- Beranda
- Stories from the Heart
PENDEKAR SLEBOR
...
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR

Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.
Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).
Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.
Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan
Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.
Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..
Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.
Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..
And Here We Go.....
I N D E K S
Spoiler for Indeks 1:
TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya
GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ucln
#106
Part 9
Untuk serangan kalap itu, Andika mengeluarkan jurus yang sudah amat dikenal kalangan kaum persilatan. Jurus ‘Memapak Peti Membabibuta’. Dia tahu, serangan lawan harus dihadapi dengan jurus-jurus utamanya. Seperti orang gila kelimpungan, Pendekar Slebor menangkis sabetan demi sabetan tangan dan kaki lawan.
Des! Des! Des!
Lalinggi tersentak mundur beberapa tindak. Dirasakan tangan dan kakinya seperti baru saja menimpa benda tak terlihat yang demikian keras. Sehingga membuat sekujur tangan dan kakinya berdenyut-denyut nyeri. Bagaimana lawan bisa bergerak secepat itu? Padahal, dia telah melancarkan serangan cepat yang sanggup meremukkan empat puluh batang besi sekaligus. Itu sebabnya, jurusnya diberi nama ‘Empat Puluh Hantaman Dewa’.
Lebih herannya lagi, pemuda itu bergerak seperti main-main, tak seperti biasanya orang bertempur. Tapi setiap gerakan yang dibuat sanggup membentengi sekujur tubuhnya dalam satu gebrakan!
Empat-lima tombak di belakang Pendekar Slebor, Ki Lantanggeni juga tersentak. Matanya terbelalak tak percaya pada penglihatannya. Dia hampir-hampir tak melihat tangan Andika bergerak menangkis, kecuali gerakan-gerakan ngawur ke berbagai arah. Tapi kenyataannya, hantaman-hantaman lawan kandas begitu saja!
Sampai di situ, Ki Lantanggeni baru sadar kalau pemuda yang selama ini bersamanya adalah seorang pendekar kalangan atas. Di tanah Jawa Dwipa, mungkin dia begitu terkenal! Sayang, dia tidak mengetahui julukan pemuda itu.
Lain lagi Lalinggi. Tidak seperti Ki Lantanggeni yang telah lama mengucilkan diri di Pulau Bali, Lalinggi adalah tokoh sesat yang masih berkubang di dunia persilatan. Dengan begitu, dia sering mendengar kabar burung mengenai seorang pendekar kenamaan berusia muda yang memiliki jurus aneh....
“Kau.... Pendekar Slebor,” desis Lalinggi kaget.
Meskipun hanya berbisik, ucapan Lalinggi tertangkap pula telinga Ki Lantanggeni. Untuk kedua kalinya, lelaki tua itu terperangah.
“Apa? Pendekar Slebor?” sentak hati orang tua itu.
Lagi-lagi dia hampir tak percaya. Bodoh sekali dia selama ini, tak mengetahui kalau pemuda itu adalah pendekar muda dengan nama besar Pendekar Slebor.
“Gumbala! Bantu aku! Kita menghadapi lawan berat!” seru Lalinggi tak malu-malu.
“Apa, Kang?!”
“Bodoh! Cepat ke sini dan bantu aku! Pemuda sialan ini ternyata Pendekar Slebor!” teriak Lalinggi kalap.
Gumbala yang hendak memeriksa goa, mendadak terbelalak. Matanya makin membesar saja seperti hantu telat buang air!
“Cepat, bodoh! Kenapa jadi bengong seperti itu!” bentak Lalinggi makin kalap.
“Iy... iya, Kang!” sahut Gumbala tersadar. Lalu segera dia melompat ke sisi pasangannya dengan genjotan tubuh lebar.
“Siapkan jurus ‘Sepasang Iblis Menghimpit Badai’!” kata Lalinggi memberi aba-aba.
“Siap, Kang!” jawab Gumbala.
Sementara benak laki-laki buruk rupa itu masih bergumam tak menentu. Pantas, dulu dia begitu mudah dipermainkan lawan.... Lalinggi mulai mempersiapkan jurus gabungan andalan mereka. Mula-mula dilakukannya hal yang amat jarang sekali diperbuat, kecuali pada saat-saat menghadapi lawan amat berat seperti sekarang.
Dilepaskannya caping di kepala. Dan terlihatlah wajah asli Lalinggi. Wajah lelaki itu ternyata tak kalah buruk dengan Gumbala. Seluruh wajahnya dipenuhi kerutan mengerikan bagai luka bakar. Bibirnya bagai bentuk mulut makhluk melata dari rawa, bergelombang menjijikkan. Sedangkan hidungnya seperti dikoyak-koyak pisau tajam! Yang lebih menyeramkan lagi adalah matanya. Yang bersinar kebiru-biruan menyilaukan!
Kini lelaki itu mengatur pernapasan. Kedua tangannya kaku di depan dada dengan keadaan seperti sedang mendekap sesuatu. Satu kakinya terangkat tinggi, hingga dengkulnya menyentuh siku kedua tangan. Beberapa saat kemudian, matanya bertambah menyilaukan. Sinar kebiruan perlahan-lahan merambat ke sekujur tubuhnya, seakan satu selimut biru tembus pandang. Rupanya, inti kekuatan ilmunya kali ini berpusat di mata lelaki itu.
