- Beranda
- Stories from the Heart
PENDEKAR SLEBOR
...
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR

Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.
Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).
Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.
Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan
Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.
Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..
Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.
Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..
And Here We Go.....
I N D E K S
Spoiler for Indeks 1:
TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya
GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ucln
#117
Part 9
Ki Rawe Rontek tertawa serak. Mulutnya terbuka lebar-lebar, memperlihatkan barisan giginya yang lancip tak teratur. Si Penasihat Tua mengira, laki-laki itu senang mendengar sanjungan tadi.
"Bagaimana, Tuan?" tanya si Penasihat Tua.
"Bagaimana apa?"
"Biarkan aku hidup, dan aku akan menjadi pengikut setiamu”.
Ki Rawe Rontek menyeringai. Dan tiba-tiba....
Prok!
Mendadak saja sebelah tangan Ki Rawe Rontek terayun cepat ke kepala si Penasihat Tua. Maka dalam sekejap batok kepala lelaki penjilat itu tak berbentuk lagi, disertai muncratan darah segar. Dan tubuhnya langsung ambruk ke lantai.
"Setia katamu? Hah! Manusia busuk macam kau, hanya jadi sampah buatku. Dengan rajamu dulu saja kau tak setia. Apalagi nanti bila mengabdi padaku. Kau tentu akan berkhianat!" sumpah serapah Ki Rawe Rontek.
Ketiga patih yang sejak tadi memperhatikan peristiwa itu hanya sempat berdoa dalam hati. Mereka kasihan pada lelaki tua itu. Mati dalam keadaan terhina. Mudah-mudahan diampuni Tuhan.
"Kali ini giliran kalian!" sentak Ki Rawe Rontek. Lalu....
"Hiaaa!"
"Sepi ingpamrih, rame ing gawel" teriak ketiga patih serempak
Meski tak yakin akan bisa menyelamatkan diri dari serangan akibat pengaruh angin 'Pukulan Peremuk Dalam' yang bersarang, ketiga patih itu tetap meneguhkan hati untuk mengadakan perlawanan terhadap Ki Rawe Rontek.
Satu sapuan kaki Ki Rawe Rontek berhasil di-hindari. Untuk terjangan susulan berikutnya, mereka mati langkah. Sepasang tangan laki-laki menggiriskan ini berputar kencang, siap meremukkan batok kepala mereka dalam satu gebrakan. Tapi....
Prat!
Pada saat genting itu, mendadak terdengar suara tamparan sehelai kain pusaka. Seperti dorongan kekuatan tangan raksasa, benda gemulai itu menghadang putaran tangan Ki Rawe Rontek.
"Mereka bukan lawanmu, datuk terkutuk bau ketiak!" seru seorang pemuda di sisi Ki Rawe Rontek.
Mendengar caranya mengumpat, ketiga patih kerajaan langsung bisa menduga kalau itu adalah Andika.
Memang benar! Si Pendekar Slebor kini berdiri bertolak pinggang dua tombak di dekat Ki Rawe Rontek. Entah rejeki nomplok apa yang membuat dia bermurah hati sehingga tersenyum pada lawan.
"Kau rupanya, Anak Muda Keparat! Aku senang, karena tak perlu susah-susah mencarimu. Rupanya, kau datang sendiri untuk mengantar nyawa!" geram Ki Rawe Rontek.
Sambil mengebut-ngebutkan kain pusaka ke bagian leher, Andika menatap orang tua menggiriskan itu.
"Terus terang, aku sedang gerah setelah berlari cukup jauh. Dan mendengar omonganmu, aku jadi semakin gerah. Ngomong-ngomong, apa kau telah menelan api neraka, ya?" oceh Pendekar Slebor ngelantur tak karuan.
"Jangan banyak mulut!"
Andika cepat-cepat meraba mulutnya. Tingkahnya dibuat-buat, untuk memancing amukan lawan.
