Kaskus

Story

uclnAvatar border
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR
PENDEKAR SLEBOR


Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta



Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.

Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).

Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.

Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan

Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.

Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..

Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.

Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..

And Here We Go.....

I N D E K S


Spoiler for Indeks 1:



TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya


GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
anasabilaAvatar border
regmekujoAvatar border
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
uclnAvatar border
TS
ucln
#127
Part 8

“Lho, Den Pendekar! Mau ke mana?!” Terdengar panggilan Diding di belakangnya.

“Benar-benar apes,” rutuk Andika membatin.

“Matamu jeli juga, Kang,” ujar Andika, setengah menggerutu ketika Diding sudah berdiri di hadapannya. Mata besar Diding berbinar-binar senang bisa bertemu kembali pendekar sebaik Andika.

“O, jelas...,” tukas Diding bangga. Hidungnya kembang-kempis merasa dipuji.
“Den Pendekar mau ke mana?”

Bukannya menjawab, Andika malah meraih pergelangan tangan lelaki desa itu.

“Ikut aku,” bisik Andika, seraya menarik Diding ke satu lorong di antara dua bangunan kelontong.

“Eh, eh...! Jangan narik-narik seperti ini, Den. Nanti aku dikira pencopet yang ketangkap basah,” kicau Diding.

“Diam!”

Mendapat bentakan Andika, mulut Diding yang berbibir setebal tahu langsung saja terkatup rapat-rapat.

“Kuminta, kau tidak berbicara pada siapa pun kalau aku ada di desa ini,” ujar Andika di sudut lorong. Matanya terpaut erat pada mata Diding, sebagai isyarat kalau pembicaraannya sangat penting.

Diding mengangguk-angguk tergesa dengan alis terangkat tinggi-tinggi.

“Ho-oh... ho-oh,” ucap Diding ketolol-tololan.
“Dan satu lagi....”
“Apa, Den?”
“Apa kau melihat lelaki Tiongkok?”

Kening Diding berkerut.

“Lihat, Den...,” jawab Diding.
“Bagus. Di mana dia?” lanjut Andika.

“Itu, tuh! Di perkampungan Tiongkok di ujung pasar. Ada Bun li, ada Bo Liang, Mei Lan, Ling ling. Mpeh Lim Giok yang perutnya sebesar tong juga ada....”

Andika menarik napas kesal. Yang ditanya lain, yang dijawab lain lagi. Andika jadi menggerutu dalam hati.

“Aku tak menanyakan para pendatang dari negeri Tiongkok yang menetap di daerah ini.”
“Jadi yang mana, Den?”

“Lelaki Tiongkok berwajah tampan yang baru datang saat ada kegemparan benda langit yang jatuh kedanau. Pakaiannya berwarna merah, dan terkadang mengenakan pakaian warna hijau,” urai Andika, menjelaskan ciri-ciri Chin Liong.

Kembali kening Diding berkerut. Kali ini, benaknya sungguh-sungguh mengingat lelaki pendatang dari Tiongkok yang sampai di desanya belakangan ini.

“O, iya Den. Aku pernah lihat lelaki Tiongkok yang seperti Aden gambarkan....”
“Di mana?” sela Andika cepat.
“Di... mmm, penginapan Mekar Harum!”
“Penginapan Mekar Harum,” gumam Andika, tak kentara.

Terbersit pikiran dalam benak Pendekar Slebor kalau Chin Liong telah mendahuluinya. Meskipun, belum diyakini benar apakah Chin Liong telah mendapatkan gagang pedang pusaka itu atau belum.

“Aku harus segera ke sana...,” bisik Andika.
“Ah! Aku sih tidak perlu diajak, Den,” tukas Diding.

“Siapa yang mengajakmu?” tanya Andika, seraya memberi senyum sebagai tanda terima kasih.

Diding cengar-cengir tak karuan.

“O, kukira mau ngajakku, he he he.”
“Kalau mau ikut, ya boleh saja. Tapi asal berani mati.”
“Kok?”

“Aku bukan mau menginap di sana, tapi mau mencari seorang pembunuh berdarah dingin. Mau ikut?”

“Ah-ah! Terima kasih banyak kalau gitu!”

