- Beranda
- Stories from the Heart
PENDEKAR SLEBOR
...
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR

Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.
Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).
Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.
Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan
Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.
Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..
Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.
Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..
And Here We Go.....
I N D E K S
Spoiler for Indeks 1:
TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya
GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ucln
#113
Part 5
"Apa orang ini memiliki semacam ilmu iblis?" bisik Patih I Wayan Rama, seperti untuk diri sendiri.
"Ya! Dia memang memiliki ilmu sesat, Tuan Patih...," timpal Andika yang tiba-tiba sudah berdiri di samping petinggi kerajaan itu.
"Kalau diperbolehkan, biar aku saja yang mencoba mengajak 'bermain' manusia jelek berjamur ini."
"Maaf, Saudara Andika. Ini adalah tanggung jawabku selaku keamanan istana," tolak Patih I Wayan Rama.
Andika malah tertawa.
"Aaa, kenapa Tuan pelit terhadapku? Lagi pula, apa Tuan tak melihat jamur-jamur berkerak di tubuhnya? Aku pikir, itu adalah buyut dari segala buyut panu. Tuan orang terhormat. Jadi tak mungkin meladeni orang seperti dia. Dia hanya akan mengotorkan tangan Tuan," desak Andika halus, dibumbui gurauan ngelantur.
Patih I Wayan Rama melirik Andika, mendengar permohonan yang terdengar aneh di telinganya. Pantas saja dunia persilatan menjuluki pemuda itu sebagai Pendekar Slebor. Dalam keadaan genting berbau maut seperti saat ini, dia masih mengoceh ngalor-ngidul!
"Sekali lagi maaf, Andika," ulang Patih I Wayan Rama.
"Aku tak bisa mundur dalam tugas, selama masih mampu memikulnya."
Andika kehilangan akal menghadapi keteguhan tekad Patih I Wayan Rama yang berjiwa ksatria. Untungnya, Pendekar Slebor masih tersisa satu cara....
"Paduka!" seru Pendekar Slebor pada Cokorde.
"Paduka tentu masih ingat penjelasanku tadi bukan? Kalau Paduka tak segera menyuruh Patih I Wayan Rama mundur, percayalah. Paduka akan kehilangan seorang kstaria kerajaan sejati!"
Di kejauhan, Cokorde tampak mengangguk-angguk. Setelah itu, tangannya memberi isyarat agar Patih I Wayan Rama mundur. Maka dengan berat hati, lelaki setengah baya itu pun menuruti perintah rajanya.
"Naaah! Sekarang kau bisa berhadapan denganku, Biang Panu!" ledek Andika pada Ki Rawe Rontek, sesudah Patih I Wayan Rama mengambil jarak di luar arena pertarungan
"Hari ini kau harus mempertanggungjawabkan perbuatan kejimu pada Ki Lantanggeni!"
Seperti saat pertama kali menghadapi Patih I Wayan Rama, Ki Rawe Rontek kali ini juga diam tak bergeming, hanya mata baranya saja yang mengawasi Andika tajam-tajam.
"Kenapa diam?" Pendekar Slebor melangkah setindak.
"Apa baru kali ini melihat manusia setampan aku?" Kembali kaki Pendekar Slebor melangkah beberapa tindak.
"Ayo! Kau boleh menggeram, mengaung, menggonggong, atau mengembik. Lalu, seranglah aku!" tantang Pendekar Slebor kian mendekati tubuh calonlawannya.
Sekitar dua depa dari Ki Rawe Rontek, kaki Pendekar Slebor berhenti melangkah. Lagaknya makin terlihat tak waras. Bagai seorang mandor menang undian, pemuda urakan itu bertolak pinggang di depan tokoh hitam menggiriskan ini.
Sedang pongah-pongahnya Andika bertolak pinggang, mulut berlendir Ki Rawe Rontek melepas geraman keras membahana.
"Aaargh!"
Andika sempat terlonjak kaget. Dikira calon lawannya hendak melakukan serangan. Sadar kalau cuma menggeram, Andika berpura-pura seolah-olah tidak terkejut. Tangannya yang sempat terlepas dari pinggang, diangkat kembali tinggi-tinggi. Bodohnya, sekarang dia justru lebih mirip penderita encok!
"Kenapa hanya menggeram? Ayo seranglah aku!" gertak Pendekar Slebor lagi.
"Aaargh!"
"Menggeram lagi...."
"Aaargh! Khau hanyah chari mhathiii...," ucap Ki Rawe Rontek tak
jelas.
