Kaskus

Story

uclnAvatar border
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR
PENDEKAR SLEBOR


Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta



Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.

Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).

Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.

Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan

Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.

Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..

Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.

Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..

And Here We Go.....

I N D E K S


Spoiler for Indeks 1:



TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya


GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
anasabilaAvatar border
regmekujoAvatar border
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
uclnAvatar border
TS
ucln
#119
Episode 7: Pusaka Langit


Part 1

Gerimis masih terus turun. Tak ada tanda-tanda kalau limpahan air dari langit itu akan segera reda. Padahal telah hampir setengah harian hamparan tanah di-basahinya. Salakan guntur dan kerjapan kilat mem-bungkam seluruh senandung satwa malam. Yang kini terdengar rinai rintik air yang menimpa daun pepohonan, atau meninju atap-atap rumbia rumah penduduk. Sesekali desah angin dingin ikut memeriahkan tarian titik-titik air yang bagai jarum-jarum halus diangkasa.

Saat itulah, langit yang gelap pekat karena malam, bagai hendak dibelah selarik cahaya merah bara. Selubung udara ditembusnya dalam kecepatan yang amat dahsyat. Cahayanya yang terang berbentuk memanjang, seperti kelebatan seekor naga api. Sementara, bulatan di ujung depan memperlihatkan cahaya merah yang lebih terang daripada bagian lain.

Tanpa terlihat oleh siapa pun, benda angkasa itu terus meluncur deras dalam suatu tukikan tajam. Dengan sinarnya yang kemerahan benda itu melintasi beberapa daerah membuat garis memanjang. Akhirnya dalam sekejap benda itu lenyap, tenggelam dalam sebuah danau besar, Danau Panca Warna! Benda apakah itu?

Mungkin tak ada seorang pun yang bisa mengungkapkannya, sehingga mengundang teka-teki.Kini benda angkasa itu tergolek di dasar Danau Panca Warna. Dingin air danau yang bisa membunuh seseorang di malam hari, ternyata tak mampu meredam cahayanya yang memerah bagai bara. Sebagian dasar danau malah menjadi terang benderang oleh warna merah kemilau. Benda angkasa itu pun tergolek dengan kebisuan-nya. Tidak seorang pun yang tahu, benda apa itu. Tapi bisa jadi benda itu bakal membuat kegemparan di dunia persilatan.

Hari bergulir dalam putaran waktu. Dua purnama telah berlalu, sejak jatuhnya benda angkasa ke dalam Danau Panca Warna. Seperti biasa penduduk di desa sekitar danau itu melakukan kegiatan sehari-hari. Belum ada pengaruh yang berarti bagi mereka. Apalagi mereka tidak pernah menyadari adanya sebuah kekuatan dahsyat yang tersimpan dalam benda angkasa itu.

Jantung Desa Ambangan tampak sibuk hari ini. Tidak mengherankan, pusat desa dijadikan pasar, tempat warga desa mengeruk nafkah atau membeli kebutuhan sehari-hari. Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini pasar di Desa Ambangan pun begitu ramai. Ada-ada saja suara ribut yang terdengar. Satu sama lain saling tindih, seperti sebuah paduan suara tak beraturan.

Matahari terus merambat hingga tepat di atas kepala. Kini semakin siang, suasana pasar semakin tidak nyaman. Kebisingan bukannya mereda, malah makin memuncak. Sengatan matahari pun makin ngotot menggigit ubun-ubun kepala. Tapi orang-orang di pasar tidak ambil peduli sama sekali. Mereka terus melakukan kegiatan masing-masing. Sampai akhirnya,

“Hiii... haaa...!”

Sebuah teriakan lantang membahana tiba-tiba menghentikan kesibukan mereka serempak. Dengan tatapan bingung, para pengunjung menoleh berbarengan ke asal teriakan. Kini semua orang melihat sosok lelaki hitam bertubuh kekar, tapi pendek. Dia mengenakan celana pendek dengan baju. Kulitnya yang hitam, terlihat berkilatan dijilati cahaya matahari. Begitu juga kulit wajahnya. Tak ada yang pantas dilihat dari lelaki berumur tua itu. Tubuhnya kumal dan rambutnya kotor bergulung.

“Siapa dia?” bisik seorang pedagang.
“Tidak tahu. Barangkali orang gila nyasar,” jawab orang yang ditanya.
“Tapi kalau diperhatikan, sepertinya aku pernah melihat wajahnya....”
“Iya! Aku juga begitu. Tapi siapa ya?”

