Kaskus

Story

uclnAvatar border
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR
PENDEKAR SLEBOR


Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta



Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.

Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).

Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.

Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan

Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.

Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..

Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.

Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..

And Here We Go.....

I N D E K S


Spoiler for Indeks 1:



TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya


GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
anasabilaAvatar border
regmekujoAvatar border
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
uclnAvatar border
TS
ucln
#121
Part 3

Pagi telah menjelang, beriring kicau burung di pucuk-pucuk pepohonan. Kabut tipis tampak merambat lamban, diiringi alunan kokok ayam jantan di kejauhan. Sementara terabasan sinar tipis di sela-sela dedaunan bagai menghiasi garis-garis ke-hidupan.

Setelah semalaman tak sadarkan diri, kini Andika siuman. Kelopak matanya terbuka perlahan, lalu mengerjap-ngerjap sesaat.

“Di mana aku?” desah Pendekar Slebor, masih dalam keadaan telentang.

Perlahan pemuda itu bangkit, lalu duduk lemah di bibir balai-balai bambu tempatnya terbaring. Sambil menarik napas berkali-kali, pandangannya beredar ke sekeliling ruangan. Ternyata, Andika berada dalam sebuah gubuk kecil yang terbilang kotor. Di sana sini terlihat sarang laba-laba serta debu tebal. Di lantai tanah, tampak bekas api unggun yang masih mengepulkan asap tipis. Sementara, jendela yang hanya satu-satunya di gubuk bilik itu sedikit terkuak, membiarkan cahaya matahari menerobos masuk.

“Ke mana tuan rumah yang jorok ini!” gerutu Andika.

Andika segera bangkit, dan melangkah menuju pintu gubuk yang sudah berlubang-lubang dimakan rayap. Matanya lantas mengerut, tatkala sinar matahari menimpa wajahnya yang agak pucat. Dengan tangan kanan, dia berusaha menghalangi cahaya matahari yang langsung menimpa matanya. Setelah dapat menguasai silau, matanya mulai mencari-cari. Tentu saja hendak mencari pemilik gubuk yang seperti kandang setan itu.

“Oi, Kisanak!” seru Pendekar Slebor tatkala matanya telah menemukan seseorang berbaju biru tua sedang memancing.

Dengan agak tertatih, gubuk di tepi danau tadi ditinggalkannya untuk menghampiri orang berbaju biru yang membelakanginya.

“Kisanak,” tegur Andika sekali lagi, karena orang itu sama sekali tidak menoleh waktu diteriakinya tadi.

Tangannya dijulurkan ke bahu orang berambut pendek itu, lalu disentuhnya. Orang yang ditegur akhirnya menoleh juga. Dan betapa terperanjatnya Andika, ketika melihat wajah orang berambut pendek yang ternyata seorang wanita. Sedikit gelagapan, Andika segera menarik tangannya dari bahu wanita itu.

“Ma.... maaf, Nisanak. Aku tak bermaksud kurang ajar. Kukira kau...,” ucap Andika terbata.

“Lelaki?” terabas wanita itu, seperti tidak mempedulikan ucapan Andika.
“Atau memang kau berpura-pura tidak tahu, agar dapat menyentuh tubuhku?”

Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Apalagi yang meski dikatakan kalau menghadapi wanita kenes macam ini.

“Kenapa aku berada di gubukmu?” tanya Andika lagi.

“Itu bukan milikku, tapi hanya gubuk terbengkalai di tepi danau ini. Tapi yang penting bisa dimanfaatkan untuk bermalam,” sahut wanita tadi, acuh. Kemudian dia terlihat asyik kembali dengan kailnya.

“Jadi, kenapa aku berada di gubuk itu?” ulang Andika, sedikit memperbaiki kalimatnya.

“Kau sendiri kenapa berada di danau ini?” wanita itu balik bertanya, tanpa berpaling.

“Aku?” Andika tergugu.

Entah kenapa, Pendekar Slebor tak ingat apa-apa lagi. Tentang kejadian yang kemarin sore dialaminya pun tidak ada di benaknya. Itu sebabnya, dia tak mengerti maksud ucapan wanita di depannya.

“Kenapa aku ada di danau ini?” tanya Andika kebodoh-bodohan.

Ucapan Andika barusan tentu saja memancing kejengkelan wanita berambut pendek ini.

“Kau orang dungu atau pemuda pikun?” ledek wanita itu memalingkan tubuhnya ke arah Andika.

