- Beranda
- Stories from the Heart
PENDEKAR SLEBOR
...
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR

Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.
Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).
Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.
Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan
Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.
Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..
Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.
Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..
And Here We Go.....
I N D E K S
Spoiler for Indeks 1:
TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya
GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ucln
#115
Part 7
Keesokan harinya, setelah kesehatannya terasa telah pulih benar, Andika secepatnya minta izin Cokorde untuk berangkat ke Tabanan. Untuk sementara dia akan mengikuti isi surat dari pengirim yang tak jelas itu Dengan begitu, diharapkan bisa membongkar maksud sesungguhnya orang itu. Entah lawan, entah pula kawan
Sebelum tengah hari, Andika sudah tiba di Kotapraja Kerajaan Tabanan. Layaknya kota besar kerajaan, wilayah itu cukup ramai. Orang-orang menjalani kegiatan masing-masing, untuk mengais nafkah sehari-hari.
Lama juga Andika berkeliling keliling di Kota Praja. Sampai akhirnya, Pendekar Slebor tiba di suatu daerah yang cukup ramai, karena di sana tampaknya sebagai jantung Kotapraja Kerajaan Tabanan. Tatkala melintasi sebuah kedai, telinga Andika menangkap pembicaraan menarik tiga lelaki di dalamnya. Salah satu dari orang itu menyebut-nyebut tentang orang asing yang datang ke kota ini. Dan Andika pun memutuskan untuk mencari-tahu tentang orang asing itu dari mereka.
Segera dimasukinya kedai ini. Hitung-hitung sekalian mengisi perut, karena memang sudah waktunya makan siang. Dari seorang pelayan muda yang sigap menyambutnya, Pendekar Slebor memesah makanan. Sepeninggalan pelayan, dihampirinya ketiga lelaki yang duduk di sudut dekat pintu masuk kedai.
"Beli sekalian. Bisakah aku bertanya sedikit tentang orang asing yang sedang kalian bicarakan," sapa Andika seramah mungkin.
Ketiga lelaki itu kontan terkejut mendapat sapaan Andika. Wajah mereka melepas kesan ketakutan, walaupun teguran Andika sudah amat ramah.
"Maaf jika aku menyelak. Kalau tak salah Beli-Beliini sedang membicarakan seorang asing, bukan?" ucap Andika lagi, mencoba menegaskan pertanyaan.
"Bisakah kalian menggambarkan penampilan orang asing itu?"
Tak ada jawaban untuk Andika. Tak seperti sifat ramah orang Bali, mereka tak menggubris pertanyaan Andika. Malah mereka bangkit tergesa-gesa, meninggalkan kedai dengan wajah pucat.
"Tunggu, Beli”. tahan Andika.
Seruan Andika malah membuat mereka melangkah lebih cepat, seperti baru saja melihat hantu di siang bolong.
"Aneh...," desah Andika, tak mengerti.
"Tampaknya ada sesuatu yang membuat mereka begitu takut...."
"Tuan...," tegurpelayan di belakangnya.
Andika menoleh.
"Makanan telah siap di meja," kata pelayan muda itu memberitahu.
Andika menganggukbersama seulas senyum sebagai pengganti ucapan terima kasih. Dihampirinya meja makan yang sudah diisi nasi dan lauk-pauk. Untuk sementara, dilupakannya dulu persoalan Ki Rawe Rontek. Kini dengan lahap, disantapnya makanan di meja.
"Pelayan!" panggil Andika. Pelayan muda tadi cepat menghampiri Pendekar Slebor.
"Aku telah selesai," kata Andika memberitahu.
Si Pelayan mengangguk, lalu mulai membenahi bekas makan Andika. Sebelum dia beranjak mengangkut piring-piring ke dalam, Andika cepat menahannya.
"Maaf, Beli. Boleh aku sedikit bertanya padamu?" cetus Andika.
Si Pelayan mengangguk. "Silakan, Tuan...."
"Apakah beberapa hari belakangan ada orang asing memasuki kota ini?" tanya Andika langsung, ke pokok permasalahan.
Sama seperti ketiga lelaki tadi, si Pelayan pun menampakkan ketakutan di wajahnya. Namun, tak sama dengan ketiga lelaki tadi. Sebab, pelayan ini rupanya lebih punya nyali. Setelah melirik kian kemari, didekatinya telinga Andika.
"Benar. Tuan. Sejak kedatangan orang asing itu, sudah tiga belas orang terbunuh secara keji. Mereka rata-rata adalah para pengawal pribadi orang-orang yang berkuasa di sini...," bisik pelayan muda ini.
Wajah Andika berkerut. Rasanya dia belum begitu jelas dengan keterangan pelayan ini.
"Belibisa menggambarkan ciri-ciri orang asing yang telah membunuh para pengawal itu?" tanya Pendekar Slebor.
Si Pelayan Muda melirik ke luar kedai. Dan matanya melihat sesuatu di sana. Itu tampak dari sinar matanya yang menegang.
"Lebih baik Tuan mencari tahu dari orang dalam tandu itu," bisik pelayan ini lagi lebih samar.