"Kalau tidak salah, dari dulu juga ibuku memberi mulut hanya satu...," kata Andika pura-pura linglung.
"Kheaaah!"
Ki Rawe Rontek tak punya cukup kesabaran lagi. Niatnya untuk menyerang ketiga patih dialihkan ke Pendekar Slebor. Dia geram, segeram- geramnya. Ingin rasanya mulut pemuda itu dihancurkan secepatnya.
Dua cakar Ki Rawe Rontek, seketika menerkam ganas ke wajah Pendekar Slebor. Pengerahan tenaga dalam ke otot tangan, membuat dadanya menggelembung besar di balik pakaian.
"Haiiih!"
Tapi, mana sudi Pendekar Slebor mengizinkan lawan merobek wajahnya yang sudah tampan? Didahului teriakan melengking, kepalanya ditarik ke arah samping. Dan sambil membuat kelitan, Pendekar Slebor mencoba menyodok ulu hati Ki Rawe Rontek yang lowong.
"Benjoi udelmu!"
Blep!
Memang, tusukan jari-jari kanan Pendekar Slebor berhasil mendaratkan serangan bertenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan tingkat ketujuh. Suatu tingkat kekuatan yang bisa membobol benteng beton setebal dua depa!
Tapi, siapa sangka kalau perut laki-laki yang menggiriskan itu ternyata begitu alot, kenyal bagai gulungan karet! Pendekar Slebor mendelik sekejap. Ilmu hitam macam apa lagi ini?
Pada saat yang sama, Artapati alias Ki Rawe Rontek menurunkan tangan dengan gesit ke tengkuk Pendekar Slebor. Rupanya, siku Ki Rawe Rontek akan meremukkan tulang leher Andika!
Merasa ada angin deras dari atas, secepat kilat Pendekar Slebor menjatuhkan diri ke bawah. Maka siku Artapati pun tak bisa menyusulnya. Namun, di bawah Pendekar Slebor sudah disambut jejakan kaki kanan tokoh yang sebenarnya sudah mati ini.
Masih dalam keadaan tengkurap dengan kedua tangan dan kaki sebagai penopang, Pendekar Slebor menggenjot tubuh ke kiri dan kanan.
Jleg! Jleg! Jleg!
Hasilnya, tiga jejakan kaki itu luput dan terbenam di samping tubuh jejakan sakti itu. Tanah yang menjadi sasaran menjadi berlubang, berbentuk telapak kaki.
Kalau terus bertarung seperti itu, Andika berpikir kelihatan seperti ulat nangka yang baru menelan sebatang lidi Dia memang tak ingin terlihat jelek sewaktu bertempur, Maka tubuhnya segera melejit keatas, lalu menjejakkan kaki di belakang Ki Rawe Rontek. Tapi Ki Rawe Rontek tak mau membiarkan Andika dengan mudah berdiri dibelakangnya. Dua sikunya cepat menyodok kuat ke belakang. Arahnya, tepat kedua sisi dada Pendekar Slebor.
Deb!
"Yeah!"
Untung dengan sigap Pendekar Slebor mengangsurkan sepasang telapak tangan.
Pak!
Maka benturan terjadi. Namun tenaga benturan itu dimanfaatkan Andika untuk melempar tubuh lebih jauh ke belakang. Beberapa putaran tubuhnya bersalto manis, sampai akhirnya berdiri mantap tujuh depa dari lawan.
"Kenapa kau mengambil jarak, Pemuda Keparat?! Apa sudah gentar dengan seranganku?!" ledek Ki Rawe Rontek dengan raut wajah amat meremehkan.
"Gentar? Maaf saja.... Tapi kalau geli dan gatal-gatal sewaktu di dekatmu, itu jelas! Karena itulah aku mengambil jarak!" balas Andika lebih hebat.
