- Beranda
- Stories from the Heart
PENDEKAR SLEBOR
...
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR

Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.
Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).
Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.
Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan
Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.
Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..
Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.
Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..
And Here We Go.....
I N D E K S
Spoiler for Indeks 1:
TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya
GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ucln
#123
Part 5
Dengan lembut Andika memegang kedua pangkal lengan Ratna Kumala. Lalu, dibangunkannya gadis itu dari bersimpuhnya.
“Aku turut menyesal atas kejadian ini, Rat,” ucap pemuda itu perlahan
Tatkala Ratna kumala membenamkan wajah di dada bidang Andika untuk melepas kesedihannya, tiba-tiba saja....
“Serbuuu!”
Bagai aliran air bah, diiringi teriakan menggelegar sepasukan berseragam merah mendadak menyerbu Andika dan Ratna Kumala. Pasukan yang berjumlah puluhan orang itu mengenakan penutup kepala merah berlipat ke belakang. Di bagian lengan baju mereka yang memanjang hingga ke lutut, terdapat tulisan Tiongkok berbentuk elang. Celana mereka yang juga berwarna merah, tertutup sepatu panjang di bagian betis.
Entah, bagaimana cara mereka bersembunyi di dalam semak dan pepohonan. Sampai-sampai pendengaran Andika yang terlatih, tidak bisa menangkap desah napas mereka sedikit pun. Dari cara melompat, Andika tahu kalau mereka adalah pendekar-pendekar Tiongkok berkepandaian tinggi.
“Pasukan Tiongkok dari mana ini?!” tanya Ratna Kumala garang.
Benak gadis itu langsung bisa menduga kalau para pengepungnya adalah yang menghabisi nyawa dua saudara seperguruannya.
“Sudah pasti dari negeri Tiongkok,” sahut Andika setengah berkelakar.
Namun demikian, matanya tetap bergerak waspada.
“Yang pasti pula, mereka berniat merencah kita berdua.”
Ucapan Andika barusan sepertinya tidak meleset. Setelah memutari Andika dan Ratna Kumala beberapa lama, puluhan lelaki bermata sipit itu berhamburan dalam terjangan dahsyat.
“Hiaaa!”
Mulut Andika seketika berteriak menggelegar. Berbareng dengan itu, tubuhnya cepat melenting ke udara sambil menyambar pinggang Ratna Kumala. Tapi lompatan Pendekar Slebor tidak dibiarkan pasukan dari Tiongkok itu. Dengan sigap, para penyerbu bersenjatakan tombak itu mengangkat senjata ke atas. Lalu dengan serentak tombak itu ditusukkan ke tubuh Andika dan Ratna Kumala yang melayang di udara.
Andika tentu saja tak membiarkan tubuhnya dicabik-cabik puluhan tombak. Maka tanpa sempat
tertangkap mata pasukan itu, tangan kirinya yang masih bebas menyambar kain bercorak catur dari pundak dan langsung dikebutkannya.
Bet! Bet!
Trak! Trak!
Puluhan tombak setajam taring-taring serigala seketika tersambar Kain Pusaka Pendekar Slebor, hingga berbenturan satu dengan yang lain. Sebagian malah ada yang tersasar ke tubuh kawan mereka sendiri. Tapi karena pasukan dari Tiongkok ini memiliki kepandaian tinggi, maka tombak yang tersasar itu dapat segera dikuasai dengan baik. Sementara Pendekar Slebor langsung melenting tinggi-tinggi, sambil berputaran di udara.
“Sial!” maki Andika, begitu hinggap di sebuah batang pohon besar.
“Mereka rupanya tidak sudi mengongkosi kawan sendiri ke neraka.”
Belum sempat Andika bernapas lega, empat orang Tiongkok ini serempak menyusul ke dahan pohon. Setelah berputar di udara beberapa kali, dua orang menjejakkan kaki disisi Andika dan Ratna Kumala. Sedangkan, dua orang lain hinggap di dahan yang berhadapan.
“Haiii!”
Seorang di sisi kiri Andika mengayunkan pangkal tombak ke kepala Andika dengan tenaga dalam tinggi. Sehingga, tombaknya menciptakan angin yang menderu kencang.
Wesss!
“Hih!”
Tanpa menemui kesulitan, Pendekar Slebor melecutkan kain pusaka di tangan kirinya. Cletar!
Krak!
Pangkal tombak lawan langsung terpatah dua. Sementara itu, Ratna Kumala yang berada dalam rangkulan Andika harus menghadapi lawan di sisinya. Gadis yang memiliki sifat keras kepala ini ternyata cukup mampu mengimbangi setiap serangan. Kini dua orang lawan di depan tak mau tinggal diam. Mereka segera memutar tombak masing-masing, bersiap memperkuat serangan.
“Hih!”
Salah seorang menghentikan putaran tombak secara mendadak. Lalu tiba-tiba tombaknya ditusukkan ke dada Pendekar Slebor dengan tenaga penuh. Menurut perkiraannya, dia akan segera menamatkan pendekar muda itu di ujung senjatanya. Tapi, dugaannya meleset sama sekali. Justru dari sini Pendekar Slebor bisa melihat kesempatan bagus.
“Bhaaa!”
Dengan satu gerakan tak terduga, Andika melesat ke arah salah seorang lawan yang kehilangan tombak, dan sedang melepaskan pukulan. Secepat kilat, ditariknya tangan orang itu ke arahnya. Sehingga....