Andika melirik keluar, mengikuti pandangan si Pelayan. Tampak empat orang berperawakan kekar sedang menggotong tandu mewah yang tertutup rapat kain mewah bersulam.
"Terima kasih Beli," ucap Andika seraya menepuk bahu si Pelayan.
Pendekar Slebor membayar seluruh makanan, lalu beranjak keluar. Tapi baru saja kakinya bergerak empat langkah...
Sing!
Seketika terdengar desiran halus menyambar dari arah depan.
"Haih!"
Tanpa kesulitan, Pendekar Slebor langsung bergeser ke kanan dan cepat menangkap sebatang pisau terbang yang hendak memangsal tubuhnya. Lagi-lagi sebilah pisau terbang yang sama seperti dengan yang didapat terdahulu. Tanpa bermaksud hendak membaca pesan yang terlipat pada pisau terbang, Andika bergegas menyusul rombongan orang bertandu tadi.
Di luar, Pendekar Slebor melihat tandu berhenti. Keempat pengusungnya segera menurunkan kendaraan mewah yang biasa dipakai para penguasaitu. Dari dalamnya, keluar seorang laki-laki berperawakan besar. Tak seperti bangsawan Bali lainnya, dia mengenakan kemeja sutera hitam berlapis tanpa kancing dan kerah. Pinggangnya dililit kain batik yang menutup sebagian celana panjang hitam, sebatas lutut berujung sulaman benang warna emas.
Andika nyaris pangling pada lelaki itu, kalau saja tak sungguh-sungguh memperhatikan wajah.
"Ki Rawe Rontek!" desis Pendekar Slebor.
Penampilan tokoh yang semula bagai mayat hidup itu sudah jauh berbeda. Di lehernya sudah tidak tampak lagi bekas luka melingkar. Bahkan tubuhnya kini sudah bebas dari jamur-jamur yang menjijikkan. Kini, buruan Pendekar Slebor telah ditemukan. Tapi tanpa mengetahui kelemahan ilmu-ilmu hitamnya, Andika tak bisa berbuat banyak.
"Entah apa yang hendak direncanakannya," bisik Andika di tempat pengintaian.
Kerik jangkrik mengisyaratkan hari untuk segera meredup. Senja pun tercecer. Malam pun datang merambat. Gubuk besar milik Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg hanya diterangi lampu-lampu minyak kecil. Di dalamnya, dua insan berbeda jenis yang telah lama duduk berbincang sejak senja menjelang, saling menatap tanpa kedip. Mereka adalah Idayu Wayan Laksmi dan Yaksa.
Rasanya, setelah beberapa kali dikunjungi Yaksa, Idayu Wayan Laksmi mulai menemukan benih-benih cinta yang merambah hatinya. Secara jujur diakui, Yaksa memang memiliki kharisma tersendiri yang sanggup melumpuhkan hatinya. Dia memang tak setampan Andika. Namun, memiliki pesona.
Untuk adat orang timur, duduk berdua di malam seperti itu sebenarnya tabu. Tapi entah kenapa, pautan perasaan mereka berdua menyingkirkan ketabuan itu. Lekatnya tatapan sepasang mata masing-masing memang menghanyutkan. Sadar tak sadar, Yaksa mendekatkan wajahnya ke wajah Idayu Wayan Laksmi. Kian dekat, Idayu Wayan Laksmi jadi merasa rikuh. Segera wajahnya ditarik ke belakang. Tapi Yaksa tak memperhatikan kerikuhan gadis itu. Terus saja wajahnya disorongkan. Sampai akhirnya....
Cup!
Yaksa berhasil mengecup.... Tapi, astaga! Bukan bibir Idayu Wayan Laksmi yang tersentuh bibirnya. Ternyata hanya kepala ekor ayam jantan yang sudah babak belur di sana sini.
"Keok!"
Yaksa tersentak.
"Hua ha ha...!"
Terdengar tawa meriah seorang anak muda tanggung di sisi mereka. Siapa lagi kalau bukan si I Ktut Regeg berengsek?!
"Nah, Merah! Kemenanganmu tadi sore telah dihadiahkan sebuah ciuman mesra dari sukarelawan," oceh I Ktut Regeg pada ayam jantan di tangannya.
Yaksa sendiri kini kelimpungan membersihkan bibir. Tak disangka tak diduga, kalau hari ini dia tertimpa 'musibah' seperti itu.
"Kalau hanya mencium ayam jantan, tak akan tabu!" tukas I Ktut Regeg sambil melangkah santai ke ruang dalam.
Dan baru saja I Ktut Regeg menghilang, terdengar sebuah suara.
"Malam...."
Andika muncul di pintu masuk. Pendekar Slebor baru saja tiba dari Kerajaan Buleleng, setelah melaporkan hasil penyelidikannya.
"Oh! BeliAndika," sambut Idayu Wayan Laksmi tersipu-sipu, merasa malu tertangkap basah oleh Andika.
"Aha, pemuda kita rupanya!" ujar Andika, saat melihat Yaksa.