Sebentar kemudian, pendekar Tanah Jawa Dwipa itu mulai memantapkan kuda-kuda tarung. Seluruh tubuhnya bergerak tak beraturan. Tak jelas bagi Ki Rawe Rontek apakah lawan sedang memainkan satu jurus silat atau bukan. Namun dari tonjolan mengeras otot-ototnya, harus segera disadari kalau Pendekar Slebor sedang mempersiapkan suatu yang dahsyat. Terlebih lagi, manakala garis-garis cahaya putih keperakan mulai melingkupi tubuhnya.
Saat itu juga, Ki Rawe Rontek ingat pada benteng tenaga tangguh yang sanggup melindungi tubuh pemuda ini dari sapuan angin 'Pukulan Peremuk Dalam'nya sewaktu bertempur dengannya pertama kali itu.
Deb!
Wuk! Wuk!
Deb!
"Hosss...!"
Menilai lawan akan menggempurnya habis-habisan, Ki Rawe Rontek pun tidak mau tanggung-tanggung lagi. Segera disiapkannya tiga ilmu hitam sekaligus 'Rawe Rontek', 'Pukulan Peremuk Dalam', dan 'Halimunan'. Di antara ilmu-ilmu hitam miliknya itu, tiga ilmu itulah sebagai pamungkasnya. Akan dikeluarkannya ilmu-ilmu hitam itu secara bergantian.
Sementara, Pendekar Slebor makin cepat bergerak liar. Sehingga, beberapa bagian tubuhnya jadi tampak mengganda. Sedangkan kini Ki Rawe Rontek menyatukan telapak tangan di depan dada. Matanya terpejam rapat, sedangkan bibirnya berkomat-kamit membacakan mantera.
Pada saat yang sama, mendadak sentakan keduanya berteriak membahana. Gabungan suara mereka seperti hendak melantak langit, menggugurkan bumi!
"Khiaaa!"
"Haaah!"
Pendekar Slebor cepat merangsek ke depan. Langkah-langkahnya pendek, bagai meniti petak-petak lantai, namun amat cepat! Itulah langkah-
langkah 'Titian Batu Petir'. Suatu gerak kaki yang tercipta begitu saja, karena terbiasa meniti susunan batu di Lembah Kutukan dahulu.
Sementara itu rombongan prajurit pilihan di bawah pimpinan langsung Cokorde Ida Bagus Tanca datang menghambur. Teriakan perang seketika tercipta. Gagah dan lantang. Para prajurit pengawal istana yang nyaris putus asa, mendadak terbakar lagi semangatnya. Ketangguhan prajurit prajurit itu tidak diragukan lagibkemampuannya. Boleh dikata, pertarungan kali ini akan berimbang.
"Heaaa!"
Trang! Trang!
Des!
Bret!
Cep!
"Gempurrr! Jangan mundur oleh kebatilan!" teriak Patih I Wayan Rama memberi aba-aba di medan laga.
Dia berusaha memompa semangat sebagian prajurit yang nyaris padam. Cokorde Ida Bagus Tanca pun tak kalah lantang meneriakkan aba-aba perang. Keris di tangannya teracung tinggi-tinggi. Bersama dua patihnya yang ikut dalam rombongan, dia mengamuk sejadi-jadinya. Begitulah mestinya sosok seorang pemimpin. Langsung terjun dalam kancah berdarah. Tak hanya bisa berteriak lantang saja, sementara para bawahan harus menyabung nyawa demi pemerintahnya.
Trang! Trang!
Crep!
Pertarungan besar terus berlangsung, menggelora bagai api besar membakar.
Sementara itu, Pendekar Slebor dan Ki Rawe Rontek mulai memasuki tahap pertarungan menentukan. Mereka telah habis-habisan mengeluarkan kesaktian andalan masing-masing.
Pada satu kesempatan, Pendekar Slebor mendapat peluang bagus untuk meneroboskan satu tinju geledek berkekuatan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan tingkat terakhir. Tangannya menyodok hebat bahu kiri Ki Rawe Rontek dalam kecepatan dahsyat, hingga tak bisa lagi diikuti pandangan.