Jep!
“Aaa!”
Tombak lawan di depan yang tertuju pada Andika, kontan menembus pinggang orang yang tangannya ditarik untuk dijadikan tameng.
“Wah! Tega nian kau membunuh kawan sendiri,” seloroh Pendekar Slebor.
“Lain kali, lebih baik meminta izin dulu pada kawanmu itu.”
Andika langsung menggejot tubuhnya, hingga melayang kembali di udara bersama Ratna Kumala dalam rangkulannya. Kedua tubuh itu menyeruak daun pepohonan, hingga merontokkan yang kering. Pada pucuk satu pohon, Pendekar Slebor menjejak. Kemudian tubuhnya digenjot kembali. Tubuhnya melesat dari satu pucuk ke pucuk pohon lain dengan kecepatan angin. Sampai akhirnya, pasukan dari Tiongkok itu hanya bisa menggerutu kesal ketika tubuh mereka lenyap.
Dua hari setelah terbunuhnya Rudapaksa dan Rudapaksi, Danau Panca Warna didatangi ratusan tokoh persilatan dari seluruh penjuru baik secara perorangan, maupun perkelompok. Sedikit demi sedikit, mereka telah berkumpul di sekitar Danau Panca Warna membentuk lingkaran yang kian membesar. Entah siapa yang memberi petunjuk, yang jelas mereka berkumpul serempak setelah memastikan tentang benda pusaka di dasar Danau Panca Warna dari penduduk desa tempat mereka menginap.
Dalam beragam pakaian dan senjata, seluruh tokoh itu menatap tegang ke permukaan air danau. Sesekali mata mereka melirik waspada satu dengan yang lain. Sikap curiga seperti itu terutama diperlihatkan orang-orang pada barisan terdepan. Mereka umumnya adalah tokoh-tokoh golongan sesat yang begitu berhasrat untuk menguasai benda pusaka di dasar Danau Panca Warna ini. Sementara, para pendekar aliran putih lebih suka mengambil tempat yang agak jauh dari tepi danau. Tujuan mereka memang bukan hendak menguasainya, tapi hendak menyelamatkan. Mereka takut, pusaka yang hendak diperebutkan itu bakal jatuh ke tangan para durjana.
Di beberapa tempat lain yang terbilang jauh dari danau, beberapa orang tampak berkerumun untuk menyaksikan peristiwa hebat yang tampaknya akan segera meletus. Dari sekian banyak tokoh, beberapa orang tampak menonjol. Di antaranya adalah lelaki berpenampilan menggetarkan hati. Tubuhnya yang gempal dan tinggi ditutup pakaian padri berwarna putih. Pakaiannya pun masih digabung kain hitam bertotol putih berbentuk jubah yang menutupi dari bahu kiri ke pinggang kanan. Orang persilatan mengenalnya sebagai si Padri Sesat. Padahal, nama aslinya adalah Kudungga.
Sebagaimana seorang padri, kepala Kudungga gundul dengan beberapa titik hitam di ubun-ubunnya. Kesan menyeramkan tergambar di wajah yang ditumbuhi brewok lebat dan kasar. Sedangkan matanya yang bulat tajam, dihiasi alis hitam tebal. Dia tak tampak membawa senjata, kecuali tasbih berbiji sebesar buah duku di tangan kanannya yang kekar berbulu.
Sementara di sebelah timur danau, tampak lelaki tua berwajah culas. Kumis dan janggut putihnya tergerai tipis, hingga ke dadanya yang cekung. Rambutnya juga sudah berwarna putih. Tanpa alis, matanya terlihat tajam. Dia mengenakan celana pangsi hitam. Dadanya yang kurus tak ditutupi apa-apa. Bibir lelaki tua itu terus menyeringai kejam. Sementara, kedua tangannya menepuk-nepuk kecapi kayu. Orang persilatan mengenalnya sebagai Dedengkot Iblis. Sedangkan nama aslinya sendiri tak pernah diketahui.
Di sebelah selatan danau, berdiri mematung seorang lelaki berpenampilan perlente yang dikenal bernama Lodaya Burang. Namun dia lebih dikenal sebagai Kumbang Bengis Dari Timur. Sesuai namanya, dia memang gemar memetik ‘bunga’ desa yang tak berdosa. Sifatnya kejam. Itu terlihat dari wajahnya yang begitu dingin. Rambutnya tersisir rapi dan berminyak. Wajahnya masih terlihat tampan, meski telah disemaraki kerutan. Lelaki gagah itu berpakaian seorang bangsawan dengan kancing dan berantai emas. Celana panjang hitamnya ditutupi kain batik sebatas lutut.
Ketiga lelaki itu memang tokoh kelas atas golongan sesat yang amat ditakuti di tanah Jawa Dwipa. Sementara, jauh di lereng bukit yang memagari danau, Andika dan Ratna Kumala sedang memperhatikan seluruh tokoh persilatan itu. Keduanya bersembunyi di balik sebongkah batu sebesar kerbau.
“Aku tak mengerti, kenapa mereka berkumpul seperti orang yang hendak nonton pertujukan ludruk?” tanya Andika.
Ingatannya yang hilang membuatnya melupakan benda pusaka di dasar danau yang menyebabkan dirinya sampai menjadi pikun seperti sekarang ini.
“Apa kau belum mendengar berita santer itu?” tanya Ratna Kumala agak heran karena tokoh kelas satu seperti Andika bisa luput dari desas-desus tersebut.
