- Beranda
- Stories from the Heart
PENDEKAR SLEBOR
...
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR

Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.
Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).
Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.
Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan
Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.
Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..
Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.
Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..
And Here We Go.....
I N D E K S
Spoiler for Indeks 1:
TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya
GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ucln
#132
Part 5
Seketika tiupan angin amat besar dan kuat tercipta dari telapak tangan lelaki tua itu. Tampak gerakan angin membentuk pusaran seperti putting beliung. Dari telapak tangan Si Pembawa Badai, angin yang tercipta terus berputar kian besar ke arah Pendekar Slebor dengan cepat. Tak ada sekejapan mata, angin puting beliung itu sudah menelan tubuh Pendekar Slebor yang tak terduga kalau serangan yang datang berbentuk demikian.
Seketika tubuhnya terangkat di udara, lalu berputar tanpa kendali. Tak hanya itu. Di dalam pusaran, tubuh Andika mendapat suatu tekanan dari segala .penjuru. Dia merasa bagai ditenggelamkan ke dalam dasar laut ratusan tombak dari permukaan. Dadanya mendadak menjadi sesak. Napasnya menjadi begitu berat. Malah pemuda itu tidak bisa lagi melihat jelas. Yang tampak di matanya hanya garis-garis kabur tak teratur.
“Huak hak hak. Kau hanya anak lalat tak berarti! Sebentar lagi, tubuhmu akan luluh lantak. Kau bukan apa-apa bagi Si Pembawa Badai!”
Di antara suara bising seperti dengung jutaan lebah, sayup-sayup telinga Pendekar Slebor menangkap suara Si Pembawa Badai mencemoohnya. Chin Liongyang melihat kejadian ini terpaksa harus berhadapan dengan Si Pembawa Badai. Biar bagaimanapun, dia tidak ingin kawannya mendapat celaka.
“Hiaaa!”
Sambil berteriak keras-keras, dengan nekat Chin Liong menerjang lelaki tua itu. Langsung dilepaskannya satu tendangan terbang. Kaki kanan Chin Liong menegang lurus ke arah kepala Si Pembawa Badai, siap meremukkan tengkoraknya. Tapi, apa mau dikata? Ternyata tokoh sesat itu bukan patung batu yang tak bisa memberi perlawanan. Dengan satu hentakan tangan saja, luncuran tubuh Chin Liong dapat ditahan. Lalu secepat sambaran ular kobra, tangannya membentang ke perut Chin Liong.
Debb!!
“Aaaakkhh”!
Dibanding ranting kering mungkin tubuh Chin Liong lebih terlihat ringan melayang di udara begitu perutnya terkena sodokan tangan Si Pembawa Badai. Entah tenaga dalam apa yang disalurkan orang tua itu. Yang pasti pemuda Tiongkok itu terlempar sejauh dua puluh tombak disertai semburan darah segar dari mulut. Tanpa sempat berteriak, tubuh Chin Liong jatuh ditanah dan langsung bergulingan beberapa saat. Kesadarannya memang tak hilang saat tubuhnya berhenti berguling. Tapi bukan berarti siap menghadapi lawan kembali.
Chin Liong ternyata hanya dapat berdiri sempoyongan sambil mendekap perutnya. Matanya menatap nanar ke arah Si Pembawa Badai. Selanjutnya dia terjatuh karena tak bisa lagi menopang berat tubuh dengan kedua kakinya.
“Khiaaa...!”
Berbareng jatuhnya tubuh Chin Liong, terdengar lengkingan tinggi dan dahsyat menyeruak putaran angin puting beliung. Kekuatan lengkingan itu bahkan sempat mengacaukan gerak pusaran angin. Ketika lengkingan makin nyaring mengguncang pusaran angin ciptaan Si Pembawa Badai, tanah di sekitarnya bagai ikut bergetar. Saat berikutnya, pusaran angin itu mulai menjadi tak terarah lagi.
“Khiaaa!”
Lengkingan itu kini berubah menjadi teriakan seseorang yang meluncur keluar dari pusaran angin yang mulai kacau-balau. Orang itu tentu saja Pendekar Slebor. Saat berada di perut angin puting beliung tadi, Andika merasa telah dipermainkan seseorang yang baru saja dikenalnya. Ditambah, siksaan yang mendera di sekujur dirinya. Dan ini membuat kemarahannya meledak. Kemurkaan bagi Pendekar Slebor, berarti terciptanya pemusatan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan tanpa disadari. Sebuah kekuatan yang mampu membuat pertahanan terhadap serbuan lidah petir. Jadi, bukan hal yang terlalu luar biasa kalau ternyata pusaran dahsyat dari angin ciptaan Si Pembawa Badai mampu didobraknya.