Saat tubuh Lalinggi sudah terbungkus seluruhnya oleh sinar kebiru-biruan, Gumbala maju ke depan. Dengan menarik napas dalam-dalam, kedua tangan Gumbala disatukan dengan tangan Lalinggi. Keanehan pun terjadi lagi. Sinar kebiru-biruan di sekujur tubuh Lalinggi mulai merambat pula ke tubuh Gumbala sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya, kedua lelaki itu benar-benar terbungkus selubung sinar tersebut.
“Wan... wah... wah! Ada yang mau main lampu-lampuan rupanya,” leceh Andika. Kepalanya mengangguk-angguk seperti burung pelatuk kurang kerjaan.
“Baik kalau itu yang kalian mau....”
Pendekar Slebor pun mulai mempersiapkan jurusnya ‘Guntur Selaksa’. Jurus ciptaannya ini sering kali digunakan untuk benteng pertahanan, disamping untuk melakukan serangan balasan pula. Jurus yang pernah membuatnya sanggup melindungi diri dari setiap sambaran lidah petir!
“Iii...!”
Diawali satu lengkingan aneh, Sepasang Datuk Karang memulai serangan. Lalinggi menghentak tubuh Gumbala, sehingga pasangannya terayun cepat di tangannya.
“Iii...!”
Beriring satu lengkingan ganjil kembali, tubuh Gumbala kini malah berputar. Sedang tubuh Lalinggi menjadi pusat tumpuannya. Putaran itu makin lama bertambah cepat. Pada saat putaran tubuh Sepasang Datuk Karang menderu ke arah Pendekar Slebor, Andika pun sudah mencapai pengerahan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan tingkat terakhir. Kekuatan sakti dalam tubuhnya membentuk sinar pula, seperti milik lawan. Bedanya sinar yang membentengi tubuh Pendekar Slebor berwarna putih keperakan.
Angin besar menerbangkan debu dan kerikil di sekitar arena pertarungan maut, akibat putaran tubuh Sepasang Datuk Karang. Dan mereka makin dekat saja ke arah Pendekar Slebor.
Wrrr!
Angin yang tercipta dari jurus langka Sepasang Datuk Karang bagai amukan topan badai. Dalam jarak dua puluh tombak, sekeliling kancah pertarungan bagai hendak diobrak-abrik. Bahkan batu-batu karang sebesar kepala manusia mulai beterbangan, layaknya sekumpulan bulu.
Agar Idayu Wayan Laksmi tak terluka, Ki Lantanggeni mengambil keputusan cepat untuk membawanya segera keluar dari sekitar kancah pertarungan. Disambarnya kembali tubuh Idayu Wayan Laksmi yang sudah begitu lunglai ketakutan. Sekitar dua puluh lima tombak dari tempat pertarungan, barulah Ki Lantanggeni menurunkan tubuh wanita Bali itu.
Jarak antara Pendekar Slebor dengan putaran tubuh Sepasang Datuk Karang tinggal dua tombak lagi. Angin makin menggila. Pendekar Slebor merasa tubuhnya bagai hendak dilempar kekuatan raksasa.
“Hiaaa!”
Terdengar teriakan mengguruh terlontar dari mulut Pendekar Slebor. Tampaknya, dia tak ingin menunggu dua lawannya sampai. Di akhir teriakan, seluruh otot-otot kakinya dikejangkan kemudian digenjotnya ke arah lawan.
Seperti berjalan di dasar laut, kaki Pendekar Slebor bergerak sejengkal demi sejengkal ditahan dorongan angin raksasa milik Sepasang Datuk Karang. Tanah bercadas tempat pijakannya lebur terparut kakinya, seakan tanah keras itu hanya berupa tepung
Pada saatnya, tubuh mereka pun bentrok. Tangan Pendekar Slebor menjulur ke depan seperti gerakan seorang pencuri jemuran, siap menerkam kepala Lalinggi yang masih berpusing.
“Haaaih!”
Des!
Terkaman Pendekar Slebor dapat digagalkan Sepasang Datuk Karang. Pada saat yang sama, Gumbala menekuk dua kakinya yang masih melayang di udara. Maka tangan Pendekar Slebor dan kaki Gumbala bertemu dahsyat. Benturan selubung sinar kebiru-biruan dengan selubung sinar putih keperak-perakan terjadi. menimbulkan percikan-percikan bunga api di udara.
Cras! Cras!
Sepasang Datuk Karang mencoba menyusun serangan balasan. Sementara kaitan dua tangan mereka tiba-tiba terlepas. Tubuh Gumbala terus berputar. Pada saat sepasang kakinya menghadapi tubuh Lalinggi, pasangannya itu pun segera menangkap kakinya.
Wuk!
Tep!
Lalu kedua tangan Gumbala yang kini menghadap Andika, beruntun mencabik di udara dengan jari membentuk paruh gagak.
Jep! Jep! Jep...!