Wesss!
Begkh!
"Agh!"
Ki Rawe Rontek tertawa serak. Mulutnya terbuka lebar-lebar, memperlihatkan barisan giginya yang lancip tak teratur. Si Penasihat Tua mengira, laki-laki itu senang mendengar sanjungan tadi.
"Bagaimana, Tuan?" tanya si Penasihat Tua.
"Bagaimana apa?"
"Biarkan aku hidup, dan aku akan menjadi pengikut setiamu”.
Ki Rawe Rontek menyeringai. Dan tiba-tiba....
Prok!
Mendadak saja sebelah tangan Ki Rawe Rontek terayun cepat ke kepala si Penasihat Tua. Maka dalam sekejap batok kepala lelaki penjilat itu tak berbentuk lagi, disertai muncratan darah segar. Dan tubuhnya langsung ambruk ke lantai.
"Setia katamu? Hah! Manusia busuk macam kau, hanya jadi sampah buatku. Dengan rajamu dulu saja kau tak setia. Apalagi nanti bila mengabdi padaku. Kau tentu akan berkhianat!" sumpah serapah Ki Rawe Rontek.
Ketiga patih yang sejak tadi memperhatikan peristiwa itu hanya sempat berdoa dalam hati. Mereka kasihan pada lelaki tua itu. Mati dalam keadaan terhina. Mudah-mudahan diampuni Tuhan.
"Kali ini giliran kalian!" sentak Ki Rawe Rontek. Lalu....
"Hiaaa!"
"Sepi ingpamrih, rame ing gawel" teriak ketiga patih serempak
Meski tak yakin akan bisa menyelamatkan diri dari serangan akibat pengaruh angin 'Pukulan Peremuk Dalam' yang bersarang, ketiga patih itu tetap meneguhkan hati untuk mengadakan perlawanan terhadap Ki Rawe Rontek.
Satu sapuan kaki Ki Rawe Rontek berhasil di-hindari. Untuk terjangan susulan berikutnya, mereka mati langkah. Sepasang tangan laki-laki menggiriskan ini berputar kencang, siap meremukkan batok kepala mereka dalam satu gebrakan. Tapi....
Prat!
Pada saat genting itu, mendadak terdengar suara tamparan sehelai kain pusaka. Seperti dorongan kekuatan tangan raksasa, benda gemulai itu menghadang putaran tangan Ki Rawe Rontek.
"Mereka bukan lawanmu, datuk terkutuk bau ketiak!" seru seorang pemuda di sisi Ki Rawe Rontek.
Mendengar caranya mengumpat, ketiga patih kerajaan langsung bisa menduga kalau itu adalah Andika.
Memang benar! Si Pendekar Slebor kini berdiri bertolak pinggang dua tombak di dekat Ki Rawe Rontek. Entah rejeki nomplok apa yang membuat dia bermurah hati sehingga tersenyum pada lawan.
"Kau rupanya, Anak Muda Keparat! Aku senang, karena tak perlu susah-susah mencarimu. Rupanya, kau datang sendiri untuk mengantar nyawa!" geram Ki Rawe Rontek.
Sambil mengebut-ngebutkan kain pusaka ke bagian leher, Andika menatap orang tua menggiriskan itu.
"Terus terang, aku sedang gerah setelah berlari cukup jauh. Dan mendengar omonganmu, aku jadi semakin gerah. Ngomong-ngomong, apa kau telah menelan api neraka, ya?" oceh Pendekar Slebor ngelantur tak karuan.
"Jangan banyak mulut!"
Andika cepat-cepat meraba mulutnya. Tingkahnya dibuat-buat, untuk memancing amukan lawan.
"Kalau tidak salah, dari dulu juga ibuku memberi mulut hanya satu...," kata Andika pura-pura linglung.
"Kheaaah!"