Kini, Pendekar Slebor berdiri dengan seluruh kebencian, tujuh tombak dari Si Pembawa Badai. Penampilannya sudah kusut-masai. Rambutnya yang memang tak teratur, makin tak karuan. Sementara, pakaiannya sudah tercabik-cabik. Yang masih utuh hanya kain pusaka bercorak papan catur di bahunya. Dari semua itu, yang amat mengerikan bagi Si Pembawa Badai adalah cara menatap Andika. Sinar matanya begitu kaku, dingin, dan tajam menusuk. Bahkan gelegak kemurkaan yang terpancar dari mata Pendekar Slebor sanggup menelan sinar mata lawan.
“Chiaaa...!”
Dan tiba-tiba saja, Pendekar Slebor berteriak kembali. Serangkai gerakan aneh yang kecepatannya nyaris tak dapat ditangkap penglihatan mata, dimainkan Andika. Sementara satu selubung cahaya perlahan terlihat bagai sinar tipis berkabut. Sementara itu Si Pembawa Badai tersekat. Tanpa sadar dia menahan napas.
“Tidak mungkin,” bisik orang tua itu, tak percaya.
Selaku tokoh yang hidup selama lebih dari seratus tahun, dia tahu banyak tentang ilmu kesaktian Timur. Malah, juga amat tahu ilmu yang kini diperlihatkan pemuda di depannya. Dan batinnya jadi tak percaya karena, ilmu itu nyaris tak pernah terlihat selama beberapa turunan di negerinya. Ilmu Timur yang tak sembarang orang bisa memilikinya itu kini benar-benar diperlihatkan di depan biji matanya, oleh seorang pemuda belia....
“Pergilah kau ke neraka, Manusia Busuk!” teriak Andika begitu menggelegar. Lalu....
Srash!
Seketika tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan tingkat ke sembilan belas terlepas dari dua telapak tangan Pendekar Slebor. Luncurannya demikian deras, bersama desis halus namun tajam.
Desh!
“Aakhg!”
Seperti Chin Liong, lelaki tua tokoh sesat itu juga mengalami nasib serupa. Tubuh kurusnya kontan mela yang kencang di udara, lebih mengenaskan daripada selembar daun kering yang ditampar angin. Bahkan mulut nya pun menyemburkan darah kehitam-hitaman.
Setelah melayang hampir dua puluh lima tombak dari tempatnya semula, bumi menyambut tubuh Si Pembawa Badai. Berbeda dengan Chin Liong, tokoh tua aliran Sesat itu masih mampu Mengembalikan keseimbangan tubuhnya. Namun agak tersuruk juga kedua kakinya saat menjejak tanah. Tarikan napas orang tua itu lerdengar berat tersengal. Dia kini hanya menatap pemuda lawannya, lalu menggenjot tubuh untuk pergi dari tempat itu.
“Chin Liong! Kau tak apa?!” tanya Andika dengan berteriak, ketika Si Pembawa Badai telah menghilang.
Chin Liong menoleh.
“Tidak,” sahut Chin Liong.
“Kejarlah dia! Mungkin kita bisa mengorek sedikit keterangan.”
Andika menatap ke arah kepergian Si Pembawa Badai. Lalu, matanya beralih ke arah Chin Liong kembali.
“Biar aku meneruskan perjalanan sendiri untuk menemui seorang mata-mata pihak kerajaan. Nanti, kita bertemu kembali di sini setelah tiga malam berlalu!” kata Chin Liong.
Andika mengangguk tanda setuju. Seketika, dikejarnya Si Pembawa Badai.
Pengejaran Andika ternyata tak perlu memakan banyak tenaga dan waktu lama. Tak ada sepeminum teh, pendekar muda itu sudah dapat melihat kembali Si Pembawa Badai. Tapi kini, datuk sesat itu tidak sendiri. Ternyata ada tiga orang lain bersamanya. Mereka berdiri kaku, bagai empat tonggak kayu tak bernyawa di dataran kering kerontang. Angin siang yang berlari di atas tanah tandus, menyebabkan debu sesekali berterbangan ke udara lalu membentur tubuh mereka yang berdiri berjajar.
Si Pembawa Badai berdiri paling kiri. Di sisi kanannya sekitar tiga langkah darinya berdiri seorang lelaki sebaya dengannya. Wajahnya yang amat buruk, ditumbuhi benjolan-benjolan kecil berwarna merah. Sehingga hidungnya nyaris tidak berbentuk. Apalagi bibirnya menebal Untuk menyembunyikan wajah buruknya, dia lebih banyak merunduk. Sehingga, rambutnya yang memanjang ke depan bisa menutupi. Tak ada yang istimewa dari penampilannya, kecuali sepasang kaki buntung sebatas lutut yang disambung logam tajam berwarna perak. Pakaiannya hanya berupa libatan kain berwarna merah, hingga pangkal lengan. Sementara punggungnya dibebani buntalan besar melebihi tubuhnya yang tergolong kurus. Nama aslinya tidak pernah diketahui, seperti juga Si Pembawa Badai. Tapi orang lebih mengenalnya sebagai Hantu Bisu Kaki Baja.