"Mbeeek! Akhu thidhak chari mhathi! Shebab akhu bhelum khawhin," Andika meniru cara bicara Ki Rawe Rontek.
Setelah itu, dia terbatuk-batuk sendiri.
Baru saja Pendekar Slebor selesai melepas batuknya, Ki Rawe Rontek mendadak membabatkan kedua cakarnya ke kepala.
"Aaargh!"
Wet! Wet!
Serangan mendadak seperti itu memang tidak terlalu merepotkan Pendekar Slebor. Di Lembah Kutukan tempatnya menjalani penyempurnaan dulu, Andika malah terbiasa berhadapan dengan sambaran-sambaran kilat tak terduga. Sebab itu, Pendekar Slebor mudah saja mementahkan keprukan kedua cakar lawannya. Tangannya terangkat sigap, melindungi dua sisi kepalanya.
"Hait!"
Dak!
Begitu habis menangkis Pendekar Slebor memulai serangan balasan. Tangannya yang semula terangkat di sisi kepala, didorong ke depan di sisi dalam tangan Ki Rawe Rontek. Dengan tetap menahan tangan laki-laki asing itu, Pendekar Slebor hendak balik mengepruk kepala.
Srat!
Nyatanya, Ki Rawe Rontek pun cukup sigap menanggapi keprukan balasan Andika. Tubuhnya segera ditarik ke belakang, tanpa merubah sikap kaki, sehingga badannya agak menyorong.
Prak!
Hantaman telapak tangan Pendekar Slebor pun hanya sempat memakan angin.
Gubuk tempat tinggal Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg saat ini tengah diawasi seseorang, di bawah bayangan sebuah pohon besar lima belas langkah di sebelah barat. Matahari yang tersungkur di belakang, mulai melemah. Sinarnya yang kini berwarna jingga, menanduk bokong si Pengintai sehingga, penampilannya sulit dikenali.
Lama sosok itu hanya menatap gubuk Idayu Wayan Laksmi tanpa gerak, bagai sebatang tonggak mati tak bernyawa. Wajahnya tersapu bayangan pohon. Begitu juga sebagian tubuhnya. Sehingga kesannya begitu penuh tanda tanya. Sesekali, bayangan anak rambut orang itu tampak berkibaran kecil tersibak angin. Entah apa yang diperhatikan di gubuk besar itu. Hanya dia yang tahu.
Sementara itu, I Ktut Regeg keluar dari pintu gubuk. Pemuda tanggung bertubub kurus ini memeluk seekor ayam jantan berwarna merah menyala dan berjalu panjang. Layaknya orang-orang Bali, I Ktut Regeg memiliki ayam jago kesayangan untuk disabung dengan jago lain.
Memang bila hari menjelang sore, banyak kaum lelaki menyabung ayam. Dan I Ktut Regeg pun berniat untuk ambil bagian dalam budaya rakyat yang mengasyikkan itu. Sambil bersiul-siul menyenandungkan sebuah tembang, I Ktut Regeg berjalan santai. Tak jauh di belakangnya, si Pengintai segera mengekori.
Sementara itu di alun-alun, sudah berkumpul kurang lebih lima belas pemuda dan orang tua. Semuanya berkeliling, membentuk lingkaran kecil tempat menyabung ayam. Sebagian duduk atau berjongkok. Dan sebagian lain berdiri. Mereka bersorak penuh semangat, membakar semangat tarung dua ekor ayam jantan di tengah-tengah arena.
"Ayo Hitam, pakai jalumu! Iya, begitu!" teriak salah seorang.
“Tatuk kepalanya! Terus, jangan mau kalah!" seru yang lain.
"Ah! Si Hitam itu pecundang! Nanti juga dia keok bila lawan si Ompok!" teriak salah seorang pemilik ayam.
Ketika kedua ayam jago sabungan itu sudah kehabisan tenaga, I Ktut Regeg baru tiba. Dilewatinya dua lelaki pemilik ayam yang sudah mengelus-elus jagonya.
"Wah.... Tampaknya baru saja terjadi pertarungan seru," kata I Ktut Regeg, manakala melihat ayam sabungan di arena sudah dipisahkan.
Pemuda tanggung itu langsung menuju pinggiran lingkaran kecil tempat sabung ayam.
"Siapa yang ingin menyabung dengan jagoku?" tantang I Ktut Regeg, setibanya di arena sabung.
"Wah, ini dia! Cepat sini, Geg! Aku ingin taruhan besar buat jagomu itu!" sambut seseorang.