Yaksa langsung berdiri, mendekati Andika. Mengingat kemarahan Yaksa sewaktu di sisi makam Ki Lantanggeni dulu, Pendekar Slebor jadi curiga. Jangan-jangan, dia masih penasaran akan memukulnya. Tapi sesampainya di depan Andika, pemuda itu malah menjura dalam-dalam.
"Tuan Pendekar, maafkan atas kelancanganku dulu. Sungguh aku tak pernah menduga kalau Tuan adalah sahabat guruku," tutur Yaksa hormat.
Andika tertawa. Dia jadi mengumpat kebodohannya yang telah menduga tidak-tidak pada Yaksa.
"Ah! Penghormatan seperti itu tak pantas kau tujukan untukku," kilah Pendekar Slebor.
"Toh, usia kita sebenarnya tak jauh berbeda...."
"Tapi, Tuan...."
"Andika! Panggil aku Andika saja."
"Tapi, ng.... Tuan Pendekar, sebelum meninggal guruku berpesan agar
aku memohon pada Tuan untuk meminta beberapa jurus," lanjut Yaksa, tanpa menyebut nama Andika begitu saja.
Andika menarik napas. Kepalanya menggeleng-geleng.
"Kalau kau tetap memanggilku Tuan Pendekar, percayalah. Aku tak akan sudi menurunkan padamu beberapa jurus milikku," tegas Pendekar Slebor.
Yaksa mengangkat kepala hati-hati.
"Dan hentikan sikapmu membungkuk seperti kakek peot!" bentak Andika.
Seketika disabetnya kepala Yaksa dengan lembaran lontar di tangannya. Setelah itu dia ngeloyor ke dalam sambil mengupat-ngumpat.
Di dalam, Andika membuka lembaran lontar yang didapat dari pisau terbang di Kotapraja Kerajaan Tabanan. Dia yakin, lembaran itu adalah sobekan halaman kitab ilmu hitam milik Ki Lantanggeni yang telah dicuri seseorang. Cokorde juga yakin, begitu Andika memperlihatkannya.
Sayang, lembaran lontar itu bertuliskan huruf-huruf Pegon yang mungkin sudah jarang dipakai lagi sejak satu dua abad lalu. Sementara waktu Andika minta tolong pada Cokorde yang mungkin memiliki seorang ahli bahasa, Raja Buleleng itu mengatakan kalau ahli bahasa satu-satunya yang dimiliki telah wafat setahun lalu. Dan mereka sampai kini belum memiliki penggantinya.
"BeliAndika," tegur I Ktut Regeg.
Anak muda tanggung itu tahu-tahu sudah berdiri di pintu kamar.
"Sedang apa?" tanya I Ktut Regeg mau tahu urusan orang.
"Jangan usil!" hardik Andika.
"Jangan sok menutup diri!" balas I Ktut Regeg.
Kaki pemuda tanggung itu melangkah, mendekati Andika.
"Apa itu?!" tanya I Ktut Regeg lagi, makin menjadi keusilannya begitu sudah dekat.
Andika melipat lembaran lontar.
"Ini bukan urusanmu, Anak Dedemit!" maki Pendekar Slebor, setengah bergurau.
I Ktut Regeg mengangkat bahu.
"Ya, sudah. Aku juga tidak untung melihat lembaran lontar lusuh itu," sungut anak muda tanggung itu. Dia berbalik, melangkah keluar.
"Hanya aku dulu memang suka membaca naskah-naskah kuno kalau sedang iseng."
"Hei, tunggu!" tahan Andika.
"Apa katamu tadi?"
"Dulu, aku sering membaca naskah-naskah kuno milik ayahku. Kadang-kadang aku juga membantu Ayah menerjemahkan naskah kuno...."
"Naskah-nakah milik kerajaan?!" sela Andika.
"Lho, dari mana Beli tahu?"
"Siapa nama ayahmu?"
"I Made Tantra. Memangnya kenapa?"
Andika menepuk keningnya keras-keras. Dia ingat nama ahli bahasa yang disebut Cokorde tadi. Memang, nama I Made Tantra yang disebut Cokorde waktu itu.
"Jadi, kau anak dari I Made Tantra? Ahli bahasa kerajaan?"
I Ktut Regeg terkekeh. Entah kenapa.
"Ayahku memang tidak ingin memanjakan anak-nya. Dia tidak sudi jabatan membuat anak-anaknya menjadi sombong. Makanya, dia tak pernah bercerita pada Cokorde kalau punya anak," tutur I Ktut Regeg.
"Bagus!" sentak Andika.
"Bagus apanya?"
"Kalau begitu, kau harus menolongku!” ujar Pendekar Slebor, langsung menarik anak kurus itu ke sisi balai-balai bambu.
"Duduklah. Coba kau terjemahkan lembaran-lembaran lontar ini!"
Andika cepat menyerahkan lembaran lontar ke tangan I Ktut Regeg. Dan pemuda tanggung itu membukanya dengan santai, merasa menang karena sedang dibutuhkan oleh seorang pendekar besar seperti Andika. Tak lama kemudian kepalanya tampak mengangguk-angguk sok tahu.
"Yem, mmh...mmm...emm. Sus sus memem...," gumam I Ktut Regeg, menyebalkan.