Sedangkan di sebelah Hantu Bisu Kaki Baja adalah Dewi Seribu Diri. Dijuluki demikian, karena pribadinya begitu membingungkan. Suatu saat dia bisa menjadi seorang wanita manja. Di saat lain, dia berubah menjadi beringas. Suatu saat dia bisa begitu pendiam, periang, ramah, atau lembut. Di saat lain, dia bisa sekejam serigala betina haus darah, urakan, acuh, dan tingkah-polah lain. Semuanya menunjukkan ragam pribadinya yang aneh.
Dewi Seribu Diri berwajah cantik. Menurut Andika, wajahnya sepadan dengan kecantikan Putri Ying lien. Rias wajahnya begitu berlebihan. Dan tataan rambutnya kelewat apik, bersanggul di atas kepala dengan hiasan bunga dan pernik logam. Pakaiannya seperti milik para wanita bangsawan Tiongkok, panjang hingga menutupi mata kaki. Kainnya bercorak bunga-bunga berwarna-warni. Dan pinggangnya dililit selembar kain sutera merah jambu.
Orang terakhir adalah lelaki berusia sekitar setengah abad. Dan sebenarnya dia adalah anak Si Pembawa Badai. Sebagai anak, wajahnya pun hamper serupa dengan ayahnya. Yang berbeda hanyalah penampilan. Rambutnya tak terlalu beruban. Badannya tetap terlihat kekar meski usianya sudah cukup lanjut. Pakaiannya kumal, warna merah. Sayang, tubuh kekarnya tak disertai anggota tubuh sewajarnya. Kedua tangannya tampak cacat dengan jari mengejang kaku disisi dadanya. Di pinggangnya melingkar ikat pinggang dari kulit ular. Senjatanya yang berupa sebuah batang bambu tipis disangkutkan diikat pinggangnya. Dia dikenal sebagai Pencuri Jantung!
“Empat Penguasa Penjuru Angin telah berkumpul” duga Andika saat teringat ucapan Chin Liong tentang mereka.
Keempat orang itu menyambut dingin kata-kata Andika. Hanya Dewi Seribu Diri yang terlihat mengumbar senyum pada pemuda tampan itu. Sesekali tangannya yang berjari lentik dan berkuku panjang, menepis anak rambut di samping wajahnya. Seolah, hendak memamerkan kecantikannya pada Andika.
“Apa kalian tidak punya kerja lain, sehingga masih punya waktu untuk menghadangku seperti ini?” kata Andika kembali.
Selangkah demi selangkah Pendekar Slebor mendekati empat tokoh aliran sesat tersebut. Tak tampak tanda-tanda dia bersiaga. Sikapnya menghadapi momok menakutkan negeri itu, seakan-akan sedang menghadapi sekumpulan tukang pijat yang siap menghiburnya.
“He he he...! Ini benar-benar negeri menyenangkan. Kalian mungkin tahu kalau aku baru tiba di sini. Ng..., dan mungkin kalian juga tahu ada empat badut yang mencoba menjengkelkan aku? Empat, kalian tahu itu?” ledek Andika seraya mengacungkan empat jarinya di depan hidung Si Pembawa Badai.
Kemudian Andika menatap lelaki tua yang baru saja melarikan diri barusan.
“Dan kau tahu. Satu badut telah membuat pakaianku jadi seperti gembel!” kata Pendekar Slebor. Matanya terbelalak besar sekali.
“Kau sudah terlalu jauh berurusan denganku, Pemuda Asing,” kata Si Pembawa Badai, lebih mirip menggeram.
“Kuperingati padamu, lebih baik menyingkir sebelum berurusan dengan Empat Penguasa Penjuru Angin.”
“Empat Penjuru Angin? Kalian penguasanya? O, o, o.....”
Andika kembali terbelalak seperti orang ketakutan. Sambil tetap berucap, kakinya melangkah mundur. Badannya membungkuk-bungkuk meledek.
“Tapi, apa kalian tahu?” lagi-lagi Andika mengaju kan pertanyaan sama.
“Aku tidak peduli dengan nama itu! Peduli setan bunting dengan julukan kalian!”
Sampai di situ, Si Pembawa Badai yang menjadi pemimpin ketiga kawannya menjadi kalap. Cuping hidungnya tampak bergeletar menahan marah.
“Empat Tonggak Bumi Menghantam Gunung!” se ru laki-laki tua itu, memberi aba-aba pada ketiga kawannya untuk membentuk barisan tempur.
