- Beranda
- Stories from the Heart
LA CHANDELIER (HORROR STORY)
...
TS
dianmaya2002
LA CHANDELIER (HORROR STORY)
Cuma mau berbagi cerita buatan ane yang absurd bin ngarang
butuh saran dan kritiknya...
Cerita yang ini udah rada mendingan lah daripada cerita Biro Detektif Supranatural PSYCH: PIECES #case1 yang kemaren..
Cerita ini genre-nya one shot story, jadi satu chapter selesai. Paling kalo bersambung jadinya maks dua chapter gakan lebih.
Lebih ringan daripada cerita BDS lah
Kayak biasa! Komen + Rate Wajib yakkk
butuh saran dan kritiknya...
Cerita yang ini udah rada mendingan lah daripada cerita Biro Detektif Supranatural PSYCH: PIECES #case1 yang kemaren..
Cerita ini genre-nya one shot story, jadi satu chapter selesai. Paling kalo bersambung jadinya maks dua chapter gakan lebih.
Lebih ringan daripada cerita BDS lah
Kayak biasa! Komen + Rate Wajib yakkk
Quote:
Darren Pradipta remaja berusia 19 tahun yang patah hati karena perceraian kedua orang tuanya. Ia memutuskan untuk pergi ke Paris menjauhi orang - orang yang menatapnya dengan tatapan iba. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya ia bekerja sebagai seorang pengawas CCTV di sebuah hotel megah berbintang lima bernama La Chandelier.
Pekerjaannya sebagai pengawas CCTV membawanya kedalam tragedi dan sejarah kelam yang pernah terjadi di hotel itu. Akankah Darren sanggup menghadapi kemistisan hotel ini??
-Cerita ini mengandung konten dewasa dengan bahasa kasar, sexual harrasement dan segala hal yang memang harus disingkapi dengan pemikiran yang dewasa-
Spoiler for Prolog:
PROLOG
Sorot matanya menatap tajam hamparan gedung – gedung pencakar langit yang dilengkapi dengan cahaya gemerlapan dari atas sebuah rooftop gedung tertinggi di Metropolis. Sejenak ia menutup kedua matanya mencoba menikmati hembusan angin malam berhawa panas. Tidak ada kesejukan di kota ini kecuali penemuan brilian yang dinamakan Air Conditioning (AC). Sumpek satu kata yang melintas dibenaknya.
Rambutnya telah memanjang, terakhir ia memangkasnya adalah sehari sebelum kelulusan SMA-nya. Masa – masanya sebagai remaja bengal langganan guru BP telah berakhir. Sekarang ia bingung dengan masa depan dihadapannya.
‘Apa yang harus aku lakukan?’
Pertanyaan itu seakan – akan selalu saja menganggunya. Memaksa untuk dijawab seolah – olah tidak akan ada hari esok. Realita seakan mengejarnya seperti seorang polisi mengejar penjahat. Dunia cukup kejam, huh?!
Seharusnya saat ini ia sedang duduk disofa rumahnya sambil meminum segelas susu cokelat hangat ditemani sosok ayah dan ibu. Membagi keluh kesahnya akan masa depan. Masa dimana ia harus berdiri dibawah kakinya sendiri. Masa dimana ia harus mulai menyadari tanggung jawabnya sebagai pria dewasa. Tapi semua itu hanya menjadi impian fana seorang Darren Pradipta yang takkan pernah terwujud. Orang tuanya bercerai dua hari setelah hari kelulusan dan setelah itu mereka sibuk dengan diri mereka sendiri.
Apa kau baik – baik saja?
Orang – orang disekitarnya tak berhenti menanyakan hal itu hingga Darren sampai pada limit dimana dirinya sudah tak mampu lagi menerima pertanyaan simple itu. Ingin sekali ia berteriak dengan kencang tepat didepan wajah orang – orang sok peduli itu.
I’m not fucking okay! I’m broken…
Tentu saja hal itu urung dilakukan. Buat apa ia harus buang energi untuk menceritakan isi hatinya pada orang – orang tak jelas seperti itu. Jadi disinilah ia! Rooftop sebuah gedung pencakar langit. Mencoba menjauh dari semua orang yang menatapnya dengan pandangan kasihan dan menghakiminya sebagai sosok broken home. Tak terlintas sedikit pun dipikirannya untuk menjadi anak emo yang akan menyayat pergelangan tangannya dengan silet tajam untuk mencari perhatian. Atau seorang junkies yang dengan tololnya menjatuhkan diri di kubangan obat – obatan terlarang hingga mati. Atau menggantung dirinya di langit – langit kamar hingga tewas dan akhirnya menjadi headline di koran kriminal.
I’m in pain but I’m not that stupid!
I just wanna be alone FOR A WHILE!
I just wanna be alone FOR A WHILE!
Ditengah – tengah renungannya, Darren dikejutkan dengan suara yang memang sudah familiar ditelinganya.
“Ternyata kau ada disini.”
Suara familiar itu milik sahabatnya Erick Alcander, anak si pemilik gedung pencakar langit. Seulas senyuman tercetak jelas diwajahnya. Darren pun berbalik dan melihatnya berdiri tak jauh di belakangnya.
