Kaskus

Story

uclnAvatar border
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR
PENDEKAR SLEBOR


Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta



Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.

Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).

Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.

Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan

Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.

Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..

Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.

Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..

And Here We Go.....

I N D E K S


Spoiler for Indeks 1:



TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya


GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
anasabilaAvatar border
regmekujoAvatar border
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
uclnAvatar border
TS
ucln
#108
Part 2

"Lhanthanghhh.... Akkhu kembhalhi uhnthukh mencabhut nyawhamuhuuuuh...."

Ki Lantanggeni terkesiap begitu mendengar sebuah suara seseorang yang sepertinya kenal dengan dirinya. Kini dugaannya terbukti. Artapati, atau lima puluh tahun lalu amat tersohor dengan julukan Ki Rawe Rontek, telah bangkit kembali! Bahkan untuk mencabut nyawanya sebagai pembayar hutang!

Sambil menarik napas sesak akibat pengaruh 'Pukulan Peremuk Dalam', sekaligus untuk mengembalikan kekuatantubuhnya, Ki Lantanggeni mengeluh berat. Bukanlah kematian yang ditakuti. Tapi, sepak terjang tak berperi kemanusiaan yang dilakukan Artapati. Tentu datuk sesat itu setiap waktu akan menumpahkan darah kembali dimana-mana, jika mulai merasa haus darah!

"Ini tak boleh terjadi...," desis Ki Lantanggeni, lirih.

"Khenhaphah therdhiamh sepherthi ithu, Lhantahanghhh? Khau tahkut menerima kemathianmuhhh?"

Suara berat itu kembah menyesaki udara di sekitar gubuk, menerjang jiwa Ki Lantanggeni Sehingga, membuatnya bergetar.

"Aku tak takut pada kematian, Arta! Aku tetap seperti yang dulu. Pantang mundur untuk kebatilan, rela membuang nyawa untuk menegakkan kebenaran!" bentak Ki Lantanggeni, masih tetap berdiri kukuh pada pucuk atap rumbia rapuh.

Kalau bukan tokoh semacam Ki Lantanggeni, tentu atap itu akan segera roboh. Karena, sebenarnya kekuatannya hanya untuk menahan berat tubuh seekor burung nuri.

"Haaarhhh..., haaarhhh... haaarh!"

Entah yang terdengar itu adalah tawa Artapati, atau semacam kegusaran. Ki Lantanggeni sendiri tak bisa menentukannya. Yang jelas, telinganya menangkap kesan keangkuhan di sana.

"Khau phikhir, khau mhashih tethaph sepherti dhuluh, Lhanthanghhh? Apha khau thak shadar khalau thubuhhmu sudhah laphuk?" cemooh suara berat yang terseret itu.

"Akhu thak mauhhh bhanyak omhong lhlagi, Lhantanghh. Akhu akhan mengamphuni nyawhamu, asal khau mau menyerhahkan sobhekhan khitab ilmhu hitham ithu...."

Ki Lantanggeni menyeringai. Namun sempat terhenyak juga.

"Kau pikir kau siapa, Arta? Tuhan yang bisa mengampuni nyawa manusia? Kau terlalu sombong, Arta! Tuhan akan menghukummu!" hardik laki-laki tua itu dengan wajah memerah matang.

"Haarrrh... haarrh... harrh! Uchapanmhu therlhaluh bodhoh, Lhantangh!"

"Hentikankeangkuhan memuakanmu, Arta! Kalaupun sejuta setan neraka kau bawa ke sini untuk memaksaku menyerahkan gulungan lontar itu, tetap tak akan kuberikan!" tandas Ki Lantanggeni

"Aaaargggh!"

Lengkingan serak ketiga kembali menyayat angkasa, disusul membersitnya gelang-gelang api yang garis tengahnya sebesar mulut sumur, menuju Ki Lantanggeni. Asalnya, dari satu gundukan semak tinggi di tepi lembah.

Kegesitan Ki Lantanggeni, tak berkurang meski tubuhnya masih didera pengaruh pukulan tak berwujud tadi. Bagaikan tupai yang meloncat lincah, tubuh lelaki tua itu melenting ringan ke udara dengan kedua tangan terbentang. Kemudian setelah berputaran beberapa kali, kakinya mendarat ringan tiga belas tombak dari tempat asal serangan.