Hantu Bisu Kaki Baja dan Pencuri Jantung langsung melompat ke depan, bersama Si Pembawa Badai. Ketiganya siap membentuk barisan tempur. Tapi, lain halnya Dewi Seribu Diri. Dia masih asyik menatap Andika lekat-lekat, sambil terus tersenyum penuh arti.
“Empat Tonggak Bumi Menghantam Gunung!” ulang Si Pembawa Badai gusar.
Kini, wanita cantik itu terperangah.
“Kita akan mengeroyok anak tampan ini?” tanya Dewi Seribu Diri, kurang setuju.
“Apa kau meletakkan otakmu diperut? Bukankah begitu menggemaskan? Bagaimana kalau dia mati? Bagaimana kalau wajahnya yang cakep itu terluka? Ba....”
“Diam!” bentak Si Pembawa Badai.
“Empat Tonggak Bumi Menghantam Gunung!”
Kali ini mata Si Pembawa Badai membeliak dan seluruh wajahnya menjadi matang. Sambil menggerutu tak jelas, akhirnya wanita sesat itu melompat juga menyusul rekannya yang lain. Kini, mereka membentuk belah ketupat. Si Pembawa Badai berdiri paling depan. Hantu Bisu Kaki Baja dan Pencuri Jantung berjajar di belakangnya. Sedangkan Dewi Seribu Diri berdiri paling belakang.
Sesudah barisan tempat terbentuk, secepatnya mereka memainkan jurus masing-masing. Meski berbeda satu sama lain, namun gerakan mereka masing-masing memperkuat yang lain. Sehingga, kalau lawan terperangkap di tengah-tengah barisan itu, tak akan mempunyai ruang gerak lagi. Itulah salah satu kehebatan Empat Penguasa Penjuru Angin. Tak heran kalau sampai saat ini belum ada satu tokoh persilatan Tiongkok pun sanggup menjebolnya. Bukan hanya itu. Setiap lawan yang pernah berhadapan selalu saja kehilangan nyawa. Meski, dia termasuk tokoh jajaran atas di negeri Tiongkok.
Kini, keempatnya mulai meluruk bersama ke arah Pendekar Slebor. Serangan awal dilakukan Si Pembawa Badai berupa sapuan ke kaki Andika. Tapi pada saat debu berhambur, pemuda itu sudah berada di udara, karena lebih cepat melompat daripada gerakan kaki lawan. Dan sebenarnya tindakan Pendekar Slebor memang diharapkan orang tua itu. Dia ingin, agar pendekar itu masuk ke tengah-tengah barisan tempur. Untuk itu, Si Pembawa Badai harus melancarkan serangan susulan pada tubuh Andika yang masih di udara, lalu meruntunkan tinju menggelegak.
Deb! Deb! Deb
Andika masih sempat memapak dua pukulan yang mengarah ke dadanya. Sedang, pukulan ketiga harus dihadang dari atas, karena datangnya dari bawah. Dengan pukulannya, Si Pembawa Badai yakin kalau pemuda itu akan memanfaatkan tangannya sebagai tumpuan untuk melompat ke belakangnya, di mana perangkap barisan Empat Tonggak Bumi Menghantam Gunung siap menerima. Untuk memaksa Andika melakukannya, Si Pembawa Badai menyusuli dengan sapuan kembali.
Mengetahui kaki Si Pembawa Badai mengancam dari bawah, Andika memang memanfaatkan tangan lawan sebagai tumpuan untuk lompatan berikutnya. Tapi, Pendekar Slebor tidak melompat ke belakang, dan di luar dugaan justru hinggap di kedua bahu Si Pembawa Badai.
“Hap!”
Tentu saja tindakan Pendekar Slebor amat mengejutkan lelaki tua itu. Keadaannya kini malah menjadi sulit. Jika hendak menghantam betis Pendekar Slebor dengan tinjunya ke atas, bisa saja pemuda itu mengelak sambil berputaran di atasnya. Setelah itu, sudah pasti kedua tangan pendekar muda itu akan meremukkan kepala belakangnya. Untunglah, pada saat terjepit dua kawannya yang lain menerjang dari belakang ke atas, untuk menyergap Andika yang masih di atas tubuhnya.
Pendekar Slebor menyadari kalau sergapan kedua orang tua itu tidak bisa dianggap sembarangan. Maut bisa saja mengintai dari sergapan yang terlihat tak berbahaya. Maka Andika segera melompat ke belakang. Setelah bersalto di udara beberapa kali, kakinya menjejak tanah kembali. Bagi Andika pribadi, barisan tempur lawan masih belum dapat diukur. Dari serangan awal tadi, hanya bisa disaksikan bagaimana kokohnya pertahanan keempat lawannya, serta betapa mantapnya setiap pertukaran gerak serang mereka.