“Rokok?”
Tanpa aba – aba ia melempar sebungkus rokok menthol kearahnya. Tangan kanannya menangkap sebungkus rokok menthol yang isinya sudah berkurang satu itu. Ia mengambil sesebatang rokok lalu menyelipkannya disela – sela sebelum menyalakannya dengan pemantik berwarna silver berlogo kuda yang selalu dibawanya disaku jeans-nya. Pemantik itu pemberian Donny Geraldine, anak angkat seorang mafia Italia yang juga sahabat baiknya.
“Waktu berlalu sangat cepat.” Ujar Erick setelah menghembuskan gumpalan asap putih dari mulutnya. “Aku masih merasa jika kemarin baru saja di MOS.”
Darren masih saja diam tak menanggapi perkataan Erick yang menurutnya terlalu sentimental. Ia menyibukkan dirinya dengan menghisap rokok putih itu hingga asap memenuhi paru – parunya lalu menghembuskannya dengan ekspresi nikmat tiada tara. Rokok memang membuatnya melupakan kesuraman hidupnya walau untuk sejenak.
“Apa rencanamu setelah ini?”
Ia mengedikkan bahunya karena tidak tahu harus menjawab apa. Mungkin didunia ini cuma dirinya saja yang tidak punya rencana masa depan.
“Keichiro dan Donny telah memilih pilihan hidup mereka. Sekarang giliranmu Darren.”
Kali ini perkataan Erick benar – benar menohok ulu hatinya. Keichiro, pria keturunan Jepang yang penakut itu telah kembali ke Jepang untuk mengambil alih posisinya sebagai ketua Yakuza dari Klan Yamaguchi. Sedangkan Donny ditugaskan ayahnya, Don Geraldine, dalam misi penaklukan Golden Triangle dimana ia harus membangun kerajaan bisnis narkotiknya di perbatasan Thailand, Filipina dan Myanmar. Ia benar – benar merasa jika dirinya adalah seorang pecundang sejati yang tak punya masa depan.
“Ikutlah denganku ke Paris.”
Darren tersenyum kecut. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia terdiam cukup lama, berusaha untuk fokus mencari jawaban yang pas untuk menanggapi perkataan Erick.
“Dengan satu syarat.” Jawabnya dengan suara bariton yang selalu membuat lawan jenis terpesona. “Aku akan mencari pekerjaan. Tinggal di flat kecil dan menikmati waktuku sendiri. Intinya aku butuh waktu untukku sendiri Erick.”
“Baiklah kalau begitu!”
Dua hari kemudian, Darren berangkat ke Paris bersama Erick dan keluarga besar Alcander. Sementara itu Rafael Pradipta sang ayah mendengar kabar keberangkatan putra sulungnya dari Anthony Alcander, sahabat baik yang juga ayah dari Erick.
***
INDEX
NEW
Komen +Ratting + Cendol
Diubah oleh dianmaya2002 11-11-2016 21:01
aripinastiko612 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
34.4K
Kutip
197
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.6KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dianmaya2002
#6
reserved
Ini Chapter awalnya gan
Paris, kota dimana sejarah dan modernisasi bersatu dengan apik. Kota ini adalah pusat fashion dunia dimana brand ternama lahir disini seperti Channel, Louis Vuitton, Bucherry dan lainnya. Disetiap sudut jalan terdapat beberapa pasangan entah itu gay, lesbian, maupun straight dengan berbagai usia tengah menebar romansa – romansa cinta yang endingnya akan berakhir di bawah Eiffel Tower sambil berciuman. Untuk pria single seperti Darren, ia cukup menikmati keindahan seni ukir pada abad Rennaisance post-modern, kue – kue pastry nan lezat yang memang berasal dari Perancis, dan kecantikan wanita – wanita perancis yang khas.
Sudah satu minggu ia berada di Paris. Tinggal di flat yang bersebelahan dengan kafe sederhana yang selalu penuh dari pagi hingga malam hari. Menu di kafe itu memang lezat dengan harga yang relatif terjangkau dan tempat yang sangat nyaman.
Tiga hari setelahnya, Darren mendapatkan pekerjaan sebagai pengawas cctv di sebuah hotel mewah dengan nuansa gold disetiap sudutnya bernama La Chandelier Plaza Hotel, salah satu hotel bintang lima terbaik di Paris. Beberapa lukisan dan patung bernilai jual tinggi terpampang jelas di beberapa sudut lobby hotel. Para bellboy dengan senyum ramahnya membantu para tamu membawa barang bawaannya. Begitu pula para receptionist, yang semuanya adalah wanita perancis yang cantik dengan rambut blondy-nya.
“Aku akan cukup betah bekerja disini.” Gumamnya sambil tersenyum.
Setelah satu minggu ia menjalani training dan berbagai macam tes lainnya, ia pun dipanggil oleh pihak hotel untuk bekerja disana. Hari ini adalah hari pertama ia kerja sebagai pengawas cctv. Jarak hotel dengan flat-nya cukup dekat hanya dua blok saja. Darren melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya. Jarum jam menunjukkan pukul 16.00, ia kebagian shift malam.