Sekali lagi, Andika tersenyum. Setelah mengucapkan terima kasih, Andika berlalu dari lorong itu. Tinggal Diding yang mengedik-ngedikkan bahu kalau ngeri membayangkan dirinya harus berhadapan dengan pembunuh berdarah dingin.

“Hiiiy, amit-amit!” desis laki-laki itu.

***


Penginapan Mekar Harum kini terselimut sepi. Para pendekar yang beberapa hari lalu menginap di sana, sejak kemarin mulai pergi satu persatu. Mereka sudah kehilangan keberanian untuk mendapatkan Pusaka Langit, setelah tiga tokoh utama aliran sesat terbantai oleh orang aneh dalam sekali tepuk.

Kini penginapan itu ibarat kembang desa yang kehilangan kecantikannya. Tak ada lagi yang mau bertandang ke sana. Sementara, para pedagang dari negeri lain tidak begitu berminat menyewa kamar di sana, karena terletak begitu terpencil di sudut desa.

Suasana Penginapan Mekar Harum memang sama sekali tidak menarik. Bahkan boleh dibilang agak berkesan angker. Letaknya persis di bibir tebing yang menghadap Danau Panca Warna. Bangunannya tampak kuno, berdiri di ketinggian dengan kawalan pepohonan cemara yang besar dan rimbun. Keangkeran juga terlihat pada bangunannya. Pintu utamanya terbuat dari kayu meranti berwarna merah kusam, bagai darah mengering. Di beberapa bagian dindingnya, lumut meranggas liar ditambah beberapa bagian lain yang sempal. Atapnya terbuat dari genting beton dan dihiasi patung besar berbentuk buto ijo pada ujung-ujungnya.

Di ruang tengah bangunan itu, tampak seseorang berpakaian merah duduk menyendiri di satu kursi bermeja. Kedua tangannya tampak memutar-mutar cangkir bambu berisi tuak. Sesekali, tangannya terangkat untuk meneguk isinya. Setelah tuak dalam bambu habis, dituangnya kembali tuak dari tabung bambu panjang yang disandarkan di sisi meja.

Tampaknya, hanya lelaki itu yang masih berminat menyewa kamar di Penginapan Mekar Sari. Karena, tak ada satu orang pun terlihat selain dia dan pemilik penginapan tua yang duduk terkantuk-kantuk dibelai angin malam.

Saat hari makin teringkus kegelapan malam, terdengar langkah seseorang memasuki ruangan tengah penginapan itu. Kesunyian di sana membuat langkah-langkah itu terdengar jelas berirama bagai detak jantung orang sekarat.

“Kita bertemu lagi, Chin Liong!” seru seseorang di belakang lelaki berpakaian merah yang ternyata Chin Liong, lelaki Tiongkok yang dicari Andika.

Chin Liong tak menoleh. Wajahnya tetap dingin, sedingin gunung karang. Tak ditanggapinya seruan itu, meski terdengar penuh kegeraman. Karena, dia sendiri tahu kalau orang yang baru datang berdiri cukup jauh dari tempatnya. Dengan begitu, masih punya banyak kesempatan untuk menghindar kalau orang di belakangnya mencoba bermain api.

“Kau tak gembira bertemu lagi denganku?” lanjut lelaki berpakaian hijau-hijau itu.

Dia mengenakan kain bercorak catur di pundaknya. Ya! Dia adalah Andika yang baru tiba di penginapan ini.

“Ah! Sayang sekali kalau kau tak gembira,” sambung Andika seraya melangkah perlahan mendekati Chin Liong.

“Padahal ini malam terakhirmu untuk menikmati dunia konyol ini....”
“Bicara apa kau, Kisanak?” ujar Chin Liong datar dan dingin.

Matanya yang sipit terpaku lurus pada satu sudut ruangan, seperti tak mempedulikan kehadiran Andika. Andika tersenyum sinis.

“Aku bicara apa? Kau tak dengar ucapanku tadi? Sayang sekali Lelaki sehebat kau, ternyata malas membersihkan kuping,” cemooh Andika, memancing kemarahan calon lawannya.

Chin Liong tak melontarkan sepatah kata pun untuk menanggapi ucapan terakhir Andika. Malah dia berdiri dari kursinya.