Seketika tiupan angin amat besar dan kuat tercipta dari telapak tangan lelaki tua itu. Tampak gerakan angin membentuk pusaran seperti putting beliung. Dari telapak tangan Si Pembawa Badai, angin yang tercipta terus berputar kian besar ke arah Pendekar Slebor dengan cepat. Tak ada sekejapan mata, angin puting beliung itu sudah menelan tubuh Pendekar Slebor yang tak terduga kalau serangan yang datang berbentuk demikian.
Seketika tubuhnya terangkat di udara, lalu berputar tanpa kendali. Tak hanya itu. Di dalam pusaran, tubuh Andika mendapat suatu tekanan dari segala .penjuru. Dia merasa bagai ditenggelamkan ke dalam dasar laut ratusan tombak dari permukaan. Dadanya mendadak menjadi sesak. Napasnya menjadi begitu berat. Malah pemuda itu tidak bisa lagi melihat jelas. Yang tampak di matanya hanya garis-garis kabur tak teratur.
“Huak hak hak. Kau hanya anak lalat tak berarti! Sebentar lagi, tubuhmu akan luluh lantak. Kau bukan apa-apa bagi Si Pembawa Badai!”
Di antara suara bising seperti dengung jutaan lebah, sayup-sayup telinga Pendekar Slebor menangkap suara Si Pembawa Badai mencemoohnya. Chin Liongyang melihat kejadian ini terpaksa harus berhadapan dengan Si Pembawa Badai. Biar bagaimanapun, dia tidak ingin kawannya mendapat celaka.
“Hiaaa!”
Sambil berteriak keras-keras, dengan nekat Chin Liong menerjang lelaki tua itu. Langsung dilepaskannya satu tendangan terbang. Kaki kanan Chin Liong menegang lurus ke arah kepala Si Pembawa Badai, siap meremukkan tengkoraknya. Tapi, apa mau dikata? Ternyata tokoh sesat itu bukan patung batu yang tak bisa memberi perlawanan. Dengan satu hentakan tangan saja, luncuran tubuh Chin Liong dapat ditahan. Lalu secepat sambaran ular kobra, tangannya membentang ke perut Chin Liong.
Debb!!
“Aaaakkhh”!
Dibanding ranting kering mungkin tubuh Chin Liong lebih terlihat ringan melayang di udara begitu perutnya terkena sodokan tangan Si Pembawa Badai. Entah tenaga dalam apa yang disalurkan orang tua itu. Yang pasti pemuda Tiongkok itu terlempar sejauh dua puluh tombak disertai semburan darah segar dari mulut. Tanpa sempat berteriak, tubuh Chin Liong jatuh ditanah dan langsung bergulingan beberapa saat. Kesadarannya memang tak hilang saat tubuhnya berhenti berguling. Tapi bukan berarti siap menghadapi lawan kembali.
Chin Liong ternyata hanya dapat berdiri sempoyongan sambil mendekap perutnya. Matanya menatap nanar ke arah Si Pembawa Badai. Selanjutnya dia terjatuh karena tak bisa lagi menopang berat tubuh dengan kedua kakinya.
“Khiaaa...!”
Berbareng jatuhnya tubuh Chin Liong, terdengar lengkingan tinggi dan dahsyat menyeruak putaran angin puting beliung. Kekuatan lengkingan itu bahkan sempat mengacaukan gerak pusaran angin. Ketika lengkingan makin nyaring mengguncang pusaran angin ciptaan Si Pembawa Badai, tanah di sekitarnya bagai ikut bergetar. Saat berikutnya, pusaran angin itu mulai menjadi tak terarah lagi.
“Khiaaa!”
Lengkingan itu kini berubah menjadi teriakan seseorang yang meluncur keluar dari pusaran angin yang mulai kacau-balau. Orang itu tentu saja Pendekar Slebor. Saat berada di perut angin puting beliung tadi, Andika merasa telah dipermainkan seseorang yang baru saja dikenalnya. Ditambah, siksaan yang mendera di sekujur dirinya. Dan ini membuat kemarahannya meledak. Kemurkaan bagi Pendekar Slebor, berarti terciptanya pemusatan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan tanpa disadari. Sebuah kekuatan yang mampu membuat pertahanan terhadap serbuan lidah petir. Jadi, bukan hal yang terlalu luar biasa kalau ternyata pusaran dahsyat dari angin ciptaan Si Pembawa Badai mampu didobraknya.