Dalam hati Ki Lantanggeni bergumam setengah menyumpah. Serangan barusan merupakan salah satu ilmu hitam yang dimiliki Artapati, setelah direbutnya secara curang dari tangan Ki Lantanggeni. Padahal, ilmu hitam itu tak terlalu tangguh. Tapi yang baru saja disaksikannya, benar-benar di luar dugaan. Tampaknya setelah sekian puluh tahun tubuhnya terperam bumi, ilmu-ilmu Artapati menjadi kian matang. Terbukti dengan kehebatan jangkauan gelang-gelang api yang mampu mencapai tiga puluh lima tombak.

Jauh di belakang sana, pondok milik Ki Lantanggeni mulai dilahap lidah api. Jilatan si Jago Merah itu mulai menjalar ke rangka pondoknya. Sampai akhirnya, menjalar ke bagian dinding. Kebakaran ini membuat Ki
Lantanggeni khawatir, karena patung kayu tempat persembunyian gulung lontar rahasia kelemahan ilmu-ilmu hitam tentu akan terbakar api pula. Kalau gulungan lontar itu terbakar, maka musnahlah rahasia kelemahan ilmu hitam Artapati. Dan, tidak akan ada lagi orang yang menahan kebuasannya.

Dengan segera Ki Lantanggeni hendak berbalik. Tapi niatnya diurungkan,karena Artapati arias Ki Rawe Rontek telah mendahului dengan hantaman gelang-gelang api kembali.

Wrrr! Wrrr! Wrrr!
"Haih!"

Ki Lantanggeni langsung melenting, menyelamatkan diri. Dan seketika tubuhnya melesat nekat, menerobos tepat di tengah lingkaran gelang-gelang api yang meluruk deras ke arahnya. Tampaknya laki-laki tua itu sudah cukup mengenali pukulan api tersebut. Sehingga mau mengambil langkah nekat dan sebahaya itu.

Pada saat tubuh laki-laki tua membentang lurus di atas, seketika sesosok bayangan besar menerkamnya dari semak-semak. Padahal, jarak antara semak-semak dengan tubuh Ki Lantanggeni terbilang sekitar sepuluh tombak. Namun, terkaman itu sanggup menggapainya. Itulah sosok Artapati yang menerkam laksana terbang!

Sementara, kedua tokoh berbeda aliran itu menyulut pertarungan maut, tanpa ada yang tahu seseorang menerabas masuk pondok yang terbakar. Beberapa saat matanya mencari-cari sesuatu di setiap ruangan pondok, di tengah gapaian-gapaian lidah api, tanpa merasa takut terbakar, dengan tenang diperiksanya ruang demi ruang sampai akhirnya ditemukannya sepasang patung buatan Yaksa, yang baru saja dirampungkan.

Dari bawah kaki salah satu patung kayu itu. Si Penelusup mengambil gulungan lontar tanpa harus berlama-lama meneliti lubang rahasianya. Gulungan lontar ini kemudian dimasukkan kembali ke dalam laci rahasia di bawah kaki patung itu. Setelah itu, dia keluar tanpa kesulitan.

***


Yaksa telah tiba di Desa Umbuldadi senja hari, menjelang tersungkurnya mentari di kaki langit. Temaram telah mengurung desa kecil itu. Beberapa rumpun nyiur bergerak-gerak lamban, diusik angin sepoi-sepoi.

Sejak gurunya pergi bersama Pendekar Slebor untuk memburu kotak berukir yang dibawa Sepasang Datuk Karang, Yaksa tidak pernah menjumpai gadis yang disukainya di Desa Umbuldadi yang termasuk wilayah Kerajaan Buleleng. Tanpa izin Ki Lantanggeni, dia tak berani pergi meninggalkan pondok kecuali untuk urusan penting.

Setelah kepulangan Ki Lantanggeni beberapa hari lalu, Yaksa baru bisa mendapat latihan jurus-jurus bela diri lagi. Sekaligus, bisa meminta izin untuk menemui gadis pujaannya. Jika seseorang bertanya pada Yaksa tentang perasaannya saat ini, pasti akan dijawab lantang kalau perasaannya amat berbunga-bunga. Siapa yang tak senang jika hendak menemui orang yang dicintai?

Tak begitu lama berjalan memasuki desa, Yaksa akhirnya tiba di depan sebuah rumah gubuk sederhana yang bersih dan nyaman. Di situlah pujaan hatinya tinggal. Makin dekat dengan gubuk itu, hatinya makin berbunga-
bunga. Bahkan jantungnya jadi bertalu-talu keras.