“Aku tak tahu,” jawab Andika sambil melirik Ratna.
“O, iya,” sergah Ratna Kumala cepat-cepat.
Kepalanya mengangguk-angguk.
“Aku lupa kalau kau kehilangan ingatan.”
“Kehilangan ingatan? Apa kau menganggapku gila? Sinting? Sableng?” cecar Andika, tak senang mendengar ucapan Ratna Kumala.
“Ei, ei! Tentu saja kau tidak gila. Maksudku, kau mengalami....”
“Ya! Aku sudah tahu,” potong Andika bersungut-sungut.
Melihat tingkah pemuda di sisinya barusan, Ratna Kumala jadi tersenyum-senyum kecil.
“Kenapa?” tanya Andika. Matanya membesar pada Ratna Kumala.
“Sebenarnya sulit mengatakan kalau kau tidak sinting. Sebab, tingkahmu lebih ngaco dibandingkan orang sinting.”
Usai berkata begitu. Ratna Kumala tertawa tertahan. Tangannya lantas menutup bibirnya yang merah ranum.
“Sialan!” maki Andika.
Ratna Kumala terus tertawa.
“Sudah... sudah! Kau ingin meledekku terus, atau ingin menceritakan kenapa mereka berkumpul didanau itu?!” sergah Andika.
“Baik..., baik,” ucap Ratna Kumala sambil menghentikan tawa.
“Apa kau masih ingat ketika kita singgah di Desa Ambangan untuk mencari makanan mentah?”
“Tentu saja ingat. Kau pikir, aku pikun?” selak Andika cepat.
Setelah itu, Andika jadi tersenyum-senyum malu setelah sadar kalau dirinya saat ini memang pikun minta ampun. Setelah tersenyum sejenak, Ratna Kumala meneruskan ucapan.
“Waktu itu, aku dengar dari percakapan orang di kedai kalau di dasar Danau Panca Warna ada benda sakti yang jatuh dari langit. Mereka menyebutnya Pusaka Langit....”
“Benda sakti? Pusaka Langit?” bisik Andika, tanpa maksud bertanya.
Samar-samar benak Andika dilintasi bayangan kejadian yang dialami di dasar Danau Panca Warna beberapa waktu lalu. Tentang pasir danau, tentang cahaya merah bara menyilaukan, dan tentang pusaran air. Setelah itu, semuanya seperti sirna kembali dari kepalanya.
“Andika!” sapa Ratna Kumala perlahan.
Andika tersadar. Kepalanya lantas menoleh pada Ratna Kumala.
“Siapa Andika?” tanya pemuda itu bodoh.
Ratna Kumala tersenyum kembali. Kali ini tersimpan sesuatu yang sulit dijelaskan. Dan senyumnyapun menyimpan makna khusus.
“Ya, kau...,” jawab Ratna Kumala agak tersipu, ketika mata elang Andika memergoki pandangan hangatnya.
“Aku? Jadi, namaku Andika? Dari mana kau tahu?” tanya Andika heran.
“Aku..., aku, akh! Apa itu penting?”
“Terserahmu. Apa kau anggap itu penting?” Andika malah balik bertanya.
“Ng..., aku ke Desa Ambangan kemarin. Di sana, kucoba mengorek keterangan tentang dirimu. Termasuk, namamu dari beberapa orang persilatan....”
“Apa?! Hanya untuk itu kau singgah ke sana?! Apa kau sinting? Mestinya kau tahu, itu akan membahayakan dirimu. Karena, pembunuh kakak seperguruanmu tentu berniat menghabisimu pula!” kata Andika panjang lebar.
Wajah Ratna Kumala dalam sekejap berubah memerah. Matanya pun berkilat-kilat kesal.
“Kau memang tak tahu berterima kasih. Belum lagi berterima kasih karena telah kuselamatkan, kini malah membentak-bentakku karena telah berusaha menolongmu, agar kau ingat pada dirimu sendiri,” sungut Ratna Kumala seraya membuang wajah kesisi lain.
“Baik! Terima kasih.... Terima kasih banyak! Cukup? Tapi, tetap saja aku tak setuju dengan tindakanmu ke desa itu! Toh, aku akan ingat kembali pada namaku suatu saat. Aku yakin itu!” ucap Andika.
“Tapi, aku tak suka memanggilmu dengan sebutan Slebor!” bentak Ratna Kumala di depan hidung Andika.
“Kenapa?! Aku sendiri tak punya masalah. Lantas kenapa tiba-tiba kau yang mesti tak suka? Kenapa, Ratna?” desak Andika.
Ratna Kumala mati kutu. Kenapa? Tentu saja gadis itu tak sudi memanggil orang yang telah menawan hatinya dengan sebutan dungu seperti itu. Tapi alasan itu tentu saja tak dikatakannya, dan hanya disembunyikan di sudut hatinya yang terdalam.
“Ah, sudahlah,” tukas Andika.
“Kenapa aku harus meributkan soal itu. Toh kau masih sehat walafiat...”
Ratna Kumala langsung lega, karena Andika tidak mendesaknya. Meskipun hatinya masih agak jengkel.
Sementara jauh di bawah sana, para pendatang tampak sudah memulai acara dahsyat yang akan segera terjadi.
“Hari ini kita berkumpul,” kata Lodaya Burang, membuka keheningan.