“Aku..., aku tidak tahu. Aku tidak ingat apa-apa. Apa kau sudi menjelaskan padaku?” pinta Andika.

Wajahnya tampak sulit dijelaskan, dengan alis terangkat kecil. Wanita itu menatap Andika lekat-lekat. Kelopak matanya yang berhias bulu mata lentik berwarna legam, tampak mengerut. Begitu juga kening di wajahnya. Setelah menemukan kesungguhan di wajah Andika, wanita itu tersenyum tipis.

“Aku menemukanmu terapung di danau ini tadi malam.”

“Aku? Terapung? Kenapa begitu?” tanya Andika beruntun.

Pendekar muda itu benar-benar diombang-ambing kebingungan. Tak ada sedikit pun ingatan yang tertinggal di kepalanya.

“Mana aku tahu!” sahut wanita itu cepat. Kembali dia jengkel. Lalu, tubuhnya berbalik lagi. Kailnya kali ini rupanya mendapat mangsa.

“Hih!”

Berbareng dengan satu teriakan kecil, wanita itu menarik kail yang bergerak-gerak. Tapi yang terkait di mata kail membuat wanita itu tertawa renyah.

“Hi hi hi...! Kukira mendapat ikan besar, tak tahunya hanya kain gombal!” ujar wanita itu diselingi tawa sambil menggoyang-goyangkan kail yang kini digelayuti kain bercorak catur.

Sementara dia sibuk tertawa, Andika malah menatap kain itu penuh perhatian. Kain itu mengingatkannya pada sesuatu. Tapi, entah apa. Pendekar Slebor sendiri masih samar.

“Hey? Kenapa kau tidak tertawa?” sentak wanita berambut pendek ini pada Andika.
“Apa kau tidak berselera untuk berguyon?”

Andika menyahuti hanya dengan gelengkan kepala.

“Huh! Rupanya aku telah menolong pemuda bodoh,” rutuk wanita itu dongkol.

Andika tak mempedulikan. Malah kakinya melangkah kembali menuju gubuk dengan kepala tertunduk. Benaknya masih tidak habis pikir, kenapa ingatannya hilang begitu saja.

“Apakah aku memang pemuda bodoh seperti disebut wanita itu? Lalu, siapa aku? Siapa namaku? Dan, kenapa aku berada di sini?” kata batin Pendekar Slebor, bertanya pada diri sendiri.

“Hey!” panggil wanita tadi.
“Kau tidak tersinggung dengan ucapanku tadi, kan?”

Andika menoleh, lalu menggeleng.

“Aku Ratna Kumala. Kau boleh memanggilku Ratna. Siapa namamu?” lanjut wanita itu bersama sebaris senyum tipis sebagai permohonan persahabatan.

Andika menaikkan keningnya.

“Aku tidak tahu,” jawab pemuda itu perlahan.

Ratna Kumala merengut lagi.

“Nisanak! Boleh aku minta kain itu?” pinta Andika.
“Untuk apa gombal ini?” tukas Ratna Kumala, sambil menahan tawa.
“Aku tidak tahu. Rasanya kain itu ingin kumiliki.”

Ratna Kumala tertawa. Kali ini lebih nyaring, dan terdengar riang.

“Kau bisa menjengkelkan, sekaligus lucu! Nih! Ambillah!”

Ratna Kumala melempar kain bercorak catur basah pada Andika. Dan seketika Pendekar Slebor pun menangkapnya.

“Terima kasih,” hatur Andika.

Kemudian Pendekar Slebor melanjutkan langkahnya, meninggalkan wanita itu.

“Hey! Jangan panggil aku Nisanak lagi, ya! Apalagi Kisanak!”

Andika tak menyahut, dan terus berjalan sambil terus mengamati kain bercorak catur di tangannya.

***


Desa Ambangan kini telah dibanjiri pendatang dari berbagai daerah. Mereka rata-rata tokoh persilatan, baik dari golongan putih atau hitam, dari kelas bawah hingga kelas atas. Orang-orang itu layaknya semut yang mendatangi gula. Ya! Desa Ambangan belakangan ini menjadi gula bagi seluruh kalangan persilatan, setelah tersiar kabar tentang benda sakti di dasar Danau Panca Warna. Tujuan utama mereka tentu saja untuk mendapatkan benda sakti itu. Disamping, ada pula yang hendak bertemu rekan segolongan, yang pada umumnya dilakukan oleh para pendekar golongan putih.

