Kaskus

Story

uclnAvatar border
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR
PENDEKAR SLEBOR


Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta



Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.

Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).

Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.

Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan

Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.

Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..

Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.

Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..

And Here We Go.....

I N D E K S


Spoiler for Indeks 1:



TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya


GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
anasabilaAvatar border
regmekujoAvatar border
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
uclnAvatar border
TS
ucln
#125
Part 7

Matahari pagi mendaki sepenggalan di cakrawala. Cahayanya yang kemerahan telah memudar sejak tadi. Perlahan benda alam raksasa itu mengirim kehangatan ke wajah bumi. Begitu juga di sekitar Dana Panca Warna.

Beriring terusirnya kabut, Andika alias Pendekar Slebor siuman dari pingsannya. Tubuhnya tergeletak lemah di bibir danau berpasir lembut, beberapa tombak dari permukaan. Mata elangnya mengerjap-ngerjap silau, diterkam sinar matahari. Kepalanya bergerak lambat.

“Kenapa aku bisa berada di luar danau?” desah Pendekar Slebor seraya mencoba bangkit.

Andika segera mendekap dada dengan kedua tangannya ketika dirambati rasa nyeri hebat, akibat luka yang dialami dalam pertempuran kemarin. Begitu pula bagian punggungnya. Bahkan sekujur badannya terasa bagai direncah beribu sembilu. Merasa dirinya tak mungkin berada di tempat itu tanpa bantuan seseorang, Andika menoleh ke kanan dan kiri. Tanpa susah payah mencari, matanya telah menemukan seseorang berbaju koko kuning yang dipadu celana pangsi hitam. Dia berdiri membelakangi Andika. Dari bentuk tubuh dan warna putih rambutnya, bisa diduga kalau lelaki itu sudah berumur lanjut. Rambutnya yang digelung ke atas, diikat kain warna biru tua. Meski kelihatan tua, cara berdirinya tampak gagah. Satu tanda kalau dia terbiasa melatih diri dengan ilmu olah kanuragan.

“Kau sudah siuman, Anak Muda?” sapa orang tua itu tanpa berbalik.

“Begitulah, Ki. Semula kupikir aku sudah melayat ke akherat menemui arwah para leluhur,” sahut Andika mencoba akrab, meski hatinya masih diliputi tanda tanya.

“Maaf, Ki. Kalau boleh tahu, siapa kau sebenarnya?” Andika berusaha bangkit meski agak terseok.

“Aku hanya seorang lelaki tua tak berarti,” jawab lelaki itu, sedikit pun tidak memuaskan Andika.

“Tentu saja aku tahu kalau kau lelaki, Ki. Karena pinggulmu memang tak besar seperti milik perempuan,” kelakar Andika.

“Tapi, aku tak tahu namamu. Tak mungkin aku memanggilmu hanya dengan sebutan saja. Sebab, kau telah menolongku.”

“Anak muda..., Anak Muda. Tak perlu kau ikuti anggapan orang banyak bahwa seorang menolong mengharapkan penghormatan dan sanjungan nama. Dunia memang seringkali brengsek. Nilai-nilai suci seperti pertolongan tanpa pamrih, selalu saja hendak diganti nilai-nilai yang mengharuskan seseorang menuntut pamrih pada orang yang ditolongnya,” tutur lelaki itu bijak, masih belum juga menoleh.

“Ah! Kau ini, Ki. Bikin aku malu saja,” ujar Andika.

Mulut Pendekar Slebor jadi meringis-ringis. Entah karena malu oleh ucapan lelaki tua di depannya, atau karena sakit di tubuhnya.

“Tapi, bukankah tidak salah kalau aku mengetahui namamu?” lanjut Andika.
“Memang tidak.”
“Nah! Jadi, boleh aku tahu siapa namamu, Ki?”
“Kau kenal Ratna Kumala?” lontar lelaki tua itu, malah balik bertanya.

Andika menautkan alis.

“Ya! Memang kenapa, Ki?”
“Kau tahu di mana dia?”

Mendadak Andika tersadar. Ya! Ke mana Ratna Kumala? Lalu ke mana pula para pendekar yang berkumpul di sini kemarin?

“Kau tak tahu?” usik lelaki tua.

Kepala Andika menggeleng lamban.

“Kau ingin tahu?” lanjut lelaki tua itu lagi, seakan tahu jawaban Andika.

“Tentu, Ki. Ke mana dia? Apa terjadi sesuatu padanya?” sahut Andika cepat.

Kekhawatiran terhadap gadis keras kepala itu kontan menelusuri relung hatinya.