"Hei?! Jangan membaca bergumam seperti jampi-jampi dukun!" bentak Andika.
"Percuma saja aku menyuruhmu membaca!"
I Ktut Regeg melotot.
"Sabar dulu, dong!" balas pemuda tanggung itu lebih galak. Dilanjutkan lagi membacanya sampai kedua lembaran lontar itu selesai.
"Jadi, apa isinya?" tanya Andika bersemangat.
Mata I Ktut Regeg menyipit. Lagaknya sudah seperti petinggi kerajaan.
"Menurut dua lembaran lontar ini, ada sejenis ilmu hitam bernama 'Rawe Rontek'...."
"Yang itu aku sudah tahu!" jegal Andika.
"Apa di situ ada rahasia kelemahan ilmu 'Rawe Rontek'?"
"Ya. ya, ya, tentu saja. Menurut dua lembaran lontar ini, ilmu hitam itu bisa dikalahkan dengan memisahkan si Pemilik Ilmu dengan bumi...," papar I Ktut Regeg.
Andika memukul telapak tangan dengan tinjunya sendiri.
"Jadi itu rahasia kelemahan ilmu Rawe Rontek...," desis Pendekar Slebor.
"Lalu, apa lagi penjelasan tentang ilmu hitam selain 'Rawe Rontek'?"
"Menurut...."
"Menurut dua lembar lontar ini! Ah! Aku bosan dengan basa-basi itu! Katakan saja langsung, apa saja isinya yang lain!"
I Ktut Regeg menatap Andika dengan sinar mata mengancam. Seolah-olah, dia ingin mengatakan bila Andika tak berhenti mengomel, lembaran lontar itu akan ditinggalkannya.
"Baik..., baik. Aku tidak akan membentak-bentak lagi," bujuk Andika, melihat gelagat buruk I Ktut Regeg.
Akhirnya I Ktut Regeg mau juga melanjutkan.
"Ada yang aneh,Beli...” ucap I Ktut Regeg, sesaat berikutnya.
"Apa?"
"Di lembaran pertama, dijelaskan tentang riwayat ilmu-ilmu hitam termasuk 'Rawe Rontek'. Tapi, di lembaran, yang satunya kenapa hanya ada penjelasan mengenai rahasia ilmu 'Rawe Rontek' saja...?"
"Jadi maksudmu ada lembaran yang hilang?" duga Andika.
"Sepertinya begitu...."
Andika diam. Regeg juga diam. Tapi pemuda tanggung itu terus memperhatikan Andika yang mengusap-usap dagu dengan wajah berkerut. Pendekar muda itu sedang berpikir keras. Sesekali kakinya melangkah mondar-mandir.
"Rasanya aku mulai bisa membaca maksud orang ini," gumam Pendekar Slebor.
"Pertama-tama, dia menuntun Ki Rawe Rontek dengan suratnya agar Ki Lantanggeni terbunuh. Pada saat Ki Lantanggeni menghadapi datuk sesat itu, tentu lembaran lontar itu dicuri. Lalu, aku dijadikan kambing hitam untuk menghadapi Ki Rawe Rontek. Dengan memberi rahasia kelemahan ilmu 'Rawe Rontek' padaku, orang itu berharap aku bisa membunuh Ki Rawe Rontek untuk yang kedua kalinya. Setelah itu bila Ki Rawe Rontek mati, dia akan mencari kuburannya lagi, dan mencoba menghidupkannya kembali...."
"Tapi apa untungnya buat dia?" sela I Ktut Regeg
“Tentu saja sebagai orang yang berhutang budi, Ki Rawe Rontek tak akan menolak permintaan orang itu. Yakni, mengajarkan cara-cara mendapatkan ilmu-ilmu hitam...."
"Tapi akan percuma saja ilmu hitam itu, sebab rahasianya sudah terbongkar dengan adanya lembaran lontar ini," sergah I Ktut Regeg, makin sok pintar.
"Tidak! Tidak semua rahasia ilmu hitam. Hanya ilmu 'Rawe Rontek' saja yang kita tahu rahasia kelemahannya. Sedangkan rahasia ilmu hitam lain berada di lembaran yang kurang itu. Dan sudah pasti orang itu menahannya. Agar jika ilmu-ilmu hitam lain warisan Ki Rawe Rontek benar-benar dikuasainya nanti, dia akan menjadi tak tertandingi," papar Andika makin yakin.
"Beli tahu siapa kira-kira orang itu?" Andika mengangguk mantap.
"Rasanya, aku tahu orang itu, Namanya, Lalinggi...," bisik Pendekar Slebor, amat pelan.
"O, iya! Aku hampir saja lupa," cetus I Ktut Regeg tiba-tiba.
"Orang bertopi keranjang yang dulu mencari peti berukir, menitip pesan buat Beli."
Ucapan I Ktut Regeg benar-benar menyentak Andika.
"Apa katanya?"
"Katanya, dia akan kembali lagi," tutur I Ktut Regeg menyampaikan pesan yang diterima dari orang yang tak lain dari Lalinggi.
Untuk ke dua kalinya, Andika meninju telapak tangan sendiri.