Pendekar Slebor tentu saja tak sudi wajahnya yang masih bagus dan mulus diacak-acak jari tangan Gumbala. Dengan kedua tangannya ditangkisnya serangan itu berkali-kali.
Taks! Taks! Taks...!
“Kau tentu ingin merusak wajahku seperti wajah kalian yang porak-poranda itu! Dasar sirik!” cerocos Andika.
“Sudah jelek, ya jelek saja! Tak usah mengajak orang lain ikut jelek!”
Pendekar Slebor masih sempat meledek, meski pertarungan berlangsung dalam tempo yang demikian cepat. Pertarungan dahsyat berlanjut. Sembilan puluh sembilan jurus berlalu cepat seperti angin. Masing-masing masih terlihat tangguh dengan jurus andalan. Percikan demi percikan bunga api masih terus tercipta, mengiringi setiap bentrokan. Deru angin raksasa ciptaan Sepasang Datuk Karang tetap menyapu gila ke berbagai arah, ke segenap penjuru.
Selama itu, otak encer pendekar muda dari Lembah Kutukan itu terus merekam titik-titik lemah jurus andalan lawan. Tak ada gading yang tak retak. Dia yakin, ada satu kunci untuk menembus pertahanan rapat lawannya. Memang sampai saat ini, usahanya untuk membongkar titik lemah jurus kedua lawannya masih tak menghasilkan apa-apa. Bahkan pada satu kali, jari tangan Gumbala berhasil menyayat dada Pendekar Slebor.
Sret!
Maka sobekan luka memanjang dari bahu kiri ke lambung kanan Pendekar Slebor pun terlihat. Darahpun merembes dari luka yang cukup dalam.
“Monyet kudis! Setan ileran! Kunyuk bau! Bau! Bauuu...!”
Umpatan panjang-pendek pendekar yang kadang lebih cerewet dari mulut nenek-nenek pikun itu pun merajalela ke segenap kancah pertarungan. Kepala Pendekar Slebor jadi panas meledak-ledak. Dengan menghentak-hentak kaki ke tanah dan kepala menggeleng-geleng tak karuan seperti bocah kecil dilanda kejengkelan, Pendekar Slebor mencoba membayar perbuatan Gumbala.
“Hiaaaiii, ai... ai... aiii!”
Orang sinting satu kampung pun kalah dengan terjangan Pendekar Slebor kali ini. Tangan dan kakinya merangsek bergantian dalam satu rangkai jurus yang sulit ditangkap mata biasa. Sesekali tangannya mengarah ke punggung Gumbala yang melengkung bak tanda tanya. Sesekali pula, kakinya menyapu ke leher Lalinggi.
“Akan kubuat punggungmu membengkok ke depan, Manusia Bau! Agar nanti kau berterima kasih padaku di liang lahat!” maki Pendekar Slebor.
Wus! Wus! Wus!
Kedua tangan Andika berputar ke depan, hendak menampar punggung orang yang telah melukainya. Kecepatan yang terbawa gerakan Pendekar Slebor kali ini sungguh sulit dipapaki kedua tangan lawan lagi. Agar punggungnya tetap awet membungkuk ke belakang, Gumbala terpaksa melakukan gerakan yang begitu sulit dalam keadaan berputar seperti itu. Badannya ditekuk dalam-dalam ke bawah, dan terus melaju ke kolong selangkangan Lalinggi. Dan gerakannya dimanfaatkan Lalinggi untuk memutar tubuh ke depan. Kaki lelaki yang semula selalu bertopi keranjang itu dengan cepat meluncur lurus ke depan.
Des!
“Augkh!
Andika mengerang sesaat. Dadanya lagi-lagi menjadi sasaran empuk. Sehingga tubuh pendekar muda itu terlempar deras ke belakang.
“Andikaaa!” teriak Idayu Wayan Laksmi di belakang sana, khawatir akan nasib pemuda yang mulai menempati ruang dalam kalbunya.
Tepat lima tombak di depan Ki Lantanggeni dan Idayu Wayan Laksmi, tubuh Andika berdebam meninju tanah. Punggungnya jatuh lebih dahulu. Beberapa saat pemuda itu mengerang-erang. Dada dan punggungnya dirasa bagai dilantak dari dalam.
“Andika kau tak apa-apa?!” seru Ki Lantanggeni.
“Andikaaa! ‘ Beli’ Andikaaa!” teriak Idayu Wayan Laksmi lagi makin was-was.
Demi mendengar teriakan suara gadis ayu itu, Andika langsung bangkit walau dipaksakan. Mulutnya meringis-ringis dengan darah kehitaman membasahi. Tapi, dasar anak muda kepala batu dan sedikit sombong, dia malah membusungkan dada sok jumawa.
“Tidak apa-apa, aku baik-baik saja,” jawab Pendekar Slebor sok kuat. Padahal, dadanya masih terasa remuk.
“Kau yakin, Andika? Biar aku membantumu?”
“Jangan, Ki!” cegah Andika.
“Biar aku saja yang melabrak manusia-manusia bau itu!”
Padahal mulut Pendekar Slebor meringis-ringis terus. Untung saja saat itu membelakangi Ki Lantanggeni dan Idayu Wayan Laksmi. Kalau tidak, tentu kedua orang itu bisa melihat wajah mengenaskan pendekar muda kepala batu itu.