Sementara, penghuni pasar mulai kasak-kusuk tak menentu membicarakan orang yang baru saja berteriak tadi, tapi ada juga yang kembali meneruskan pekerjaannya, karena menganggap lelaki itu hanya orang gila.

“Oooi! Apa kalian semua tidak tahu ada benda langit maha dahsyat jatuh ke desa kita?! Benda langit bercahaya, yang menyimpan kekuatan bintang! Kekuatan amat dahsyat! Hua ha ha...! Kalau aku yang memilikinya, tentu akan menjadi tokoh nomor satu dunia persilatan. Aku akan menjadi sakti mandraguna. Kalau aku sudah sakti, akan kukimpoii sembilan puluh Sembilan janda desa ini! Aminah, Tukiyem, Samijah, Jinten, Rokayah... ng, siapa lagi, ya! O, iya... Sulastri, Iyam, Diding..., eh! Si Diding kan bukan janda, dia kan duda? Masa’ aku mesti kimpoi sama lelaki buduk itu? Hi hi hi...! Tak usah, ya...,” oceh laki-laki berkulit hitam itu.

Di sebuah kedai, beberapa lelaki muda yang mendengar teriakan kacau orang itu menoleh ke arahnya. Ucapannya barusan sedikit memancing rasa ingin tahu mereka, selaku warga dunia persilatan.

“Apa aku tak salah dengar tadi?” tanya seorang lelaki berjubah biru tua.

Wajah orang itu tak sebagus pakaiannya. Malah boleh dikatakan pasaran. Rambutnya digelung dengan sisiran rapi. Sedang di punggungnya tampak sebatang toya pendek.

“Jangan ikut-ikutan gila, Paksi! Kenapa kau harus percaya pada omongan orang sinting itu?!” sergah lelaki yang duduk di depan lelaki bernama Paksi tadi.

Sama seperti Paksi, laki-laki itu pun mengenakan jubah biru tua. Wajahnya amat menawan. Kulitnya putih dan berkumis tipis. Rambutnya dibiarkan terurai lepas, tapi tetap tertata rapi. Dia sering dipanggil dengan nama Rudapaksa. Sebagai kakak seperguruan Paksi atau bernama lengkap Rudapaksi cukup wajar kalau berani menegurnya agak keras.

“Tapi mungkin saja dia memang pernah melihat benda keramat yang dimaksud, Kang,” bantah Paksi, takut-takut.

Rudapaksa kali ini tertawa ringan.

“Ya! Tapi, hanya dalam angan-angan. Sudahlah, Paksi. Habiskan saja makananmu itu. Tugas kita untuk menyampaikan amanat Guru mesti didahulu-kan.”

Rudapaksi menaikkan sudut bibirnya. Dia agak kesal juga pada sikap kakak seperguruannya. Tapi biar begitu, ucapan Rudapaksa tetap juga dituruti. Mereka mulai melanjutkan makan yang terpenggal beberapa saat tadi. Tapi baru saja mulai mengunyah beberapa kali, kembali keduanya terhenti oleh kericuhan yang terjadi di tengah pasar. Rupanya teriakan itu berasal dari orang gila tadi, yang kini kedua tangannya dipegangi dua orang kekar berkulit hitam juga.

“Lepaskan aku! Lepas! Kalau tidak, akan kukutuk kalian menjadi kodok bunting! Ah! Kodok bunting kurang bagus. Sebaiknya kalian kukutuk menjadi tikus bingung. Hua ha ha... tikus bingung... ngung... ngung!”

“Ayo, Buntar! Kau harus pulang. Jangan bikin keributan di pasar!” bujuk lelaki yang ada di kanan orang gila bernama Buntar itu. Nadanya seperti rayuan seorang ibu kepada anak bungsunya yang merajuk minta dibelikan mainan.

“Benar, Bun. Ibumu di rumah menunggu. Istri dan anakmu juga,” timpal lelaki yang ada di kiri Buntar.

“Huh! Aku tak peduli mereka. Aku hanya ingin memiliki benda sakti itu!” bentak Buntar. Matanyamendelik bagai hendak meloncat dari ceruknya

“Mana ada benda yang kau sebutkan itu! Kau hanya dicolek setan danau!” balas lelaki di kanan Buntar.

Buntar makin mendelik. Sepertinya, dia akan menelan bulat-bulat kepala lelaki di kanannya itu.

“Siapa yang bilang begitu?!” hardik Buntar keras. Sampai-sampai, air liur terciprat ke mana-mana.

“Sialan,” gerutu orang yang mendapat bagian cipratan air liur Buntar.