Ia pun beranjak dari tempat duduknya dan mengambil mantel tebal berwarna hitam yang ada di lemarinya. Paris tengah ‘membeku’. Salju turun tidak begitu lebat tapi hembusan angin sore kala itu sangat dingin. Mungkin untuk orang Paris, mereka sudah terbiasa dengan cuaca seperti itu tapi bagi Darren yang sudah terbiasa dengan matahari tropis hal itu sungguh berbeda. Ia melangkah keluar dari flatnya, sambil mengeratkan mantel ditubuhnya untuk menghalau dingin.
10 menit berjalan melewati bangunan – bangunan berarsitektur Romawi dan akhirnya ia sampai di tempat kerjanya. Darren berjalan kearah pintu belakang yang memang dikhususkan untuk lalu lalang para karyawan hotel. Ia berpapasan dengan seorang pria dengan seragam koki-nya yang berwarna putih. Pria bernama Piere itu tersenyum lebar saat melihat dirinya.
“Hai Darren! Welcome to La Chandelier.”
“Merci.”
“Sepertinya kau masih perlu beradaptasi dengan cuaca dingin ini.”
“Yeah kau benar Piere. Kalau begitu aku masuk dulu Mr. Lumiere pasti telah menungguku.”
Piere melambaikan tangannya lalu kembali sibuk dengan ponsel yang ia simpan di saku celananya. Darren berjalan menuju ruangan pengawas cctv. Tidak lama kemudian, ia telah sampai di depan pintu masuk ruangan itu. Darren mengetuk pintu ruang pengawas dengan perlahan, tidak beberapa lama pintu itu terbuka dan seorang pria berkepala plontos muncul dari sana. Pria itu bernama Robert Lumiere si pengawas cctv senior.
“Darren aku sudah menunggumu.”
“Apa aku telat sir?”
“Tidak. Kau tepat waktu. Pertahankan itu!”
Mr. Lumiere menyuruhnya masuk. Disana ada seorang pria berkulit hitam yang tengah duduk dibalik kursi pengawas.
“Kenalkan ini Miccah partnermu! His new like you.”
Selanjutnya, Robert meninggalkan mereka berdua di ruangan itu setelah ia selesai memberikan sedikit pengarahan pada mereka berdua. Ruang cctv itu cukup nyaman lengkap dengan toilet dan sebuah pantry kecil dimana diatasnya ada sebuah mesin kopi, beberapa gelas bersih, dan sebuah dispenser. Kursi yang kami duduki pun cukup nyaman dan empuk, sehingga kami berdua akan duduk dengan nyaman tanpa takut sakit punggung.
Miccah orang yang cukup berisik! Wajahnya mengingatkan Darren dengan seorang aktor Hollywood bernama Chris Tucker yang bermain dalam Rush Hour bersama Jacky Chan. Tiap detik ia mengomentari orang – orang yang terlihat dari monitor cctv.
“Hei Darren lihat ini!” ujar Miccah sambil menunjuk salah satu layar monitor dihadapannya.
Darren pun memalingkan pandangannya kearah monitor yang ditunjuk Miccah. Disana terlihat tiga orang wanita dengan pakaian seksi yang memperlihatkan lekuk tubuhnya.
“Ohh Man! Their hot!” ujar Miccah lagi. “Hey Darren kau pilih yang mana?”
“Yang ditengah boleh juga.” Jawab Darren sambil menunjuk seorang wanita berambut panjang yang menggunakan pakaian berbelahan dada rendah sehingga asetnya terlihat begitu menantang.
“Damn! You have a great taste man!”
Tidak lama kemudian, ketiga wanita itu masuk kedalam sebuah kamar sehingga tidak dapat lagi terpantau oleh kamera cctv.
“Kenapa mereka harus menghilang secepat itu?” ujar Miccah kecewa.
Waktu pun berlalu dengan cepat, jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Miccah pamit pergi ke pantry untuk mengambil makanan karena petugas yang bertugas mengantar makanan tidak kunjung datang. Darren sendiri masih menatap monitor – monitor itu dengan mata terbuka lebar sesekali ia menyesap kopi hitamnya sekedar untuk menghilangkan kantuk yang melanda.
Tidak ada yang aneh semua berjalan normal. Tamu yang datang dan pergi, room service yang mondar – mandir keluar masuk kamar – kamar kosong yang baru saja ditinggal check out. Security yang sibuk berpatroli keliling hotel. Sampai kedua matanya menangkap sosok wanita berambut panjang berwarna pirang dengan gaun panjang berwarna peach-nya yang menyapu lantai di koridor lantai 15. Sayangnya Darren tidak dapat melihat wajah wanita itu karena ia membelakangi kamera cctv. Wanita aneh itu berjalan perlahan menuju lift dengan langkah perlahan.
“Mungkin hanya tamu hotel.” Gumam Darren pada dirinya sendiri.
Darren kembali menyesap kopi hangatnya dan tidak ambil pusing dengan keberadaan wanita aneh itu. Tidak lama kemudian Miccah datang sambil membawa troli berisi banyak makanan.
“Orang pantry memberikan makanan ini pada kita. Katanya sisa makanan dari acara wedding party yang diadakan di ballroom tadi sore. Aku juga membawa kantung plastik jika sisa kita bisa membawanya pulang.”
