Kaskus

Story

uclnAvatar border
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR
PENDEKAR SLEBOR


Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta



Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.

Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).

Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.

Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan

Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.

Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..

Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.

Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..

And Here We Go.....

I N D E K S


Spoiler for Indeks 1:



TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya


GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
anasabilaAvatar border
regmekujoAvatar border
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
uclnAvatar border
TS
ucln
#120
Part 2

Sampai suatu saat, Buntar melakukan terkaman bernafsu ke arah Pendekar Slebor. Maka, mata jeli Andika dapat melihat kalau saat itu adalah kesempatan baik untuk melakukan totokan. Selincah macan kumbang, tubuhnya cepat melenting ke depan dengan arah yang berlawanan dengan gerak Buntar. Sehingga, tubuh masing-masing seperti dua batang tombak yang dilempar dari arah berbeda. Andika meluncur di atas, sedang Buntar meluncur di bawah.

“Hup!”

Tiba-tiba Pendekar Slebor berputaran di tanah berdebu, bagai sebuah bola bergulir. Sebelum guliran tubuhnya terhenti, sepasang kakinya menghentak ke tanah. Bersama kepulan debu yang menyebar di udara, Pendekar Slebor kembali melenting ringan dengan satu gerakan menawan, sehingga membuat semua mata yang menyaksikan menjadi terbengong-bengong kagum. Tubuhnya lantas berputaran di udara bagaikan seutas cemeti yang dilempar, lalu meluruk membawa satu serangan menakjubkan.

“Hup!”

Tanpa memberi kesempatan pada laki-laki gila itu untuk berbalik, Andika telah tiba tepat dibelakangnya. Lalu dengan kecepatan sukar diikuti mata awam, tangannya mengirim satu totokan ke bagian bawah tengkuk Buntar.

Tuk!
Bruk!

Tanpa dapat melontarkan suara sedikit pun, Buntar menggeloso di jalanan pasar. Seluruh kerangka tubuhnya seakan dilolosi tanpa sisa. Dan ketika tubuhnya menghantam tanah, terciptalah kepulan debu tebal yang merambah di sekitarnya.

“Fhuih....”

Andika membuang napas lega. Rasanya dia seperti baru saja melepas beban amat berat yang menggelayuti pundaknya. Bertempur dengan orang tak berdosa seperti Buntar, baginya lebih berat ketimbang harus bertempur melawan tokoh sesat golongan atas. Bukan karena tingkat kepandaian atau kebuasan yang telah diperlihatkan Buntar. Melainkan, karena beban batin yang amat berat jika menurunkan tangan kejam pada orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.

Somad dan Rimang lantas bertepuk tangan menyaksikan keberhasilan Andika melumpuhkan Buntar. Wajah mereka langsung cerah ceria, tak beda wajah kuli pelabuhan yang baru mendapat upah. Bibir mereka bahkan sampai bergerak maju mundur saking senangnya.

“Hebat, Den!” seru Rimang.

Andika yang merasa mendapat sanjungan lugu, jadi tersenyum-senyum dalam hati.

“Yah, sudahlah.... Kisanak berdua lebih baik membawa teman Kisanak pulang,” ujar Andika seraya menggandeng bahu kedua lelaki itu.

Rimang dan Somad mengangguk-angguk berbarengan. Setelah mengucapkan terima kasih berkali-kali sambil menawarkan Andika singgah ke rumah mereka, Somad dan Rimang akhirnya membawa Buntar pulang.

***


Desa Ambangan terletak tak jauh dari Bandar Sunda Kelapa, salah satu bandar yang cukup ramai di Pulau Jawa Dwipa. Banyak pedagang dari Malaka yang singgah ke sana untuk melanjutkan pelayaran ke Maluku. Ada pula para saudagar dari Tiongkok, Arab, Gujarat, Persi, dan saudagar dari negeri lain.