“Kurasa kau berbicara pada orang yang tidak tepat. Ada baiknya, aku masuk kamar. Aku perlu istirahat. Jadi aku mohon pamit, Kisanak,” tutur Chin Liong dengan kalimat terputus-putus dan kaku.

Dia memang belum begitu menguasai bahasa Melayu.

“Tunggu, Bajingan Bau!” bentak Andika tiba-tiba.

Lelaki tua pemilik penginapan yang semula mengangguk-angguk dipermainkan kantuk, mendadak saja tersentak. Matanya terbelalak karena begitu kagetnya. Sementara, Chin Liong mengurungkan niat untuk masuk kamarnya. Dia berdiri tanpa gerak, tepat di antara meja dan kursi yang didudukinya tadi.

“Ada apa lagi, Kisanak?” tanya Chin Liong tetap datar.
“Di mana kau sembunyikan wanita yang kau culik itu?!”

Chin Liong menoleh. Matanya bertumbukan langsung pada Andika. Wajah tampan lelaki Tiongkok itu tak terlihat berubah sedikit pun. Tetap dingin.

“Wanita?” tanya Chin Liong singkat.
“Jangan coba-coba bermain-main denganku, Chin Liong!” hardik Andika, mulai gusar.

Bagaimana tidak gusar hati Andika kalau wanita yang telah menyelamatkannya, dan menjadi kawan baiknya belakangan ini dalam ancaman tangan keji Chin Liong?

“Kau sungguh aneh, Kisanak. Aku bahkan tidak mengenalmu. Tapi, tiba-tiba saja kau menuduhku menyembunyikan seorang wanita...,” sangkal Chin Liong tenang.

“Kau..., benar-benar tai kucing!” maki Andika.

Kegusaran Pendekar Slebor sudah tiba di ubun-ubun. Pendekar muda itu merasa dirinya sedang dipermainkan.

“Aku sudah tak mau banyak basa-basi lagi, Chin Liong! Katakan, di mana wanita itu! Kalau tak kau serahkan, terpaksa kita harus bersabung nyawa kembali seperti di dasar danau,” ancam Andika dengan mata terbakar merah.

Menanggapi ancaman Andika, Chin Liong malah tersenyum tipis dan sinis. Kepalanya menggeleng-gelengkan perlahan. Di mata Andika, sikapnya seperti sedang mengejek.

“Telor busuk! Kentut busuk! Bubur busuk!” maki Andika kalap, sekalap kakek-kakek kehilangan
cangklong kesayangan.

Usai menyemprotkan sumpah serapahnya, Pendekar Slebor langsung menerjang Chin Liong.

“Khiaaah!”

Beriring teriakan menggeledek, tubuh Andika meluncur secepat kilat ke arah Chin Liong. Satu tendangan dilancarkan ke dada laki-laki Tiongkok itu.

“Hih!”

Kecepatan gerak Andika yang hanya dimiliki para Pendekar Lembah Kutukan, memaksa Chin Liong membuang diri ke samping secepat mungkin.

Brak!

Kaki Chin Liong membentur meja kayu enam tombak dari tempatnya semula, hingga langsung hancur berkeping-keping. Setelah berguling di lantai beberapa kali, kakinya menjejak lantai. Sekejap tubuh lelaki Tiongkok itu berputar di udara, lalu mendarat mantap di satu meja lain. Andika memburu kembali. Didekatinya laki-laki sipit itu dengan bersalto melewati pecahan kayu meja. Setibanya di dekat lawan, kaki tangannya diputar untuk menyapu kepala.

Serangan Andika kali ini tidak berusaha dihindari. Dipapakinya tendangan Andika dengan tangan kiri.

Des!

Sementara tangan kanan Chin Liong yang bebas, segera mengirim serangan balasan ke perut Andika yang masih di udara.

“Hih!”
Bet!

Pendekar Slebor tak ingin perutnya jadi sasaran empuk pukulan lawan. Segera kedua tangannya membentuk silang untuk menangkis pukulan Chin Liong.

Des!

Pukulan Chin Liong dapat dimentahkan Pendekar Slebor. Kini, tubuh Chin Liong meluncur turun dan tiba di sisi meja tempat Andika berdiri. Melihat kaki Chin Liong berada tepat di depannya, Pendekar Slebor menyentak sepasang tangan dengan telapak membentuk cakar.