Darren hanya terkekeh geli melihat partner kerjanya yang begitu... entahlah ia tidak tahu kata – kata yang tepat untuk menggambarkan kelakuan Miccah. Satu jam pun berlalu, tidak ada yang aneh sampai Darren kembali mengarahkan matanya kearah monitor lantai 15. Wanita bergaun panjang berwarna peach yang ia lihat tadi tengah berdiri didepan lift.
“Apa yang sedang ia lakukan?”
“Ada apa Darren?”
“Wanita itu terlihat aneh.”
“Mungkin ia sedang menunggu lift. Sudah biarkan saja.”
Sekarang Miccah sibuk dengan sepiring fetuccini yang sedang ia santap, sementara Darren hanya meminum kopinya yang mulai dingin. Entah kenapa seperti ada magnet yang mengarahkan kedua bola matanya untuk kembali menatap monitor yang memperlihatkan kondisi di lantai 15. Ia terkejut karena wanita itu masih saja berdiri didepan lift tanpa berbuat apa – apa. Tanpa menekan tombol lift. Aneh. Tidak lama kemudian bahu wanita itu naik turun, seperti sedang menangis.
“Miccah lihat ini.”
Miccah mengarahkan pandangannya kearah monitor yang ditunjuk Darren.
“Yahh menurutku dia seksi walaupun pakaiannya jadul.”
“Bukan itu maksudku.”
“Dia sudah berdiri selama 15 menit di depan lift tanpa melakukan apa – apa. Apa kau tidak merasa aneh?”
“Banyak orang aneh di dunia ini jadi aku tidak akan heran. Sudahlah Darren biarkan ia melakukan apa yang ia inginkan selama ia membayar saat check out dari hotel ini.”
Darren mendengus sebal dengan pernyataan Miccah.
40 menit berlalu. Darren dikejutkan dengan salah satu monitor yang mendadak lost konek dan menampilkan layar berwarna biru.
“Sepertinya kamera cctv di lantai 15 bermasalah.”
Miccah menawarkan dirinya untuk pergi ke lantai 15 dan mengecek cctv yang ada disana. Ia bosan jika harus duduk berlama – lama menatap layar monitor. Miccah keluar dari ruangan itu dengan kotak perkakas ditangan kanannya dan tangga yang terbuat dari alumunium ringan ditangan kirinya. Ia berjalan menuju lift dengan langkah mantap bak selebriti red carpet. Dalam hatinya, ia berharap agar dapat bertemu seorang wanita Perancis yang cantik dan bisa diajak berkencan.
Dalam sekejap mata Lift itu terbuka di lantai 15 dimana sumber masalah berasal. Ia melangkah keluar dan langsung menuju ke sudut koridor dimana kamera cctvnya terpasang. Tangga alumunium yang ia bawa telah ia pasang tepat dibawah kamera cctv yang tergantung lalu menaikinya. Setelah dicek ternyata tidak ada kerusakan pada kamera itu.
Ia pun mengambil walkie talkie yang terselip dipinggangnya dan menghubungi Darren yang berada di ruang pengawas cctv.
“It’s not broken.” Protesnya lewat walkie talkie. “Apa monitor disana sudah menyala?”
“Yes Man!” kata Darren yang baru saja mengecek monitor lantai 15 yang kini telah menyala dan menampilkan keadaan koridor lantai 15 dengan wajah Miccah yang terekam disana.
Entah mengapa matanya tertuju pada sebuah pot besar yang ditanami sejenis pohon palem yang terletak didekat lift. Ia melihat wanita aneh bergaun peach yang sedang berdiri disana.
“Miccah… Apa kau lihat wanita itu?”
“Wanita yang mana Darren?” ujarnya yang baru selesai melipat tangga alumunium portable.
“Wanita itu ada di balik pot. Coba kau lihat siapa tahu ia tamu yang sedang membutuhkan bantuan.”
Lalu Micah berjalan kearah pot pohon palem itu dan melihat tidak ada siapa – siapa disana.
“Darren please! Tidak ada siapa – siapa disini! Sepertinya kau sudah mengantuk.”
Darren terdiam ia mengabaikkan suara Miccah yang masih terdengar di walkie talkie miliknya. Matanya terpaku pada layar monitor yang menampilkan wanita dengan wajah penuh darah tepat dihadapan Miccah.
“Holy Shit!”umpat Darren tanpa berpaling sedikit pun dari layar monitor itu. “Miccah!! Get out of there NOW!!!”
Miccah mengarahkan matanya tertuju pada kamera cctv sambil mengacungkan jari tengahnya. Ia berpikir jika Darren sedang mempermainkannya.
“Kau pikir aku anak kecil yang gampang untuk dibodohi dengan cerita hantu!”
Ia pun berjalan menjauhi pot besar itu dan berjalan menuju lift sambil membawa kotak perkakas dan tangga alumunium dikedua tangannya. Pintu lift terbuka, ia pun bergegas masuk dan menekan tombol menuju lantai paling bawah dimana ruang cctv berada. Miccah bersiul – siul untuk memecah keheningan karena hanya dia sendiri yang ada disana. Entah mengapa ia merasakan ada sesuatu dibelakangnya, untuk menghilangkan ketakutannya Miccah pun mengambil walkie talkie nya untuk sekedar ber-chit chat dengan Darren. Tapi sialnya walkie talkie itu mati.