"Sekakang semuanya jadi benar-benar jelas," desis Pendekar Slebor seraya menyipitkan mata.
Keesokan harinya, setelah kesehatannya terasa telah pulih benar, Andika secepatnya minta izin Cokorde untuk berangkat ke Tabanan. Untuk sementara dia akan mengikuti isi surat dari pengirim yang tak jelas itu Dengan begitu, diharapkan bisa membongkar maksud sesungguhnya orang itu. Entah lawan, entah pula kawan
Sebelum tengah hari, Andika sudah tiba di Kotapraja Kerajaan Tabanan. Layaknya kota besar kerajaan, wilayah itu cukup ramai. Orang-orang menjalani kegiatan masing-masing, untuk mengais nafkah sehari-hari.
Lama juga Andika berkeliling keliling di Kota Praja. Sampai akhirnya, Pendekar Slebor tiba di suatu daerah yang cukup ramai, karena di sana tampaknya sebagai jantung Kotapraja Kerajaan Tabanan. Tatkala melintasi sebuah kedai, telinga Andika menangkap pembicaraan menarik tiga lelaki di dalamnya. Salah satu dari orang itu menyebut-nyebut tentang orang asing yang datang ke kota ini. Dan Andika pun memutuskan untuk mencari-tahu tentang orang asing itu dari mereka.
Segera dimasukinya kedai ini. Hitung-hitung sekalian mengisi perut, karena memang sudah waktunya makan siang. Dari seorang pelayan muda yang sigap menyambutnya, Pendekar Slebor memesah makanan. Sepeninggalan pelayan, dihampirinya ketiga lelaki yang duduk di sudut dekat pintu masuk kedai.
"Beli sekalian. Bisakah aku bertanya sedikit tentang orang asing yang sedang kalian bicarakan," sapa Andika seramah mungkin.
Ketiga lelaki itu kontan terkejut mendapat sapaan Andika. Wajah mereka melepas kesan ketakutan, walaupun teguran Andika sudah amat ramah.
"Maaf jika aku menyelak. Kalau tak salah Beli-Beliini sedang membicarakan seorang asing, bukan?" ucap Andika lagi, mencoba menegaskan pertanyaan.
"Bisakah kalian menggambarkan penampilan orang asing itu?"
Tak ada jawaban untuk Andika. Tak seperti sifat ramah orang Bali, mereka tak menggubris pertanyaan Andika. Malah mereka bangkit tergesa-gesa, meninggalkan kedai dengan wajah pucat.
"Tunggu, Beli”. tahan Andika.
Seruan Andika malah membuat mereka melangkah lebih cepat, seperti baru saja melihat hantu di siang bolong.
"Aneh...," desah Andika, tak mengerti.
"Tampaknya ada sesuatu yang membuat mereka begitu takut...."
"Tuan...," tegurpelayan di belakangnya.
Andika menoleh.
"Makanan telah siap di meja," kata pelayan muda itu memberitahu.
Andika menganggukbersama seulas senyum sebagai pengganti ucapan terima kasih. Dihampirinya meja makan yang sudah diisi nasi dan lauk-pauk. Untuk sementara, dilupakannya dulu persoalan Ki Rawe Rontek. Kini dengan lahap, disantapnya makanan di meja.
***
"Pelayan!" panggil Andika. Pelayan muda tadi cepat menghampiri Pendekar Slebor.
"Aku telah selesai," kata Andika memberitahu.
Si Pelayan mengangguk, lalu mulai membenahi bekas makan Andika. Sebelum dia beranjak mengangkut piring-piring ke dalam, Andika cepat menahannya.
"Maaf, Beli. Boleh aku sedikit bertanya padamu?" cetus Andika.
Si Pelayan mengangguk. "Silakan, Tuan...."
"Apakah beberapa hari belakangan ada orang asing memasuki kota ini?" tanya Andika langsung, ke pokok permasalahan.
Sama seperti ketiga lelaki tadi, si Pelayan pun menampakkan ketakutan di wajahnya. Namun, tak sama dengan ketiga lelaki tadi. Sebab, pelayan ini rupanya lebih punya nyali. Setelah melirik kian kemari, didekatinya telinga Andika.
"Benar. Tuan. Sejak kedatangan orang asing itu, sudah tiga belas orang terbunuh secara keji. Mereka rata-rata adalah para pengawal pribadi orang-orang yang berkuasa di sini...," bisik pelayan muda ini.
Wajah Andika berkerut. Rasanya dia belum begitu jelas dengan keterangan pelayan ini.
"Belibisa menggambarkan ciri-ciri orang asing yang telah membunuh para pengawal itu?" tanya Pendekar Slebor.
Si Pelayan Muda melirik ke luar kedai. Dan matanya melihat sesuatu di sana. Itu tampak dari sinar matanya yang menegang.
"Lebih baik Tuan mencari tahu dari orang dalam tandu itu," bisik pelayan ini lagi lebih samar.
Andika melirik keluar, mengikuti pandangan si Pelayan. Tampak empat orang berperawakan kekar sedang menggotong tandu mewah yang tertutup rapat kain mewah bersulam.