“Kau, sih! Jangan bilang begitu, Somad! Bilang saja benda itu ada di rumahnya. Pasti dia mau pulang tanpa dipaksa,” bisik lelaki yang ada di kiri Buntar hati-hati sekali.

“Kami sudah mendapatkan benda angkasa itu, Bun. Sekarang ada di meja makan rumahmu,” ucap lelaki yang dipanggil Somad tadi.

“Kok di meja makan, Mad. Memangnya kerupuk?!” sergah lelaki teman Somad dengan wajah bersungut-sungut.

“Biar saja, Rimang. Yang penting dia mau pulang! Kenapa kau jadi bodoh, sih?” hardik Somad.

“O. Iya, Bun. Kerupuk itu, eh! Benda angkasa itu sudah ada di meja makanmu. Wah! Bagus, lho! Kalah perkedel gosong!” kata lelaki yang dipanggil Rimang, kebodoh-bodohan.

“Kalian bohong! Kalian akan dustai aku! Tidak! Aku tidak mau pulang, sebelum mendapat benda sakti itu!” teriak Buntar kalap.

Laki-laki pendek itu melonjak-lonjak liar. Sekuat tenaga lelaki gila itu berontak dari cekalan Rimang dan Somad. Tingkahnya sudah seperti kuda liar yang sulit dikendalikan. Sehingga meski sudah sepenuh tenaga lengan laki-laki gila itu dipegangi, tetap saja mereka terhempas juga oleh tenaga amukannya.

Buk! Buk!

Tubuh Rimang dan Somad langsung menghantam tanah berbatu. Begitu bangkit, mereka meringis-ringis menahan sakit tak kepalang tanggung di bagian bokong. Sementara puluhan orang di pasar malah menertawakan mereka. Padahal, kedua lelaki itu bukan tontonan kuda lumping!

“Kalian tidak punya kerjaan, ya? Masa’ orang gila dilayani...,” celoteh seorang lelaki tua yang biasamenyabung ayam di pasar.

“Ah! Apa pedulimu, Ki!” sergah Somad sambil menepuk-nepuk bagian belakang tubuhnya, untukmengenyahkan debu. Kemudian kembali dicobanya menggiring pulang Buntar bersama Rimang.

Sebelum mereka sempat mencekal pergelangan tangan Buntar, tiba-tiba keganjilan terjadi. Buntar mendadak ambruk bergelinjang liar di atas tanah. Tubuhnya berguling-gulingan tak karuan. Sesekali tangannya mengejang keras, lalu mencakar-cakar permukaan jalan. Hal itu tentu saja membuat Rimang dan Somad terbengong, layaknya sapi ompong. Bibir mereka yang kebetulan sama-samar dower, terayun-ayun begitu saja. Sama sekali tidak disangka kalau Buntar akan menjadi liar seperti itu. Selama ini, mereka hanya tahu kalau lelaki itu lebih banyak berbicara simpang siur daripada mengamuk seperti ini.

“Nah, lo. Kenapa dia, Mat?” tanya Rimang.

Somad hanya bisa mengangkat bahu. Sementara, wajah hitamnya diliputi keheranan luar biasa. Belum lagi keheranan dua lelaki itu terjawab, Buntar bangkit tiba-tiba. Matanya jalang, mengawasi sekeliling pasar. Wajahnya yang semula lugu, kini berubah bengis. Otot-otot wajahnya menegang sedemikian rupa, dengan sepasang alis terpaut ketat.

Sesaat kemudian, mulut orang gila itu menggeram. Suara yang dihasilkan tenggorokannya terdengar bagai auman serigala. Bahkan tangan Buntar mengejang dengan jari-jari langsung membentuk cakar. Perlahan-lahan tubuhnya membungkuk, seakan siap menerkam.

“Aaargkh...!”

Berbareng satu erangan mengerikan, tubuh Buntar menerjang kedua kawannya penuh kebengisan.

“Wuaaa!”

Sambil menjerit sejadi-jadinya, Somad menubruk tubuh kawannya yang berdiri termangu-mangu disisinya. Ketakutan yang teramat sangat membuatnya mampu bergerak tanpa sadar. Dan hasilnya, mereka memang bisa lolos dari terkaman ganas Buntar, meski harus berguling-gulingan di tanah berdebu.

Sementara, Buntar sendiri langsung menabrak tiang kayu penyangga kedai yang berdiri tak jauh dari situ. Tiang kayu jati itu langsung dijadikan sasaran kebuasan Buntar. Tangannya mencabik-cabik kayu sebesar paha manusia, seperti mencabik- cabik batang pohon pisang.