Sementara ada pula yang berniat mencari guru atau menjajal ilmu yang sudah dimiliki. Dan pagi ini, datang lagi tiga orang berpenampilan sangar. Yang seorang adalah laki-laki berwajah penuh brewok kasar. Rambutnya berdiri tegak, seperti duri landak. Matanya memancarkan sinar kekejaman dengan alis yang tumbuh samar-samar. Hidungnya pesek. Wajahnya yang berbentuk persegi, menampakkan rahangnya yang kokoh. Lelaki berperawakan tinggi besar itu dikenal dengan nama Atma Sungsang.

Yang berjalan di tengah bernama Kebo Ireng. Jika mendengar namanya, bisa terbayang kalau perawakannya besar dan kekar. Padahal sebaliknya, justru lelaki itu berbadan kerempeng. Dan tubuhnya paling tinggi dibanding dua temannya. Wajahnya tirus, sebagaimana orang kurus. Hidungnya lancip dan matanya cekung. Sejumput jenggot ikut menghiasi wajahnya yang mirip tikus.

Yang terakhir bernama Jarjaran. Melihat penam-pilannya yang mirip Atma Sungsang, sudah bisa dipastikan kalau dia masih bersaudara dengannya. Bedanya, Jarjaran tidak memelihara brewok. Dagunya tampak licin, karena sering dipangkas dengan goloknya.

Mereka bertiga mengenakan pakaian sewarna. Hitam. Celananya sebatas lutut. Laki-laki bernama Atma Sungsang menyandang parang berukuran besar pada pinggangnya. Sedangkan Kebo Ireng membawa senjata berbentuk kipas. Ketiga lelaki sangar itu kini memasuki sebuah penginapan. Sebagaimana desa yang dekat bandar, penginapan itu diramaikan oleh para pendatang dari beberapa negeri yang menginap untuk menunggu bongkar muat barang di kapalnya. Namun mulai tiga hari yang lalu, penginapan ini juga dipenuhi para pendekar yang mengisi kamar demi kamar di sana.

Kebo Ireng selaku lelaki tertua, memasuki ruang tengah penginapan lebih dahulu. Langkahnya terlihat angkuh. Tak beda Atma Sungsang dan Jarjaran di belakangnya.

“Kami pesan tiga kamar,” ucap Kebo Ireng dingin pada pemilik penginapan di meja penerimaan tamu.

“Aduh.... Sayang sekali, Tuan. Kami hanya punya sisa dua kamar,” jawab pemilik penginapan ramah.

“Tiga!” terabas Kebo Ireng, keras.

“Wah! Kalau Tuan menghendaki tiga kamar, sebaiknya cari di penginapan lain saja. Barangkali disana masih banyak kamar, Tuan...,” usul pemilik penginapan, sambil tersenyum sopan.

“Jangan bertele-tele! Menyediakan tiga kamar, atau ditukar nyawamu?!” ancam Kebo Ireng, tetap dingin.

Diancam seperti itu, laki-laki tua pemilik penginapan ini jadi mengerut. Wajahnya berubah pias pasi.

“Ma..., af, Tuan. Kami sungguh-sungguh hanya punya dua kamar. Kamar lain sudah terisi semua,” ucap laki-laki tua itu agak memelas.

Brakkk!

Baru saja ucapan pemilik penginapan itu selesai mendadak saja Kebo Ireng menggebrak meja setinggi pinggang di depannya. Gebrakannya terlihat ringan. Tapi akibatnya tidak pernah diduga. Meja jati itu langsung jebol berkeping-keping. Padahal tebalnya hampir sejari telunjuk. Pemilik penginapan tersentak ke belakang. Wajahnya makin memucat. Bulir-bulir keringat dingin pun sudah membasahi keningnya.

“Apa kau tak punya otak?! Kenapa tak diusir saja seorang tamu yang menempati kamarmu?” dengus Kebo Ireng tanpa perubahan pada wajahnya. Wajah dan bicaranya tetap dingin. Sedangkan matanya memandang penuh ancaman.

“Ba..., bagaimana aku harus mengusir tamuku sendiri, Tuan?” jawab pemilik kedai, masih berusaha menolak.

“Kau bertele-tele sekali, baik!” hardik Atma Sungsang dari belakang Kebo Ireng.

Lelaki ini rupanya sudah tidak sabar lagi. Gagang parang di pinggangnya bahkan sudah diangkat. Namun, Kebo Ireng mengangkat tangan kanannya, memberi isyarat pada Atma Sungsang untuk tetap tenang.