“Anak kepala batu itu pasti berbuat macam-macam lagi,” rutuk orang tua itu, seperti tak berniat menjawab pertanyaan Andika barusan.

“Kalau tak salah duga, kau tentu guru Ratna?” terka Andika.

Tak ada jawaban. Namun begitu, Andika tetap yakin kalau lelaki tua penolongnya memang guru Ratna Kumala. Ini bisa dinilai dari tekanan suaranya yang terdengar kebapakan saat bergumam tadi.

“Namaku, Kalingga. Aku memang guru gadis brengsek itu,” jawab orang tua yang ternyata bernama Kalingga dengan satu helaan napas.

Kemudian tubuhnya berpaling menghadap Andika. Kini, mata Andika bisa melihat wajah tua berwibawa di depannya. Tak ada jenggot putih menghias dagu tuanya. Hanya kumis tebal yang melintang hingga ke sudut bibir. Warnanya tak seputih rambut di kepalanya.

“Jadi, kau hendak mencari murid wanitamu itu, Ki Kalingga?” tanya Andika, ingin tahu.
“Itu salah satu tujuanku.”
“Maksudmu, kau punya tujuan lain?”
“Tepat.”

Andika tak melanjutkan pertanyaan, karena merasa pertanyaannya terlalu beruntun untuk masalah pribadi lelaki tua itu. Padahal, sungguh tidak pantas seseorang terlalu ingin turut campur dalam urusan pribadi orang lain.

“Kenapa kau tak bertanya lagi?” usik Ki Kalingga, saat mendapati wajah penasaran pemuda di depannya.

“Kau tidak keberatan, Ki?”
“Aku bahkan berharap, kau bertanya lebih jauh.”

“Ooo....”

Andika memajukan bibir bulat-bulat. Sementara, benaknya bertanya-tanya heran. Kenapa lelaki tua ini menginginkan dia bertanya lebih jauh? Apakah ada maksud tertentu?

“Mana pertanyaanmu?” tegur Ki Kalingga, menyadarkan ketercenungan Andika.
“O, ya. Aku lupa. Apa tujuanmu, selain mencari Ratna, Ki Kalingga?”

“Aku tak akan menjawabnya sekarang. Kecuali, bila kau sudi menukarnya dengan jawabanmu,” kilah Ki Kalingga, dibarengi sebaris senyum tipis yang ramah.

Mata Andika jadi menyipit. Dalam hati, dia agak menggerutu dengan jawaban konyol Ki Kalingga terhadapnya. Benar-benar orangtua aneh! Dia tak ingat kalau dirinya lebih aneh lagi. Sehingga, kaum persilatan menjulukinya Pendekar Slebor.

“Baik..., baik, Ki. Terserah kau sajalah,” ucap Andika seraya melepas napas.
“Kau ingin menanyakan apa padaku?”

“Siapa namamu? Dan, apa tujuanmu?”
“Aku..., ah! Apa itu perlu, Ki?”
“Perlu,” terabas Ki Kalingga cepat.

“Aku Andika. Kaum persilatan menjulukiku Pendekar Slebor. Tapi kau tak perlu memuji lantaran aku keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang sudah menjadi cerita rakyat. Karena aku sendiri tak ingin....”

Ucapan Pendekar Slebor terputus. Ada hal aneh yang tiba-tiba dirasakannya. Sesaat dia memikirkan keanehan itu. Sampai akhirnya....

“Kodok buduk! Kutu kupret! Monyet ngantuk! Rupanya ingatanku sudah kembali!” seru Andika, girang bukan alang kepalang.

“Kenapa?” tanya Ki Kalingga, karena tak mengerti permasalahannya.

“Tidak apa-apa, Ki. Aku baru saja mendapat anugerahTuhan...”
“Ooo...”

Kali ini Ki Kalingga yang memajukan bibir bulat-bulat. Padahal, hatinya kebingungan. Baru kali ini ditemukannya orang aneh yang menyumpah-nyumpah sewaktu mendapat anugerah Tuhan.

Namun tanpa diketahui, dalam hati terdalam Andika terpercik serangkai puji syukur kepada-Nya. Dan memang wajar bila dia memanjat syukur dalam hati. Karena, kesembuhan ingatannya begitu tiba-tiba. Barangkali karena hantaman kedua sinar Pusaka Langit yang melabrak matanya, saat bertempur melawan lelaki bertopeng di dasar danau kemarin.

Ingat pertempuran kemarin, Andika jadi terbayang wajah lawannya yang sempat dilihatnya sebelum pingsan. Rasanya, dia pernah melihat wajah lelaki itu. Tapi, entah di mana.