Kini, Pendekar Slebor berdiri dengan seluruh kebencian, tujuh tombak dari Si Pembawa Badai. Penampilannya sudah kusut-masai. Rambutnya yang memang tak teratur, makin tak karuan. Sementara, pakaiannya sudah tercabik-cabik. Yang masih utuh hanya kain pusaka bercorak papan catur di bahunya. Dari semua itu, yang amat mengerikan bagi Si Pembawa Badai adalah cara menatap Andika. Sinar matanya begitu kaku, dingin, dan tajam menusuk. Bahkan gelegak kemurkaan yang terpancar dari mata Pendekar Slebor sanggup menelan sinar mata lawan.
“Chiaaa...!”
Dan tiba-tiba saja, Pendekar Slebor berteriak kembali. Serangkai gerakan aneh yang kecepatannya nyaris tak dapat ditangkap penglihatan mata, dimainkan Andika. Sementara satu selubung cahaya perlahan terlihat bagai sinar tipis berkabut. Sementara itu Si Pembawa Badai tersekat. Tanpa sadar dia menahan napas.
“Tidak mungkin,” bisik orang tua itu, tak percaya.
Selaku tokoh yang hidup selama lebih dari seratus tahun, dia tahu banyak tentang ilmu kesaktian Timur. Malah, juga amat tahu ilmu yang kini diperlihatkan pemuda di depannya. Dan batinnya jadi tak percaya karena, ilmu itu nyaris tak pernah terlihat selama beberapa turunan di negerinya. Ilmu Timur yang tak sembarang orang bisa memilikinya itu kini benar-benar diperlihatkan di depan biji matanya, oleh seorang pemuda belia....
“Pergilah kau ke neraka, Manusia Busuk!” teriak Andika begitu menggelegar. Lalu....
Srash!
Seketika tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan tingkat ke sembilan belas terlepas dari dua telapak tangan Pendekar Slebor. Luncurannya demikian deras, bersama desis halus namun tajam.
Desh!
“Aakhg!”
Seperti Chin Liong, lelaki tua tokoh sesat itu juga mengalami nasib serupa. Tubuh kurusnya kontan mela yang kencang di udara, lebih mengenaskan daripada selembar daun kering yang ditampar angin. Bahkan mulut nya pun menyemburkan darah kehitam-hitaman.
Setelah melayang hampir dua puluh lima tombak dari tempatnya semula, bumi menyambut tubuh Si Pembawa Badai. Berbeda dengan Chin Liong, tokoh tua aliran Sesat itu masih mampu Mengembalikan keseimbangan tubuhnya. Namun agak tersuruk juga kedua kakinya saat menjejak tanah. Tarikan napas orang tua itu lerdengar berat tersengal. Dia kini hanya menatap pemuda lawannya, lalu menggenjot tubuh untuk pergi dari tempat itu.
“Chin Liong! Kau tak apa?!” tanya Andika dengan berteriak, ketika Si Pembawa Badai telah menghilang.
Chin Liong menoleh.
“Tidak,” sahut Chin Liong.
“Kejarlah dia! Mungkin kita bisa mengorek sedikit keterangan.”
Andika menatap ke arah kepergian Si Pembawa Badai. Lalu, matanya beralih ke arah Chin Liong kembali.
“Biar aku meneruskan perjalanan sendiri untuk menemui seorang mata-mata pihak kerajaan. Nanti, kita bertemu kembali di sini setelah tiga malam berlalu!” kata Chin Liong.
Andika mengangguk tanda setuju. Seketika, dikejarnya Si Pembawa Badai.
***
Pengejaran Andika ternyata tak perlu memakan banyak tenaga dan waktu lama. Tak ada sepeminum teh, pendekar muda itu sudah dapat melihat kembali Si Pembawa Badai. Tapi kini, datuk sesat itu tidak sendiri. Ternyata ada tiga orang lain bersamanya. Mereka berdiri kaku, bagai empat tonggak kayu tak bernyawa di dataran kering kerontang. Angin siang yang berlari di atas tanah tandus, menyebabkan debu sesekali berterbangan ke udara lalu membentur tubuh mereka yang berdiri berjajar.
Si Pembawa Badai berdiri paling kiri. Di sisi kanannya sekitar tiga langkah darinya berdiri seorang lelaki sebaya dengannya. Wajahnya yang amat buruk, ditumbuhi benjolan-benjolan kecil berwarna merah. Sehingga hidungnya nyaris tidak berbentuk. Apalagi bibirnya menebal Untuk menyembunyikan wajah buruknya, dia lebih banyak merunduk. Sehingga, rambutnya yang memanjang ke depan bisa menutupi. Tak ada yang istimewa dari penampilannya, kecuali sepasang kaki buntung sebatas lutut yang disambung logam tajam berwarna perak. Pakaiannya hanya berupa libatan kain berwarna merah, hingga pangkal lengan. Sementara punggungnya dibebani buntalan besar melebihi tubuhnya yang tergolong kurus. Nama aslinya tidak pernah diketahui, seperti juga Si Pembawa Badai. Tapi orang lebih mengenalnya sebagai Hantu Bisu Kaki Baja.