Baru saja pemuda itu hendak memijakkan kakinya di anak tangga pondok, telinganya menangkap dua orang sedang berbincang-bincang di dalam. Entah, apa yang dibicarakan. Yang diketahuinya suara itu dari seorang pria dan wanita.

Yaksa jadi curiga. Dengan sangat hati-hati, dinaikinya tangga satu persatu. Lalu dari celah pintu, dia mengintip ke dalam. Benar! Memang ada seorang pemuda yang sebaya dengannya sedang bercakap-cakap bersama seorang wanita. Pemuda itu baru kali ini dilihatnya. Jadi, sama sekali Yaksa tak mengenal. Kalau yang wanita, sudah dikenalinya betul. Dialah gadis yang selama ini mengusik hatinya.

Yaksa jadi makin penasaran. Sewaktu gadis pujaan sedang berbicara dengan wajah mesra, Yaksa jadi cemburu. Hatinya langsung terbakar. Terlebih, waktu gadis itu mempersilakan pemuda di depannya untuk mencicipi Rujak Degan dengan mesra.

Huh! Lama tak berjumpa, sewaktu hendak berjumpa malah menyaksikan pemandangan yang menyakitkan! Betul-betul sial! Yaksa memaki dalam hati. Saat itu pula, pemuda itu merasa mendapat saingan. Bagaimana tidak? Pemuda yang dilihatnya di dalam sana, ternyata lebih tampan!

Memang, selama ini Yaksa hanya baru jatuh hati pada gadis itu. Dengan kata lain, cintanya masih seperti bertepuk sebelah tangan Apa mungkin ini salahnya juga? Dia jadi bertanya pada diri sendiri. Mengapa tidak sesegera mungkin mengutarakan isi hatinya pada gadis itu?

Ah! Yaksa jadi tak peduli. Pokoknya, hari ini dia jadi jengkel bukan main. Sambil membanting langkah pada anak tangga, ditinggalkannya rumah panggung ini dengan bersungut-sungut.

Di dalam rumah panggung, terdengar tawa dua anak muda yang pecah sepeninggalan Yaksa. Gadis itu terkikik kecil sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan Sedang sang Jejaka tertawa renyah. Di tangannya masih terpegang semangkuk Rujak Degan.

"Dasar orang usil!" ujar gadis itu.

Dengan rambut panjang ekor kuda, matanya yang berbulu lentik masih sedikit menyempit, karena menahan tawa. Kulitnya yang agak kecoklatan, menjadi terlihat manis ditutupi kebaya Bali berwarna biru muda.Namanya Idayu Wayan Laksmi. Sedangkan pemuda di hadapannya tak lain dari Andika alias Pendekar Slebor

"Dikiranya kita sedang berbuat yang macam-macam, barangkali," timpal Andika, ikut meledek orang yang baru saja mengintip.

Sebenarnya, biarpun Yaksa sudah begitu hati-hati melangkah di anak tangga, tapi telinga yang terlatih Andika tetap sanggup menangkap suara geraknya. Tapi karena yakin tidak berbahaya, Pendekar Slebor membiarkannya saja. Idayu Wayan Laksmi pun diberi tahu Andika, kalau ada seseorang mengintip mereka.

Mulanya, Idayu Wayan Laksmi takut. Tapi dia diyakini kalau orang di luar itu tidak berbahaya. Akhirnya, mereka berkesimpulan kalau orang di luar tadi hanya mau usil. Tawa kedua anak muda itu terpenggal, ketika I Ketut Regeg adik Idayu Wayan Laksmi masuk.

"Mbok, apa tak tahu kalau tadi Bli Yaksa datang?" tanya I Ketut Regeg seraya menghampiri Andika dan Idayu Wayan Laksmi.

Idayu Wayan Laksmi menyahut. Matanya malah dikerjap-kerjapkan pada I Ketut Regeg, memberi isyarat agar tutup mulut. Dia tidak mau kalau Andika sampai tahu tentang pemuda dari Tabanan yang jatuh hati padanya.

"Mbok, cacingan, ya?!" tukas I Ketut Regeg.
"Aku bilang Bli Yaksa datang, kok Mbok malah mengedip-ngedip seperti itu...."