“Bisa kembali ke percakapan kita?” tegur Ki Kalingga ketika melihat Andika tercenung.
“Oh! Tentu saja bisa, Ki. Jadi apa tujuanmu yang lain?”

“Sebelum kujawab, akan kuceritakan sebuah kisah padamu,” kata Ki Kalingga memulai.

“Lima ratus tahun yang lalu, ada sebuah benda langit yang menembus lapisan udara bumi, dan jatuh ke hulu Sungai Kuning di Cina. Seorang sakti yang hidup di masa Dinasti Ming tahu kalau benda itu memiliki kekuatan bintang yang sangat dahsyat, dari wangsit saat bertapa.”

Andika manggut-manggut dengan kening berkerut. Rupanya dia benar-benar tertarik mendengarnya.

“Dia pun menelusuri hulu Sungai Kuning, untuk mencari benda langit itu. Ketika benda itu ditemukan dia mendapat kesulitan, karena ternyata mampu memancarkan kekuatan yang mempengaruhi diri seseorang. Itu sebabnya, ia menangguhkan untuk mengambilnya. Lalu, dia bertapa kembali untuk memohon petunjuk Yang Maha Kuasa, untuk mengetahui bagaimana cara menangkal kekuatan benda itu, hingga bisa diambilnya. Sampai suatu malam, dia kembali mendapat wangsit. Dalam wangsit itu, dia diberi petunjuk untuk membuat sehelai selendang dari serat pohon yang hanya tumbuh di suatu goa angker, di suatu pegunungan tertinggi di Tibet,” lanjut Ki Kalingga.

Andika makin tertarik. Bahkan pandangannya kali ini tak beralih dari wajah Ki Kalingga.

“Meski mendapat halangan yang nyaris merengut jiwanya, akhirnya dia bisa juga mendapatkan serat pohon, yang kemudian dijadikan selendang putih tembus pandang. Dengan selendang itulah ia berhasil mengambil benda langit tersebut. Dan dengan kesaktiannya, benda angkasa raya itu dijadikan pedang pusaka tak tertandingi.”

Sebentar Ki Kalingga menghentikan ceritanya. Sepertinya, dia ingin mencari kata-kata yang tepat untuk menuturkan ceritanya.

“Empat ratus tahun kemudian, setelah berpindah tangan dari satu keturunan ke keturunan berikutnya, pedang pusaka itu melebur, layaknya lilin terbakar api. Dan leburannya lalu menyatu dengan bumi. Yang tertinggal hanya gagangnya saja. Tapi rupanya, kekuatan benda angkasa yang menjadi bahan pedang, lenyap setelah empat ratus tahun kemudian. Sementara selendang penjinak kekuatan benda langit dan gagang pedang pusaka itu, lima puluh tujuh tahun yang lalu dititipkan pada seorang keturunan si Pertapa Sakti itu kepadaku. Menurut buyutnya, benda angkasa seperti itu akan jatuh ke bumi kembali, setiap lima ratus tahun sekali. Dan ketika lima ratus tahun sejak benda langit pertama ditemukan, amanatnya yang dititipkan padaku hendak diambilnya kembali,” Ki Kalingga menyelesaikan ceritanya.

“Lalu, apa hubungannya dengan diriku. Sampai-sampai, kau merasa perlu menanyakan nama dan julukanku?” tanya Andika tidak mengerti.

“Aku berharap, kau sudi menolongku menyelamatkan benda angkasa sakti itu dari tangan orang-orang berhati iblis.”

“O. Jadi, itu tujuanmu selain mencari Ratna?”
“Ya.”

“Kenapa bukan kau saja yang melakukannya?”

“Aku sudah tua. Sudah jenuh oleh gelora dunia persilatan yang selalu berbau anyir darah. Aku berharap, kau sebagai tokoh muda yang disegani, sudi melanjutkan perjuanganku. Kini, aku hanya ingin mendidik murid-muridku menjadi orang berguna bagi rakyat, bagi orang banyak,” tutur Ki Kalingga perlahan, namun tetap berkesan tegas berwibawa.

“Nah! Kurasa aku sudah cukup menyampaikan amanatku padamu, Pendekar Slebor. Terima kasih atas kesediaanmu meneruskan perjuanganku,” lanjut Ki Kalinga, seraya menepuk bahu kekar Andika.

“Tapi, Ki....”

Belum sempat Andika melanjutkan ucapan, lelaki tua itu sudah melesat cepat bagai tersapu angin. Tampak jelas, bagaimana tingginya ilmu meringankan tubuh Ki Kalingga. Mungkin hanya segelintir orang yang mampu melakukannya, termasuk Andika sendiri.