Sedangkan di sebelah Hantu Bisu Kaki Baja adalah Dewi Seribu Diri. Dijuluki demikian, karena pribadinya begitu membingungkan. Suatu saat dia bisa menjadi seorang wanita manja. Di saat lain, dia berubah menjadi beringas. Suatu saat dia bisa begitu pendiam, periang, ramah, atau lembut. Di saat lain, dia bisa sekejam serigala betina haus darah, urakan, acuh, dan tingkah-polah lain. Semuanya menunjukkan ragam pribadinya yang aneh.
Dewi Seribu Diri berwajah cantik. Menurut Andika, wajahnya sepadan dengan kecantikan Putri Ying lien. Rias wajahnya begitu berlebihan. Dan tataan rambutnya kelewat apik, bersanggul di atas kepala dengan hiasan bunga dan pernik logam. Pakaiannya seperti milik para wanita bangsawan Tiongkok, panjang hingga menutupi mata kaki. Kainnya bercorak bunga-bunga berwarna-warni. Dan pinggangnya dililit selembar kain sutera merah jambu.
Orang terakhir adalah lelaki berusia sekitar setengah abad. Dan sebenarnya dia adalah anak Si Pembawa Badai. Sebagai anak, wajahnya pun hamper serupa dengan ayahnya. Yang berbeda hanyalah penampilan. Rambutnya tak terlalu beruban. Badannya tetap terlihat kekar meski usianya sudah cukup lanjut. Pakaiannya kumal, warna merah. Sayang, tubuh kekarnya tak disertai anggota tubuh sewajarnya. Kedua tangannya tampak cacat dengan jari mengejang kaku disisi dadanya. Di pinggangnya melingkar ikat pinggang dari kulit ular. Senjatanya yang berupa sebuah batang bambu tipis disangkutkan diikat pinggangnya. Dia dikenal sebagai Pencuri Jantung!
“Empat Penguasa Penjuru Angin telah berkumpul” duga Andika saat teringat ucapan Chin Liong tentang mereka.
Keempat orang itu menyambut dingin kata-kata Andika. Hanya Dewi Seribu Diri yang terlihat mengumbar senyum pada pemuda tampan itu. Sesekali tangannya yang berjari lentik dan berkuku panjang, menepis anak rambut di samping wajahnya. Seolah, hendak memamerkan kecantikannya pada Andika.
“Apa kalian tidak punya kerja lain, sehingga masih punya waktu untuk menghadangku seperti ini?” kata Andika kembali.
Selangkah demi selangkah Pendekar Slebor mendekati empat tokoh aliran sesat tersebut. Tak tampak tanda-tanda dia bersiaga. Sikapnya menghadapi momok menakutkan negeri itu, seakan-akan sedang menghadapi sekumpulan tukang pijat yang siap menghiburnya.
“He he he...! Ini benar-benar negeri menyenangkan. Kalian mungkin tahu kalau aku baru tiba di sini. Ng..., dan mungkin kalian juga tahu ada empat badut yang mencoba menjengkelkan aku? Empat, kalian tahu itu?” ledek Andika seraya mengacungkan empat jarinya di depan hidung Si Pembawa Badai.
Kemudian Andika menatap lelaki tua yang baru saja melarikan diri barusan.
“Dan kau tahu. Satu badut telah membuat pakaianku jadi seperti gembel!” kata Pendekar Slebor. Matanya terbelalak besar sekali.
“Kau sudah terlalu jauh berurusan denganku, Pemuda Asing,” kata Si Pembawa Badai, lebih mirip menggeram.
“Kuperingati padamu, lebih baik menyingkir sebelum berurusan dengan Empat Penguasa Penjuru Angin.”
“Empat Penjuru Angin? Kalian penguasanya? O, o, o.....”
Andika kembali terbelalak seperti orang ketakutan. Sambil tetap berucap, kakinya melangkah mundur. Badannya membungkuk-bungkuk meledek.
“Tapi, apa kalian tahu?” lagi-lagi Andika mengaju kan pertanyaan sama.
“Aku tidak peduli dengan nama itu! Peduli setan bunting dengan julukan kalian!”
Sampai di situ, Si Pembawa Badai yang menjadi pemimpin ketiga kawannya menjadi kalap. Cuping hidungnya tampak bergeletar menahan marah.
“Empat Tonggak Bumi Menghantam Gunung!” se ru laki-laki tua itu, memberi aba-aba pada ketiga kawannya untuk membentuk barisan tempur.