“Dan kita semua tahu, benda sakti yang bersemayam di dasar danau inilah yang mengundang kita semua untuk memilikinya. Tapi, tak mungkin semuanya bisa memilikinya. Yang jelas, harus ada satu orang yang benar-benar menjadi pemilik tunggal Pusaka Langit! Dan orang itu harus benar-benar pantas memilikinya! Untuk itu, kita harus melakukan pertandingan, agar dapat mengambil Pusaka Langit. Siapa yang paling unggul, dialah yang berhak menyelam ke dasar Danau Panca Warna.”
Semua orang yang mendengar suara Lodaya Burang termanggut-manggut. Entah menyetujui usul itu, atau tidak. Yang jelas, bagi mereka yang berkepandaian rendah, perlahan-lahan mundur ke belakang, lalu hilang entah ke mana.
“Jika ada yang ingin memulai, kupersilakan menghadapiku. Dengan satu syarat, kita bertaruh nyawa!” tantang Lodaya Burang.
Tampaknya, laki-laki perlente itu benar-benar bernafsu memiliki Pusaka Langit, sehingga lebih dahulu mengajukan tanding.
“Ha ha ha..., Kumbang Perlente! Mana ada yang berani menyambut tantanganmu, kecuali aku!” tiba- tiba Dedengkot Iblis menyelak disertai tenaga dalam. Sehingga, permukaan air danau terlihat beriak.
“Ooo! Rupanya kau, Tua Bangka. Apa tidak sebaiknya kau memikirkan dirimu yang sudah dekat liang kubur, daripada ikut memperebutkan Pusaka Langit?” ejek Lodaya Burang dengan wajah dingin.
Sebagai tokoh yang sudah bulukan dalam dunia persilatan, Dedengkot Iblis tak terpancing ejekan Lodaya Burang barusan. Dia amat tahu siasat tokoh macam Lodaya Burang yang ingin memancing kemarahannya, agar bertarung tanpa kendali.
“Ah! Jangan terlalu banyak basa-basi, Kumbang Bengis dari Timur. Apa kau tak berani menghadapiku, sehingga menyarankan agar aku mundur?” tukas Dedengkot Iblis, balik mengejek.
Lodaya Burang jadi termakan ucapannya sendiri. Lelaki perlente itu malah terpancing ucapan Dedengkot Iblis. Wajahnya seketika terbakar berang.
“Hhh, Bajingan Tua! Mari kita buktikan saja!” bentak laki-laki perlente itu seraya melompat tinggi ke dataran kosong.
Seketika itu pula Dedengkot Iblis menyusul. Dan tanpa ingin menunggu lebih lama, Kumbang Bengis melancarkan serangan pembuka.
“Khiaaa!”
Tapak Maut yang di kalangan persilatan begitu terkenal kejam dari Kumbang Bengis, menerabas deras ke dada Dedengkot Iblis. Angin pukulannya seketika menimbulkan suara menderu-deru.
Deb! Wut! Wut! Deb!
Tentu saja Dedengkot Iblis tak mau terhantam begitu saja. Tubuhnya langsung melengos ke kiri dan kanan, bagai gerakan seekor cengcorang. Kemudian, kecapi di kedua tangannya diangkat dengan gerakan menebas ke atas.
Dreng!
Bunyi getaran senar kecapi milik laki-laki tua itu terdengar melengking ketika berbenturan dengan tangan Kumbang Bengis. Tenaga dalam tingkat tinggi yang disalurkan pada masing-masing tangan mereka, membuat lengkingan tali senar kecapi Dedengkot Iblis mampu memecahkan gendang telinga orang yang berilmu cekak. Terbukti, beberapa orang yang berada di sekitar arena pertarungan berjatuhan sambil mendekap telinga masing-masing.
Kini Dedengkot Iblis balas menyerang. Kecapinya diayunkan ke samping, terarah pada rusuk sebelah kiri Kumbang Bengis. Namun laki-laki perlente itu mengetahui ancaman yang datang ke arahnya. Segera kakinya diangkat berbarengan dengan gerakan tubuhnya ke belakang.
Dreng!
Sekali lagi, bunyi melengking terdengar ketika lutut Kumbang bengis bertumbukan dengan sisi kecapi Dedengkot Iblis.
“Hiaaat!”
Berbareng satu teriakan garang, tubuh Dedengkot Iblis langsung berputar cepat. Kaki kanannya terbentang tinggi, bermaksud memecahkan kepala Kumbang Bengis dengan satu sapuan dahsyat. Namun, mata jeli Kumbang Bengis masih mampu menangkap gerakan kilat Dedengkot Iblis. Segera dia menjatuhkan diri ke tanah berumput searah dengan sapuan kaki Dedengkot Iblis. Setelah itu tubuhnya bergulingan, tangannya menghentak tanah untuk kemudian bergegas bangkit. Kumbang Bengis menjejakkan kakinya, sepuluh tombak di depan Dedengkot Iblis. Tak ada sekerdip mata setelah menyentuh tanah, dia sudah mempersiapkan kuda-kuda kembali.
“Jurus-jurusmu rupanya masih cukup bagus, meski semakin peot, Tua Bangka!” ledek Lodaya Burang bersama tatapan matanya yang dingin.
“Tak perlu banyak memuji, Mata Keranjang! Karena, hanya aku yang pantas mendapat Pusaka Langit!” balas Dedengkot Iblis.
Selesai berkata demikian, lelaki tua sakti itu menerjang Kumbang Bengis.