"Terima kasih Beli," ucap Andika seraya menepuk bahu si Pelayan.
Pendekar Slebor membayar seluruh makanan, lalu beranjak keluar. Tapi baru saja kakinya bergerak empat langkah...
Sing!
Seketika terdengar desiran halus menyambar dari arah depan.
"Haih!"
Tanpa kesulitan, Pendekar Slebor langsung bergeser ke kanan dan cepat menangkap sebatang pisau terbang yang hendak memangsal tubuhnya. Lagi-lagi sebilah pisau terbang yang sama seperti dengan yang didapat terdahulu. Tanpa bermaksud hendak membaca pesan yang terlipat pada pisau terbang, Andika bergegas menyusul rombongan orang bertandu tadi.
Di luar, Pendekar Slebor melihat tandu berhenti. Keempat pengusungnya segera menurunkan kendaraan mewah yang biasa dipakai para penguasaitu. Dari dalamnya, keluar seorang laki-laki berperawakan besar. Tak seperti bangsawan Bali lainnya, dia mengenakan kemeja sutera hitam berlapis tanpa kancing dan kerah. Pinggangnya dililit kain batik yang menutup sebagian celana panjang hitam, sebatas lutut berujung sulaman benang warna emas.
Andika nyaris pangling pada lelaki itu, kalau saja tak sungguh-sungguh memperhatikan wajah.
"Ki Rawe Rontek!" desis Pendekar Slebor.
Penampilan tokoh yang semula bagai mayat hidup itu sudah jauh berbeda. Di lehernya sudah tidak tampak lagi bekas luka melingkar. Bahkan tubuhnya kini sudah bebas dari jamur-jamur yang menjijikkan. Kini, buruan Pendekar Slebor telah ditemukan. Tapi tanpa mengetahui kelemahan ilmu-ilmu hitamnya, Andika tak bisa berbuat banyak.
"Entah apa yang hendak direncanakannya," bisik Andika di tempat pengintaian.
***
Kerik jangkrik mengisyaratkan hari untuk segera meredup. Senja pun tercecer. Malam pun datang merambat. Gubuk besar milik Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg hanya diterangi lampu-lampu minyak kecil. Di dalamnya, dua insan berbeda jenis yang telah lama duduk berbincang sejak senja menjelang, saling menatap tanpa kedip. Mereka adalah Idayu Wayan Laksmi dan Yaksa.
Rasanya, setelah beberapa kali dikunjungi Yaksa, Idayu Wayan Laksmi mulai menemukan benih-benih cinta yang merambah hatinya. Secara jujur diakui, Yaksa memang memiliki kharisma tersendiri yang sanggup melumpuhkan hatinya. Dia memang tak setampan Andika. Namun, memiliki pesona.
Untuk adat orang timur, duduk berdua di malam seperti itu sebenarnya tabu. Tapi entah kenapa, pautan perasaan mereka berdua menyingkirkan ketabuan itu. Lekatnya tatapan sepasang mata masing-masing memang menghanyutkan. Sadar tak sadar, Yaksa mendekatkan wajahnya ke wajah Idayu Wayan Laksmi. Kian dekat, Idayu Wayan Laksmi jadi merasa rikuh. Segera wajahnya ditarik ke belakang. Tapi Yaksa tak memperhatikan kerikuhan gadis itu. Terus saja wajahnya disorongkan. Sampai akhirnya....
Cup!
Yaksa berhasil mengecup.... Tapi, astaga! Bukan bibir Idayu Wayan Laksmi yang tersentuh bibirnya. Ternyata hanya kepala ekor ayam jantan yang sudah babak belur di sana sini.
"Keok!"
Yaksa tersentak.
"Hua ha ha...!"
Terdengar tawa meriah seorang anak muda tanggung di sisi mereka. Siapa lagi kalau bukan si I Ktut Regeg berengsek?!
"Nah, Merah! Kemenanganmu tadi sore telah dihadiahkan sebuah ciuman mesra dari sukarelawan," oceh I Ktut Regeg pada ayam jantan di tangannya.
Yaksa sendiri kini kelimpungan membersihkan bibir. Tak disangka tak diduga, kalau hari ini dia tertimpa 'musibah' seperti itu.
"Kalau hanya mencium ayam jantan, tak akan tabu!" tukas I Ktut Regeg sambil melangkah santai ke ruang dalam.
Dan baru saja I Ktut Regeg menghilang, terdengar sebuah suara.
"Malam...."
Andika muncul di pintu masuk. Pendekar Slebor baru saja tiba dari Kerajaan Buleleng, setelah melaporkan hasil penyelidikannya.
"Oh! BeliAndika," sambut Idayu Wayan Laksmi tersipu-sipu, merasa malu tertangkap basah oleh Andika.
"Aha, pemuda kita rupanya!" ujar Andika, saat melihat Yaksa.
Yaksa langsung berdiri, mendekati Andika. Mengingat kemarahan Yaksa sewaktu di sisi makam Ki Lantanggeni dulu, Pendekar Slebor jadi curiga. Jangan-jangan, dia masih penasaran akan memukulnya. Tapi sesampainya di depan Andika, pemuda itu malah menjura dalam-dalam.