“Jangan sia-siakan nyawamu...,” ujar Kebo Ireng setengah berbisik pada pemilik penginapan.
“Toh lebih baik kau kehilangan seorang pelangganmu, ketimbang mesti kehilangan nyawa?”

“Baik..., baiklah,” sahut pemilik penginapan terbata-bata.

Kemudian laki-laki tua itu segera meninggalkan meja penerima tamu. Dia naik ke lantai atas dengan setengah berlari. Sementara tiga lelaki sangar itu hanya tertawa terbahak-bahak melihat tingkah pemilik kedai yang terlihat bagai tikus comberan di mata mereka. Dan tawa mereka langsung putus ketika....

“Kunyuk! Apa kau kira aku ini anjing yang bisa kau usir seenaknya, hah!”

Terdengar keributan dari lantai atas. Rupanya pelanggan yang hendak diminta keluar oleh pemilik penginapan, tidak bisa menerima perlakuan itu begitu saja. Kemudian terdengar suara langkah berlari, diselingi makian-makian kasar.

Pemilik penginapan itu berlari serabutan menuruni anak tangga penginapan yang terbuat dari kayu yang disusun berputar pada satu tiang. Sementara seorang lelaki setengah baya berbadan tegap menyusul di belakangnya, dengan mengacung-acungkan samurai.

“Ampun, Tuan.... Ampun!” teriak si pemilik penginapan mengiba-iba sambil tetap berlari.

“Berhenti!” bentak Jarjaran.

Kedua yang tengah kejar-kejaran berhenti tiba-tiba begitu mendengar bentakan yang terasa menggetarkan dinding kayu penginapan.

“Kisanak! Kuminta kau meninggalkan penginapan ini. Kamarmu akan kami pergunakan,” sentak Kebo Ireng lantang dari lantai bawah.

“Apa?!” balas lelaki yang memegang samurai. Wajahnya yang hitam tampak semakin matang terbakar kegusaran.

“Seenak dengkulmu saja bicara. Kau pikir dirimu raja?!”

Sementara Kebo Ireng menatap laki-laki itu disertai sebaris senyum sinis. Sikapnya begitu mengejek, seolah-olah menganggap kemarahan lelaki setengah baya itu hanya sebagai tontonan meng-asyikkan.

“Jangan menatapku seperti itu, Kunyuk!” Kebo Ireng malah terkekeh.
“Kau terlalu banyak bacot, Kisanak,” cemooh Kebo Ireng seraya menjentik pecahan meja jati di
depannya.

Zing!

Mendadak melesat sesuatu dari tangan Kebo Ireng. Begitu cepatnya, sehingga laki-laki yang memegang samurai tak menduga sama sekali. Dan....

Jep!
“Wuaaa...!”

Lengkingan panjang terdengar dari mulut lelaki setengah baya malang itu. Tanpa pernah diduga, pecahan kayu itu ternyata langsung menembus perutnya. Dari sini bisa diukur, betapa dahsyatnya tenaga dalam Kebo Ireng.

“Satu... dua,” dengan santai Kebo Ireng meng-hitung. “Tiga...”

Bersamaan dengan berhentinya hitungan Kebo Ireng, tubuh lelaki itu ambruk, lalu menggelinding di atas anak tangga.

Brak!

Tubuh laki-laki itu baru berhenti bergulir, setelah menabrak dinding ruangan di bawah. Tak ada gerakan sedikit pun di tubuhnya. Tampak darah mengalir dari lukanya akibat terjangan pecahan kayu. Sementara, semua mata memandang ke arah sosok yang telah diam tak berkutik lagi. Sedangkan mata Kebo Ireng telah tertuju pada pemilik penginapan.

“Nah! Sekarang, kami bisa mendapat kamar, bukan?” kata Kebo Ireng pada pemilik penginapan.

Pemilik penginapan tak bisa menyahut. Tubuhnya masih mengejang kaku, setelah menyaksikan satu kejadian mengerikan. Bibirnya bergetar hebat, seakan hendak mengucapkan sesuatu yang tak bisa dikeluarkannya.

“Tidak perlu, Ki. Beri saja mereka kandang kambing!” tiba-tiba terdengar suara wanita yang berasal dari pintu masuk penginapan.

***


“Siapa yang berani bertingkah di hadapan Tiga Setan Selatan?!”