Sehari setelah kejadian di pasar Desa Ambangan, Andika semula berniat mengunjungi beberapa negeri di kawasan nusantara dengan menumpang kapal dagang para saudagar. Namun sejak berurusan dengan lelaki gila kemarin, niatnya akhirnya diurungkan. Meski demikian, Andika tetap menyinggahi Bandar Sunda Kelapa. Sekadar untuk melihat-lihat keadaan.

Saat ini kapal dagang dari Maluku merapat di dermaga. Para kuli kapal tampak sibuk menurunkan rempah-rempahan dari lambung kapal. Semangat kerja mereka menciptakan keriuhan yang sampai di telinga Andika. Padahal, dia berdiri dalam jarak yang cukup jauh.

Sementara di tepi dermaga, seorang syahbandar sedang berbincang dengan Saudagar Ternate pemilik kapal. Dari cara berbicara, tampaknya mereka sedang membahas sesuatu yang penting, berkaitan dengan denyut perdagangan di bandar ini.

Ketika pandangan Andika beredar ke arah lain, matanya melihat lelaki berperawakan kekar dan berpakaian pendekar turun dari geladak kapal. Pakaiannya memperlihatkan ciri khas kstaria Tiongkok. Bajunya yang memanjang ke lutut, memiliki belahan pada sisi-sisinya. Kalau bajunya berwarna merah darah, maka celananya yang memanjang berwarna hitam hingga tertutup lilitan tali sepatunya. Di tepi lengan bajunya, terdapat rajutan dari benang ber-sepuh emas. Ini menandakan kalau lelaki itu bukan rakyat jelata. Malah bisa jadi seorang terhormat di negerinya.Sebagaimana orang Tiongkok, kulitnya begitu kuning. Apalagi ketika wajahnya disengat sinar mentari. Matanya yang segaris terlihat makin menyipit kala mentari di ubun-ubun Bandar Sunda Kelapa mengusik dengan sengatannya yang terik.

Kaki orang Tiongkok itu menuruni jembatan menuju tepi dermaga dengan langkah mantap. Dengan mantap pula kakinya melangkah menjauhi dermaga ke arah Andika berdiri. Ketika makin dekat ke arah Pendekar Slebor, bisa ditangkap ketampanan wajah lelaki Tiongkok itu. Dengan ikatan rambut di atas kepala, dia terlihat lebih muda dari pada usianya yang berkisar antara tiga puluh, hingga tiga puluh lima tahun.

Sekitar tiga puluh tombak dari tempat Andika, dua lelaki lain datang menyambutnya. Kalau melihat ciri-cirinya, mereka adalah Rudapaksi dan Rudapaksa, dua pendekar muda yang terlihat di sebuah kedai di pasar Desa Ambangan.

“Selamat datang di Sunda Kelapa, Saudagar Chin Liong!” sambung Rudapaksa, lelaki yang tertua.

Sikapnya penuh keramahan serta kehangatan. Sambil tetap tersenyum, tangan kanannya diulurkan. Berbeda dengan sikap Rudapaksa, lelaki Tiongkok bernama Chin Liong tak memperlihatkan kehangatan. Dia memang menjabat uluran tangan Rudapaksa. Namun, wajahnya sedikit pun tak menampakkan seulas senyum.

“Ah, ya. Ini adik seperguruanku. Namanya, Rudapaksi,” lanjut Rudapaksa, tak mau memper-besar hal sepele dari sikap Chin Liong.

Rudapaksi ikut menjulurkan tangan kanan. Lalu disambut Chin Liong dengan wajah tetap dingin.

“Kenapa saudara Chin Liong begitu terlambat dari rencana semula?” tanya Rudapaksa selanjutnya.

“Mmm, aku terpaksa melalui jalur Maluku, karena musuh kerajaan kami tentu sudah mempersiapkan penyerangan di sekitar Selat Malaka yang biasa kami lalui... jadi meski agak jauh, aku harus menempuh Laut Tiongkok Selatan,” tutur Chin Liong dengan bahasa Melayu terpatah-patah.