"Siapa itu Yaksa?" tanya Andika, jadi ingin tahu.

Idayu Wayan Laksmi mencegah mulut ceriwis I Ketut Regeg yang berkicau lebih lanjut. Tapi sayang mulut lincah anak muda tanggung berbadan kurus itu lebih gesit.

"Dia orang dari Tabanan yang naksir Mbok Laksmi, Bli Andika," tutur pemuda tanggung bertubuh kurus ini acuh tanpa rasa bersalah.

Mata Idayu Wayan Laksmi mendelik kesal. Tapi I Ketut Regeg justru mendelik lebih besar lagi.

"O, ya?" goda Andika pada Idayu Wayan Laksmi.

“Tapi, aku lebih suka kalau Beliyang jadi kekasih Mbokku...," ucap I Ktut Regeg.

"Ah! Aku sendiri lebih suka menjadi sahabat Mbokmu. Ya tentu sahabatmu juga!"

Pandangan Idayu Wayan Laksmi kontan terjatuh ke lantai. Kepalanya tertunduk dalam, menyembunyikan wajah yang mendadak berubah mendung. Dia sungguh tidak suka mendengar pernyataan Andika barusan.

"Hanya sahabat?" Idayu Wayan Laksmi berbisik dalam hati. Hanya sebagai sahabat?

"Kau kenapa, Laksmi?" usik Andika, menyadari perubahan sikap Idayu Wayan Laksmi.

"Belihanya ingin bersahabat dengan Mbok, sih!" tukas I Ktut Regeg.

"Mbok Laksmi kan berharap Belimenjadi kekasihnya. Apa Belitidak naksir pada Mbok? Padahal, Mbok kan Jegeg kata orang Bali. Banyak pemuda yang jatuh hati pada Mbok. Tapi, belum ada seorang pun yang bisa membuatnya bertekuk lutut. Eee, Belikok malah menolaknya...."

I Ktut Regeg terus menyerocos panjang-panjang seperti tidak sempat mengambil napas. Tapi niatnya yang hendak menyambung ucapan, terhadang isak tertahan Idayu Wayan Laksmi. Andika dan anak muda tanggung itu agak terperangah. Belum lagi Pendekar Slebor sempat menanyakan kenapa Idayu Wayan Laksmi terisak, dara nan ayu itu sudah menghambur kebelakang rumah.

Tubuh Idayu Wayan Laksmi langsung menghilang di balik kerai terbuat dari anyaman kulit rotan. Suara tangisnya masih tertinggal, di ruangan tempat Andika dan I Ktut Regeg duduk saling menatap.

"Apa ucapanku tadi sudah menyinggung perasaan Mbok?" tanya I Ktut Regeg, seperti bergumam pada diri sendiri.

Andika menyahutinya dengan gelengan. Bukan karena tak tahu kenapa hati dara itu terkoyak, tapi karena merasa berdosa pada Idayu Wayan Laksmi. Selama ini, tanpa disadari Andika telah memberi harapan pada gadis itu. Dan pemuda ini tak pernah mengatakan kalau dirinya tidak bisa mencintai Idayu Wayan Laksmi. Tentu saja Idayu Wayan Laksmi yang selama ini berharap, walaupun sampai kapan.

"Biar kutemani dia, Geg," ucap Andika.
"Aku ikut, Beli. Ini karena salahku juga...."
"Kau tetap di sini saja," cegah Andika.

I Ktut Regeg tetap bersikeras. Dia ikut bangkit, membarengi pendekar tampan ini. Dan ini membuat Andika jadi mangkel pada sikap bandel anak muda tanggung itu. Dengan menyeringai jengkel, I Ktut Regeg ditotoknya.

Tuk!

Saat itu juga, tubuh pemuda tanggung itu kejang mematung. Wajahnya masih mendongak kaget. Matanya berkedip-kedip kelimpungan. Mulut usilnya yang masih bisa digerakkan, segera saja melancarkan sumpah serapah pada Andika.

Andika makin mangkel. Sambil menggeleng-geleng kepala, disumpalnya mulut I Ktut Regeg dengan daging kelapa Rujak Degan.

"Belhfif befbafhfan afuh!" teriak I Ktut Regeg kalap.