Hantu Bisu Kaki Baja dan Pencuri Jantung langsung melompat ke depan, bersama Si Pembawa Badai. Ketiganya siap membentuk barisan tempur. Tapi, lain halnya Dewi Seribu Diri. Dia masih asyik menatap Andika lekat-lekat, sambil terus tersenyum penuh arti.
“Empat Tonggak Bumi Menghantam Gunung!” ulang Si Pembawa Badai gusar.
Kini, wanita cantik itu terperangah.
“Kita akan mengeroyok anak tampan ini?” tanya Dewi Seribu Diri, kurang setuju.
“Apa kau meletakkan otakmu diperut? Bukankah begitu menggemaskan? Bagaimana kalau dia mati? Bagaimana kalau wajahnya yang cakep itu terluka? Ba....”
“Diam!” bentak Si Pembawa Badai.
“Empat Tonggak Bumi Menghantam Gunung!”
Kali ini mata Si Pembawa Badai membeliak dan seluruh wajahnya menjadi matang. Sambil menggerutu tak jelas, akhirnya wanita sesat itu melompat juga menyusul rekannya yang lain. Kini, mereka membentuk belah ketupat. Si Pembawa Badai berdiri paling depan. Hantu Bisu Kaki Baja dan Pencuri Jantung berjajar di belakangnya. Sedangkan Dewi Seribu Diri berdiri paling belakang.
Sesudah barisan tempat terbentuk, secepatnya mereka memainkan jurus masing-masing. Meski berbeda satu sama lain, namun gerakan mereka masing-masing memperkuat yang lain. Sehingga, kalau lawan terperangkap di tengah-tengah barisan itu, tak akan mempunyai ruang gerak lagi. Itulah salah satu kehebatan Empat Penguasa Penjuru Angin. Tak heran kalau sampai saat ini belum ada satu tokoh persilatan Tiongkok pun sanggup menjebolnya. Bukan hanya itu. Setiap lawan yang pernah berhadapan selalu saja kehilangan nyawa. Meski, dia termasuk tokoh jajaran atas di negeri Tiongkok.
Kini, keempatnya mulai meluruk bersama ke arah Pendekar Slebor. Serangan awal dilakukan Si Pembawa Badai berupa sapuan ke kaki Andika. Tapi pada saat debu berhambur, pemuda itu sudah berada di udara, karena lebih cepat melompat daripada gerakan kaki lawan. Dan sebenarnya tindakan Pendekar Slebor memang diharapkan orang tua itu. Dia ingin, agar pendekar itu masuk ke tengah-tengah barisan tempur. Untuk itu, Si Pembawa Badai harus melancarkan serangan susulan pada tubuh Andika yang masih di udara, lalu meruntunkan tinju menggelegak.
Deb! Deb! Deb
Andika masih sempat memapak dua pukulan yang mengarah ke dadanya. Sedang, pukulan ketiga harus dihadang dari atas, karena datangnya dari bawah. Dengan pukulannya, Si Pembawa Badai yakin kalau pemuda itu akan memanfaatkan tangannya sebagai tumpuan untuk melompat ke belakangnya, di mana perangkap barisan Empat Tonggak Bumi Menghantam Gunung siap menerima. Untuk memaksa Andika melakukannya, Si Pembawa Badai menyusuli dengan sapuan kembali.
Mengetahui kaki Si Pembawa Badai mengancam dari bawah, Andika memang memanfaatkan tangan lawan sebagai tumpuan untuk lompatan berikutnya. Tapi, Pendekar Slebor tidak melompat ke belakang, dan di luar dugaan justru hinggap di kedua bahu Si Pembawa Badai.
“Hap!”
Tentu saja tindakan Pendekar Slebor amat mengejutkan lelaki tua itu. Keadaannya kini malah menjadi sulit. Jika hendak menghantam betis Pendekar Slebor dengan tinjunya ke atas, bisa saja pemuda itu mengelak sambil berputaran di atasnya. Setelah itu, sudah pasti kedua tangan pendekar muda itu akan meremukkan kepala belakangnya. Untunglah, pada saat terjepit dua kawannya yang lain menerjang dari belakang ke atas, untuk menyergap Andika yang masih di atas tubuhnya.
Pendekar Slebor menyadari kalau sergapan kedua orang tua itu tidak bisa dianggap sembarangan. Maut bisa saja mengintai dari sergapan yang terlihat tak berbahaya. Maka Andika segera melompat ke belakang. Setelah bersalto di udara beberapa kali, kakinya menjejak tanah kembali. Bagi Andika pribadi, barisan tempur lawan masih belum dapat diukur. Dari serangan awal tadi, hanya bisa disaksikan bagaimana kokohnya pertahanan keempat lawannya, serta betapa mantapnya setiap pertukaran gerak serang mereka.
0