Baru saja I Ktut Regeg hendak meletakkan ayamnya di arena, orang yang menguntitnya sejak tadi menepuk bahunya. I Ktut Regeg langsung menoleh. Begitu juga orang-orang yang berada di sana.
Lelaki itu ternyata mengenakan topi keranjang penutup wajah dan kepala. Ya! Dialah Lalinggi, salah seorang dari Sepasang Datuk Karang yang pernah dipecundangi Andika di dekat Goa Karang Hitam
Tangannya yang hancur karena sabetan Kain Pusaka Pendekar Slebor, kini dibalut kain warna putih.
"Hei?! Bukankah Beli yang dulu memberi sekantung uang padaku dulu?" sambut I Ktut Regeg, mengenali Lalinggi.
Di balik topi keranjangnya, Lalinggi mengangguk.
"Ya, untuk meminta keterangan tentang peti berukir yang kau buang di laut sebelah Barat Buleleng. Dan sekarang, boleh aku bicara lagi padamu, Dik?" pinta Lalinggi.
I Ktut Regeg bergegas menangkap jagonya. Tak dipedulikan lagi orang-orang yang sudah gemas ingin melihat jago I Ktut Regeg yang sampai saat ini tak terkalahkan.
"Ayo, kita cari tempat yang agak sepi," ajak Lalinggi.
I Ktut Regeg bergegas mengikuti. Kini mereka tiba di naungan sebatang pohon beringin besar.
"Beliingin bicara apa?" tanya I Ktut Regeg, tanpa curiga sedikit pun.
"Aku hendak menitip pesan untuk seseorang," tutur Lalinggi datar.
"Boleh."
"Katakan pada pemuda yang bertamu di rumahmu...."
"BeliAndika?" potong I Ktut Regeg.
"Tepat. Katakan padanya kalau Lalinggi akan datang lagi," tandas Lalinggi, tetap datar dan dingin.
"Ooo.... Soal mudah, Beli"
Lalinggi segera merogoh sesuatu di balik bajunya. Di tangannya yang sudah nyaris tak berjari, kini terlihat beberapa keping uang perak.
"Ini buatmu," kata laki-laki itu.
"Ah! Tak usahlah, Beli" sergah I Ktut Regeg cepat.
"Sisa uang yang Beliberikan padaku, masih banyak. Ayam jantan ini pun kubeli dari uang itu...."
Lalinggi mengangguk-angguk, lalu pergi tanpa mengucapkan terima kasih.
"Beli Nama Belisiapa, ya?!" teriak I Ktut Regeg dari jauh.
Lalinggi tak menggubris. Kakinya terus melangkah, sampai akhirnya menghilang di jalan menurun.
"Huh! Sayang, aku tak tahu nama Beli yang baik itu. Padahal aku ingin menamakan ayam kesayanganku ini dengan namanya!" gerutu I Ktut Regeg, sambil berlalu juga dari tempat itu.
Halaman Istana Kerajaan Buleleng masih dibuncah pertemuan kesaktian milik dua orang yang sedang bertarung dahsyat, Andika melawan Ki Rawe Rontek. Tanah kancah pertarungan sudah terkuak di beberapa tempat, akibat hantaman-hantaman nyasar. Beberapa bagian tembok istana pun sudah menjadi korban. Sebagian hancur lebur bagai dihantam godam raksasa, sedang sebagian lain retak terbelah tersapu angin pukulan, baik milik Ki Rawe Rontek atau Pendekar Slebor.
Cokorde hanya terpana bersama para petingginya. Sementara para prajurit ternganga-nganga. Semuanya bagai ditenung diam, bersama-sama menyaksikan peristiwa di depan mata.
Untunglah para prajurit dan Patih I Wayan Rama diminta oleh Andika untuk mengambil jarak yang aman dari kancah pertarungan. Kalau tidak, nasib mereka bisa seburuk tembok pagar istana dan pelataran tempat pertempuran!
"Hiaaa!"
"Huaaargh!"
Des! Wet! Wet! Drak!
Adu kesaktian makin sengit. Ki Rawe Rontek sudah mengeluarkan sebagian ilmu andalannya, termasuk 'Pukulan Peremuk Dalam' yang telah merenggut nyawa Ki Lantanggeni. Untuk ilmu hitam itu, Pendekar Slebor bisa meladeni dengan menyelubungi dirinya dengan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan. Bahkan dalam penyerangan, pendekar muda ini lebih unggul beberapa tingkat.