Entah mengapa ada suatu kekuatan yang menarik Miccah untuk berbalik dan mengetahui apa yang ada dibelakangnya. Dahi Miccah mulai dibasahi oleh bulir – bulir keringat dingin. Ketakutan mulai menjalari dirinya. Dengan mata terpejam, ia pun membalikkan tubuhnya untuk mengetahui ada apa dibelakangnya. Perlahan ia membuka kedua matanya yang tertutup. Miccah begitu terkejut ketika dihadapannya ada seorang wanita bergaun peach yang panjang sampai menyentuh lantai lift. Rambutnya berwarna pirang yang panjang dan bergelombang seperti putri – putri zaman kerajaan. Wanita itu berdiri memunggungi Miccah sambil menangis pilu. Miccah yang ketakutan pun menyeret tubuhnya ke sudut lift yang berlawanan arah dengan wanita asing itu.
Beberapa saat kemudian, tangisan wanita itu terhenti begitu saja. Miccah semakin panik. Tangannya sejak tadi menekan tombol lift agar terbuka dilantai mana saja, tapi sayangnya pintu lift tak kunjung terbuka. Tak lama kemudian, wanita itu berbalik dan menunjukkan wajahnya yang berdarah – darah dengan tatapan mata yang sangat mengerikan. Miccah sungguh terkejut dengan sosok mahluk yang ada dihadapannya. Tangannya semakin gencar menekan tombol – tombol pada lift itu, tapi tombol – tombol itu seperti tidak berfungsi.
Mahluk mengerikan mencoba untuk menggapai Miccah dengan jari – jari tangannya yang patah tapi sayangnya pintu lift keburu terbuka hingga ia pun berlari keluar dengan ketakutan. Miccah sudah tidak peduli lagi dengan tangga alumunium dan kotak perkakas yang ia tinggal didalam lift begitu saja. Sekarang yang ada dikepalanya hanyalah menyelamatkan diri dari hantu sialan yang mengejarnya.
pintu ruangan itu terbuka dan Miccah ada disana dengan raut wajah yang tak dapat diartikan. Peluh membasahi dahinya,nafasnya tak beraturan dan juga wajah yang memucat. Dengan sigap, Darren menuntunnya untuk duduk dan mengambilkannya segelas air putih yang langsung diminum Miccah hingga tandas.
“Sebaiknya kita tidak membicarakannya.” Ujar Miccah yang mulai tenang.
“Kau benar Miccah.”
“Just pretend that we don’t see anything.”
“Right!”
“Ayo kita kembali bekerja.”
***
Paginya Robert Lumierre memasuki ruangan cctv, ia begitu terkejut ketika melihat dua orang anak buahnya memasang tampang yang begitu menyeramkan. Kantung mata yang menghitam, mata yang memerah dan wajah kuyu yang dicampur dengan ketakutan.
“Ada apa dengan kalian? Apa shift pertama kalian begitu berat?”
Miccah memandangi bos-nya dengan tatapan horror sedangkan Darren hanya diam saja.
“Biar aku tebak.” Ujar Robert Lumierre sambil mengetuk – ngetukkan dagunya. “Si jalang di lantai 15 menakuti kalian?”
Darren dan Miccah saling melempar pandangan lalu mereka berdua kembali menatap Robert.
“Bisa kau jelaskan kepada kami?” tanya Darren kepada Robert yang tengah menahan tawanya yang hampir meledak.
Robert menghela napas panjang sebelum ia menjawab pertanyaan Darren.
“Baiklah! Aku tidak tahu asal usul si jalang itu tapi satu hal yang perlu kalian tahu adalah kalian berdua harus mulai membiasakan diri dengan ‘Something that you can’t see with bare eyes’. Kalian pasti tahu maksudku.”
satu dulu sapa tau disuruh pindah kamar sama momod
Ini Chapter awalnya gan
Spoiler for The Bitch in 15th Floor:
The Bitch in 15th Floor
Paris, kota dimana sejarah dan modernisasi bersatu dengan apik. Kota ini adalah pusat fashion dunia dimana brand ternama lahir disini seperti Channel, Louis Vuitton, Bucherry dan lainnya. Disetiap sudut jalan terdapat beberapa pasangan entah itu gay, lesbian, maupun straight dengan berbagai usia tengah menebar romansa – romansa cinta yang endingnya akan berakhir di bawah Eiffel Tower sambil berciuman. Untuk pria single seperti Darren, ia cukup menikmati keindahan seni ukir pada abad Rennaisance post-modern, kue – kue pastry nan lezat yang memang berasal dari Perancis, dan kecantikan wanita – wanita perancis yang khas.
Sudah satu minggu ia berada di Paris. Tinggal di flat yang bersebelahan dengan kafe sederhana yang selalu penuh dari pagi hingga malam hari. Menu di kafe itu memang lezat dengan harga yang relatif terjangkau dan tempat yang sangat nyaman.