Pendekar Slebor menarik napas kuat-kuat. Diperhatikannya putaran tubuh lawan yang tercipta kembali, dan kini meluncur ke arahnya. Saat itulah dia teringat pada serangan terakhir Sepasang Datuk Karang. Dalam waktu yang demikian cepat, mata tajamnya menangkap suatu titik yang begitu dilindungi oleh Sepasang Datuk Karang. Mereka berusaha berputar mengganti kedudukan, agar lawan tidak dekat pada titik itu. Titik itu adalah kaitan tangan milik Lalinggi dengan kaki Gumbala!
“Kali ini akan kubuat kerak kolak kalian!” dengus Andika, diawali satu seringai.
Pendekar Slebor yakin, telah berhasil memecah-kan teka-teki kelemahan lawan. Maka tanpa menunggu serangan tiba. Pendekar Slebor melarikan tubuh deras ke arah mereka.
“Hiaaa!”
Kalau seseorang ingin menilai, tentu mereka akan melihat gerak lari Pendekar Slebor mirip maling kesiangan. Tapi di balik itu, sedang disiapkannya satu terjangan penuh siasat matang. Memang aneh kalau Andika tak segera tiba di dekat lawannya. Karena, tak sedikit pun mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang begitu disegani di kalangan persilatan. Dia memang lari, tapi larinya seperti lari orang awam.
Tindakan Pendekar Slebor sungguh-sungguh mem-bingungkan lawan. Apa sesungguhnya yang mau diperbuat pendekar muda yang banyak memiliki tingkah urakan itu? Pada saat mereka bertanya-tanya heran dalam hati, tubuh Pendekar Slebor telah tiba di dekat keduanya.
Dengan lari seperti itu, baik Lalinggi maupun Gumbala begitu yakin akan segera bisa merontokkan kembali tubuh Pendekar Slebor. Dengan lengkingan aneh, mereka memutar tubuh lebih cepat untuk menghantam Pendekar Slebor. Tapi di luar dugaan, mendadak saja Pendekar Slebor mengerahkan kembali ilmu kecepatannya.
“Iii...!”
Wut!
Hantaman sapuan tubuh Gumbala luput, karena Pendekar Slebor sudah melenting indah gemulai keatas. Di udara, dia bersalto cepat. Lalu dilepaskannya kain pusaka bercorak catur dari pundaknya.
Sret!
Sekedip mata saja, kain pusaka itu sudah melecut tepat ke arah pegangan tangan Lalinggi.
Prat!
“Wuaaa!”
Lalinggi kontan menjerit tak alang kepalang. Jari-jemarinya langsung hancur berantakan seperti batang pohon pisang tertumbuk balok kayu. Tentu saja tubuh Gumbala jadi terlepas. Lelaki itu kontan terlempar ke udara. Entah bagaimana caranya, dalam keadaan masih tetap di udara Pendekar Slebor melepas inti tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan ke arah Gumbala.
Wezzz!
“Aaa...!”
Tanpa bisa menghindar lagi, leher belakang lelaki buruk rupa itu termakan telak pukulan jarak jauh Pendekar Slebor. Lehernya remuk seketika. Bahkan kepala lelaki itu nyaris saja terlepas, begitu ambruk di tanah.
Pendekar Slebor kini berdiri dua tombak persis di depan hidung Lalinggi. Mata kebiru-biruan lelaki itu membeliak mendapati Pendekar Slebor siap melecut kain pusaka kembali.
“Wuaaa!” raung Lalinggi, menyangka Pendekar Slebor akan segera melepas lecutan kembali. Matanya terpejam, mulutnya membuka lebar seperti lalat. Lalinggi menunggu-nunggu lecutan senjata pusaka Pendekar Slebor, tapi tak juga datang.
Takut-takut, matanya dibuka tapi ternyata Andika sudah tidak ada lagi di depannya. Tapi, telinganya mendengar tawa pemuda tersebut di belakang. Ketika menoleh, tampak Pendekar Slebor tengah memegang pakaiannya.
“Ini untuk membayar pakaianku yang dirusak oleh kawanmu...,” kata Pendekar Slebor ringan.
Lalinggi terlonjak. Ketika melirik ke bawah, tubuhnya sudah polos seperti bayi baru lahir! Entah malu atau takut mati, laki-laki yang juga buruk rupa itu langsung lari tunggang langgang sambil melindungi bagian ‘rahasianya’ dengan tangan hancur.
“Oiii, ada tuyul!” teriak Andika sambil tergelak.
Idayu Wayan Laksmi yang melihat kejadian itu menutup wajah cepat-cepat. Ngeri campur geli....
Bagaimana keadaan jasad Ki Rawe Rontek yang telah ditetesi darah Idayu Wayan Laksmi secara tidak disengaja? Apakah dia berhasil bangkit kembali? Apa sesungguhnya rahasia kelemahan ilmu hitam yang luar biasa itu, sehingga Ki Rawe Rontek dikabarkan masih mampu hidup kembali meski kepalanya telah terpenggal sekalipun? Kalau bangkit kembali, mampukah Andika menghadapinya?