“Musuh kerajaan?” tanya Rudapaksi agak heran.
“Apa mereka menginginkan benda itu juga?”

Sesaat Chin Liong menatap Rudapaksi lekat-lekat.

“Ya. Mereka bahkan bersedia memenggal kepala rakyat tak berdosa, untuk mendapatkan benda ini.”

Rudapaksa dan Rudapaksi menautkan alis berbareng. Rupanya, mereka mendapat tugas yang tidakmain-main dari guru mereka!

***


Sementara itu, ada hal-hal yang mengundang teka-teki di daerah Pesisir Utara Pulau Jawa Dwipa ini, bagi Andika. Pertama kali menjejakkan kaki, Pendekar Slebor sudah dihadang pada kejadian aneh. Tentang orang yang tiba-tiba menjadi hilang ingatan, lalu memiliki kekuatan raksasa dan bertingkah buas. Sehari berikutnya, Andika dibuat penasaran oleh pertemuan tiga lelaki di Bandar Sunda Kelapa yang hati-hati memperbincangkan tentang sesuatu. Bahkan tampaknya akan mengakibatkan pertumpahan darah!

“Aku harus menyelidiki semua itu agar semuanya menjadi jelas,” bisik Andika perlahan.

Untuk itu Pendekar Slebor harus pergi ke Danau Panca Warna, sebagaimana disebutkan kawan Buntar.

Matahari mulai tersuruk di barat cakrawala. Andika pun mengayunkan kakinya, meninggalkan Bandar Sunda Kelapa yang tetap berdenyut dengan kesibukannya, kembali ke Desa Ambangan.

***


Di Desa Ambangan, Andika langsung menanyakan letak Danau Panca Warna pada seorang penduduk yang kebetulan berpapasan dengannya di jalan. Setelah mengetahui letak danau itu, Andika melanjutkan langkahnya. Namun baru saja kakinya terayun dua tindak, pemuda desa yang ditanyainya tadi menahannya.

“Tunggu, Kang!” panggil pemuda itu. Andika menoleh.
“Ada apa, Kisanak?” tanya Pendekar Slebor seraya berbalik, dengan penasaran.

“Sebaiknya Kakang jangan ke tempat itu,” lanjut pemuda tadi. Wajahnya tampak bersungguh- sungguh, saat mengucapkan kalimat terakhir.

“Kenapa, Kisanak?” tanya Andika lagi. Wajahnya makin dipulas warna penasaran.

“Apa kau tidak tahu danau itu kini sudah dihuni mambang jahat?” pemuda itu malah balik bertanya.

Mendengar penjelasan pemuda itu, Andika jadi melepas tawa ringan. Memang, masyarakat Jawa Dwipa seringkali menghubung-hubungkan satu kejadian dengan hal-hal berbau takhayul. Bisa jadi, mungkin karena pengaruh kepercayaan nenek moyang.

“Mambang jahatnya pakai brewok, ya,” seloroh Andika tanpa maksud mengejek.

Maksudnya, Andika sekadar berkelakar. Tapi kepercayaan seseorang, rupanya terlalu peka untuk dijadikan sedikit gurauan. Buktinya, pemuda itu langsung memperlihatkan wajah tak senang pada Pendekar Slebor. Andika akhirnya hanya bisa mengangkat bahu tinggi-tinggi.

“Kenapa Kisanak bisa berkata seperti itu?”

“Sampai hari ini, sudah lima orang penggali pasir yang tiba-tiba gila setelah menyelam ke dasar danau...,” jelas pemuda itu.

“Lima orang?” penggal Andika tanpa sadar. Tentu saja Pendekar Slebor menjadi terkejut, sebab yang diketahui hanya Buntar.

“Ya! Kemarin sore empat penggali pasir menjadi hilang ingatan secara bersamaan. Mereka mengocehkan sesuatu yang mereka lihat di dasar danau. Entah, benda apa. Apa kau belum mendengar berita itu?” tanya pemuda itu.