Ilmu 'Pukulan Peremuk Dalam' memang ilmu hitam yang hanya mengandalkan keampuhan pukulan-pukulan maut, tanpa diimbangi kemampuan gerak memadai. Menghadapi jurus-jurus Pendekar Slebor yang demikian beragam dan cepat, ilmu pukulan hitam itu jadi tak begitu berarti. Apalagi ketika pendekar muda itu mulai me-masuki jurus 'Menapak Petir Membabi buta'! Setiap pergantian sikap tubuh dalam kembangan jurusnya sangat sulit ditangkap penglihatan.
Keadaan ini benar-benar menyudutkan Ki Rawe Rontek. Andai sekali saja bisa menyarangkan 'Pukulan Peremuk Dalam' ke tubuh pemuda itu dalam sekejap dia akan berada di atas angin. Tapi hingga saat ini, Pendekar Slebor selalu berkelit lebih cepat. Bahkan angin pukulan Ki Rawe Rontek yang mampu melantakkan sendi lawan, tak pernah menemui sasaran. Apalagi Pendekar Slebor membentengi diri dengan selubung kekuatan yang sulit ditembus.
Pada satu kesempatan, desakan Pendekar Slebor tak bisa lagi dimentahkan Ki Rawe Rontek.
Plak!
Seketika satu tamparan menggeledek mendarat telak di pipi Ki Rawe Rontek. Benar-benar telak! Rasanya bagai didorong tenaga beribu kali. Tak ada tulang leher manusia yang sanggup menahan tenaga tamparan Pendekar Slebor, meski tulangnya terbuat dari baja sekalipun!
Krak!
Suara berderak mengikuti dalam sekejap, di belakang suara tamparan Pendekar Slebor. Asalnya dari leher bagian dalam Ki Rawe Rontek. Saat itu juga leher tokoh hitam itu terpuntir tajam, membuat kepalanya kini berpaling ke belakang!
Patih I Wayan Rama kontan berseru tertahan. Bukan main kagumnya patih ini melihat kehebatan tokoh muda dari Tanah Jawa Dwipa yang dilihatnya. Dalam hati, harus diakui bahwa Andika mempunyai nama besar dalam dunia persilatan.
Sama seperti Patih I Wayan Rama, Cokorde Ida Bagus Tanca pun terkagum luar biasa. Tapi lain halnya yang terjadi si Penasihat Tua yang sebelumnya dikerjai Andika. Lelaki berkepribadian ular berkepala dua itu memejamkan mata rapat-rapat, sambil menggigit ujung kain penutup tubuhnya. Dia memang begitu digasak kengerian.
Sementara itu yang terjadi dalam pertempuran memang tak kalah mempesonakan daripada kehandalan pukulan Pendekar Slebor. Nyatanya Ki Rawe Rontek, masih tetap tegak sekokoh karang. Andika sendiri sempat terperangah, hampir-hampir tak percaya dengan matanya sendiri. Bagaimana mungkin seorang yang sudah terpuntir kepalanya ke belakang, masih bisa berdiri sekokoh itu? Kalau saja Andika tak segera ingat kalau Artapati ini memiliki ilmu 'Rawe Rontek', tentu akan menganggap dirinya sedang bermimpi.
"Jadi inikah kehebatan 'Rawe Rontek' yang dimiliki Artapati...," bisik Pendekar Slebor.
Keterpanaan Andika dimanfaatkan Ki Rawe Rontek alias Artapati, untuk membetulkan kembali kepalanya.
Krak!
Seperti kepala boneka, Ki Rawe Rontek membalikkan kembali wajahnya ke depan!
"Gila...," bisik Andika sambil meringis kembali.
Pendekar Slebor mengusap lehernya sendiri. Sebagai pendekar yang sudah cukup banyak makan pahit manis di pengembaraan, Pendekar Slebor cepat tersadar dari keterpakuan. Dia harus segera menggempur kembali lawannya.
Baru saja Andika membuka jurus baru, lawan di depannya berkomat-kamit. Sesaat kemudian tubuhnya bergetar kecil. Akhirnya....
Plas!
Mendadak Ki Rawe Rontek menghilang!
Sekali lagi Andika tak bisa menyembunyikan keterpanaannya.
"Ilmu hitam apa lagi ini?" Hati Pendekar Slebor kontan dilanda kebingungan.
Sedang sibuk- sibuknya dia bertanya pada diri sendiri, tiba-tiba....
Bekh!
"Aaagh!"
Pendekar Slebor menjerit tertahan di udara, begitu sebuah hantaman amat keras menghajar lambungnya. Tubuhnya memang langsung terhempas deras delapan tombak ke belakang. Ketika bumi menyambutnya, mulut pemuda itu memuntahkan darah segar. Tampaknya ada yang terluka di bagian dalam tubuh Andika.