“Haaat!”
“Tunggu!” cegah Lodaya Burang tiba-tiba
Dengan lembut Andika memegang kedua pangkal lengan Ratna Kumala. Lalu, dibangunkannya gadis itu dari bersimpuhnya.
“Aku turut menyesal atas kejadian ini, Rat,” ucap pemuda itu perlahan
Tatkala Ratna kumala membenamkan wajah di dada bidang Andika untuk melepas kesedihannya, tiba-tiba saja....
“Serbuuu!”
Bagai aliran air bah, diiringi teriakan menggelegar sepasukan berseragam merah mendadak menyerbu Andika dan Ratna Kumala. Pasukan yang berjumlah puluhan orang itu mengenakan penutup kepala merah berlipat ke belakang. Di bagian lengan baju mereka yang memanjang hingga ke lutut, terdapat tulisan Tiongkok berbentuk elang. Celana mereka yang juga berwarna merah, tertutup sepatu panjang di bagian betis.
Entah, bagaimana cara mereka bersembunyi di dalam semak dan pepohonan. Sampai-sampai pendengaran Andika yang terlatih, tidak bisa menangkap desah napas mereka sedikit pun. Dari cara melompat, Andika tahu kalau mereka adalah pendekar-pendekar Tiongkok berkepandaian tinggi.
“Pasukan Tiongkok dari mana ini?!” tanya Ratna Kumala garang.
Benak gadis itu langsung bisa menduga kalau para pengepungnya adalah yang menghabisi nyawa dua saudara seperguruannya.
“Sudah pasti dari negeri Tiongkok,” sahut Andika setengah berkelakar.
Namun demikian, matanya tetap bergerak waspada.
“Yang pasti pula, mereka berniat merencah kita berdua.”
Ucapan Andika barusan sepertinya tidak meleset. Setelah memutari Andika dan Ratna Kumala beberapa lama, puluhan lelaki bermata sipit itu berhamburan dalam terjangan dahsyat.
“Hiaaa!”
Mulut Andika seketika berteriak menggelegar. Berbareng dengan itu, tubuhnya cepat melenting ke udara sambil menyambar pinggang Ratna Kumala. Tapi lompatan Pendekar Slebor tidak dibiarkan pasukan dari Tiongkok itu. Dengan sigap, para penyerbu bersenjatakan tombak itu mengangkat senjata ke atas. Lalu dengan serentak tombak itu ditusukkan ke tubuh Andika dan Ratna Kumala yang melayang di udara.
Andika tentu saja tak membiarkan tubuhnya dicabik-cabik puluhan tombak. Maka tanpa sempat
tertangkap mata pasukan itu, tangan kirinya yang masih bebas menyambar kain bercorak catur dari pundak dan langsung dikebutkannya.
Bet! Bet!
Trak! Trak!
Puluhan tombak setajam taring-taring serigala seketika tersambar Kain Pusaka Pendekar Slebor, hingga berbenturan satu dengan yang lain. Sebagian malah ada yang tersasar ke tubuh kawan mereka sendiri. Tapi karena pasukan dari Tiongkok ini memiliki kepandaian tinggi, maka tombak yang tersasar itu dapat segera dikuasai dengan baik. Sementara Pendekar Slebor langsung melenting tinggi-tinggi, sambil berputaran di udara.
“Sial!” maki Andika, begitu hinggap di sebuah batang pohon besar.
“Mereka rupanya tidak sudi mengongkosi kawan sendiri ke neraka.”
Belum sempat Andika bernapas lega, empat orang Tiongkok ini serempak menyusul ke dahan pohon. Setelah berputar di udara beberapa kali, dua orang menjejakkan kaki disisi Andika dan Ratna Kumala. Sedangkan, dua orang lain hinggap di dahan yang berhadapan.
“Haiii!”
Seorang di sisi kiri Andika mengayunkan pangkal tombak ke kepala Andika dengan tenaga dalam tinggi. Sehingga, tombaknya menciptakan angin yang menderu kencang.
Wesss!
“Hih!”
Tanpa menemui kesulitan, Pendekar Slebor melecutkan kain pusaka di tangan kirinya. Cletar!
Krak!
Pangkal tombak lawan langsung terpatah dua. Sementara itu, Ratna Kumala yang berada dalam rangkulan Andika harus menghadapi lawan di sisinya. Gadis yang memiliki sifat keras kepala ini ternyata cukup mampu mengimbangi setiap serangan. Kini dua orang lawan di depan tak mau tinggal diam. Mereka segera memutar tombak masing-masing, bersiap memperkuat serangan.
“Hih!”
Salah seorang menghentikan putaran tombak secara mendadak. Lalu tiba-tiba tombaknya ditusukkan ke dada Pendekar Slebor dengan tenaga penuh. Menurut perkiraannya, dia akan segera menamatkan pendekar muda itu di ujung senjatanya. Tapi, dugaannya meleset sama sekali. Justru dari sini Pendekar Slebor bisa melihat kesempatan bagus.
“Bhaaa!”
Dengan satu gerakan tak terduga, Andika melesat ke arah salah seorang lawan yang kehilangan tombak, dan sedang melepaskan pukulan. Secepat kilat, ditariknya tangan orang itu ke arahnya. Sehingga....
Jep!
“Aaa!”
Tombak lawan di depan yang tertuju pada Andika, kontan menembus pinggang orang yang tangannya ditarik untuk dijadikan tameng.