Kata-kata yang terlontar dari mulutnya terdengar tertahan-tahan. Ada kesan ketakutan dalam dirinya. Andika hanya menggeleng sebagai jawabannya. Sementara itu, tangannya mengusap-usap dagu perlahan. Tampaknya, berita yang keluar dari mulut Buntar sinting tak bisa dianggap main-main lagi!

“Jadi, sebaiknya urungkan saja niatmu untuk pergi ke Danau Panca Warna. Para penggali pasir saja tak sudi lagi menjadikan tempat itu sebagai mata pen-caharian sejak hari ini,” lanjut pemuda itu, memperingati.

Andika mengangguk-angguk. Bisa dimaklumi perhatian penduduk desa seperti pemuda di hadapannya. Sifat tolong menolong penduduk desa memang masih berakar kuat.

“Terima kasih atas nasihatnya, Kisanak,” ucap Andika tulus.

Pemuda itu hanya membalas ucapan terima kasih Andika dengan senyum ramah dan tulus pula.

“Kalau begitu, aku mohon pamit,” tutur pemuda itu sopan seraya mengangkat tangan tinggi-tinggi.

“Silakan,” sahut Andika, juga mengangkat tangan.

Pemuda desa itu melangkah, meninggalkan Andika yang masih terpaku di tengah jalan setapak. Ketika dia sudah berjalan sepuluh tombak, Andika segera menggenjot ilmu meringankan tubuhnya untuk segera tiba di Danau Panca Warna. Itu sebabnya, ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan sampai pada tingkat yang paling tinggi.

Dalam sekerdipan mata, tubuh Andika sudah lenyap dari tempat berdiri semula. Bumi seakan menelannya begitu saja. Sementara pada saat yang bersamaan, pemuda desa tadi menoleh ke arah tempat Andika berdiri. Dia ingin memastikan apakah Andika melangkah menuju Danau Panca Warna.

Melihat tubuh Andika tiba-tiba hilang tanpa bekas di depannya, biji mata pemuda desa itu langsung terbelalak tak tanggung-tanggung. Sepasang bola matanya seakan hendak melompat keluar. Beberapa saat dia tampak tergagap-gagap. Seluruh wajahnya saat itu pula seperti kehilangan darah. Tak lama kemudian, dia lari tunggang langgang dengan wajah seputih mayat.

“Tolooong! Ada mambang danau!” jerit pemuda itu terseok-seok.

***


Cakrawala telah diselimuti lembayung, ketika Andika tiba di Danau Panca Warna. Hari menjelang senja. Matahari tampak memudar berwarna jingga di atas permukaan danau. Kemilau bayangannya tampak menari-nari bersama riak halus air danau. Jika diperhatikan sepintas, danau itu berkesan damai. Panorama sore yang melingkupinya, mampu menyejukkan hati setiap insan yang menikmatinya.

Tidak hanya itu. Kulit pun seperti dimanja dengan hembusan angin sepoi-sepoi basah yang sesekali berlari di permukaan danau. Namun di balik kedamaian itu, sebenarnya tersembunyi sebuah kekuatan dari luar bumi pembawa bencana pertumpahan darah. Dan Andika bisa merasakannya, meski belum bisa menduga lebih jauh akan akibat yang bakal menimpa dunia persilatan oleh kehadiran benda asing di dasar danau ini

Pada dasarnya, Pendekar Slebor sudah cukup yakin oleh berita yang disampaikan Buntar melalui setiap ocehannya. Tak mungkin orang awam seperti Buntar mendadak memiliki kekuatan raksasa kalau tak ada sesuatu yang mempengaruhinya. Namun begitu, Andika tetap merasa penasaran untuk melihat sendiri benda yang dimaksud Buntar dengan mata kepala sendiri.

Maka tanpa berpikir untuk kedua kali, pendekar muda itu langsung melempar diri ke dalam danau. Rasa penasarannya yang makin membludak, membuatnya tak sempat berpikir untuk membuka pakaian.