Dua lelaki yang mencoba membawa Buntar jadi menelan ludah menyaksikan kejadian itu. Di samping ngeri saat membayangkan bila jadi sasaran amukan Buntar, mereka juga terperangah bingung. Selama ini, Buntar dikenal sebagai laki-laki yang tidak pernah memiliki ilmu olah kanuragan sedikit pun. Apalagi sampai mampu mengoyak-ngoyak kayu jati seperti itu. Tapi kini yang disaksikan ternyata bertolak belakang dari kenyataan yang diketahui selama ini.

Dari mana kekuatan Buntar ini? Mereka tak bisa menjawab pertanyaan yang menggayut di benak. Bagaimana mungkin kekuatan Buntar bisa bagai sepuluh ekor singa jantan, sementara tak pernah terlihat berguru pada guru mana pun?

Sesaat berikutnya, mata Buntar beralih kembali pada Rimang dan Somad. Bahkan kali ini berkilat-kilat lebih menggidikkan. Dua lelaki hitam itu tercekat. Jantung mereka seperti hendak pensiun saat itu juga.

***


Somad dan Rimang, menjerit bersahut-sahutan seperti dua orang yang menyaksikan setan di siang bolong, saat Buntar menerkam. Tentu saja mereka tak pernah berharap menjadi sasaran cabikan jari- jari laki-laki gila itu.

“Wuaaa! Kita akhirnya mondar juga. Mad!” teriak Rimang kalang kabut.

“Buntar! Ampun, Tar! Biar Rimang saja yang kau cakar-cakar!” jerit Somad, tak kalah bingung.

Buntar tak mempedulikan teriakan-teriakan mereka. Tubuhnya melaju deras, laksana kuda binal menuju Somad dan Rimang. Kali ini tampaknya calon korbannya tak berniat dibiarkan lolos begitu saja. Itu terlihat dari sinar merah matanya yang menancap, tepat pada kedua calon korbannya.

Sesaat lagi Somad dan Rimang menjadi korban terkaman Buntar, saat yang bersamaan meluruk serangkum angin pukulan jarak jauh. Angin itu terus mendesir cepat, ke arah lelaki gila yang sudah sebuas singa lapar. Dan.... Buk!

“Aaargkh!”

Berbareng satu erangan mendirikan bulu roma, tubuh Buntar terpental lima tombak ke samping. Diiringi bunyi keras berdebam, Buntar jatuh ke tanah. Tubuhnya berguling-gulingan beberapa saat, bergerak deras. Kemudian tubuhnya menghantam kaki meja dagangan seorang penjual batik.

Brak!

Para penghuni pasar yang menyaksikan seluruh kejadian langsung berteriak kalang kabut. Apalagi pedagang batik yang merasa dagangannya jadi kacau balau tak karuan. Demikian pula wanita-wanita yang kebetulan sedang berbelanja di pasar itu.

“Kalem..., kalem!” seru seorang pemuda tampan dari satu sudut pasar.
“Kalau kalian berteriak-teriak seperti itu, pasar ini akan mirip tempat penampungan orang-orang sinting.”

Pemuda tampan itu berpakaian hijau muda. Perawakannya tegap dan gagah. Rambutnya yang panjang sebatas bahu, tertata rapi. Sementara di bahu kekarnya tersampir sehelai kain bercorak papan catur.

Dengan langkah santai serta alis legam yang terungkit tinggi-tinggi, pemuda tampan itu mendekati Somad dan Rimang. Mereka masih berpelukan satu sama lain. Sementara, Rimang pucat pasi seperti mayat. Kakinya tertekuk lemas dan bergetar hebat. Sedang Somad malah lebih parah lagi. Celana kumalnya malah sudah dibanjiri cairan basah berbau pesing.

“Kenapa dia?” tanya pemuda yang baru datang itu.

“Tit..., tidak tahu. Sejak dia terakhir mengambil pasir di dasar Danau Panca Warna, tahu-tahu jadi begini,” jawab Somad tersendat, seraya memiringkan jari telunjuk di dahinya.

“Kalian pencari pasir di danau itu?” tanya pemuda itu lebih lanjut.

“Benar,” jawab Rimang ikut bicara.
“Kami mencari makan dari hasil menjual pasir. Tapi sejak Buntar seperti itu, keluarganya tidak ada yang kasih makan lagi. Kasihan, ya Den? Sekarang, kesintingannya makin gawat. Bagaimana, Den.... Apa bisa menolong kami?”