“Haih!”
Jep! Jep!

Lagi-lagi, gempuran Pendekar Slebor tak menemui sasaran. Karena, Chin Liong melompat ke lantai yang tak kalah cepat dengan sentakan tangannya. Sementara itu, lelaki tua pemilik penginapan menjadi kalang kabut. Terbungkuk-bungkuk dia berlari kelimpungan kian kemari, mengkhawatirkan meja-mejanya yang mulai berantakan akibat pertempuran dua lelaki muda tangguh itu.

“Hey., hey! Kalian jangan bercanda di sini!” bentak laki-laki tua itu seraya mengacung-acungkan
tongkat.

“Kali ini, jangan berharap kau akan mempecundangi aku!” Terdengar seruan Pendekar Slebor di sela-sela teriakan jengkel si pemilik penginapan.

“Keluarkan Pusaka Langit itu! Aku tak gentar dengan benda seperti itu!’

Lelaki yang diteriaki hanya menatap Pendekar Slebor dengan mata kian menyipit. Meski sudah memulai pertarungan, wajahnya tetap tak menunjukkan perubahan. Seakan wajah lelaki Tiongkok itu terbuat dari potongan arca saja!

“Ayo, tunggu apa lagi?! Serang aku dengan senjata yang paling hebat sekalipun,” tantang Andika dengan wajah matang.

Tetap saja Chin Liong berdiri dalam kuda-kuda tanpa bergerak-gerak. Tentu saja hal itu membuat Pendekar Slebor makin diberangus kegusaran.

“Kau memang....”

Andika kehabisan kata-kata untuk memancing kemarahan lawan. Bibirnya terkatup. Sedangkan rahangnya mengeras. Merasa tak ada gunanya lagi banyak bicara, Pendekar Slebor mulai membuka jurus baru. Tubuh Andika mulai bergerak ke sana kemari, seperti kehilangan keseimbangan. Namun, bukan berarti gerakannya tidak mengandung maut.

Sedangkan Chin Liong sendiri bisa menilai, bagaimana dahsyatnya gerakan yang sedang diperlihatkan Pendekar Slebor. Seumur hidup, belum pernah dia melihat jurus serupa itu. Jurus yang luar biasa cepat, dan liar. Malah dalam setiap pergantian gerakan, tercipta berpuluh bayangan kaki atau tangan lawannya.

Pendekar Slebor rupanya sudah tak ingin membuang waktu lagi. Hingga telah mengerahkan jurus ‘Mengubak Hujanan Petir’, jurus keseratus dari rangkaian jurus yang diciptakannya di Lembah Kutukan. Kedahsyatan jurus itu terletak pada dinding kekuatan yang tercipta di sekitar tubuh Pendekar Slebor.

Selama turun ke dunia persilatan, baru kali ini Pendekar Slebor mengeluarkan jurus ‘Mengubak Hujanan Petir’. Karena, Andika berpikir kalau lawan akan segera mengeluarkan Pusaka Langit berkekuatan bintang. Jurus ‘Mengubak Hujanan Petir’ mungkin bisa menandinginya. Karena, Andika pernah melindungi diri dengan kekuatan jurus tersebut, ketika menjalani penyempurnaan di Lembah Kutukan. Saat itu rentetan lidah petir bagai membentur dinding tak terlihat, hendak menyambar tubuh Pendekar Slebor. Akibat yang terjadi sungguh menakjubkan! Sekitar tubuhnya berpendar cahaya terang benderang yang mampu membutakan mata seseorang!

Menyadari lawan mengerahkan jurus ampuh, Chin Liong tak mau kalah bahaya. Tak ada waktu lagi baginya untuk menimbang lebih lama. Segera dipersiapkannya jurus andalan. Disatukannya telapak tangan di depan dada. Sepasang kelopak matanya mengatup. Lalu terdengar tarikan napas panjangnya. Beberapa saat napasnya diatur tarikan demi tarikan, hembusan demi hembusan. Sampai akhirnya, dia mendorong kedua tangan ke depan dengan telapak mengejang bersama hembusan napas keras.

“Hsss....”