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode : BANGKITNYA KI RAWE RONTEK
Untuk serangan kalap itu, Andika mengeluarkan jurus yang sudah amat dikenal kalangan kaum persilatan. Jurus ‘Memapak Peti Membabibuta’. Dia tahu, serangan lawan harus dihadapi dengan jurus-jurus utamanya. Seperti orang gila kelimpungan, Pendekar Slebor menangkis sabetan demi sabetan tangan dan kaki lawan.
Des! Des! Des!
Lalinggi tersentak mundur beberapa tindak. Dirasakan tangan dan kakinya seperti baru saja menimpa benda tak terlihat yang demikian keras. Sehingga membuat sekujur tangan dan kakinya berdenyut-denyut nyeri. Bagaimana lawan bisa bergerak secepat itu? Padahal, dia telah melancarkan serangan cepat yang sanggup meremukkan empat puluh batang besi sekaligus. Itu sebabnya, jurusnya diberi nama ‘Empat Puluh Hantaman Dewa’.
Lebih herannya lagi, pemuda itu bergerak seperti main-main, tak seperti biasanya orang bertempur. Tapi setiap gerakan yang dibuat sanggup membentengi sekujur tubuhnya dalam satu gebrakan!
Empat-lima tombak di belakang Pendekar Slebor, Ki Lantanggeni juga tersentak. Matanya terbelalak tak percaya pada penglihatannya. Dia hampir-hampir tak melihat tangan Andika bergerak menangkis, kecuali gerakan-gerakan ngawur ke berbagai arah. Tapi kenyataannya, hantaman-hantaman lawan kandas begitu saja!
Sampai di situ, Ki Lantanggeni baru sadar kalau pemuda yang selama ini bersamanya adalah seorang pendekar kalangan atas. Di tanah Jawa Dwipa, mungkin dia begitu terkenal! Sayang, dia tidak mengetahui julukan pemuda itu.
Lain lagi Lalinggi. Tidak seperti Ki Lantanggeni yang telah lama mengucilkan diri di Pulau Bali, Lalinggi adalah tokoh sesat yang masih berkubang di dunia persilatan. Dengan begitu, dia sering mendengar kabar burung mengenai seorang pendekar kenamaan berusia muda yang memiliki jurus aneh....
“Kau.... Pendekar Slebor,” desis Lalinggi kaget.
Meskipun hanya berbisik, ucapan Lalinggi tertangkap pula telinga Ki Lantanggeni. Untuk kedua kalinya, lelaki tua itu terperangah.
“Apa? Pendekar Slebor?” sentak hati orang tua itu.
Lagi-lagi dia hampir tak percaya. Bodoh sekali dia selama ini, tak mengetahui kalau pemuda itu adalah pendekar muda dengan nama besar Pendekar Slebor.
“Gumbala! Bantu aku! Kita menghadapi lawan berat!” seru Lalinggi tak malu-malu.
“Apa, Kang?!”
“Bodoh! Cepat ke sini dan bantu aku! Pemuda sialan ini ternyata Pendekar Slebor!” teriak Lalinggi kalap.
Gumbala yang hendak memeriksa goa, mendadak terbelalak. Matanya makin membesar saja seperti hantu telat buang air!
“Cepat, bodoh! Kenapa jadi bengong seperti itu!” bentak Lalinggi makin kalap.
“Iy... iya, Kang!” sahut Gumbala tersadar. Lalu segera dia melompat ke sisi pasangannya dengan genjotan tubuh lebar.
“Siapkan jurus ‘Sepasang Iblis Menghimpit Badai’!” kata Lalinggi memberi aba-aba.
“Siap, Kang!” jawab Gumbala.
Sementara benak laki-laki buruk rupa itu masih bergumam tak menentu. Pantas, dulu dia begitu mudah dipermainkan lawan.... Lalinggi mulai mempersiapkan jurus gabungan andalan mereka. Mula-mula dilakukannya hal yang amat jarang sekali diperbuat, kecuali pada saat-saat menghadapi lawan amat berat seperti sekarang.
Dilepaskannya caping di kepala. Dan terlihatlah wajah asli Lalinggi. Wajah lelaki itu ternyata tak kalah buruk dengan Gumbala. Seluruh wajahnya dipenuhi kerutan mengerikan bagai luka bakar. Bibirnya bagai bentuk mulut makhluk melata dari rawa, bergelombang menjijikkan. Sedangkan hidungnya seperti dikoyak-koyak pisau tajam! Yang lebih menyeramkan lagi adalah matanya. Yang bersinar kebiru-biruan menyilaukan!
Kini lelaki itu mengatur pernapasan. Kedua tangannya kaku di depan dada dengan keadaan seperti sedang mendekap sesuatu. Satu kakinya terangkat tinggi, hingga dengkulnya menyentuh siku kedua tangan. Beberapa saat kemudian, matanya bertambah menyilaukan. Sinar kebiruan perlahan-lahan merambat ke sekujur tubuhnya, seakan satu selimut biru tembus pandang. Rupanya, inti kekuatan ilmunya kali ini berpusat di mata lelaki itu.