Kali ini Atma Sungsang yang membentak. Tubuhnya segera berbalik, menghadap pintu masuk. Kini terlihatlah seorang gadis berambut pendek berpakaian biru tua tengah berdiri santai tepat di mulut pintu. Dan gadis itu memang Ratna Kumala.

Sementara itu para penghuni kamar lain ber-munculan di dekat pintu masing-masing setelah mendengar jeritan tadi. Di antaranya, malah sudah menyiapkan senjata di tangan. Mereka adalah beberapa tokoh persilatan yang selalu siaga terhadap kekacauan. Namun belum ada satu pun yang hendak turun tangan.

“Ooo, Tiga Setan Kurapan?” ejek Ratna Kumala acuh tak acuh.

“Perempuan keparat! Rupanya dia minta di-cincang, Kang,” dengus Jarjaran amat geram.

Meski mata ketiga lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Tiga Setan Selatan itu menghujam lurus-lurus ke arahnya, namun Ratna Kumala tetap bersikap santai. Malah dengan tenang kakinya melangkah ke dalam ruangan sambil menoleh ke sana kemari, melihat-lihat keadaan penginapan. Seakan-akan tak dipedulikannya Tiga Setan Selatan yang begitu muak melihat tingkahnya.

“Hm.... Para tamu terhormat. Para saudagar dan para pendekar. Penginapan ini rupanya telah dimasuki tiga ekor kecoa mabok. Tapi, percayalah padaku. Mereka tak akan senang ditonton seperti itu,” celoteh Ratna Kumala.

Kebo Ireng berusaha menahan diri agar tak kalap menerima ejekan habis-habisan dari Ratna Kumala. Namun beda dengan Atma Sungsang. Seluruh wajah lelaki itu langsung matang. Rahangnya bergemelutuk, memperlihatkan tarikan otot kegeraman. Dari hidung-nya yang pesek terdengar dengusan napas sebagaimana banteng murka. Maka tanpa meminta pertimbangan Kebo Ireng lagi, Atma Sungsang menerjang Ratna Kumala dengan parang besar di tangan disertai makian yang menggelegar ke seluruh ruangan.

Kemarahannya yang memuncak membuat Atma Sungsang ingin secepatnya menghabisi gadis itu, maka senjatanya langsung diarahkan ke kepala wanita yang membuat ubun-ubunnya hendak meledak ini.

Wet
“Heit!”

Ratna Kumala bertindak cepat dalam menghadapi sabetan parang yang bergerak dahsyat. Tubuhnya langsung bersalto ke belakang. Namun, serangan Atma Sungsang memang tak tanggung-tanggung. Sebelum kaki gadis itu mendarat mantap di tanah, parangnya sudah diayunkan kembali dalam kecepatan luar biasa.

“Heaaa!”
Wet! Wet!

Mau tak mau, Ratna bersalto ke belakang kembali. Bahkan sampai tubuhnya hampir mencapai pintu keluar, Atma Sungsang tetap memburu bagai kerasukan. Pada saat bersamaan, mendadak seseorang masuk ke rumah penginapan ini. Begitu asyiknya dia memperhatikan sesuatu di tangannya, sampai-sampai tak menyadari kalau tubuh Ratna Kumala berputar deras ke arahnya. Dan....

Buk!
“Adaow!”

Orang itu berteriak nyaring, begitu kaki Ratna Kumala mendepaknya tanpa sengaja. Orang yang ternyata pemuda berpakaian hijau itu tak lain Andika alias Pendekar Slebor. Kini pendekar ini telah kehilangan seluruh ingatannya akibat gangguan pada otak besarnya, ketika mengalami cidera di dasar Danau Panca Warna.

Andika langsung tersuruk mendapat hantaman keras tadi. Kain bercorak catur yang menjadi pusat perhatiannya tadi terlempar dari tangannya. Dan memang, kain itu sampai saat ini masih menjadi bahan pemikirannya.

“Sialan! Tengik sekali kau, Ratna!” maki pemuda itu pada Ratna Kumala yang sudah berdiri di sisinya.

Andika segera bangkit dengan wajah bersungut-sungut.

“Kenapa kau bercanda keterlaluan dengan lelaki bengkak itu, sih?”

Mendengar kicauan jengkel Andika, Ratna Kumala jadi tertawa geli. Matanya melirik Atma Sungsang yang lantas mendelik mendengar ucapan Andika.

“Tadi kau meninggalkanku begitu saja. Setelah kutemui, malah menabrakku tanpa permisi!” rutuk Andika.

“Hey, Pemuda Dungu!” hardik Atma Sungsang

0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.