"Oekh!"
"Apa orang ini memiliki semacam ilmu iblis?" bisik Patih I Wayan Rama, seperti untuk diri sendiri.
"Ya! Dia memang memiliki ilmu sesat, Tuan Patih...," timpal Andika yang tiba-tiba sudah berdiri di samping petinggi kerajaan itu.
"Kalau diperbolehkan, biar aku saja yang mencoba mengajak 'bermain' manusia jelek berjamur ini."
"Maaf, Saudara Andika. Ini adalah tanggung jawabku selaku keamanan istana," tolak Patih I Wayan Rama.
Andika malah tertawa.
"Aaa, kenapa Tuan pelit terhadapku? Lagi pula, apa Tuan tak melihat jamur-jamur berkerak di tubuhnya? Aku pikir, itu adalah buyut dari segala buyut panu. Tuan orang terhormat. Jadi tak mungkin meladeni orang seperti dia. Dia hanya akan mengotorkan tangan Tuan," desak Andika halus, dibumbui gurauan ngelantur.
Patih I Wayan Rama melirik Andika, mendengar permohonan yang terdengar aneh di telinganya. Pantas saja dunia persilatan menjuluki pemuda itu sebagai Pendekar Slebor. Dalam keadaan genting berbau maut seperti saat ini, dia masih mengoceh ngalor-ngidul!
"Sekali lagi maaf, Andika," ulang Patih I Wayan Rama.
"Aku tak bisa mundur dalam tugas, selama masih mampu memikulnya."
Andika kehilangan akal menghadapi keteguhan tekad Patih I Wayan Rama yang berjiwa ksatria. Untungnya, Pendekar Slebor masih tersisa satu cara....
"Paduka!" seru Pendekar Slebor pada Cokorde.
"Paduka tentu masih ingat penjelasanku tadi bukan? Kalau Paduka tak segera menyuruh Patih I Wayan Rama mundur, percayalah. Paduka akan kehilangan seorang kstaria kerajaan sejati!"
Di kejauhan, Cokorde tampak mengangguk-angguk. Setelah itu, tangannya memberi isyarat agar Patih I Wayan Rama mundur. Maka dengan berat hati, lelaki setengah baya itu pun menuruti perintah rajanya.
"Naaah! Sekarang kau bisa berhadapan denganku, Biang Panu!" ledek Andika pada Ki Rawe Rontek, sesudah Patih I Wayan Rama mengambil jarak di luar arena pertarungan
"Hari ini kau harus mempertanggungjawabkan perbuatan kejimu pada Ki Lantanggeni!"
Seperti saat pertama kali menghadapi Patih I Wayan Rama, Ki Rawe Rontek kali ini juga diam tak bergeming, hanya mata baranya saja yang mengawasi Andika tajam-tajam.
"Kenapa diam?" Pendekar Slebor melangkah setindak.
"Apa baru kali ini melihat manusia setampan aku?" Kembali kaki Pendekar Slebor melangkah beberapa tindak.
"Ayo! Kau boleh menggeram, mengaung, menggonggong, atau mengembik. Lalu, seranglah aku!" tantang Pendekar Slebor kian mendekati tubuh calonlawannya.
Sekitar dua depa dari Ki Rawe Rontek, kaki Pendekar Slebor berhenti melangkah. Lagaknya makin terlihat tak waras. Bagai seorang mandor menang undian, pemuda urakan itu bertolak pinggang di depan tokoh hitam menggiriskan ini.
Sedang pongah-pongahnya Andika bertolak pinggang, mulut berlendir Ki Rawe Rontek melepas geraman keras membahana.
"Aaargh!"
Andika sempat terlonjak kaget. Dikira calon lawannya hendak melakukan serangan. Sadar kalau cuma menggeram, Andika berpura-pura seolah-olah tidak terkejut. Tangannya yang sempat terlepas dari pinggang, diangkat kembali tinggi-tinggi. Bodohnya, sekarang dia justru lebih mirip penderita encok!
"Kenapa hanya menggeram? Ayo seranglah aku!" gertak Pendekar Slebor lagi.
"Aaargh!"
"Menggeram lagi...."
"Aaargh! Khau hanyah chari mhathiii...," ucap Ki Rawe Rontek tak
jelas.
"Mbeeek! Akhu thidhak chari mhathi! Shebab akhu bhelum khawhin," Andika meniru cara bicara Ki Rawe Rontek.
Setelah itu, dia terbatuk-batuk sendiri.