“Wah! Tega nian kau membunuh kawan sendiri,” seloroh Pendekar Slebor.
“Lain kali, lebih baik meminta izin dulu pada kawanmu itu.”
Andika langsung menggejot tubuhnya, hingga melayang kembali di udara bersama Ratna Kumala dalam rangkulannya. Kedua tubuh itu menyeruak daun pepohonan, hingga merontokkan yang kering. Pada pucuk satu pohon, Pendekar Slebor menjejak. Kemudian tubuhnya digenjot kembali. Tubuhnya melesat dari satu pucuk ke pucuk pohon lain dengan kecepatan angin. Sampai akhirnya, pasukan dari Tiongkok itu hanya bisa menggerutu kesal ketika tubuh mereka lenyap.
***
Dua hari setelah terbunuhnya Rudapaksa dan Rudapaksi, Danau Panca Warna didatangi ratusan tokoh persilatan dari seluruh penjuru baik secara perorangan, maupun perkelompok. Sedikit demi sedikit, mereka telah berkumpul di sekitar Danau Panca Warna membentuk lingkaran yang kian membesar. Entah siapa yang memberi petunjuk, yang jelas mereka berkumpul serempak setelah memastikan tentang benda pusaka di dasar Danau Panca Warna dari penduduk desa tempat mereka menginap.
Dalam beragam pakaian dan senjata, seluruh tokoh itu menatap tegang ke permukaan air danau. Sesekali mata mereka melirik waspada satu dengan yang lain. Sikap curiga seperti itu terutama diperlihatkan orang-orang pada barisan terdepan. Mereka umumnya adalah tokoh-tokoh golongan sesat yang begitu berhasrat untuk menguasai benda pusaka di dasar Danau Panca Warna ini. Sementara, para pendekar aliran putih lebih suka mengambil tempat yang agak jauh dari tepi danau. Tujuan mereka memang bukan hendak menguasainya, tapi hendak menyelamatkan. Mereka takut, pusaka yang hendak diperebutkan itu bakal jatuh ke tangan para durjana.
Di beberapa tempat lain yang terbilang jauh dari danau, beberapa orang tampak berkerumun untuk menyaksikan peristiwa hebat yang tampaknya akan segera meletus. Dari sekian banyak tokoh, beberapa orang tampak menonjol. Di antaranya adalah lelaki berpenampilan menggetarkan hati. Tubuhnya yang gempal dan tinggi ditutup pakaian padri berwarna putih. Pakaiannya pun masih digabung kain hitam bertotol putih berbentuk jubah yang menutupi dari bahu kiri ke pinggang kanan. Orang persilatan mengenalnya sebagai si Padri Sesat. Padahal, nama aslinya adalah Kudungga.
Sebagaimana seorang padri, kepala Kudungga gundul dengan beberapa titik hitam di ubun-ubunnya. Kesan menyeramkan tergambar di wajah yang ditumbuhi brewok lebat dan kasar. Sedangkan matanya yang bulat tajam, dihiasi alis hitam tebal. Dia tak tampak membawa senjata, kecuali tasbih berbiji sebesar buah duku di tangan kanannya yang kekar berbulu.
Sementara di sebelah timur danau, tampak lelaki tua berwajah culas. Kumis dan janggut putihnya tergerai tipis, hingga ke dadanya yang cekung. Rambutnya juga sudah berwarna putih. Tanpa alis, matanya terlihat tajam. Dia mengenakan celana pangsi hitam. Dadanya yang kurus tak ditutupi apa-apa. Bibir lelaki tua itu terus menyeringai kejam. Sementara, kedua tangannya menepuk-nepuk kecapi kayu. Orang persilatan mengenalnya sebagai Dedengkot Iblis. Sedangkan nama aslinya sendiri tak pernah diketahui.
Di sebelah selatan danau, berdiri mematung seorang lelaki berpenampilan perlente yang dikenal bernama Lodaya Burang. Namun dia lebih dikenal sebagai Kumbang Bengis Dari Timur. Sesuai namanya, dia memang gemar memetik ‘bunga’ desa yang tak berdosa. Sifatnya kejam. Itu terlihat dari wajahnya yang begitu dingin. Rambutnya tersisir rapi dan berminyak. Wajahnya masih terlihat tampan, meski telah disemaraki kerutan. Lelaki gagah itu berpakaian seorang bangsawan dengan kancing dan berantai emas. Celana panjang hitamnya ditutupi kain batik sebatas lutut.
Ketiga lelaki itu memang tokoh kelas atas golongan sesat yang amat ditakuti di tanah Jawa Dwipa. Sementara, jauh di lereng bukit yang memagari danau, Andika dan Ratna Kumala sedang memperhatikan seluruh tokoh persilatan itu. Keduanya bersembunyi di balik sebongkah batu sebesar kerbau.
“Aku tak mengerti, kenapa mereka berkumpul seperti orang yang hendak nonton pertujukan ludruk?” tanya Andika.
Ingatannya yang hilang membuatnya melupakan benda pusaka di dasar danau yang menyebabkan dirinya sampai menjadi pikun seperti sekarang ini.
“Apa kau belum mendengar berita santer itu?” tanya Ratna Kumala agak heran karena tokoh kelas satu seperti Andika bisa luput dari desas-desus tersebut.
“Aku tak tahu,” jawab Andika sambil melirik Ratna.