***


Lembah di sebelah timur wilayah Tabanan tempat Ki Lantanggeni mengadu jiwa, digempur kekuatan hitam Artapati yang merupakan musuh lamanya. Entah, sudah berapa puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu pula Ki Lantanggeni berada di bawah tekanan serangan laki-laki yang sebenarnya sudah mati, dan berjuluk Ki Rawe Rontek ini.

Mati-matian Ki Lantanggeni menyelamatkan selembar nyawa dari tangan keji Artapati. Dalam pertempuran terdahulu, Ki Lantanggeni mendapat dukungan dari ketiga saudara seperguruannya yang lain. Namun ketiga saudaranya itu tewas. Dan kendati demikian, Ki Lantanggeni pun bisa membunuh Artapati. Sayang, kini berbeda. Laki-laki tua ini harus menghadapi datuk sesat itu seorang diri. Untuk bisa menang, dia tidak yakin. Bahkan kalaupun bisa selamat, itu pun sudah terlalu sulit.

"Grrrhhh!"
"Hiah!"

Artapati terus mendesak Ki Lantanggeni dengan serangan-serangan mematikan. Tidak ada lagi ancaman gelang-gelang berapi seperti sebelumnya. Tapi bukan berarti serangannya tidak lebih ganas. Laki- laki yang menamakan diri Ki Rawe Rontek kini justru mengerahkan ilmu hitam 'Pukulan Peremuk Dalam'. Bentuk serangan yang amat sukar dihadapi dalam pertarungan jarak dekat. Karena tidak ingin pengaruh 'Pukulan Peremuk Dalam' melemahkan benteng pertahanan dan mengacaukan perhatiannya, Ki Lantanggeni berusaha sekuat mungkin untuk bertarung jarak jauh. Paling tidak, bisa menjauhi lawannya.

Desakan Artapati saat itu adalah bagaikan serangan iblis yang tak berbelas kasihan. Rangsekannya liar dan buas. Dia seolah telah menjelma menjadi makhluk terganas di muka bumi ini! Sepasang tangan dan kaki Ki Rawe Rontek yang memiliki otot-otot kenyal menggelembung dan berkulit keras serta berbulu kasar, menderu kian kemari. Di sekelilingnya berhembus semacam selubung kekuatan kasap mata yang mampu membuat seluruh tulang-belulang lawannya terasa remuk!

Seperti kebuasan terjangannya, wajah Artapati pun memancarkan kebuasan. Helai-helai rambutnya yang panjang sebatas punggung, menyatu dan bergumpal seperti bulu-bulu domba. Bentuk wajahnya persegi dengan rahang kekar. Alis matanya hitam, hampir menyatu. Di bawah alisnya tampak bersinar jalang sepasang mata yang membiru pada seputar kelopaknya. Bentuk hidungnya membengkok. Tulang hidung dekat matanya tampak menonjol, nyaris sama panjang dengan cupingnya. Sedangkan bibirnya hanya seperti garis tipis memanjang dengan ujung-ujung menekuk berkesan menggiriskan.

Di samping itu, bentuk tubuh Artapati pun menyeramkan. Orang bernyali kecil pun akan takut, jika baru melihat seluruh otot di bagian tubuhnya yang menonjol. Apalagi bahunya besar dan dadanya bidang. Batang lehernya seperti beton, kaku serta kekar. Di beberapa bagian kulitnya, tumbuh sejenis jamur menggumpal. Mungkin karena telah begitu lama terpendam di perut bumi. Semua itu bisa terlihat, karena laki-laki ini hanya mengenakan celana hitam sebatas lutut yang sudah koyak di mana-mana.

Ada lagi yang tak kalah menyeramkan dari semua itu. Di lehernya, terdapat bekas luka melingkar. Daging-daging kecil tampak menyembul keluar dari lukanya. Kalau menyaksikan bekas luka itu, Ki Lantanggeni jadi bergidik. 'Rawe Rontek', ilmu hitam itu telah menghidupkannya kembali! Tapi, bagaimana dia bisa hidup kembali tanpa bantuan orang lain dengan memberinya darah perawan sebagai pembangkit?

Memang! Sewaktu Ki Lantanggeni, Andika, dan Idayu Wayan Laksmi memasuki Goa Karang Hitam beberapa waktu lalu, tanpa disengaja darah dari luka Idayu Wayan Laksmi menetes-netes di tubuh Artapati. Walaupun tak terlalu banyak, tapi itulah awal kebangkitan kembali tokoh hitam berjuluk Ki Rawe Rontek!
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.