Saat tubuh Lalinggi sudah terbungkus seluruhnya oleh sinar kebiru-biruan, Gumbala maju ke depan. Dengan menarik napas dalam-dalam, kedua tangan Gumbala disatukan dengan tangan Lalinggi. Keanehan pun terjadi lagi. Sinar kebiru-biruan di sekujur tubuh Lalinggi mulai merambat pula ke tubuh Gumbala sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya, kedua lelaki itu benar-benar terbungkus selubung sinar tersebut.
“Wan... wah... wah! Ada yang mau main lampu-lampuan rupanya,” leceh Andika. Kepalanya mengangguk-angguk seperti burung pelatuk kurang kerjaan.
“Baik kalau itu yang kalian mau....”
Pendekar Slebor pun mulai mempersiapkan jurusnya ‘Guntur Selaksa’. Jurus ciptaannya ini sering kali digunakan untuk benteng pertahanan, disamping untuk melakukan serangan balasan pula. Jurus yang pernah membuatnya sanggup melindungi diri dari setiap sambaran lidah petir!
“Iii...!”
Diawali satu lengkingan aneh, Sepasang Datuk Karang memulai serangan. Lalinggi menghentak tubuh Gumbala, sehingga pasangannya terayun cepat di tangannya.
“Iii...!”
Beriring satu lengkingan ganjil kembali, tubuh Gumbala kini malah berputar. Sedang tubuh Lalinggi menjadi pusat tumpuannya. Putaran itu makin lama bertambah cepat. Pada saat putaran tubuh Sepasang Datuk Karang menderu ke arah Pendekar Slebor, Andika pun sudah mencapai pengerahan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan tingkat terakhir. Kekuatan sakti dalam tubuhnya membentuk sinar pula, seperti milik lawan. Bedanya sinar yang membentengi tubuh Pendekar Slebor berwarna putih keperakan.
Angin besar menerbangkan debu dan kerikil di sekitar arena pertarungan maut, akibat putaran tubuh Sepasang Datuk Karang. Dan mereka makin dekat saja ke arah Pendekar Slebor.
Wrrr!
Angin yang tercipta dari jurus langka Sepasang Datuk Karang bagai amukan topan badai. Dalam jarak dua puluh tombak, sekeliling kancah pertarungan bagai hendak diobrak-abrik. Bahkan batu-batu karang sebesar kepala manusia mulai beterbangan, layaknya sekumpulan bulu.
Agar Idayu Wayan Laksmi tak terluka, Ki Lantanggeni mengambil keputusan cepat untuk membawanya segera keluar dari sekitar kancah pertarungan. Disambarnya kembali tubuh Idayu Wayan Laksmi yang sudah begitu lunglai ketakutan. Sekitar dua puluh lima tombak dari tempat pertarungan, barulah Ki Lantanggeni menurunkan tubuh wanita Bali itu.
Jarak antara Pendekar Slebor dengan putaran tubuh Sepasang Datuk Karang tinggal dua tombak lagi. Angin makin menggila. Pendekar Slebor merasa tubuhnya bagai hendak dilempar kekuatan raksasa.
“Hiaaa!”
Terdengar teriakan mengguruh terlontar dari mulut Pendekar Slebor. Tampaknya, dia tak ingin menunggu dua lawannya sampai. Di akhir teriakan, seluruh otot-otot kakinya dikejangkan kemudian digenjotnya ke arah lawan.
Seperti berjalan di dasar laut, kaki Pendekar Slebor bergerak sejengkal demi sejengkal ditahan dorongan angin raksasa milik Sepasang Datuk Karang. Tanah bercadas tempat pijakannya lebur terparut kakinya, seakan tanah keras itu hanya berupa tepung
Pada saatnya, tubuh mereka pun bentrok. Tangan Pendekar Slebor menjulur ke depan seperti gerakan seorang pencuri jemuran, siap menerkam kepala Lalinggi yang masih berpusing.
“Haaaih!”
Des!
Terkaman Pendekar Slebor dapat digagalkan Sepasang Datuk Karang. Pada saat yang sama, Gumbala menekuk dua kakinya yang masih melayang di udara. Maka tangan Pendekar Slebor dan kaki Gumbala bertemu dahsyat. Benturan selubung sinar kebiru-biruan dengan selubung sinar putih keperak-perakan terjadi. menimbulkan percikan-percikan bunga api di udara.
Cras! Cras!
Sepasang Datuk Karang mencoba menyusun serangan balasan. Sementara kaitan dua tangan mereka tiba-tiba terlepas. Tubuh Gumbala terus berputar. Pada saat sepasang kakinya menghadapi tubuh Lalinggi, pasangannya itu pun segera menangkap kakinya.
Wuk!
Tep!
Lalu kedua tangan Gumbala yang kini menghadap Andika, beruntun mencabik di udara dengan jari membentuk paruh gagak.
Jep! Jep! Jep...!
Pendekar Slebor tentu saja tak sudi wajahnya yang masih bagus dan mulus diacak-acak jari tangan Gumbala. Dengan kedua tangannya ditangkisnya serangan itu berkali-kali.
Taks! Taks! Taks...!