“O, iya,” sergah Ratna Kumala cepat-cepat.
Kepalanya mengangguk-angguk.
“Aku lupa kalau kau kehilangan ingatan.”
“Kehilangan ingatan? Apa kau menganggapku gila? Sinting? Sableng?” cecar Andika, tak senang mendengar ucapan Ratna Kumala.
“Ei, ei! Tentu saja kau tidak gila. Maksudku, kau mengalami....”
“Ya! Aku sudah tahu,” potong Andika bersungut-sungut.
Melihat tingkah pemuda di sisinya barusan, Ratna Kumala jadi tersenyum-senyum kecil.
“Kenapa?” tanya Andika. Matanya membesar pada Ratna Kumala.
“Sebenarnya sulit mengatakan kalau kau tidak sinting. Sebab, tingkahmu lebih ngaco dibandingkan orang sinting.”
Usai berkata begitu. Ratna Kumala tertawa tertahan. Tangannya lantas menutup bibirnya yang merah ranum.
“Sialan!” maki Andika.
Ratna Kumala terus tertawa.
“Sudah... sudah! Kau ingin meledekku terus, atau ingin menceritakan kenapa mereka berkumpul didanau itu?!” sergah Andika.
“Baik..., baik,” ucap Ratna Kumala sambil menghentikan tawa.
“Apa kau masih ingat ketika kita singgah di Desa Ambangan untuk mencari makanan mentah?”
“Tentu saja ingat. Kau pikir, aku pikun?” selak Andika cepat.
Setelah itu, Andika jadi tersenyum-senyum malu setelah sadar kalau dirinya saat ini memang pikun minta ampun. Setelah tersenyum sejenak, Ratna Kumala meneruskan ucapan.
“Waktu itu, aku dengar dari percakapan orang di kedai kalau di dasar Danau Panca Warna ada benda sakti yang jatuh dari langit. Mereka menyebutnya Pusaka Langit....”
“Benda sakti? Pusaka Langit?” bisik Andika, tanpa maksud bertanya.
Samar-samar benak Andika dilintasi bayangan kejadian yang dialami di dasar Danau Panca Warna beberapa waktu lalu. Tentang pasir danau, tentang cahaya merah bara menyilaukan, dan tentang pusaran air. Setelah itu, semuanya seperti sirna kembali dari kepalanya.
“Andika!” sapa Ratna Kumala perlahan.
Andika tersadar. Kepalanya lantas menoleh pada Ratna Kumala.
“Siapa Andika?” tanya pemuda itu bodoh.
Ratna Kumala tersenyum kembali. Kali ini tersimpan sesuatu yang sulit dijelaskan. Dan senyumnyapun menyimpan makna khusus.
“Ya, kau...,” jawab Ratna Kumala agak tersipu, ketika mata elang Andika memergoki pandangan hangatnya.
“Aku? Jadi, namaku Andika? Dari mana kau tahu?” tanya Andika heran.
“Aku..., aku, akh! Apa itu penting?”
“Terserahmu. Apa kau anggap itu penting?” Andika malah balik bertanya.
“Ng..., aku ke Desa Ambangan kemarin. Di sana, kucoba mengorek keterangan tentang dirimu. Termasuk, namamu dari beberapa orang persilatan....”
“Apa?! Hanya untuk itu kau singgah ke sana?! Apa kau sinting? Mestinya kau tahu, itu akan membahayakan dirimu. Karena, pembunuh kakak seperguruanmu tentu berniat menghabisimu pula!” kata Andika panjang lebar.
Wajah Ratna Kumala dalam sekejap berubah memerah. Matanya pun berkilat-kilat kesal.
“Kau memang tak tahu berterima kasih. Belum lagi berterima kasih karena telah kuselamatkan, kini malah membentak-bentakku karena telah berusaha menolongmu, agar kau ingat pada dirimu sendiri,” sungut Ratna Kumala seraya membuang wajah kesisi lain.
“Baik! Terima kasih.... Terima kasih banyak! Cukup? Tapi, tetap saja aku tak setuju dengan tindakanmu ke desa itu! Toh, aku akan ingat kembali pada namaku suatu saat. Aku yakin itu!” ucap Andika.
“Tapi, aku tak suka memanggilmu dengan sebutan Slebor!” bentak Ratna Kumala di depan hidung Andika.
“Kenapa?! Aku sendiri tak punya masalah. Lantas kenapa tiba-tiba kau yang mesti tak suka? Kenapa, Ratna?” desak Andika.
Ratna Kumala mati kutu. Kenapa? Tentu saja gadis itu tak sudi memanggil orang yang telah menawan hatinya dengan sebutan dungu seperti itu. Tapi alasan itu tentu saja tak dikatakannya, dan hanya disembunyikan di sudut hatinya yang terdalam.
“Ah, sudahlah,” tukas Andika.
“Kenapa aku harus meributkan soal itu. Toh kau masih sehat walafiat...”
Ratna Kumala langsung lega, karena Andika tidak mendesaknya. Meskipun hatinya masih agak jengkel.
***
Sementara jauh di bawah sana, para pendatang tampak sudah memulai acara dahsyat yang akan segera terjadi.
“Hari ini kita berkumpul,” kata Lodaya Burang, membuka keheningan.