Baru saja Pendekar Slebor selesai melepas batuknya, Ki Rawe Rontek mendadak membabatkan kedua cakarnya ke kepala.
"Aaargh!"
Wet! Wet!
Serangan mendadak seperti itu memang tidak terlalu merepotkan Pendekar Slebor. Di Lembah Kutukan tempatnya menjalani penyempurnaan dulu, Andika malah terbiasa berhadapan dengan sambaran-sambaran kilat tak terduga. Sebab itu, Pendekar Slebor mudah saja mementahkan keprukan kedua cakar lawannya. Tangannya terangkat sigap, melindungi dua sisi kepalanya.
"Hait!"
Dak!
Begitu habis menangkis Pendekar Slebor memulai serangan balasan. Tangannya yang semula terangkat di sisi kepala, didorong ke depan di sisi dalam tangan Ki Rawe Rontek. Dengan tetap menahan tangan laki-laki asing itu, Pendekar Slebor hendak balik mengepruk kepala.
Srat!
Nyatanya, Ki Rawe Rontek pun cukup sigap menanggapi keprukan balasan Andika. Tubuhnya segera ditarik ke belakang, tanpa merubah sikap kaki, sehingga badannya agak menyorong.
Prak!
Hantaman telapak tangan Pendekar Slebor pun hanya sempat memakan angin.
***
Gubuk tempat tinggal Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg saat ini tengah diawasi seseorang, di bawah bayangan sebuah pohon besar lima belas langkah di sebelah barat. Matahari yang tersungkur di belakang, mulai melemah. Sinarnya yang kini berwarna jingga, menanduk bokong si Pengintai sehingga, penampilannya sulit dikenali.
Lama sosok itu hanya menatap gubuk Idayu Wayan Laksmi tanpa gerak, bagai sebatang tonggak mati tak bernyawa. Wajahnya tersapu bayangan pohon. Begitu juga sebagian tubuhnya. Sehingga kesannya begitu penuh tanda tanya. Sesekali, bayangan anak rambut orang itu tampak berkibaran kecil tersibak angin. Entah apa yang diperhatikan di gubuk besar itu. Hanya dia yang tahu.
Sementara itu, I Ktut Regeg keluar dari pintu gubuk. Pemuda tanggung bertubub kurus ini memeluk seekor ayam jantan berwarna merah menyala dan berjalu panjang. Layaknya orang-orang Bali, I Ktut Regeg memiliki ayam jago kesayangan untuk disabung dengan jago lain.
Memang bila hari menjelang sore, banyak kaum lelaki menyabung ayam. Dan I Ktut Regeg pun berniat untuk ambil bagian dalam budaya rakyat yang mengasyikkan itu. Sambil bersiul-siul menyenandungkan sebuah tembang, I Ktut Regeg berjalan santai. Tak jauh di belakangnya, si Pengintai segera mengekori.
Sementara itu di alun-alun, sudah berkumpul kurang lebih lima belas pemuda dan orang tua. Semuanya berkeliling, membentuk lingkaran kecil tempat menyabung ayam. Sebagian duduk atau berjongkok. Dan sebagian lain berdiri. Mereka bersorak penuh semangat, membakar semangat tarung dua ekor ayam jantan di tengah-tengah arena.
"Ayo Hitam, pakai jalumu! Iya, begitu!" teriak salah seorang.
“Tatuk kepalanya! Terus, jangan mau kalah!" seru yang lain.
"Ah! Si Hitam itu pecundang! Nanti juga dia keok bila lawan si Ompok!" teriak salah seorang pemilik ayam.
Ketika kedua ayam jago sabungan itu sudah kehabisan tenaga, I Ktut Regeg baru tiba. Dilewatinya dua lelaki pemilik ayam yang sudah mengelus-elus jagonya.
"Wah.... Tampaknya baru saja terjadi pertarungan seru," kata I Ktut Regeg, manakala melihat ayam sabungan di arena sudah dipisahkan.
Pemuda tanggung itu langsung menuju pinggiran lingkaran kecil tempat sabung ayam.
"Siapa yang ingin menyabung dengan jagoku?" tantang I Ktut Regeg, setibanya di arena sabung.
"Wah, ini dia! Cepat sini, Geg! Aku ingin taruhan besar buat jagomu itu!" sambut seseorang.
Baru saja I Ktut Regeg hendak meletakkan ayamnya di arena, orang yang menguntitnya sejak tadi menepuk bahunya. I Ktut Regeg langsung menoleh. Begitu juga orang-orang yang berada di sana.