Ki Rawe Rontek tak punya cukup kesabaran lagi. Niatnya untuk menyerang ketiga patih dialihkan ke Pendekar Slebor. Dia geram, segeram- geramnya. Ingin rasanya mulut pemuda itu dihancurkan secepatnya.
Dua cakar Ki Rawe Rontek, seketika menerkam ganas ke wajah Pendekar Slebor. Pengerahan tenaga dalam ke otot tangan, membuat dadanya menggelembung besar di balik pakaian.
"Haiiih!"
Tapi, mana sudi Pendekar Slebor mengizinkan lawan merobek wajahnya yang sudah tampan? Didahului teriakan melengking, kepalanya ditarik ke arah samping. Dan sambil membuat kelitan, Pendekar Slebor mencoba menyodok ulu hati Ki Rawe Rontek yang lowong.
"Benjoi udelmu!"
Blep!
Memang, tusukan jari-jari kanan Pendekar Slebor berhasil mendaratkan serangan bertenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan tingkat ketujuh. Suatu tingkat kekuatan yang bisa membobol benteng beton setebal dua depa!
Tapi, siapa sangka kalau perut laki-laki yang menggiriskan itu ternyata begitu alot, kenyal bagai gulungan karet! Pendekar Slebor mendelik sekejap. Ilmu hitam macam apa lagi ini?
Pada saat yang sama, Artapati alias Ki Rawe Rontek menurunkan tangan dengan gesit ke tengkuk Pendekar Slebor. Rupanya, siku Ki Rawe Rontek akan meremukkan tulang leher Andika!
Merasa ada angin deras dari atas, secepat kilat Pendekar Slebor menjatuhkan diri ke bawah. Maka siku Artapati pun tak bisa menyusulnya. Namun, di bawah Pendekar Slebor sudah disambut jejakan kaki kanan tokoh yang sebenarnya sudah mati ini.
Masih dalam keadaan tengkurap dengan kedua tangan dan kaki sebagai penopang, Pendekar Slebor menggenjot tubuh ke kiri dan kanan.
Jleg! Jleg! Jleg!
Hasilnya, tiga jejakan kaki itu luput dan terbenam di samping tubuh jejakan sakti itu. Tanah yang menjadi sasaran menjadi berlubang, berbentuk telapak kaki.
Kalau terus bertarung seperti itu, Andika berpikir kelihatan seperti ulat nangka yang baru menelan sebatang lidi Dia memang tak ingin terlihat jelek sewaktu bertempur, Maka tubuhnya segera melejit keatas, lalu menjejakkan kaki di belakang Ki Rawe Rontek. Tapi Ki Rawe Rontek tak mau membiarkan Andika dengan mudah berdiri dibelakangnya. Dua sikunya cepat menyodok kuat ke belakang. Arahnya, tepat kedua sisi dada Pendekar Slebor.
Deb!
"Yeah!"
Untung dengan sigap Pendekar Slebor mengangsurkan sepasang telapak tangan.
Pak!
Maka benturan terjadi. Namun tenaga benturan itu dimanfaatkan Andika untuk melempar tubuh lebih jauh ke belakang. Beberapa putaran tubuhnya bersalto manis, sampai akhirnya berdiri mantap tujuh depa dari lawan.
"Kenapa kau mengambil jarak, Pemuda Keparat?! Apa sudah gentar dengan seranganku?!" ledek Ki Rawe Rontek dengan raut wajah amat meremehkan.
"Gentar? Maaf saja.... Tapi kalau geli dan gatal-gatal sewaktu di dekatmu, itu jelas! Karena itulah aku mengambil jarak!" balas Andika lebih hebat.
