memang ketinggalan berita? Ia mengaku bahwa semenjak bekerja sebagai pengawas cctv, ia sudah sangat jarang nonton tv dan baca koran. Shift-nya selalu selesai pada pagi hari sehingga sesampainya di flat ia langsung tertidur pulas. Sore harinya ia langsung kembali ke hotel untuk memulai shift malamnya bersama Miccah. Dan semenjak itu Darren menganggap dirinya sebagai seorang mamalia nocturnal yang hanya aktif pada malam hari.
"Dunia politik itu sangat kejam! Dalam satu kedipan mata orang – orang terdekatmu bisa berubah menjadi musuh yang paling mengerikan."
"Aku tidak mengerti kemana arah pembicaraan anda Monsieur Barthelemy."
Aldric tertawa ketika mendengar jawaban polos Darren. Ia baru ingat jika Darren masih berumur 19 tahun dan tentu saja belum mengerti perihal politik dengan berbagai macam konflik yang ada didalamnya. Singkatnya Darren belum tahu bagaimana kejamnya dunia.
"Maafkan aku Darren. Sepertinya kau memang belum cukup umur untuk mengerti kemana arah pembicaraanku."ujarnya sambil terkekeh geli.
Ia berdiri dari tempatnya duduk lalu berjalan membelakangi Darren yang masih duduk disana. Tangannya sibuk merogoh saku mantelnya. Aldric tersenyum saat menemukan apa yang ia cari dalam saku mantelnya.
Aldric berbalik dan menatap Darren sambil menodongkan sebuah pistol berwarna silver berisi lima butir peluru yang siap ditembakkan tepat dikepalanya. Seringai menyeramkan menghiasi sudut bibirnya. Darren tidak dapat berkutik sedikit pun. Ia ingin berteriak tapi suaranya tak kunjung keluar. Ingin melawan tapi tubuhnya mendadak kaku dan tak dapat digerakkan. Nyawanya berada ditangan seorang Aldric Barthelemy.
"No Mercy Darren!" (Tidak ada pengampunan Darren). "Au Revoir! " (selamat tinggal)
Aldric menarik pelatuk pistol itu. Sebutir peluru melesat dengan cepat dan bersarang tepat dikepala Darren Pradipta. Kegelapan menyelimutinya. Apakah ini akhir dari hidupku?
Setelah menembak Darren, Aldric mengarahkan moncong pistolnya tepat dipelipisnya.
"Attendre pour moi de l'autre côté, Darren."(Tunggu aku di sisi dunia lain, Darren)
Pria itu menembak dirinya sendiri.
-tbc-
Rest in peace Darren
0
Kutip
Balas