Lelaki itu ternyata mengenakan topi keranjang penutup wajah dan kepala. Ya! Dialah Lalinggi, salah seorang dari Sepasang Datuk Karang yang pernah dipecundangi Andika di dekat Goa Karang Hitam
Tangannya yang hancur karena sabetan Kain Pusaka Pendekar Slebor, kini dibalut kain warna putih.
"Hei?! Bukankah Beli yang dulu memberi sekantung uang padaku dulu?" sambut I Ktut Regeg, mengenali Lalinggi.
Di balik topi keranjangnya, Lalinggi mengangguk.
"Ya, untuk meminta keterangan tentang peti berukir yang kau buang di laut sebelah Barat Buleleng. Dan sekarang, boleh aku bicara lagi padamu, Dik?" pinta Lalinggi.
I Ktut Regeg bergegas menangkap jagonya. Tak dipedulikan lagi orang-orang yang sudah gemas ingin melihat jago I Ktut Regeg yang sampai saat ini tak terkalahkan.
"Ayo, kita cari tempat yang agak sepi," ajak Lalinggi.
I Ktut Regeg bergegas mengikuti. Kini mereka tiba di naungan sebatang pohon beringin besar.
"Beliingin bicara apa?" tanya I Ktut Regeg, tanpa curiga sedikit pun.
"Aku hendak menitip pesan untuk seseorang," tutur Lalinggi datar.
"Boleh."
"Katakan pada pemuda yang bertamu di rumahmu...."
"BeliAndika?" potong I Ktut Regeg.
"Tepat. Katakan padanya kalau Lalinggi akan datang lagi," tandas Lalinggi, tetap datar dan dingin.
"Ooo.... Soal mudah, Beli"
Lalinggi segera merogoh sesuatu di balik bajunya. Di tangannya yang sudah nyaris tak berjari, kini terlihat beberapa keping uang perak.
"Ini buatmu," kata laki-laki itu.
"Ah! Tak usahlah, Beli" sergah I Ktut Regeg cepat.
"Sisa uang yang Beliberikan padaku, masih banyak. Ayam jantan ini pun kubeli dari uang itu...."
Lalinggi mengangguk-angguk, lalu pergi tanpa mengucapkan terima kasih.
"Beli Nama Belisiapa, ya?!" teriak I Ktut Regeg dari jauh.
Lalinggi tak menggubris. Kakinya terus melangkah, sampai akhirnya menghilang di jalan menurun.
"Huh! Sayang, aku tak tahu nama Beli yang baik itu. Padahal aku ingin menamakan ayam kesayanganku ini dengan namanya!" gerutu I Ktut Regeg, sambil berlalu juga dari tempat itu.
***
Halaman Istana Kerajaan Buleleng masih dibuncah pertemuan kesaktian milik dua orang yang sedang bertarung dahsyat, Andika melawan Ki Rawe Rontek. Tanah kancah pertarungan sudah terkuak di beberapa tempat, akibat hantaman-hantaman nyasar. Beberapa bagian tembok istana pun sudah menjadi korban. Sebagian hancur lebur bagai dihantam godam raksasa, sedang sebagian lain retak terbelah tersapu angin pukulan, baik milik Ki Rawe Rontek atau Pendekar Slebor.
Cokorde hanya terpana bersama para petingginya. Sementara para prajurit ternganga-nganga. Semuanya bagai ditenung diam, bersama-sama menyaksikan peristiwa di depan mata.
Untunglah para prajurit dan Patih I Wayan Rama diminta oleh Andika untuk mengambil jarak yang aman dari kancah pertarungan. Kalau tidak, nasib mereka bisa seburuk tembok pagar istana dan pelataran tempat pertempuran!
"Hiaaa!"
"Huaaargh!"
Des! Wet! Wet! Drak!
Adu kesaktian makin sengit. Ki Rawe Rontek sudah mengeluarkan sebagian ilmu andalannya, termasuk 'Pukulan Peremuk Dalam' yang telah merenggut nyawa Ki Lantanggeni. Untuk ilmu hitam itu, Pendekar Slebor bisa meladeni dengan menyelubungi dirinya dengan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan. Bahkan dalam penyerangan, pendekar muda ini lebih unggul beberapa tingkat.
Ilmu 'Pukulan Peremuk Dalam' memang ilmu hitam yang hanya mengandalkan keampuhan pukulan-pukulan maut, tanpa diimbangi kemampuan gerak memadai. Menghadapi jurus-jurus Pendekar Slebor yang demikian beragam dan cepat, ilmu pukulan hitam itu jadi tak begitu berarti. Apalagi ketika pendekar muda itu mulai me-masuki jurus 'Menapak Petir Membabi buta'! Setiap pergantian sikap tubuh dalam kembangan jurusnya sangat sulit ditangkap penglihatan.