Chin Liong kini siap memainkan jurus ‘Naga Menerjang Badai’. Suatu jurus yang diimbangi pengerahan tenaga geledek dalam tubuh melalui pernapasan. Terciptanya pemusatan tenaga geledek pada sepasang tangannya, membuat tangan lelaki Tiongkok mengeluarkan percikan api. Bentuknya bagai bunga yang berpijar indah. Namun, di balik itu terpendam kekuatan yang mampu menjebol gulungan ombak laut sebesar gunung! Kemudian, sepasang tangan laki-laki Tiongkok itu mulai berputar teratur dan lamban. Gerakannya seperti seseorang yang sedang menggapai seluruh udara dalam ruangan tersebut. Dan tiba-tiba saja....

Sret! Sret!

Terjulur lidah-lidah geledek ke seluruh ruangan. Seakan dalam ruang ini sedang terjadi badai petir.

“Khiaaa!”

Dimulai satu bentakan membahana, Chin Liong meluruk menuju Andika. Sepasang tangannya tetap berputar, namun lebih cepat dari sebelumnya. Setibanya di dekat Pendekar Slebor, kedua tangannya menghentak dari samping kiri.

“Hsss...!”
Web! Sret! Sret!

Dalam luncuran teramat deras, tangan Chin Liong mengancam kedua sisi dada Andika. Namun Pendekar Slebor yang sudah siap sejak tadi, tak sudi dadanya dijebol tangan lawan. Dengan sigap, kedua tangan dinaikkan dari bawah dengan tenaga penuh untuk membentengi dada.

Dret!

Percikan bunga api raksasa langsung membersit, manakala tangan mereka berbenturan. Kalau tangan Pendekar Slebor masih terpaku pada keadaan semula, maka tangan Chin Liong terhentak ke belakang, seakan baru menimpa dinding karet kuat yang tak terlihat.

Chin Liong sempat terkesiap melihat kenyataan itu. Dengan wajah yang sukar dilukiskan, kakinya tersurut tiga langkah ke belakang, akibat dorongan kuat pada sepasang tangannya. Tapi sebagai tokoh sakti yang amat disegani di seluruh daratan Tiongkok, dia tak pernah berpikir untuk mengurungkan serangan berikutnya.

“Khaaaih!”

Entah apa yang hendak dilakukannya saat itu, Pendekar Slebor sendiri tidak mengerti. Tubuhnya mendadak saja melenting ke belakang, bagai sebatang tombak melengkung. Di udara, dia memutar tubuhnya sehingga kakinya meluncur lebih dahulu.

Srrr...! Tep!

Pada satu tiang penyangga bangunan, kaki Chin Liong menjejak. Lalu saat berikutnya, kakinya dihentakkan. Kemudian tubuhnya meluncur kembali, kali ini dengan tangan yang menyilang di atas kepala serta putaran tubuh, membentuk sebuah pengebor hidup!

“Khaaaih!”

Teriakan dan lidah geledek milik Chin Liong, seperti hendak melantakkan ruangan penginapan. Bukan cuma itu. Gerak aneh yang sedang dilakukannya pun tampak hendak melantakkan dinding kekuatan Pendekar Slebor.

Sementara itu, Andika membengkokkan kedua lutut dengan kaki terpentang. Sepasang tangannya mengepal kejang di sisi-sisi pinggang. Pendekar Slebor sedang mencoba membuat kuda-kuda bertahan, karena ia tahu kalau lawan hendak mengadu tenaga. Sambil mengimbangi teriakan mengguntur Chin Liong, Pendekar Slebor menarik seluruh otot-otot dadanya. Dada bidangnya seketika mengeras, memperlihatkan garis-garis otot yang menojol.

“Khaaah!”
Drarrr!

Gemuruh besar tercipta saat tangan Chin Liong mampu menguak dinding pertahanan Pendekar Slebor. Bahkan tangannya yang berputar mampu mendarat telak di dada Andika. Dan itu terjadi karena pendekar muda kesohor itu memang sengaja membuka dadanya. Kenyataannya, akibat yang menimpa Chin Liong sungguh luar biasa. Kulit di sekujur tubuhnya tiba-tiba memerah dan terbakar. Sedangkan tubuhnya terlontar ke belakang, bagai terseret di udara.