Tiga hari setelahnya, Darren mendapatkan pekerjaan sebagai pengawas cctv di sebuah hotel mewah dengan nuansa gold disetiap sudutnya bernama La Chandelier Plaza Hotel, salah satu hotel bintang lima terbaik di Paris. Beberapa lukisan dan patung bernilai jual tinggi terpampang jelas di beberapa sudut lobby hotel. Para bellboy dengan senyum ramahnya membantu para tamu membawa barang bawaannya. Begitu pula para receptionist, yang semuanya adalah wanita perancis yang cantik dengan rambut blondy-nya.
“Aku akan cukup betah bekerja disini.” Gumamnya sambil tersenyum.
Setelah satu minggu ia menjalani training dan berbagai macam tes lainnya, ia pun dipanggil oleh pihak hotel untuk bekerja disana. Hari ini adalah hari pertama ia kerja sebagai pengawas cctv. Jarak hotel dengan flat-nya cukup dekat hanya dua blok saja. Darren melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya. Jarum jam menunjukkan pukul 16.00, ia kebagian shift malam.
Ia pun beranjak dari tempat duduknya dan mengambil mantel tebal berwarna hitam yang ada di lemarinya. Paris tengah ‘membeku’. Salju turun tidak begitu lebat tapi hembusan angin sore kala itu sangat dingin. Mungkin untuk orang Paris, mereka sudah terbiasa dengan cuaca seperti itu tapi bagi Darren yang sudah terbiasa dengan matahari tropis hal itu sungguh berbeda. Ia melangkah keluar dari flatnya, sambil mengeratkan mantel ditubuhnya untuk menghalau dingin.
10 menit berjalan melewati bangunan – bangunan berarsitektur Romawi dan akhirnya ia sampai di tempat kerjanya. Darren berjalan kearah pintu belakang yang memang dikhususkan untuk lalu lalang para karyawan hotel. Ia berpapasan dengan seorang pria dengan seragam koki-nya yang berwarna putih. Pria bernama Piere itu tersenyum lebar saat melihat dirinya.
“Hai Darren! Welcome to La Chandelier.”
“Merci.”
“Sepertinya kau masih perlu beradaptasi dengan cuaca dingin ini.”
“Yeah kau benar Piere. Kalau begitu aku masuk dulu Mr. Lumiere pasti telah menungguku.”
Piere melambaikan tangannya lalu kembali sibuk dengan ponsel yang ia simpan di saku celananya. Darren berjalan menuju ruangan pengawas cctv. Tidak lama kemudian, ia telah sampai di depan pintu masuk ruangan itu. Darren mengetuk pintu ruang pengawas dengan perlahan, tidak beberapa lama pintu itu terbuka dan seorang pria berkepala plontos muncul dari sana. Pria itu bernama Robert Lumiere si pengawas cctv senior.
“Darren aku sudah menunggumu.”
“Apa aku telat sir?”
“Tidak. Kau tepat waktu. Pertahankan itu!”
Mr. Lumiere menyuruhnya masuk. Disana ada seorang pria berkulit hitam yang tengah duduk dibalik kursi pengawas.
“Kenalkan ini Miccah partnermu! His new like you.”
Selanjutnya, Robert meninggalkan mereka berdua di ruangan itu setelah ia selesai memberikan sedikit pengarahan pada mereka berdua. Ruang cctv itu cukup nyaman lengkap dengan toilet dan sebuah pantry kecil dimana diatasnya ada sebuah mesin kopi, beberapa gelas bersih, dan sebuah dispenser. Kursi yang kami duduki pun cukup nyaman dan empuk, sehingga kami berdua akan duduk dengan nyaman tanpa takut sakit punggung.
Miccah orang yang cukup berisik! Wajahnya mengingatkan Darren dengan seorang aktor Hollywood bernama Chris Tucker yang bermain dalam Rush Hour bersama Jacky Chan. Tiap detik ia mengomentari orang – orang yang terlihat dari monitor cctv.
“Hei Darren lihat ini!” ujar Miccah sambil menunjuk salah satu layar monitor dihadapannya.
Darren pun memalingkan pandangannya kearah monitor yang ditunjuk Miccah. Disana terlihat tiga orang wanita dengan pakaian seksi yang memperlihatkan lekuk tubuhnya.
“Ohh Man! Their hot!” ujar Miccah lagi. “Hey Darren kau pilih yang mana?”
“Yang ditengah boleh juga.” Jawab Darren sambil menunjuk seorang wanita berambut panjang yang menggunakan pakaian berbelahan dada rendah sehingga asetnya terlihat begitu menantang.
“Damn! You have a great taste man!”
Tidak lama kemudian, ketiga wanita itu masuk kedalam sebuah kamar sehingga tidak dapat lagi terpantau oleh kamera cctv.
“Kenapa mereka harus menghilang secepat itu?” ujar Miccah kecewa.
Waktu pun berlalu dengan cepat, jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Miccah pamit pergi ke pantry untuk mengambil makanan karena petugas yang bertugas mengantar makanan tidak kunjung datang. Darren sendiri masih menatap monitor – monitor itu dengan mata terbuka lebar sesekali ia menyesap kopi hitamnya sekedar untuk menghilangkan kantuk yang melanda.