“Dan kita semua tahu, benda sakti yang bersemayam di dasar danau inilah yang mengundang kita semua untuk memilikinya. Tapi, tak mungkin semuanya bisa memilikinya. Yang jelas, harus ada satu orang yang benar-benar menjadi pemilik tunggal Pusaka Langit! Dan orang itu harus benar-benar pantas memilikinya! Untuk itu, kita harus melakukan pertandingan, agar dapat mengambil Pusaka Langit. Siapa yang paling unggul, dialah yang berhak menyelam ke dasar Danau Panca Warna.”
Semua orang yang mendengar suara Lodaya Burang termanggut-manggut. Entah menyetujui usul itu, atau tidak. Yang jelas, bagi mereka yang berkepandaian rendah, perlahan-lahan mundur ke belakang, lalu hilang entah ke mana.
“Jika ada yang ingin memulai, kupersilakan menghadapiku. Dengan satu syarat, kita bertaruh nyawa!” tantang Lodaya Burang.
Tampaknya, laki-laki perlente itu benar-benar bernafsu memiliki Pusaka Langit, sehingga lebih dahulu mengajukan tanding.
“Ha ha ha..., Kumbang Perlente! Mana ada yang berani menyambut tantanganmu, kecuali aku!” tiba- tiba Dedengkot Iblis menyelak disertai tenaga dalam. Sehingga, permukaan air danau terlihat beriak.
“Ooo! Rupanya kau, Tua Bangka. Apa tidak sebaiknya kau memikirkan dirimu yang sudah dekat liang kubur, daripada ikut memperebutkan Pusaka Langit?” ejek Lodaya Burang dengan wajah dingin.
Sebagai tokoh yang sudah bulukan dalam dunia persilatan, Dedengkot Iblis tak terpancing ejekan Lodaya Burang barusan. Dia amat tahu siasat tokoh macam Lodaya Burang yang ingin memancing kemarahannya, agar bertarung tanpa kendali.
“Ah! Jangan terlalu banyak basa-basi, Kumbang Bengis dari Timur. Apa kau tak berani menghadapiku, sehingga menyarankan agar aku mundur?” tukas Dedengkot Iblis, balik mengejek.
Lodaya Burang jadi termakan ucapannya sendiri. Lelaki perlente itu malah terpancing ucapan Dedengkot Iblis. Wajahnya seketika terbakar berang.
“Hhh, Bajingan Tua! Mari kita buktikan saja!” bentak laki-laki perlente itu seraya melompat tinggi ke dataran kosong.
Seketika itu pula Dedengkot Iblis menyusul. Dan tanpa ingin menunggu lebih lama, Kumbang Bengis melancarkan serangan pembuka.
“Khiaaa!”
Tapak Maut yang di kalangan persilatan begitu terkenal kejam dari Kumbang Bengis, menerabas deras ke dada Dedengkot Iblis. Angin pukulannya seketika menimbulkan suara menderu-deru.
Deb! Wut! Wut! Deb!
Tentu saja Dedengkot Iblis tak mau terhantam begitu saja. Tubuhnya langsung melengos ke kiri dan kanan, bagai gerakan seekor cengcorang. Kemudian, kecapi di kedua tangannya diangkat dengan gerakan menebas ke atas.
Dreng!
Bunyi getaran senar kecapi milik laki-laki tua itu terdengar melengking ketika berbenturan dengan tangan Kumbang Bengis. Tenaga dalam tingkat tinggi yang disalurkan pada masing-masing tangan mereka, membuat lengkingan tali senar kecapi Dedengkot Iblis mampu memecahkan gendang telinga orang yang berilmu cekak. Terbukti, beberapa orang yang berada di sekitar arena pertarungan berjatuhan sambil mendekap telinga masing-masing.
Kini Dedengkot Iblis balas menyerang. Kecapinya diayunkan ke samping, terarah pada rusuk sebelah kiri Kumbang Bengis. Namun laki-laki perlente itu mengetahui ancaman yang datang ke arahnya. Segera kakinya diangkat berbarengan dengan gerakan tubuhnya ke belakang.
Dreng!
Sekali lagi, bunyi melengking terdengar ketika lutut Kumbang bengis bertumbukan dengan sisi kecapi Dedengkot Iblis.
“Hiaaat!”
Berbareng satu teriakan garang, tubuh Dedengkot Iblis langsung berputar cepat. Kaki kanannya terbentang tinggi, bermaksud memecahkan kepala Kumbang Bengis dengan satu sapuan dahsyat. Namun, mata jeli Kumbang Bengis masih mampu menangkap gerakan kilat Dedengkot Iblis. Segera dia menjatuhkan diri ke tanah berumput searah dengan sapuan kaki Dedengkot Iblis. Setelah itu tubuhnya bergulingan, tangannya menghentak tanah untuk kemudian bergegas bangkit. Kumbang Bengis menjejakkan kakinya, sepuluh tombak di depan Dedengkot Iblis. Tak ada sekerdip mata setelah menyentuh tanah, dia sudah mempersiapkan kuda-kuda kembali.
“Jurus-jurusmu rupanya masih cukup bagus, meski semakin peot, Tua Bangka!” ledek Lodaya Burang bersama tatapan matanya yang dingin.
“Tak perlu banyak memuji, Mata Keranjang! Karena, hanya aku yang pantas mendapat Pusaka Langit!” balas Dedengkot Iblis.
Selesai berkata demikian, lelaki tua sakti itu menerjang Kumbang Bengis.
“Haaat!”
“Tunggu!” cegah Lodaya Burang tiba-tiba
0