“Wuaaa!”
Duk! Brak!

Tiang besar yang semula berdiri kokoh dan angkuh, menjadi porak poranda terhajar tubuh Chin Liong. Andai tidak ada tiang lain, tentu bangunan penginapan itu akan segera runtuh! Sementara itu Pendekar Slebor masih tertancap tegak dalam kuda-kudanya. Tapi, hal itu bukan berarti tidak mengalami akibat dari pertumbukan dua kekuatan liar tadi. Dari lubang hidung dan mulutnya mengalir darah kental kehitaman. Darah itu terus mengalir lambat melalui dagu Andika, lalu menetes di kain bercorak catur yang melingkari pundaknya.

Sesaat kemudian, tubuh pemuda itu bergetar seperti kehilangan tenaga. Dia yakin, dirinya telah mengalami luka dalam. Itu sebabnya, segera dilepaskannya kekuatan sakti yang memperkuat jurus ‘Mengubak Hujanan Petir’nya. Lalu, dia segera mengerahkan hawa murni untuk mengobati luka dalam yang diderita.

Terdengar pengaturan napas Andika. Sepasang matanya terpejam rapat. Sementara, sepasang tangannya disatukan oleh ujung jari tengah di depan dada. Tak lama kemudian, suasana menjadi hening. Pendekar Slebor telah menyelesaikan pengerahan hawa murni dalam tubuhnya. Sedang tujuh tombak di depannya, Chin Liong tergeletak tanpa gerak. Badannya tertelungkup, menutupi pecahan-pecahan tiang bangunan.

“Kau terlalu rakus untuk memiliki Pusaka Langit, Sobat,” desah Andika perlahan.
“Rupanya, kau tak ingin membiarkan aku merebut benda sakti itu dari tanganmu. Sehingga, kau lebih rela kehilangan nyawa ketimbang mempergunakan benda itu untuk melawanku.”

Selanjutnya, terdengar langkah ringan Andika. Didekatinya tubuh Chin Liong yang tergolek. Darah kental kehitaman menodai lantai. Andika berharap lawannya belum mati. Masih ada satu urusan yang mesti diselesaikan. Ya! Dia belum tahu, di mana Ratna Kumala. Menurutnya, Ratna Kumala disandera Chin Liong. Oleh karena itu, dia ingin menanyakannya pada lelaki Tiongkok itu. Itu pun kalau masih hidup.

“Chin Liong...,” sapa Andika seraya membalik tubuh lelaki itu dengan kedua tangannya.

Saat itulah mata Andika tertumbuk pada suatu yang membuatnya amat terkesiap. Tidak, dia tidak melihat gagang pedang pusaka seperti yang disebutkan Rudapaksa dalam suratnya. Nyatanya, dada Chin Liong tak memiliki tanda tubuh berbentuk bayangan ular seperti yang dilihatnya, ketika bertempur di dasar Danau Panca Warna.

Jantung pemuda itu mendadak hendak berhenti berdenyut. Bulu halus di tengkuknya meremang hebat, dirayapi kekhawatiran yang menyeruak dirinya.

“Dia bukan lelaki yang bertempur denganku di dasar danau itu...,” desis Andika.
“Ya, Tuhan.... Tampaknya aku telah salah tangan....”

Pada waktu yang bersamaan, terdengar tawa lantang seseorang yang menggema liar di sekitar ruangan besar itu.

“Hua ha ha...! Bagaimana Pendekar Slebor yang juga bodoh? Apakah kau sudah menyadari dirimu telah kupermainkan? Begitu mengasyikan permainanku, bukan? Tentang surat palsu dari Rudapaksa yang kubuat dengan tanganku. Juga, tentang cerita bohong mengenai gagang pedang pusaka yang tersimpan di satu tiang bangunan ini. Kau telah terkecoh, Babi Bodoh! Hua ha ha.... Kau hendak mencari teman wanitamu itu, bukan? Carilah dia di antara puluhan mayat yang telah terbantai di tepi Danau Panca Warna tempo hari. Hua ha ha...! Selamat tinggal, Pendekar Bodoh!”

***


Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode : PENGEJARAN KE CINA


S E L E S A I
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.