“Kau tentu ingin merusak wajahku seperti wajah kalian yang porak-poranda itu! Dasar sirik!” cerocos Andika.
“Sudah jelek, ya jelek saja! Tak usah mengajak orang lain ikut jelek!”
Pendekar Slebor masih sempat meledek, meski pertarungan berlangsung dalam tempo yang demikian cepat. Pertarungan dahsyat berlanjut. Sembilan puluh sembilan jurus berlalu cepat seperti angin. Masing-masing masih terlihat tangguh dengan jurus andalan. Percikan demi percikan bunga api masih terus tercipta, mengiringi setiap bentrokan. Deru angin raksasa ciptaan Sepasang Datuk Karang tetap menyapu gila ke berbagai arah, ke segenap penjuru.
Selama itu, otak encer pendekar muda dari Lembah Kutukan itu terus merekam titik-titik lemah jurus andalan lawan. Tak ada gading yang tak retak. Dia yakin, ada satu kunci untuk menembus pertahanan rapat lawannya. Memang sampai saat ini, usahanya untuk membongkar titik lemah jurus kedua lawannya masih tak menghasilkan apa-apa. Bahkan pada satu kali, jari tangan Gumbala berhasil menyayat dada Pendekar Slebor.
Sret!
Maka sobekan luka memanjang dari bahu kiri ke lambung kanan Pendekar Slebor pun terlihat. Darahpun merembes dari luka yang cukup dalam.
“Monyet kudis! Setan ileran! Kunyuk bau! Bau! Bauuu...!”
Umpatan panjang-pendek pendekar yang kadang lebih cerewet dari mulut nenek-nenek pikun itu pun merajalela ke segenap kancah pertarungan. Kepala Pendekar Slebor jadi panas meledak-ledak. Dengan menghentak-hentak kaki ke tanah dan kepala menggeleng-geleng tak karuan seperti bocah kecil dilanda kejengkelan, Pendekar Slebor mencoba membayar perbuatan Gumbala.
“Hiaaaiii, ai... ai... aiii!”
Orang sinting satu kampung pun kalah dengan terjangan Pendekar Slebor kali ini. Tangan dan kakinya merangsek bergantian dalam satu rangkai jurus yang sulit ditangkap mata biasa. Sesekali tangannya mengarah ke punggung Gumbala yang melengkung bak tanda tanya. Sesekali pula, kakinya menyapu ke leher Lalinggi.
“Akan kubuat punggungmu membengkok ke depan, Manusia Bau! Agar nanti kau berterima kasih padaku di liang lahat!” maki Pendekar Slebor.
Wus! Wus! Wus!
Kedua tangan Andika berputar ke depan, hendak menampar punggung orang yang telah melukainya. Kecepatan yang terbawa gerakan Pendekar Slebor kali ini sungguh sulit dipapaki kedua tangan lawan lagi. Agar punggungnya tetap awet membungkuk ke belakang, Gumbala terpaksa melakukan gerakan yang begitu sulit dalam keadaan berputar seperti itu. Badannya ditekuk dalam-dalam ke bawah, dan terus melaju ke kolong selangkangan Lalinggi. Dan gerakannya dimanfaatkan Lalinggi untuk memutar tubuh ke depan. Kaki lelaki yang semula selalu bertopi keranjang itu dengan cepat meluncur lurus ke depan.
Des!
“Augkh!
Andika mengerang sesaat. Dadanya lagi-lagi menjadi sasaran empuk. Sehingga tubuh pendekar muda itu terlempar deras ke belakang.
“Andikaaa!” teriak Idayu Wayan Laksmi di belakang sana, khawatir akan nasib pemuda yang mulai menempati ruang dalam kalbunya.
Tepat lima tombak di depan Ki Lantanggeni dan Idayu Wayan Laksmi, tubuh Andika berdebam meninju tanah. Punggungnya jatuh lebih dahulu. Beberapa saat pemuda itu mengerang-erang. Dada dan punggungnya dirasa bagai dilantak dari dalam.
“Andika kau tak apa-apa?!” seru Ki Lantanggeni.
“Andikaaa! ‘ Beli’ Andikaaa!” teriak Idayu Wayan Laksmi lagi makin was-was.
Demi mendengar teriakan suara gadis ayu itu, Andika langsung bangkit walau dipaksakan. Mulutnya meringis-ringis dengan darah kehitaman membasahi. Tapi, dasar anak muda kepala batu dan sedikit sombong, dia malah membusungkan dada sok jumawa.
“Tidak apa-apa, aku baik-baik saja,” jawab Pendekar Slebor sok kuat. Padahal, dadanya masih terasa remuk.
“Kau yakin, Andika? Biar aku membantumu?”
“Jangan, Ki!” cegah Andika.
“Biar aku saja yang melabrak manusia-manusia bau itu!”
Padahal mulut Pendekar Slebor meringis-ringis terus. Untung saja saat itu membelakangi Ki Lantanggeni dan Idayu Wayan Laksmi. Kalau tidak, tentu kedua orang itu bisa melihat wajah mengenaskan pendekar muda kepala batu itu.