Tidak ada yang aneh semua berjalan normal. Tamu yang datang dan pergi, room service yang mondar – mandir keluar masuk kamar – kamar kosong yang baru saja ditinggal check out. Security yang sibuk berpatroli keliling hotel. Sampai kedua matanya menangkap sosok wanita berambut panjang berwarna pirang dengan gaun panjang berwarna peach-nya yang menyapu lantai di koridor lantai 15. Sayangnya Darren tidak dapat melihat wajah wanita itu karena ia membelakangi kamera cctv. Wanita aneh itu berjalan perlahan menuju lift dengan langkah perlahan.
“Mungkin hanya tamu hotel.” Gumam Darren pada dirinya sendiri.
Darren kembali menyesap kopi hangatnya dan tidak ambil pusing dengan keberadaan wanita aneh itu. Tidak lama kemudian Miccah datang sambil membawa troli berisi banyak makanan.
“Orang pantry memberikan makanan ini pada kita. Katanya sisa makanan dari acara wedding party yang diadakan di ballroom tadi sore. Aku juga membawa kantung plastik jika sisa kita bisa membawanya pulang.”
Darren hanya terkekeh geli melihat partner kerjanya yang begitu... entahlah ia tidak tahu kata – kata yang tepat untuk menggambarkan kelakuan Miccah. Satu jam pun berlalu, tidak ada yang aneh sampai Darren kembali mengarahkan matanya kearah monitor lantai 15. Wanita bergaun panjang berwarna peach yang ia lihat tadi tengah berdiri didepan lift.
“Apa yang sedang ia lakukan?”
“Ada apa Darren?”
“Wanita itu terlihat aneh.”
“Mungkin ia sedang menunggu lift. Sudah biarkan saja.”
Sekarang Miccah sibuk dengan sepiring fetuccini yang sedang ia santap, sementara Darren hanya meminum kopinya yang mulai dingin. Entah kenapa seperti ada magnet yang mengarahkan kedua bola matanya untuk kembali menatap monitor yang memperlihatkan kondisi di lantai 15. Ia terkejut karena wanita itu masih saja berdiri didepan lift tanpa berbuat apa – apa. Tanpa menekan tombol lift. Aneh. Tidak lama kemudian bahu wanita itu naik turun, seperti sedang menangis.
“Miccah lihat ini.”
Miccah mengarahkan pandangannya kearah monitor yang ditunjuk Darren.
“Yahh menurutku dia seksi walaupun pakaiannya jadul.”
“Bukan itu maksudku.”
“Dia sudah berdiri selama 15 menit di depan lift tanpa melakukan apa – apa. Apa kau tidak merasa aneh?”
“Banyak orang aneh di dunia ini jadi aku tidak akan heran. Sudahlah Darren biarkan ia melakukan apa yang ia inginkan selama ia membayar saat check out dari hotel ini.”
Darren mendengus sebal dengan pernyataan Miccah.
40 menit berlalu. Darren dikejutkan dengan salah satu monitor yang mendadak lost konek dan menampilkan layar berwarna biru.
“Sepertinya kamera cctv di lantai 15 bermasalah.”
Miccah menawarkan dirinya untuk pergi ke lantai 15 dan mengecek cctv yang ada disana. Ia bosan jika harus duduk berlama – lama menatap layar monitor. Miccah keluar dari ruangan itu dengan kotak perkakas ditangan kanannya dan tangga yang terbuat dari alumunium ringan ditangan kirinya. Ia berjalan menuju lift dengan langkah mantap bak selebriti red carpet. Dalam hatinya, ia berharap agar dapat bertemu seorang wanita Perancis yang cantik dan bisa diajak berkencan.
Dalam sekejap mata Lift itu terbuka di lantai 15 dimana sumber masalah berasal. Ia melangkah keluar dan langsung menuju ke sudut koridor dimana kamera cctvnya terpasang. Tangga alumunium yang ia bawa telah ia pasang tepat dibawah kamera cctv yang tergantung lalu menaikinya. Setelah dicek ternyata tidak ada kerusakan pada kamera itu.
Ia pun mengambil walkie talkie yang terselip dipinggangnya dan menghubungi Darren yang berada di ruang pengawas cctv.
“It’s not broken.” Protesnya lewat walkie talkie. “Apa monitor disana sudah menyala?”
“Yes Man!” kata Darren yang baru saja mengecek monitor lantai 15 yang kini telah menyala dan menampilkan keadaan koridor lantai 15 dengan wajah Miccah yang terekam disana.
Entah mengapa matanya tertuju pada sebuah pot besar yang ditanami sejenis pohon palem yang terletak didekat lift. Ia melihat wanita aneh bergaun peach yang sedang berdiri disana.
“Miccah… Apa kau lihat wanita itu?”
“Wanita yang mana Darren?” ujarnya yang baru selesai melipat tangga alumunium portable.
“Wanita itu ada di balik pot. Coba kau lihat siapa tahu ia tamu yang sedang membutuhkan bantuan.”
Lalu Micah berjalan kearah pot pohon palem itu dan melihat tidak ada siapa – siapa disana.
“Darren please! Tidak ada siapa – siapa disini! Sepertinya kau sudah mengantuk.”