Byur!

Air dingin Danau Panca Warna menusuk seluruh permukaan kulit Andika. Sesaat bisa dinikmati kesegaran alami, mengenyahkan kepenatan yang sejak siang tadi menggelayuti tubuhnya. Setelah mengisi penuh paru-parunya dengan udara di permukaan danau, Andika langsung menyelam.

Cahaya senja ternyata masih cukup mampu menembus ke dalam danau. Bahkan masih bisa menerangi dasarnya, biarpun kilaunya sudah redup. Perlahan-lahan Pendekar Slebor menyelam menuju dasar danau sedalam sekitar sepuluh tombak. Makin menembus ke dalam, air makin terasa dingin menggigit. Dan tekanan pun makin memberat di sekitar dadanya.

Saat matanya sudah dapat menangkap permukaan dasar danau, Pendekar Slebor mulai menelusuri dari satu bagian ke bagian lainnya. Indra penglihatannya saat ini benar-benar dipertajam, agar mampu menangkap keganjilan keganjilan yang ada.

Namun sampai sejauh itu tak juga ditemukan benda yang dimaksud. Yang terlihat hanya hamparan pasir danau, batu-batu alam, tumbuhan danau, dan ikan-ikan yang riang bebas di dalamnya. Sementara itu, dada Pendekar Slebor mulai terasa sesak. Sudah beberapa kali napasnya dihembuskan sedikit demi sedikit. Kini, persediaan udara dalam paru-paru benar-benar telah menipis. Andika harus kembali ke permukaan dulu untuk mengambil napas kembali, lalu menyelam lagi.

Dan baru saja Andika hendak membuang sisa udara pernapasannya, tiba-tiba saja matanya menangkap sesuatu yang amat menarik. Suatu kilauan cahaya merah bara! Andika Cumiik girang dalam hati. Pasti, benda ini yang dimaksud Buntar tempo hari! Maka tanpa mempedulikan sesak di dadanya, mulai didekatinya benda bercahaya yang berjarak sekitar tujuh tombak dari tempatnya.

Andika makin dekat. Dan matanya pun terus menyipit, karena terpaan cahaya menyilaukan dari benda asing itu. Anehnya cahaya merah bara menyilaukan itu terasa seperti mengirimkan getaran ke dalam diri Andika. Suatu getaran yang makin menarik dirinya, untuk terus mendekati.

Menyadari hal itu, dada Andika mulai berdegup-degup kencang. Dan ini tentu saja menyebabkan persediaan udara dalam paru-parunya menjadi cepat terkuras. Apalagi, dia hanya mengandalkan sisa udara saja. Semua itu benar-benar di luar per-hitungan. Biarpun telah memiliki pengalaman matang dalam dunia persilatan, namun dalam menghadapi keganjilan benda itu Andika tak mau ambil resiko.

Segera Andika memutuskan kembali ke permukaan, untuk menghirup udara segar. Setelah itu, dia akan kembali lagi. Tapi, maksud itu hanya sempat terpercik di benaknya. Sebab satu tarikan tiba-tiba saja membetot tubuhnya! Kekuatannya lebih kuat daripada cengkeraman tangan tangan sepuluh gurita raksasa!

Andika tergagap. Dalam keterkejutannya, air danau jadi tertelan. Tentu saja hal itu membuatnya makin blingsatan. Andika sedikit menenangkan hatinya, tapi itu pun tak menolong. Bahkan ketika dicoba untuk mengerahkan kekuatan sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan, hasilnya tetap nihil.

“Gila!” maki pemuda itu dalam hati.

Bagaimana dia tidak memaki, kalau kekuatan tarikan tadi seperti menelan kekuatan sakti miliknya? Sebagai pendekar keras kepala, Andika tidak mau menyerah begitu saja. Sekali lagi, tenaga sakti miliknya dikerahkan. Bahkan sampai sehabis-habisnya.

Glrrrblb... blp!