Setelah Ki Kalinga pergi, Andika tercenung. Ingatannya yang mulai pulih, membuatnya cepat terbayang pada kematian dua murid terbaik Ki Kalingga, Rudapaksa dan Rudapaksi.

“Kalau gurunya sudah sesakti itu, murid terbaiknya tentu tak kalah hebat. Tapi, bagaimana kedua murid pilihan itu dapat dibunuh dengan mudah? Musuh macam apa yang mesti kuhadapi ini?” desis Andika dengan alis bertaut rapat.

Cukup lama Andika terdiam, memikirkan lawan yang akan dihadapi. Sampai akhirnya, dia teringat pada lelaki bertopeng di dasar danau.

“Diakah orangnya?” gumam Andika.

Andika berusaha mengingat-ingat wajah yang sempat dilihatnya secara sekilas itu. Ya! Dia yakin pernah melihat wajah itu. Di mana dan kapan terlihatnya, belum begitu jelas. Karena, setiap kali mengingat, luka dalam yang diderita membuat daya ingatannya buyar seketika.

Akhirnya, diputuskan untuk menyembuhkan luka dalamnya lebih dahulu. Andika lalu bersila di tanah. Matanya perlahan-lahan terperjam. Sedang sepasang tangannya bersidekap di depan dada. Dia memulai semadi untuk menyalurkan hawa murni ke bagian tubuhnya yang terluka. Lambat laun, tubuh Pendekar Slebor mulai terasa segar kembali. Maka Andika pun memenggal semadinya. Berbareng dengan gerakan tangan untuk menghapus peluh yang membasahi keningnya, dia mulai mengingat kembali lelaki yang dihadapi di dasar Danau Panca Warna.

Dan tiba-tiba gangguan datang lagi tanpa disangka-sangka. Telinga tajamnya menangkap desir lembut dari arah belakang.

Zing...!
“Hiaaah!”

Tanpa mau menoleh ke belakang lagi, tubuh Pendekar Slebor melenting ringan ke atas. Andika sudah sering mendengar suara seperti itu. Bahkan bisa dibilang sudah begitu akrab selama mengarungi buasnya rimba persilatan. Desing itu adalah suara yang ditimbulkan luncuran senjata tajam kecil. Dugaan Andika tidak meleset sedikit pun. Tampak sebilah pisau belati hendak memangsa punggungnya.

Jlep!

Luput dari sasaran, belati itu menembus batang pohon cemara lima belas tombak di depan Andika.

“Kutu koreng!” maki Andika di udara.

Setelah berputaran beberapa kali, tubuh Pendekar Slebor meluncur turun kembali. Sepasang kakinya ringan sekali menjejak tanah berpasir tanpa kesulitan.

“Siapa manusia biang kurap yang coba-coba main-main?!” bentak Andika jengkel, seraya mengedarkan pandangan liar ke sekitar tempatnya berdiri.

Tak terdengar jawaban. Bahkan desahan napas sekalipun. Tampaknya, si Pembokong telah melarikan diri ketika Andika sibuk menghindari serangan gelap tadi. Dengan bibir bergerak-gerak menggerutu, Andika mengalihkan pandangan ke belati di pohon cemara. Di gagangnya, terdapat sehelai daun lontar yang diikat seutas tali.

“Permainan macam apa lagi itu?” gerutu Pendekar Slebor dongkol.

Kakinya lantas melangkah menuju pohon cemara sasaran belati itu. Setibanya di dekat pohon itu, Andika mencabut belati. Kemudian, ikatannya dibuka. Dibentangnya daun lontar yang terdapat di belati, lalu terlihat tulisan di dalamnya.

“Maafkan aku bila menyuruh seseorang menyampaikan pesanku ini, meski sebenarnya lebih pantas disampaikan langsung. Tuan Pendekar, kulihat kau sudah cukup akrab dengan adik seperguruanku Ratna Kumala. Untuk itu, aku meminta tolong pada Tuan untuk menjaga keselamatannya. Tugas yang kami jalankan amat berbahaya. Bisa saja kami akan terbunuh suatu saat. Jadi, untuk kedua kalinya aku memohon pertolongan Tuan. Bila ternyata kami memang terbunuh, sudilah kiranya Tuan Pendekar menyelamatkan gagang pedang yang kami simpan di satu tiang Penginapan Mekar Harum di Desa Ambangan. Tertanda, Rudapaksa.”