Keadaan ini benar-benar menyudutkan Ki Rawe Rontek. Andai sekali saja bisa menyarangkan 'Pukulan Peremuk Dalam' ke tubuh pemuda itu dalam sekejap dia akan berada di atas angin. Tapi hingga saat ini, Pendekar Slebor selalu berkelit lebih cepat. Bahkan angin pukulan Ki Rawe Rontek yang mampu melantakkan sendi lawan, tak pernah menemui sasaran. Apalagi Pendekar Slebor membentengi diri dengan selubung kekuatan yang sulit ditembus.
Pada satu kesempatan, desakan Pendekar Slebor tak bisa lagi dimentahkan Ki Rawe Rontek.
Plak!
Seketika satu tamparan menggeledek mendarat telak di pipi Ki Rawe Rontek. Benar-benar telak! Rasanya bagai didorong tenaga beribu kali. Tak ada tulang leher manusia yang sanggup menahan tenaga tamparan Pendekar Slebor, meski tulangnya terbuat dari baja sekalipun!
Krak!
Suara berderak mengikuti dalam sekejap, di belakang suara tamparan Pendekar Slebor. Asalnya dari leher bagian dalam Ki Rawe Rontek. Saat itu juga leher tokoh hitam itu terpuntir tajam, membuat kepalanya kini berpaling ke belakang!
Patih I Wayan Rama kontan berseru tertahan. Bukan main kagumnya patih ini melihat kehebatan tokoh muda dari Tanah Jawa Dwipa yang dilihatnya. Dalam hati, harus diakui bahwa Andika mempunyai nama besar dalam dunia persilatan.
Sama seperti Patih I Wayan Rama, Cokorde Ida Bagus Tanca pun terkagum luar biasa. Tapi lain halnya yang terjadi si Penasihat Tua yang sebelumnya dikerjai Andika. Lelaki berkepribadian ular berkepala dua itu memejamkan mata rapat-rapat, sambil menggigit ujung kain penutup tubuhnya. Dia memang begitu digasak kengerian.
Sementara itu yang terjadi dalam pertempuran memang tak kalah mempesonakan daripada kehandalan pukulan Pendekar Slebor. Nyatanya Ki Rawe Rontek, masih tetap tegak sekokoh karang. Andika sendiri sempat terperangah, hampir-hampir tak percaya dengan matanya sendiri. Bagaimana mungkin seorang yang sudah terpuntir kepalanya ke belakang, masih bisa berdiri sekokoh itu? Kalau saja Andika tak segera ingat kalau Artapati ini memiliki ilmu 'Rawe Rontek', tentu akan menganggap dirinya sedang bermimpi.
"Jadi inikah kehebatan 'Rawe Rontek' yang dimiliki Artapati...," bisik Pendekar Slebor.
Keterpanaan Andika dimanfaatkan Ki Rawe Rontek alias Artapati, untuk membetulkan kembali kepalanya.
Krak!
Seperti kepala boneka, Ki Rawe Rontek membalikkan kembali wajahnya ke depan!
"Gila...," bisik Andika sambil meringis kembali.
Pendekar Slebor mengusap lehernya sendiri. Sebagai pendekar yang sudah cukup banyak makan pahit manis di pengembaraan, Pendekar Slebor cepat tersadar dari keterpakuan. Dia harus segera menggempur kembali lawannya.
Baru saja Andika membuka jurus baru, lawan di depannya berkomat-kamit. Sesaat kemudian tubuhnya bergetar kecil. Akhirnya....
Plas!
Mendadak Ki Rawe Rontek menghilang!
Sekali lagi Andika tak bisa menyembunyikan keterpanaannya.
"Ilmu hitam apa lagi ini?" Hati Pendekar Slebor kontan dilanda kebingungan.
Sedang sibuk- sibuknya dia bertanya pada diri sendiri, tiba-tiba....
Bekh!
"Aaagh!"
Pendekar Slebor menjerit tertahan di udara, begitu sebuah hantaman amat keras menghajar lambungnya. Tubuhnya memang langsung terhempas deras delapan tombak ke belakang. Ketika bumi menyambutnya, mulut pemuda itu memuntahkan darah segar. Tampaknya ada yang terluka di bagian dalam tubuh Andika.
"Oekh!"
0