"Tuan Pendekar, maafkan atas kelancanganku dulu. Sungguh aku tak pernah menduga kalau Tuan adalah sahabat guruku," tutur Yaksa hormat.
Andika tertawa. Dia jadi mengumpat kebodohannya yang telah menduga tidak-tidak pada Yaksa.
"Ah! Penghormatan seperti itu tak pantas kau tujukan untukku," kilah Pendekar Slebor.
"Toh, usia kita sebenarnya tak jauh berbeda...."
"Tapi, Tuan...."
"Andika! Panggil aku Andika saja."
"Tapi, ng.... Tuan Pendekar, sebelum meninggal guruku berpesan agar
aku memohon pada Tuan untuk meminta beberapa jurus," lanjut Yaksa, tanpa menyebut nama Andika begitu saja.
Andika menarik napas. Kepalanya menggeleng-geleng.
"Kalau kau tetap memanggilku Tuan Pendekar, percayalah. Aku tak akan sudi menurunkan padamu beberapa jurus milikku," tegas Pendekar Slebor.
Yaksa mengangkat kepala hati-hati.
"Dan hentikan sikapmu membungkuk seperti kakek peot!" bentak Andika.
Seketika disabetnya kepala Yaksa dengan lembaran lontar di tangannya. Setelah itu dia ngeloyor ke dalam sambil mengupat-ngumpat.
Di dalam, Andika membuka lembaran lontar yang didapat dari pisau terbang di Kotapraja Kerajaan Tabanan. Dia yakin, lembaran itu adalah sobekan halaman kitab ilmu hitam milik Ki Lantanggeni yang telah dicuri seseorang. Cokorde juga yakin, begitu Andika memperlihatkannya.
Sayang, lembaran lontar itu bertuliskan huruf-huruf Pegon yang mungkin sudah jarang dipakai lagi sejak satu dua abad lalu. Sementara waktu Andika minta tolong pada Cokorde yang mungkin memiliki seorang ahli bahasa, Raja Buleleng itu mengatakan kalau ahli bahasa satu-satunya yang dimiliki telah wafat setahun lalu. Dan mereka sampai kini belum memiliki penggantinya.
"BeliAndika," tegur I Ktut Regeg.
Anak muda tanggung itu tahu-tahu sudah berdiri di pintu kamar.
"Sedang apa?" tanya I Ktut Regeg mau tahu urusan orang.
"Jangan usil!" hardik Andika.
"Jangan sok menutup diri!" balas I Ktut Regeg.
Kaki pemuda tanggung itu melangkah, mendekati Andika.
"Apa itu?!" tanya I Ktut Regeg lagi, makin menjadi keusilannya begitu sudah dekat.
Andika melipat lembaran lontar.
"Ini bukan urusanmu, Anak Dedemit!" maki Pendekar Slebor, setengah bergurau.
I Ktut Regeg mengangkat bahu.
"Ya, sudah. Aku juga tidak untung melihat lembaran lontar lusuh itu," sungut anak muda tanggung itu. Dia berbalik, melangkah keluar.
"Hanya aku dulu memang suka membaca naskah-naskah kuno kalau sedang iseng."
"Hei, tunggu!" tahan Andika.
"Apa katamu tadi?"
"Dulu, aku sering membaca naskah-naskah kuno milik ayahku. Kadang-kadang aku juga membantu Ayah menerjemahkan naskah kuno...."
"Naskah-nakah milik kerajaan?!" sela Andika.
"Lho, dari mana Beli tahu?"
"Siapa nama ayahmu?"
"I Made Tantra. Memangnya kenapa?"
Andika menepuk keningnya keras-keras. Dia ingat nama ahli bahasa yang disebut Cokorde tadi. Memang, nama I Made Tantra yang disebut Cokorde waktu itu.
"Jadi, kau anak dari I Made Tantra? Ahli bahasa kerajaan?"
I Ktut Regeg terkekeh. Entah kenapa.
"Ayahku memang tidak ingin memanjakan anak-nya. Dia tidak sudi jabatan membuat anak-anaknya menjadi sombong. Makanya, dia tak pernah bercerita pada Cokorde kalau punya anak," tutur I Ktut Regeg.
"Bagus!" sentak Andika.
"Bagus apanya?"
"Kalau begitu, kau harus menolongku!” ujar Pendekar Slebor, langsung menarik anak kurus itu ke sisi balai-balai bambu.
"Duduklah. Coba kau terjemahkan lembaran-lembaran lontar ini!"
Andika cepat menyerahkan lembaran lontar ke tangan I Ktut Regeg. Dan pemuda tanggung itu membukanya dengan santai, merasa menang karena sedang dibutuhkan oleh seorang pendekar besar seperti Andika. Tak lama kemudian kepalanya tampak mengangguk-angguk sok tahu.
"Yem, mmh...mmm...emm. Sus sus memem...," gumam I Ktut Regeg, menyebalkan.
"Hei?! Jangan membaca bergumam seperti jampi-jampi dukun!" bentak Andika.