Andika menutup daun lontar itu. Lalu tanpa sadar, diremas-remasnya. Persoalan kini mulai menjadi jelas bagi dirinya. Bahkan sekarang bisa teringat jelas, siapa lelaki yang bertarung dengannya di dasar danau kemarin, setelah surat itu menyebut-nyebut tentang tugas yang diemban Rudapaksa dan Rudapaksi. Wajah lawannya memang wajah lelaki dari Tiongkok yang dilihatnya di Bandar Sunda Kelapa, bersama Rudapaksa dan Rudapaksi beberapa saat lalu....

Ya!
Chin Liong!

Lalu, ke mana Ratna? Pertanyaan yang sempat diajukan pada Ki Kalingga kini tersembul lagi di lerung benaknya. Andika terpaku memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada diri gadis kepala batu itu.

Plok!

Tiba-tiba, Andika menepuk keningnya keras.

“Mengapa aku lamban sekali berpikir! Tentu saja Chin Liong telah menculiknya, karena mengira Ratna Kumala tahu tempat persembunyian gagang pedang pusaka yang disebut Rudapaksa dalam suratnya!” cetus hati Andika.

“Heh! Rupanya lelaki itu sudah mengkhianati Rudapaksa dan Rudapaksi untuk menguasai selendang penjinak Pusaka Langit, sekaligus ingin mendapatkan benda angkasa raya dan
gagang pedang pusaka itu!”

Bibir Pendekar Slebor tampak menyeringai, antara senang karena berhasil memecahkan teka-teki, dengan kegusaran atas pengkhianatan Chin Liong.

“Seujung rambut saja gadis itu terusik kau akan kubuat hancur seperti sambal terasi, Chin Liong...!”

Selesai mengucapkan kalimat terakhir, Andika melesat dari tempat itu. Kini tepian Danau Panca Warna sunyi. Desir angin yang membelai permukaan danau terdengar mendayu. Tanpa diketahui Andika, beberapa depa dari tempatnya berdiri teronggok dua timbunan tanah yang cukup besar. Pada satu ujung timbunan, tertancap batang pohon kering. Di dalamnya bersemayam puluhan mayat yang dibantai sepasukan orang berpakaian merah, bersama lelaki biadab yang membawa selendang berisi Pusaka Langit....

Salah seorang di antara mayat-mayat itu adalah Ratna Kumala!

***


Karena letaknya tak jauh dari pusat perniagaan Bandar Sunda Kelapa, Desa Ambangan tak pernah mati dari kesibukan. Pasar di desa itu terus berdenyut siang dan malam, tak seperti pasar di tempat lain yang baru ramai jika jatuh hari pasaran. Hal itu wajar saja, jika memperhatikan bagaimana barang-barang yang dibongkar muat di Bandar Sunda Kelapa, sebagian dibawa ke pasar tersebut untuk dijual. Sementara, kapal-kapal niaga yang membawa barang tak pernah kenal kata siang atau malam untuk berlabuh di bandar.

Malam itu, Andika tiba di pusat Desa Ambangan. Mestinya, dia bisa tiba lebih awal di sana. Karena, jarak antara Danau Panca Warna dengan pusat desa hanya berjarak sepeminum teh. Namun, penduduk desa tentu akan mengenalinya sebagai seorang pendekar yang menolong Buntar waktu itu. Akibatnya, kedatangannya di desa itu akan cepat tercium lawan yang bisa saja menguping dari obrolan penduduk. Itu sebabnya, diputuskannya untuk dating malam hari.

Tempat yang dituju Pendekar Slebor adalah Penginapan Mekar Harum, tempat di mana Rudapaksa menyembunyikan gagang pedang pusaka dari Tiongkok pada satu tiangnya. Agar tak mudah dikenali, sengaja dia mengenakan caping lebar dan berjalan pada tempat-tempat yang tak terlalu terang. Sementara, matanya terus mengawasi kian kemari. Siapa tahu saat itu dia bisa menemukan Chin Liong!

Saat Pendekar Slebor melintasi satu kelontong yang cukup terang oleh cahaya lampu minyak, seseorang yang dikenalnya melintas tepat di depannya. Langkah Andika bergegas berhenti. Tangannya cepat-cepat menurunkan caping ke depan. Andika amat hafal wajah lelaki desa yang bernama Diding itu. Dia adalah kawan Buntar, orang yang ditolongnya tempo hari. Kalau cahaya dari lampu minyak kelontong dibiarkan menerpa wajah, tentu Diding akan mengenalinya pula.

Setelah Diding lewat beberapa langkah darinya, Andika meliriknya. Dia hanya ingin meyakinkan
kalau Diding tidak menoleh ke belakang. Yakin kalau lelaki desa itu tidak akan menoleh, Andika
segera melanjutkan langkahnya. Tapi baru dua tindak kakinya bergerak....

0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.