Sebentar kemudian, pendekar Tanah Jawa Dwipa itu mulai memantapkan kuda-kuda tarung. Seluruh tubuhnya bergerak tak beraturan. Tak jelas bagi Ki Rawe Rontek apakah lawan sedang memainkan satu jurus silat atau bukan. Namun dari tonjolan mengeras otot-ototnya, harus segera disadari kalau Pendekar Slebor sedang mempersiapkan suatu yang dahsyat. Terlebih lagi, manakala garis-garis cahaya putih keperakan mulai melingkupi tubuhnya.
Saat itu juga, Ki Rawe Rontek ingat pada benteng tenaga tangguh yang sanggup melindungi tubuh pemuda ini dari sapuan angin 'Pukulan Peremuk Dalam'nya sewaktu bertempur dengannya pertama kali itu.
Deb!
Wuk! Wuk!
Deb!
"Hosss...!"
Menilai lawan akan menggempurnya habis-habisan, Ki Rawe Rontek pun tidak mau tanggung-tanggung lagi. Segera disiapkannya tiga ilmu hitam sekaligus 'Rawe Rontek', 'Pukulan Peremuk Dalam', dan 'Halimunan'. Di antara ilmu-ilmu hitam miliknya itu, tiga ilmu itulah sebagai pamungkasnya. Akan dikeluarkannya ilmu-ilmu hitam itu secara bergantian.
Sementara, Pendekar Slebor makin cepat bergerak liar. Sehingga, beberapa bagian tubuhnya jadi tampak mengganda. Sedangkan kini Ki Rawe Rontek menyatukan telapak tangan di depan dada. Matanya terpejam rapat, sedangkan bibirnya berkomat-kamit membacakan mantera.
Pada saat yang sama, mendadak sentakan keduanya berteriak membahana. Gabungan suara mereka seperti hendak melantak langit, menggugurkan bumi!
"Khiaaa!"
"Haaah!"
Pendekar Slebor cepat merangsek ke depan. Langkah-langkahnya pendek, bagai meniti petak-petak lantai, namun amat cepat! Itulah langkah-
langkah 'Titian Batu Petir'. Suatu gerak kaki yang tercipta begitu saja, karena terbiasa meniti susunan batu di Lembah Kutukan dahulu.
***
Sementara itu rombongan prajurit pilihan di bawah pimpinan langsung Cokorde Ida Bagus Tanca datang menghambur. Teriakan perang seketika tercipta. Gagah dan lantang. Para prajurit pengawal istana yang nyaris putus asa, mendadak terbakar lagi semangatnya. Ketangguhan prajurit prajurit itu tidak diragukan lagibkemampuannya. Boleh dikata, pertarungan kali ini akan berimbang.
"Heaaa!"
Trang! Trang!
Des!
Bret!
Cep!
"Gempurrr! Jangan mundur oleh kebatilan!" teriak Patih I Wayan Rama memberi aba-aba di medan laga.
Dia berusaha memompa semangat sebagian prajurit yang nyaris padam. Cokorde Ida Bagus Tanca pun tak kalah lantang meneriakkan aba-aba perang. Keris di tangannya teracung tinggi-tinggi. Bersama dua patihnya yang ikut dalam rombongan, dia mengamuk sejadi-jadinya. Begitulah mestinya sosok seorang pemimpin. Langsung terjun dalam kancah berdarah. Tak hanya bisa berteriak lantang saja, sementara para bawahan harus menyabung nyawa demi pemerintahnya.
Trang! Trang!
Crep!
Pertarungan besar terus berlangsung, menggelora bagai api besar membakar.
Sementara itu, Pendekar Slebor dan Ki Rawe Rontek mulai memasuki tahap pertarungan menentukan. Mereka telah habis-habisan mengeluarkan kesaktian andalan masing-masing.
Pada satu kesempatan, Pendekar Slebor mendapat peluang bagus untuk meneroboskan satu tinju geledek berkekuatan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan tingkat terakhir. Tangannya menyodok hebat bahu kiri Ki Rawe Rontek dalam kecepatan dahsyat, hingga tak bisa lagi diikuti pandangan.
Wesss!
Begkh!
"Agh!"
0