"Percuma saja aku menyuruhmu membaca!"
I Ktut Regeg melotot.
"Sabar dulu, dong!" balas pemuda tanggung itu lebih galak. Dilanjutkan lagi membacanya sampai kedua lembaran lontar itu selesai.
"Jadi, apa isinya?" tanya Andika bersemangat.
Mata I Ktut Regeg menyipit. Lagaknya sudah seperti petinggi kerajaan.
"Menurut dua lembaran lontar ini, ada sejenis ilmu hitam bernama 'Rawe Rontek'...."
"Yang itu aku sudah tahu!" jegal Andika.
"Apa di situ ada rahasia kelemahan ilmu 'Rawe Rontek'?"
"Ya. ya, ya, tentu saja. Menurut dua lembaran lontar ini, ilmu hitam itu bisa dikalahkan dengan memisahkan si Pemilik Ilmu dengan bumi...," papar I Ktut Regeg.
Andika memukul telapak tangan dengan tinjunya sendiri.
"Jadi itu rahasia kelemahan ilmu Rawe Rontek...," desis Pendekar Slebor.
"Lalu, apa lagi penjelasan tentang ilmu hitam selain 'Rawe Rontek'?"
"Menurut...."
"Menurut dua lembar lontar ini! Ah! Aku bosan dengan basa-basi itu! Katakan saja langsung, apa saja isinya yang lain!"
I Ktut Regeg menatap Andika dengan sinar mata mengancam. Seolah-olah, dia ingin mengatakan bila Andika tak berhenti mengomel, lembaran lontar itu akan ditinggalkannya.
"Baik..., baik. Aku tidak akan membentak-bentak lagi," bujuk Andika, melihat gelagat buruk I Ktut Regeg.
Akhirnya I Ktut Regeg mau juga melanjutkan.
"Ada yang aneh,Beli...” ucap I Ktut Regeg, sesaat berikutnya.
"Apa?"
"Di lembaran pertama, dijelaskan tentang riwayat ilmu-ilmu hitam termasuk 'Rawe Rontek'. Tapi, di lembaran, yang satunya kenapa hanya ada penjelasan mengenai rahasia ilmu 'Rawe Rontek' saja...?"
"Jadi maksudmu ada lembaran yang hilang?" duga Andika.
"Sepertinya begitu...."
Andika diam. Regeg juga diam. Tapi pemuda tanggung itu terus memperhatikan Andika yang mengusap-usap dagu dengan wajah berkerut. Pendekar muda itu sedang berpikir keras. Sesekali kakinya melangkah mondar-mandir.
"Rasanya aku mulai bisa membaca maksud orang ini," gumam Pendekar Slebor.
"Pertama-tama, dia menuntun Ki Rawe Rontek dengan suratnya agar Ki Lantanggeni terbunuh. Pada saat Ki Lantanggeni menghadapi datuk sesat itu, tentu lembaran lontar itu dicuri. Lalu, aku dijadikan kambing hitam untuk menghadapi Ki Rawe Rontek. Dengan memberi rahasia kelemahan ilmu 'Rawe Rontek' padaku, orang itu berharap aku bisa membunuh Ki Rawe Rontek untuk yang kedua kalinya. Setelah itu bila Ki Rawe Rontek mati, dia akan mencari kuburannya lagi, dan mencoba menghidupkannya kembali...."
"Tapi apa untungnya buat dia?" sela I Ktut Regeg
“Tentu saja sebagai orang yang berhutang budi, Ki Rawe Rontek tak akan menolak permintaan orang itu. Yakni, mengajarkan cara-cara mendapatkan ilmu-ilmu hitam...."
"Tapi akan percuma saja ilmu hitam itu, sebab rahasianya sudah terbongkar dengan adanya lembaran lontar ini," sergah I Ktut Regeg, makin sok pintar.
"Tidak! Tidak semua rahasia ilmu hitam. Hanya ilmu 'Rawe Rontek' saja yang kita tahu rahasia kelemahannya. Sedangkan rahasia ilmu hitam lain berada di lembaran yang kurang itu. Dan sudah pasti orang itu menahannya. Agar jika ilmu-ilmu hitam lain warisan Ki Rawe Rontek benar-benar dikuasainya nanti, dia akan menjadi tak tertandingi," papar Andika makin yakin.
"Beli tahu siapa kira-kira orang itu?" Andika mengangguk mantap.
"Rasanya, aku tahu orang itu, Namanya, Lalinggi...," bisik Pendekar Slebor, amat pelan.
"O, iya! Aku hampir saja lupa," cetus I Ktut Regeg tiba-tiba.
"Orang bertopi keranjang yang dulu mencari peti berukir, menitip pesan buat Beli."
Ucapan I Ktut Regeg benar-benar menyentak Andika.
"Apa katanya?"
"Katanya, dia akan kembali lagi," tutur I Ktut Regeg menyampaikan pesan yang diterima dari orang yang tak lain dari Lalinggi.
Untuk ke dua kalinya, Andika meninju telapak tangan sendiri.
"Sekakang semuanya jadi benar-benar jelas," desis Pendekar Slebor seraya menyipitkan mata.
0