Pemuda berpakaian hijau muda termangu di tempat. Matanya memperhatikan Buntar yang masih bergelinjangan di tanah lekat-lekat. Sinar keprihatinan tampak di matanya melihat nasib lelaki gila itu. Sementara itu, Buntar mulai berusaha bangkit, walaupun terhuyung-huyung. Pukulan jarak jauh yang beberapa lama melumpuhkan kekuatannya, kini mulai dapat dikuasai. Matanya tetap berkilat jalang, siap menerkam orang yang telah menyerangnya.

“Tuh.... Tuh, Den! Si Buntar bangun lagi, tuh!” seru Rimang kelimpungan. Matanya yang sudah besar kian membesar seperti jengkol matang.

“Kalian lebih baik menyingkir dulu ke tepi jalan,” ucap si Pemuda tampan datar.
“Biar kucoba mengurus kawanmu....”

Tanpa menyahut lagi, Somad dan Rimang langsung lari tunggang langgang ke tepi jalan. Tentu saja, mereka tidak akan sudi isi perut mereka dikorek-korek jari Buntar. Diamati puluhan pasang mata. Pemuda yang ternyata Andika dan amat tersohor dengan julukan Pendekar Slebor, tegak mematung di jalanan pasar. Sebelas tombak di depannya, Buntar telah siap menerjang. Sasarannya kali ini adalah Andika. Untuk beberapa saat, keduanya hanya bertatapan. Mata merah Buntar menghujam tajam, ke manik-manik mata laki-laki berjuluk Pendekar Slebor yang membalasnya dengan tatapan iba.

“Aaargkh!”

Buntar kini melesat menerkam Pendekar Slebor. Kebuasan serangannya terlihat jelas pada jari-jemarinya yang meregang membentuk cakar.

Wusss!

Dengan tenaga meledak-ledak, cakaran Buntar mencoba merobek wajah Pendekar Slebor. Namun hanya sedikit Andika melengos ke samping, sambaran tangan itu pun luput begitu saja di sampingnya. Mendapati kegagalan pada serangan pertama, tentu saja Buntar jadi kalap. Dua tangannya segera bergerak sekaligus, untuk mencabik-cabik wajah Pendekar Slebor bagai gerakan seekor kera yang hendak menyambar buah.

Sekali lagi Andika dapat meredam serangan, dengan memiringkan sedikit kepalanya kebelakang. Sementara, tubuhnya tetap pada tempat semula. Sementara, orang-orang di pasar berseru kagum melihat gerakan Andika yang berkesan gesit dan berani. Namun, lain halnya Somad dan Rimang mereka malah seperti orang latah. Karena terlalu ngerinya melihat serangan buas Buntar, keduanya jadi mengikuti gerakan Pendekar Slebor tanpa sadar. Mereka ikut memiringkan kepala berbarengan, kemudian bergerak ke arah yang saling bertemu. Dan....

“Adow!” seru keduanya, seakan yang sedang diserang.

Berbarengan dengan itu, wajah mereka tampak meringis-ringis tak karuan. Ternyata kepala mereka saling berbenturan.

Di arena pertarungan, Buntar makin binal men-cecar Pendekar Slebor. Bukan hanya tangannya yang mencoba merencah tubuh Andika. Kini, kedua kakinya pun turut ambil bagian.

Deb! Deb!

Dua kali tendangan ganas yang terlihat liar, memapas ke arah dada Pendekar Slebor. Gerakannya seperti seseorang yang hendak melempar tubuh Andika dengan hentakan telapak kakinya.

Sampai saat ini, Pendekar Slebor sendiri hanya berkelit untuk menghadapi setiap serangan. Dia memang masih menimbang berkali-kali untuk melancarkan serangan balasan. Apalagi lawan yang dihadapinya kali ini bukan tokoh jahat yang haus darah. Melainkan, hanya seorang pencari pasir malang yang sedang dipengaruhi satu kekuatan ganjil. Meski sampai saat itu Andika belum tahu, kekuatan apa yang mempengaruhi, namun bisa diyakini kalau kekuatan itu memiliki daya cengkeram luar biasa pada diri seseorang. Bahkan mampu membuat orang yang dirasukinya menjadi sebuas singa lapar dan sekuat seekor gajah jantan! Jalan satu-satunya yang bisa dilakukan Pendekar Slebor menotok Buntar agar tenaganya lumpuh.

Untuk melumpuhkannya, Andika harus menotok jaring saraf di bagian punggung. Tapi sampai sejauh itu, memang belum ada kesempatan. Buntar selalu saja bisa menutup kesempatan gerak Andika dengan kibasan tangan yang liar. Itu sebabnya, Andika belum dapat menotoknya

0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.