Sekejap, tercipta suatu pusaran besar yang diramaikan oleh beribu-ribu gelembung udara. Itu pun masih ditingkahi kerjapan sinar menyilaukan akibat benturan tenaga sakti Andika dengan tenaga tarikan benda aneh itu.

Setelah itu, semuanya bagai tersapu begitu saja. Sinar menyilaukan yang tadi tercipta, pusaran air, dan ribuan gelembung, lenyap tanpa bekas. Hanya sisa-sisa pasir yang bertebaran tak beraturan di sekitar tempat itu. Sementara Andika kembali dikekang tenaga tarikan yang tak bisa dipahaminya.

Andika kian gelagapan. Dan ini amat membahayakan bagi dirinya. Maka tanpa dapat ditahan lagi, pernapasannya menarik air danau dalam satu sedotan tak disengaja. Air pun merambah ke saluran pernapasan pendekar muda ini, sehingga membuat dadanya bagai dicabik-cabik sekawanan serigala.

Sesaat kemudian kepalanya berdenyut amat keras, menyusul rasa sakit seakan dihimpit dua gunung raksasa. Tubuh Andika kejang. Kesadarannya perlahan mengabur. Begitu pula pandangannya. Sampai akhirnya, dia tak ingat apa-apa lagi. Pingsan!

***


Seseorang tampak berdiri mematung dalam kegelapan malam di tepian Danau Panca Warna. Cara berdirinya seperti menantang rembulan yang bagai mengambang sepenggalan di atas permukaan air Danau Panca Warna. Pakaiannya berwarna biru tua ketat. Rambutnya pendek dengan ikat kepala yang sewarna pakaiannya. Di pinggangnya terselip dua toya pendek sepanjang lengan.

Entah, apa yang sedang diperbuat orang itu di tepi danau yang kini dijauhi penduduk. Yang pasti, matanya jatuh lurus pada bayangan lembut rembulan di permukaan air. Sesaat kemudian terdengar keluhan dari mulutnya. Setelah itu, ditariknya napas dalam-dalam, dan dihempaskannya keras. Seakan, dirinya sedang dirasuki kejengkelan.

Rupanya orang itu telah puas memandang permukaan danau. Setelah sekian lama hanya berdiam tanpa bergerak, kini tubuhnya dipalingkan untuk segera berlalu dari tempat sunyi ini. Tapi niat untuk pergi mendadak diurungkan, manakala matanya menangkap sesuatu terapung lamban di tengah danau. Orang itu menyipitkan matanya, berusaha memperjelas pandangan.

Bisa jadi, dia telah salah lihat. Namun semakin ditatapnya lebih jelas, malah hatinya semakin yakin kalau pandangannya tidak keliru. Yang dilihatnya adalah tubuh seseorang berbaju hijau muda.

“Ya, Tuhan...,” desis orang itu meninggi, disergap keterkejutan.
“Aku harus segera menolongnya. Mudah-mudahan masih bernapas!”

Orang itu lantas berlari menuju sebuah sampan kecil yang tertambat tak jauh dari tempatnya. Dengan sigap, dia melompat ke lambung sampan. Gerakannya terlihat amat ringan. Sehingga sampan itu tidak terbalik meski kakinya menjejak di sisinya. Diambilnya pengayuh yang tergeletak di lambung sampan. Lalu dikayuhnya sampan itu penuh ketergesa-gesaan.

Tanpa banyak memakan waktu, orang itu telah sampai di dekat tubuh yang terapung tadi. Segera diangkatnya tubuh itu ke atas sampan. Setelah berada di pangkuan, diperiksanya denyut nadi lelaki malang yang ternyata Andika.

“Ahhh,” desah orang itu lega.

“Untunglah masih bernyawa. Rupanya, kau memiliki nasib cukup baik, Kisanak. Kalau saja terapung dalam keadaan tertelungkup, tentu nyawamu sudah ditunggu para penghuni kubur.”

0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.