Darren terdiam ia mengabaikkan suara Miccah yang masih terdengar di walkie talkie miliknya. Matanya terpaku pada layar monitor yang menampilkan wanita dengan wajah penuh darah tepat dihadapan Miccah.
“Holy Shit!”umpat Darren tanpa berpaling sedikit pun dari layar monitor itu. “Miccah!! Get out of there NOW!!!”
Miccah mengarahkan matanya tertuju pada kamera cctv sambil mengacungkan jari tengahnya. Ia berpikir jika Darren sedang mempermainkannya.
“Kau pikir aku anak kecil yang gampang untuk dibodohi dengan cerita hantu!”
Ia pun berjalan menjauhi pot besar itu dan berjalan menuju lift sambil membawa kotak perkakas dan tangga alumunium dikedua tangannya. Pintu lift terbuka, ia pun bergegas masuk dan menekan tombol menuju lantai paling bawah dimana ruang cctv berada. Miccah bersiul – siul untuk memecah keheningan karena hanya dia sendiri yang ada disana. Entah mengapa ia merasakan ada sesuatu dibelakangnya, untuk menghilangkan ketakutannya Miccah pun mengambil walkie talkie nya untuk sekedar ber-chit chat dengan Darren. Tapi sialnya walkie talkie itu mati.
Entah mengapa ada suatu kekuatan yang menarik Miccah untuk berbalik dan mengetahui apa yang ada dibelakangnya. Dahi Miccah mulai dibasahi oleh bulir – bulir keringat dingin. Ketakutan mulai menjalari dirinya. Dengan mata terpejam, ia pun membalikkan tubuhnya untuk mengetahui ada apa dibelakangnya. Perlahan ia membuka kedua matanya yang tertutup. Miccah begitu terkejut ketika dihadapannya ada seorang wanita bergaun peach yang panjang sampai menyentuh lantai lift. Rambutnya berwarna pirang yang panjang dan bergelombang seperti putri – putri zaman kerajaan. Wanita itu berdiri memunggungi Miccah sambil menangis pilu. Miccah yang ketakutan pun menyeret tubuhnya ke sudut lift yang berlawanan arah dengan wanita asing itu.
Beberapa saat kemudian, tangisan wanita itu terhenti begitu saja. Miccah semakin panik. Tangannya sejak tadi menekan tombol lift agar terbuka dilantai mana saja, tapi sayangnya pintu lift tak kunjung terbuka. Tak lama kemudian, wanita itu berbalik dan menunjukkan wajahnya yang berdarah – darah dengan tatapan mata yang sangat mengerikan. Miccah sungguh terkejut dengan sosok mahluk yang ada dihadapannya. Tangannya semakin gencar menekan tombol – tombol pada lift itu, tapi tombol – tombol itu seperti tidak berfungsi.
Mahluk mengerikan mencoba untuk menggapai Miccah dengan jari – jari tangannya yang patah tapi sayangnya pintu lift keburu terbuka hingga ia pun berlari keluar dengan ketakutan. Miccah sudah tidak peduli lagi dengan tangga alumunium dan kotak perkakas yang ia tinggal didalam lift begitu saja. Sekarang yang ada dikepalanya hanyalah menyelamatkan diri dari hantu sialan yang mengejarnya.
pintu ruangan itu terbuka dan Miccah ada disana dengan raut wajah yang tak dapat diartikan. Peluh membasahi dahinya,nafasnya tak beraturan dan juga wajah yang memucat. Dengan sigap, Darren menuntunnya untuk duduk dan mengambilkannya segelas air putih yang langsung diminum Miccah hingga tandas.
“Sebaiknya kita tidak membicarakannya.” Ujar Miccah yang mulai tenang.
“Kau benar Miccah.”
“Just pretend that we don’t see anything.”
“Right!”
“Ayo kita kembali bekerja.”
***
Paginya Robert Lumierre memasuki ruangan cctv, ia begitu terkejut ketika melihat dua orang anak buahnya memasang tampang yang begitu menyeramkan. Kantung mata yang menghitam, mata yang memerah dan wajah kuyu yang dicampur dengan ketakutan.
“Ada apa dengan kalian? Apa shift pertama kalian begitu berat?”
Miccah memandangi bos-nya dengan tatapan horror sedangkan Darren hanya diam saja.
“Biar aku tebak.” Ujar Robert Lumierre sambil mengetuk – ngetukkan dagunya. “Si jalang di lantai 15 menakuti kalian?”
Darren dan Miccah saling melempar pandangan lalu mereka berdua kembali menatap Robert.
“Bisa kau jelaskan kepada kami?” tanya Darren kepada Robert yang tengah menahan tawanya yang hampir meledak.
Robert menghela napas panjang sebelum ia menjawab pertanyaan Darren.
“Baiklah! Aku tidak tahu asal usul si jalang itu tapi satu hal yang perlu kalian tahu adalah kalian berdua harus mulai membiasakan diri dengan ‘Something that you can’t see with bare eyes’. Kalian pasti tahu maksudku.”
satu dulu sapa tau disuruh pindah kamar sama momod
sormin180 dan bejo.gathel memberi reputasi
2
Kutip
Balas