Pendekar Slebor menarik napas kuat-kuat. Diperhatikannya putaran tubuh lawan yang tercipta kembali, dan kini meluncur ke arahnya. Saat itulah dia teringat pada serangan terakhir Sepasang Datuk Karang. Dalam waktu yang demikian cepat, mata tajamnya menangkap suatu titik yang begitu dilindungi oleh Sepasang Datuk Karang. Mereka berusaha berputar mengganti kedudukan, agar lawan tidak dekat pada titik itu. Titik itu adalah kaitan tangan milik Lalinggi dengan kaki Gumbala!
“Kali ini akan kubuat kerak kolak kalian!” dengus Andika, diawali satu seringai.
Pendekar Slebor yakin, telah berhasil memecah-kan teka-teki kelemahan lawan. Maka tanpa menunggu serangan tiba. Pendekar Slebor melarikan tubuh deras ke arah mereka.
“Hiaaa!”
Kalau seseorang ingin menilai, tentu mereka akan melihat gerak lari Pendekar Slebor mirip maling kesiangan. Tapi di balik itu, sedang disiapkannya satu terjangan penuh siasat matang. Memang aneh kalau Andika tak segera tiba di dekat lawannya. Karena, tak sedikit pun mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang begitu disegani di kalangan persilatan. Dia memang lari, tapi larinya seperti lari orang awam.
Tindakan Pendekar Slebor sungguh-sungguh mem-bingungkan lawan. Apa sesungguhnya yang mau diperbuat pendekar muda yang banyak memiliki tingkah urakan itu? Pada saat mereka bertanya-tanya heran dalam hati, tubuh Pendekar Slebor telah tiba di dekat keduanya.
Dengan lari seperti itu, baik Lalinggi maupun Gumbala begitu yakin akan segera bisa merontokkan kembali tubuh Pendekar Slebor. Dengan lengkingan aneh, mereka memutar tubuh lebih cepat untuk menghantam Pendekar Slebor. Tapi di luar dugaan, mendadak saja Pendekar Slebor mengerahkan kembali ilmu kecepatannya.
“Iii...!”
Wut!
Hantaman sapuan tubuh Gumbala luput, karena Pendekar Slebor sudah melenting indah gemulai keatas. Di udara, dia bersalto cepat. Lalu dilepaskannya kain pusaka bercorak catur dari pundaknya.
Sret!
Sekedip mata saja, kain pusaka itu sudah melecut tepat ke arah pegangan tangan Lalinggi.
Prat!
“Wuaaa!”
Lalinggi kontan menjerit tak alang kepalang. Jari-jemarinya langsung hancur berantakan seperti batang pohon pisang tertumbuk balok kayu. Tentu saja tubuh Gumbala jadi terlepas. Lelaki itu kontan terlempar ke udara. Entah bagaimana caranya, dalam keadaan masih tetap di udara Pendekar Slebor melepas inti tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan ke arah Gumbala.
Wezzz!
“Aaa...!”
Tanpa bisa menghindar lagi, leher belakang lelaki buruk rupa itu termakan telak pukulan jarak jauh Pendekar Slebor. Lehernya remuk seketika. Bahkan kepala lelaki itu nyaris saja terlepas, begitu ambruk di tanah.
Pendekar Slebor kini berdiri dua tombak persis di depan hidung Lalinggi. Mata kebiru-biruan lelaki itu membeliak mendapati Pendekar Slebor siap melecut kain pusaka kembali.
“Wuaaa!” raung Lalinggi, menyangka Pendekar Slebor akan segera melepas lecutan kembali. Matanya terpejam, mulutnya membuka lebar seperti lalat. Lalinggi menunggu-nunggu lecutan senjata pusaka Pendekar Slebor, tapi tak juga datang.
Takut-takut, matanya dibuka tapi ternyata Andika sudah tidak ada lagi di depannya. Tapi, telinganya mendengar tawa pemuda tersebut di belakang. Ketika menoleh, tampak Pendekar Slebor tengah memegang pakaiannya.
“Ini untuk membayar pakaianku yang dirusak oleh kawanmu...,” kata Pendekar Slebor ringan.
Lalinggi terlonjak. Ketika melirik ke bawah, tubuhnya sudah polos seperti bayi baru lahir! Entah malu atau takut mati, laki-laki yang juga buruk rupa itu langsung lari tunggang langgang sambil melindungi bagian ‘rahasianya’ dengan tangan hancur.
“Oiii, ada tuyul!” teriak Andika sambil tergelak.
Idayu Wayan Laksmi yang melihat kejadian itu menutup wajah cepat-cepat. Ngeri campur geli....
***
Bagaimana keadaan jasad Ki Rawe Rontek yang telah ditetesi darah Idayu Wayan Laksmi secara tidak disengaja? Apakah dia berhasil bangkit kembali? Apa sesungguhnya rahasia kelemahan ilmu hitam yang luar biasa itu, sehingga Ki Rawe Rontek dikabarkan masih mampu hidup kembali meski kepalanya telah terpenggal sekalipun? Kalau bangkit kembali, mampukah Andika menghadapinya?
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode : BANGKITNYA KI RAWE RONTEK
SELESAI
Diubah oleh ucln 07-09-2016 23:47
0